Senin, 12 November 2012

...




Tak perlu banyak bunga-bunga kata yang memesona
Sebab terkadang ia seperti mahkota bebungaan
Yang indah dipandang, namun sepat di lidah
Kata-kata bertabur diksi dan metafor memang menawan
Namun tak jarang, maknanya terkikis entah ke mana
Menipu pembaca

Maka, tulislah saja dengan sederhana
Dengan kesungguhan hati dan segenap perasaan
Asal ia tak kehilangan makna
Mungkin bahasa yang lugu malah lebih mengena
Mengikat pembaca

Ya, tulis saja


(coretan seorang yang masih belajar mencintai kata)

"Berbahagialah, Saudaraku"



“Barangsiapa yg memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim)

 “Sudah mulai daurahnya, Li?”
Sebaris pesan singkat dari salah satu rekan saya di kampus, ikhwan.
“Aku belum berangkat malahan. Kenapa?”
“Aku ingin meramaikan, sepertinya forumnya agak sepi.”
Saya menghela nafas sejenak. Ia terbentur pada dua pilihan agenda: ikut daurah pemandu AAI (Asistensi Agama Islam) atau menjalankan amanahnya sebagai panitia MTQ di Masjid Kampus.
“Tafadhal saja. Prioritaskan amanahmu.” balas saya kemudian.
“Yang di Maskam insya Allah sudah terkondisikan, bisa kutinggal lah.”
Baiklah. Walhasil dia datang sekitar setengah jam kemudian. Jam yang tertera di undangan adalah pukul 08.00, sedangkan acara baru dimulai pukul 09.00. Ngaret satu jam. Biasa, kultur negara saya (excuse basi).

Ahad pagi yang sendu, jika tak boleh disebut muram. Mendung kelabu menghias langit pagi itu. Saya dan sahabat saya—Asa, menelusuri teras Fakultas Ekonomika dan Bisnis seraya berbincang ngalor-ngidul. FEB tak bisa disebut sepi di hari libur seperti itu. Apalagi Sunday Morning, apalagi Masjid Kampus. Meski mungkin ramai luar biasa, namun saya sama sekali tak berminat menengok ke sana. Daurahnya di lantai tiga, lumayan pagi-pagi olahraga mendaki anak-anak tangga.
Rabbi, masih sepi. Padahal saya sudah telat hampir satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Oh ya, paham. Sebagian besar perhatian tersedot di MTQ hari itu. Banyak pula teman-teman pemandu AAI yang ikut sebagai peserta maupun panitia. Mereka juga berjuang, mari turut mendoakan mereka. ^^

Selesai melaksanakan salat duha di musola Al-Banna, barulah saya memasuki ruangan itu, U303. Benar sekali dugaan teman saya tadi, yang hadir jauh lebih sedikit daripada Gathering Pemandu di Auditorium Fakultas Kedokteran Umum beberapa pekan lalu. Ikhwan dua baris, akhwat tiga baris. Atau mungkin masih banyak manusia-manusia telat lain yang belum datang? Wallahu’alam. Di depan, Mas Fajrur Rosyadi—ketua PKP (Pusat Koordinasi Pengelola) AAI tahun ini sudah cuap-cuap memberikan sambutan.

Jumlah peserta nggak banyak, problem? Sudah nglothok kan, kualitas lebih prioritas daripada kuantitas.

Sambil menunggu pembicara yang belum datang (masih on the way, entah dari mana dan naik apa, husnuzan saja), MC mulai menanyai teman-teman pemandu mengenai kondisi AAI di fakultasnya masing-masing. Ow-ow, pejuang Fakultas Ilmu Budaya cuma dua yang hadir? Only dua makhluk manis berjilbab yang senyumnya seindah bunga sakura ini—saya dan Asa (hasyeeehh). Koordinator pemandu fakultas saya pun tak bisa hadir. Sebab beliau harus pulang, birrul walidain. (Ma’assalamah, Lu’lu. Peluk-peluk! ^_^) “AAI FIB begini lho, Mas. Blablabla.” cerita dari mulut saya mengalir saja. Berbagi cerita. Generally, permasalahan yang dialami tiap fakultas senada. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan pula. Namun tetap saja, tantangan dakwah yang dialami tiap fakultas berbeda-beda.

Tahun ini saya diamanahi dua kelompok. Duapuluh orang lebih. Uwaaa, adikku banyak sekaliii... Mahadaya (mahasiswa-baru-Ilmu-Budaya) 2012 jumlahnya segambreng-gambreng, di sisi lain kuantitas pemandu terbatas. Jadilah satu orang mengampu dua kelompok. Tak apa lah, ada sensasi tersendiri ketika amanah itu lebih besar dari sebelumnya. Inilah proses, awalnya sepuluh orang, kemudian empatbelas, sekarang duapuluhan. Bismillahirrahmanirrahiim… Rasanya bahagiaaa ketika mendapati salah satu atau salah dua dari adik-adikku itu kemudian menutup aurat, meski belum tentu ia dapat hidayah karena ikut AAI.

Alhamdulillah, akhirnya pematerinya datang. Tersenyumlah, dan jangan gaduh. (soalnya saya sama Asa dari tadi ngakak-ngikik di belakang ^_^). Pak Fathan Fantastik, sosok yang sudah cukup familiar bagi saya dan orang-orang di ruangan itu, mungkin.

“Apa alasan anda datang kemari?” beliau kemudian mencoret-coret papan tulis, membuat skema motivasi-alasan-hasil.
“Motivasi anda datang ke sini adalah yang mendasari alasan anda, dan itulah yang menentukan hasilnya. Apa motivasinya? Terpaksa karena diundang, karena ada snack-nya, atau karena apa? Insya Allah, alasan itu nanti yang menentukan sikap anda duduk di ruangan ini. Bahasa tubuh itu kelihatan kok.”

Beliau lulusan Psikologi. Oh ya pantesan.

Di tengah-tengah materi, ternyata benar dugaan saya, masih banyak manusia-manusia telat lain yang berdatangan.

Ustaz Fathan mengajak kami untuk bermuhasabah, bahwa kematian itu dekat, maka harus kita persiapkan sebaik-baiknya. Sudah cukupkah amal kebaikan kita untuk dibawa mati? (agaknya setiap hati di ruangan itu menggumamkan "belum". Maka, bersegeralah. ^_^)

Kata Pak Cahyadi Takariawan, ada tiga tipe orang di jalan dakwah:
  1. Ia bersedia, tapi suka mengeluh. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “bersabarlah, saudaraku.”
  2. Masih suka mempertimbangkan baik-buruknya. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “istiqomahlah, saudaraku.”
  3. Orang yang sudah bisa menikmati, seberat apapun yang ia jalani. Ia berpedoman, seorang mukmin tidak memiliki waktu rehat kecuali saat kakinya telah melangkah di pelataran surga. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “berbahagialah, saudaraku.”

Kita termasuk tipe berapa hayooo?
Saya lantas teringat curhatan seseorang. “Aku entah kenapa, ada rasa malas yang sangat menggelayut hari ini. Tapi aku pasti datang liqo kok. Namun aku tak tahu apa sebab keengganan itu.”
“Segala sesuatu itu pasti ada sebabnya. Telusuri dulu sebabnya. Kalau nggak tahu sebabnya, mana bisa dicari solusinya, Ukh. Sebab dari rasa enggan itu hanya kau yang tahu sepenuhnya. Bukan aku, apalagi murobbi.” Saya jadi ingin menepuk pundaknya seraya berujar, “Istiqomahlah, saudariku.”

Ada tiga cara memotivasi seseorang ketika proses pembinaan. Pertama, obrolkan tentang kebesaran Allah, tadabbur alam, atau bahkan tadabbur ayat. Yang kedua, beritahukan kabar akhirat. Tentang kematian, surga-neraka, alam kubur, dan sebagainya. Ini mengajak kita untuk bermuhasabah, setidaknya untuk bersegera melakukan amal kebaikan dan men-deadline hidup kita. Terakhir, obrolkan tentang fadhilah amal. Bagaimana keutamaan puasa, keutamaan menuntut ilmu, dsb. 

Asa yang gelisah karena punya uneg-uneg yang ingin dia muntahkan, akhirnya mengangkat tangan.
“Begini Ustaz, ada adik binaan saya yang seorang ammah. Rambutnya disemir, dia pacaran, keluarganya pun broken home. Suatu kali dia tanya ke saya, ‘Mbak, ada dua orang yang suka sama aku. Yang satunya non-muslim, tapi dia baiiiikk banget, Mbak. Yang satunya muslim, tapi ya biasa saja. Aku harus milih yang mana, Mbak?’ Nah, terkadang saya bingung untuk menjelaskannya, Ustaz. Saya bilang saja, ‘Ya, kamu harus memprioritaskan yang seiman denganmu, Dek.’ Tapi bukan berarti saya setuju kalau dia pacaran, apalagi dengan non-muslim. Apakah tindakan saya ini benar, Ustaz? Saya hanya tidak ingin dia ngeri jika saya langsung jelaskan bahwa pacaran itu tidak boleh, sebab dia benar-benar seorang yang masih awam.”

Ya, memang benar. Berproses menuju kebaikan itu tidak serta-merta, tidak instan atau simsalabim. Menyampaikan kebaikan pun tidak bisa simsalabim. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Itulah proses, Allah pun menyukai sebuah proses. Kalau Allah mau, kun fayakuun, alam semesta ini bisa tercipta dalam sehari atau beberapa detik saja. Namun, Allah menciptakannya dalam waktu enam hari.

Tidak mungkin agama ini menang tanpa adanya pembinaan. Bisa jadi, yang sekarang kita ajak menuju kebaikan memang belum membaik seperti harapan kita, namun mungkin nanti ia akan menjadi baik—bahkan mungkin lebih baik dari kita, entah kapan. Wallahu’alam.

Berkaca kepada insan yang kepadanya, Rasulullah menyebutkan bahwa iman beliau jauh lebih berat takarannya daripada iman semua umat jika dikumpulkan: Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Abu Bakar adalah orang yang selalu bersegera memenuhi panggilan Allah dan rasul-Nya.  Sebagai orang yang pertama-tama beriman di permulaan risalah, beliau mengajak orang-orang kepada Islam. Maka, baginya lah pahala orang-orang yang diajak menuju kebaikan tersebut. Subhanallah...

Berbahagialah orang-orang yang memilih jalan dakwah ini, dengan dilandasi keyakinan iman yang teguh, argumentasi fikriyah yang mencerahkan, kebersamaan persaudaraan yang saling melengkapi dan kesabaran yang selalu menyemangati.



Yogyakarta--kota penuh cinta, 4 November 2012



*Terima kasih untuk Ukh Asa Gupita Lizadi yang hari itu membersamai saya dari pagi hingga sore hari, meski ucapan “arigatou” dari saya mungkin kau jawab dengan segumpal tanya: “bahasa Jepangnya ‘wa iyyaki’ apa, Li?” ^_^

Rabu, 07 November 2012

Parameter Sekufu





“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (An-Nuur:26)


Dalam sebuah proses pernikahan, apalagi ketika ta’aruf, dikenal adanya istilah “sekufu” atau “setara”, atau “selevel”, atau bisa juga kita artikan sebagai “kesepadanan”. Hal satu ini merupakan salah satu kriteria yang umumnya dicantumkan dalam memilih pasangan hidup. Ah ya, “setara” itu bisa diartikan macam-macam sebenarnya. Lantas, “setara” seperti apa yang harus dipertimbangkan ketika ta’aruf?
Mengutip firman Allah dalam surat An-Nuur ayat ke-26, bahwa wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Begitu pun sebaliknya, lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Yang buruk hanya tertakdir untuk yang buruk pula. Benarkah selalu seperti itu? Jika kita runut sejarahnya, nyatanya Fir’aun yang lalim malah beristrikan Asiyah yang shalihah—sang penghulu wanita-wanita di surga. Wallahu’alam. Artinya apa? Allah salah memberi janji? Oh, tentu tidak. Dengan ayat itu Allah memperingatkan kepada umat Islam agar memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, bukan manusia yang buruk. Sebab pasangan (suami-istri) adalah layaknya pakaian, yang saling melengkapi. Bagi yang belum menikah, mungkin bisa diibaratkan masih “telanjang”. Saling melengkapi, karena satu sama lain masing-masing memiliki kekurangan yang harus dilengkapi, memiliki kelebihan untuk melengkapi. Alangkah naif jika ada pasangan yang bercerai hanya karena dalih “tidak cocok lagi”. Analogi sepasang sepatu, jika kanan dan kiri sama persis, apakah bisa dipakai untuk berjalan? Tentu tidak. Sepatu kiri dan kanan berbeda, biar bisa dipakai oleh kaki kiri dan kanan sehingga ia bisa berfungsi dengan baik.
Jika perbedaan adalah sebuah keniscayaan, lalu bagaimana kaidah “kesepadanan” atau “kesetaraan” dalam memilih pasangan hidup ini dimaknai?
Suatu ketika, ada seorang akhwat yang curhat bahwa terkadang ia memiliki perasaan tidak pantas untuk mendapatkan lelaki shalih, sebab ia sendiri merasa belum shalihah. Apakah itu artinya mereka tidak sekufu? Belum tentu.
Kata Rasulullah saw, seperti halnya kaidah menikahi wanita, lelaki pun dinikahi karena empat hal; karena ketampanan, keturunan, harta, dan agamanya. Tentu saja yang diutamakan adalah yang terakhir. Ada hadis yang mengatakan, “Bila datang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang), maka nikahilah ia. Bila tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.” Maka, bukan tidak pantas mendapatkan yang shalih, namun belum pantas. Caranya, ya memantaskan diri, menjadi semakin shalihah dari hari ke hari. Jika ingin mendapatkan jodoh yang hafiz, pantaskanlah diri terlebih dahulu dengan berusaha menjadi hafizah.
Bagaimana dengan pendidikan? Pendidikan pun bisa berarti macam-macam. Pendidikan formal, pendidikan agama, pendidikan non-formal? Tak jarang, banyak yang menaruh kriteria, jika sang istri sarjana, sang suami juga harus (minimal) sarjana. Takutnya nanti jika tingkat pendidikan sang suami lebih rendah levelnya daripada istrinya, ada gap tersendiri, ada dampak psikologis yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya. Misalnya, suami yang lulusan S1 intelektualitas dan wawasannya sekian persen, sementara istrinya yang cuma tamatan SMP kadar intelektualitasnya jauh di bawah itu. Kadang ketika mereka membicarakan sesuatu, nggak nyambung! Itu mungkin terjadi, meskipun tidak mutlak. Nyatanya, banyak lulusan S1 namun cupu-nya minta ampun. Relatif. Artinya, level pendidikan formal bukanlah sebuah parameter dalam memilih pasangan, meskipun boleh dimasukkan dalam kriteria karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Usia. Sudah jelas bukan. Suami berusia lebih muda daripada istri sah-sah saja. Sebagaimana Rasulullah saw pun lebih muda daripada istri beliau yang pertama, Khadijah radhiyallahu’anha. Sebab, usia yang lebih tua bukan berarti sudah lebih dewasa dan matang secara psikologis.
Fikrah alias pemikiran. Misalnya, bagaimana menikah dengan orang berbeda harakah? Jawaban yang pernah saya dapat dari beberapa ustaz, sebenarnya boleh-boleh saja, asalkan tidak beda akidah. Harus jelas dulu, fikrah yang berbeda itu di sisi yang mana? Namun, disarankan mencari pasangan yang fikrahnya sama, sebab itu berkaitan erat dengan visi dan misi pernikahan yang akan dibangun dalam kehidupannya. Jika akhwat X yang dulunya aktif dalam siyasiy alias perpolitikan menikah dengan ikhwan Y yang menganut pergerakan khilafah, bisa jadi akan terjadi benturan pemikiran sebab keduanya tidak senada. Namun, ada juga ustaz yang berpendapat, justru perbedaan harakah itulah yang diperlukan. Sebab, menikah adalah perintah li diiniha, bukan li harakaha.
Nah, bagaimana dengan muslimah yang menikah dengan laki-laki muallaf? Jelas nantinya malah sang istri yang mengarahkan suaminya untuk menjadi muslim yang baik. Atau sebaliknya, lelaki muslim yang menikahi perempuan muallaf. Tentu mereka belum sekufu dalam hal agama, sebab yang satu sudah berjalan jauh, yang satunya lagi masih belajar merangkak.
Apa pun itu, kaidah memilih pasangan berdasarkan agamanya adalah yang paling utama dalam Islam. Bukan berdasarkan nasabnya seperti tradisi orang Quraisy jahiliah, berdasarkan paras seperti orang Nasrani, atau berdasarkan harta laiknya orang Yahudi. Yang dimaksud sekufu dalam agama bukan lantas berarti yang setara dalam hal keluasan ilmu agamanya. (jika demikian, siapa pula yang sekufu dengan Rasulullah?) Namun, sekufu--sama-sama khusyuk, memiliki visi-misi dan cita-cita yang sama dalam membangun peradaban Islam melalui pernikahan.
Suatu hari datang tawaran kepada saya, seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sedang mencari calon istri. Kriterianya mengagumkan, guru bahasa Arab, hafalan Quran dan hadisnya mantap, dan pastinya pengetahuan agamanya luas. DEG! Sekufu-kah dengan saya yang bahkan belum bisa bahasa Arab? Saya lempar itu kepada kakak tingkat saya di kampus jurusan Sastra Arab (*ini agak menggelikan). Apa jawaban beliau? Kalau ada yang kriterianya bagus, shalih, dan ditawarkan kepadaku, ya sudah itu buatku saja. Kenapa harus orang lain? Memangnya kalau kamu bisa bahasa Jepang, apa suamimu nanti juga harus orang yang bisa bahasa Jepang? Nah!
“Permasalahannya bukan hanya pada tataran sekufu saja, namun saya belum siaaaappp.” Hm, lame excuse. Padahal upaya untuk selalu mengikhtiarkannya adalah bagian dari mujahadah.
Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii
fiddini waddunya wal akhirah.

Minggu, 04 November 2012

Daun-Daun Luruh: (Semacam) Prolog





Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”

-QS Al-An’am : 59-






Sekar Melati Prameswari, Oktober 2014



Musim gugur masih berlangsung dengan khidmatnya. Membuat jalanan diliputi guguran daun momiji yang menguning atau memerah. Dua musim sudah kulalui di sini. Musim panas dengan teriknya yang membakar, dan musim gugur yang menggigilkan kulit ari. Ah, tentu di negeriku sana hujan sedang tercurah setiap harinya. Aku rindu berteduh dari derasnya hujan ketika aku terlupa membawa payung ke kampus. Aku rindu akan bau hawa basah yang meruap setelah hujan reda. Tak pernah lagi kujumpai hujan semenjak aku menginjakkan kaki di negeri ini, bahkan aku ragu apakah nanti musim semi masih sempat menyapaku beberapa bulan kemudian.
Kau tahu, Naufal? Kelak aku ingin melalui musim semi bersamamu. Kita ber-hanami di bawah pohon sakura yang tengah mekar merona, bersama anak-anak. Ketika yang lain ber-hanami dengan menikmati bento dan mabuk sake, kita akan ber-hanami sembari mentaddaburi ayat-ayat-Nya. Kita bikin lingkaran bernama “getar cahaya di atmosfer cinta”, anak-anak adalah mutarabbi yang harus kita bina, dan kita menjadi murabbi yang membina. Aih, sejak kapan ada halaqah dengan dua murabbi ya? Ah, tak masalah. Kau mengajari yang laki-laki, sedangkan yang perempuan adalah bagianku. Kita ciptakan kawasan Tokyo madani yang rajin mengaji, bukan begitu?
Ah, mimpi...
Sedang kenyataannya kini, kau ada di seberang benua dan samudera, ribuan kilometer berjarak dariku. Jika aku tengah menggigil karena angin musim gugur, kau mungkin sedang terperangkap oleh pengapnya udara dan angin panas yang dihembuskan Sahara. Kau tentu tengah khusyu thalabul ‘ilmy di sana. Aku pun berikhtiar untuk segera menuntaskan studiku di sini, dan kembali ke tanah air, menjemput takdir. Masih berapa lama lagi kah kau berada di sana? Atau jangan-jangan sudah ada bidadari yang siap kau pinang? Maafkan aku, Fal. Dua tahun berselang semenjak itu, aku tak pernah mencoba menghubungimu lagi, aku mengasingkan diri dari hal-hal yang bisa memecah konsentrasiku. Aku ingin fokus meraih mimpiku di negeri matahari terbit. Kesalahan fatalku mungkin, Fal. Kalaupun engkau tidak melamarku, setidaknya aku mencoba menawarkan diri untuk dilamar, sebagaimana Bunda Khadijah yang mendatangi Muhammad terlebih dahulu. Namun, ternyata aku ciut nyali, dan lebih memilih menjadi Sayyidah Fathimah yang mengheningkan cintanya terhadap Ali bin Abi Thalib. Mengheningkannya darimu, namun tidak kepada Allah.
Berdosakah aku yang hingga kini masih menyimpan rindu terhadapmu, Fal? Bahkan, diam-diam aku mengharapkanmu untuk menjadi imam bagi diriku, juga bagi anak-anakku kelak. Bagaimana jika nama yang tertera di Lauh Mahfuz-ku bukanlah engkau? Apakah aku harus merutuki takdir? Sedangkan aku tak tahu dirimu di sana masih sendiri atau sudah beristri. Rindu itu menyiksa, namun aku tak tertarik menjadi Layla yang merindui Qais hingga menjadi gila. Cinta sejati itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Aku tak ingin terlalu merindumu, itu hanya akan menjauhkanku dari cinta yang menyembuhkan. Tapi jangan kau kira kenangan itu akan raib tergilas bersama waktu. Ia masih utuh terpatri dalam memoarku yang kusam.
Sehelai daun momiji jatuh dari tangkainya, luruh ke tanah. Tak ada “kebetulan” di dunia ini. Bahkan daun momiji yang luruh ke tanah itu adalah bagian dari takdir-Nya. Pertemuan kita juga bukan sebuah “kebetulan”, Fal. Dan ketika aku menjatuhkan cinta kepadamu, itu juga bukanlah “kebetulan”? Ah, tidak. Aku tak ingin menyebutnya “jatuh cinta”, terkadang ia menuai sakit tiada tara. Maka, aku hanya ingin membangun cinta, bukan menjatuhkan cinta. Membangun cintaku kepada-Nya terlebih dahulu, sebelum kureguk cinta dari ikatan penggenapan separuh agama. Tetapi takdir tak semata berisi “kebetulan”, di dalamnya harus ada ikhtiar, usaha.
Sonata musim gugur, musik alam yang menyenandungkan ritme kaidah kefanaan dalam kehidupan. Bahwa hidup ini memang singkat dan sekejap. Menunggu, tentu saja menghabiskan waktu. Aku akan berusaha mencarimu kembali, tak peduli engkau ada di mana kini. Jikalau takdir-Nya menghendaki kita bersama, Dia akan mempersatukan kita—bagaimanapun caranya, melalui kun-Nya.





Yogyakarta, 4 November 2012





Catatan:
1. Hanami : Dari kata "hana" yang berarti "bunga", dan "mi" atau "miru" yang berarti "melihat". Hanami merupakan tradisi melihat bunga sakura ketika musim semi tiba. Di saat seperti itu orang Jepang akan bersuka-cita berpiknik memadati taman-taman kota. Membawa bekal makanan, bahkan minuman keras, berbincang dan bernyanyi bersama.

2. Momiji : Mapel.

3. Bento : Makanan Jepang.