“Untuk mampu diajak berjalan bersama, sepasang sandal memang
haruslah berbeda. Namun, tidak mungkin pula untuk memasangkan sandal jepit
dengan sepatu berhak tinggi, bukan?”
“Kalau kalian berjodoh, itu artinya
kalian sekufu,” lontar seseorang melalui sebuah pesan WhatsApp, suatu
hari, sekitar 2 tahun yang lalu. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya
berhari-hari lamanya. Ketika itu, rasanya saya sudah tidak ingin ambil pusing
dengan yang namanya sekufu, selevel, setara, atau apalah sebutannya itu ketika
memutuskan membuka pintu untuk seseorang. Siapalah saya, hamba biasa yang tak
tahu apa-apa perkara yang terbaik untuk diri saya sendiri di masa depan. Itu
sepenuhnya hak prerogatif Sang Maha Pengatur Semesta. Lagipula, apakah
sebenarnya parameter yang hakiki dari ‘sekufu’ itu sendiri? Telah
bertahun-tahun berlalu semenjak saya menulis ini, telah berlalu pula
fase single menjadi sold-out, namun entah kenapa rasanya ingin
menulis tentang ini lagi.
Baiklah, mentang-mentang kami sudah
menikah, jadi, apakah saya dan suami benar-benar sekufu? Jika berdasarkan
lontaran teman di atas, tentu saja jawabannya “iya”. Tetapi, jujur, ketika
taaruf dengan si Abi dulu, saya sudah nggak mikir sekufu-sekufuan lagi. Yang
penting kami berkomunikasi untuk saling mengenal satu sama lain, dan nyambung,
merasa cocok, ya sudah, lanjut!
Cocok? Eh, kata satu ini juga sempat bikin saya mikir lumayan lama.
Sebenarnya kaidah cocok itu apa dan bagaimana? Lha gimana, orang-orang
yang sedang galau mencari belahan jiwa selalu mengandalkan kata satu ini, tapi sering
enggak menyadari kalau... first thing first, enggak ada dua insan
yang benar-benar cocok satu sama lain di muka bumi ini (kalau maunya gitu mah
nikah aja sama diri sendiri, berkembang biak dengan cara membelah diri. *eh). Kedua,
banyak juga pasangan yang sudah lama menikah malah memutuskan bercerai dengan
alasan yang... ehm... “Kita udah nggak cocok lagi!” Nah lhoooo. Ketiga,
sesungguhnya seringkali kita juga nggak bener-bener paham, cocok itu apa dan
bagaimana (tapi pengennya teh jodoh yang cucok meong sama ngana. Bingung
kan?).
Apakah kalau saya hobi baca buku dan
dia sukanya naik gunung itu artinya nggak cocok? Apakah ketika kami satu
jurusan dan satu pekerjaan itu cocok? Apakah kalau dia koleris yang hobi
marah-marah dan saya plegmatis yang gampang nangis itu nggak cocok sama sekali?
Keempat, men are from Mars, women are from Venus. Mengertilah bahwa
sampai kapan pun, laki-laki dan perempuan berbeda di banyak hal yang
sesungguhnya butuh effort untuk menyatukannya. Perkara cocok dan tidak
cocok sejatinya adalah persoalan seberapa lapang ruang penerimaan dalam hati
kita sendiri, juga seberapa luas kadar penerimaan seseorang itu tentang kita.
Sebab, kita menikah, hidup bersama dalam kurun waktu yang lama dengan manusia
biasa yang tentu tidak luput dari keburukan-keburukan yang mungkin kita akan
susah menerimanya.
Well, duluuuu sekali, saya punya list kriteria calon lelaki yang
ideal menurut saya (tapi ujungnya mostly nggak pernah saya tulis di
biodata taaruf. Haduuh, maaf ya, Pak Suami :p). Pertama, agamanya harus
baik—paling tidak, lebih baik dari sayalah ya (ini udah pasti). Kedua, harus GANTEEEENG!
(parameter ganteng saya ituh; putih, minimal kuning langsat, tinggi dan berat
proporsional, good-looking menurut banyak orang, gak sipit-sipit amat
matanya, dan berkacamata kayak itu tuh... Kanata Hongo pas berperan jadi Izumi
#eaa). Ketiga, dia punya hobi yang sama dengan saya, yakni menulis dan baca
buku—wabilkhusus buku-buku fiksi dan sastra. Impian absurd saya waktu
itu, saya ingin bisa menulis buku berdua dengan suami. Ngomong-ngomong soal
impian nulis buku bareng, sudah bisa ditebak, saya mendambakan lelaki yang bisa
ROMANTIS. Romantis ini maksudnya, dia juga lihai berkata-kata puitis
macam Fahd Pahdepie atau Pak Sapardi. Dia juga bisa main gitar atau sedikit-sedikit
menyanyi, soalnya saya suka orang yang punya jiwa seni (wah, kok impian gue
dulu ala sinetron atau drama remaja banget gini ya. Haha. Embuhlah).
Berikutnya, saya ingin nikah sama
orang yang sudah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya, bukan dadakan
sebulan-dua bulan sebelumnya lalu dia ngajak married. Saya sudah jatuh
hati dengannya sebelumnya, kemudian kami menikah (and we live happily
ever-after. *langsung inget film Shrek -.-)
Terakhir, karena saya berkarakter
plegmatis-melankolis, saya berharap semoga pasangan saya adalah orang sanguinis
atau koleris, biar setidaknya bisa mengimbangi saya.
Sekarang, mari kita cocokkan dengan
kenyataan yang ada.
“Li, dia ganteng nggaaak?” tanya
seorang teman, H minus entah berapa hari menuju hari pernikahan. “Siapaaah?”
tanya saya balik, sok bego. “Calon elu.” Saya cengo. “Kok pertanyaanmu gitu
sih?” Jawab dia, “Kan kamu biasanya suka sama yang ganteng.” Etdah.
*tepok jidat. Dan sebagai sahabat baik, dia tahu parameter ganteng absurd
saya seperti apa. Saya harus jawab gimana? Hahaha. Sejak taaruf pertama kali,
saya sudah tidak mempersoalkan ganteng-tidaknya secara fisik. Terpenting,
agamanya baik, saleh. Gantengnya akan ngikut sendiri, itu sudah cukup. Ini juga
tergantung mata hati masing-masing bagaimana menilai orang lain sih. Tapi
kemudian, parameter ganteng saya berubah, paling tidak, mukanya harus ada
hawa-hawa masjidnya. Adem alias menyejukkan jika dipandang (iyalah, qurrata
a’yun kan tidak harus tinggi, putih, berkacamata). Lagi-lagi, perkara ini
cuma hati yang bisa menilai.
Lalu, romantis? Hmm, suami saya
tidak hobi menulis seperti saya. Bahkan, jurusan kami berseberangan—baik secara
jarak maupun disiplin ilmu. Saya dibesarkan di lingkungan ilmu sosial
humaniora, dia anak ilmu teknika. Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Teknik di
UGM itu jauh-jauhan, bro. Sudah jauh, tak pernah bertemu di organisasi atau
kegiatan yang sama pula. Secara pola pikir mungkin kami akan jomplang dan
banyak tak sejalannya. Saya pernah bilang ke diri sendiri kalau saya nggak mau
berjodoh sama anak teknik (akibat trauma, pasalnya dulu pernah nemu orang
teknik yang kaku dan ampun dah, gak nyambung banget). Namun, perkara jodoh,
Allah-lah yang berkuasa. Kun fayakuun, jodoh saya anak teknik. Maka,
hati-hati dengan ucapan anda sendiri ya. ^^v
Jangan bayangkan di bawah sinar
rembulan dia akan berpuisi, apalagi sok-sokan bersenandung “Zaujati, Antii
habiibati anti...” atau Sakinah Bersamamu ala-ala Romantic Duo Kang
Suby dan Teh Ina, saya pernah ketawa-ketiwi baca biodata yang dia tulis karena
penuh typo. Mak, impianku kandas. L Apatah lagi berani merayu dengan gombalan semacam, “Duhai bidadariku,
Ainul Mardhiyahku...” Nggak pernah. Kalau benar terjadi mungkin malah saya akan
bergidik lantas membatin, “Kenapa Abi jadi mendadak dangdut gini?”
Kesimpulannya, suami saya tidak
romantis. Ia tidak bisa romantis seperti standar saya sebelumnya. Namun,
romantisnya ditunjukkannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan kata, namun
perbuatan. Love is not an adjective, it is a verb. Ye kan?
Kemudian, saya sudah kenal sama dia
jauh-jauh hari? Big NO. Perkenalan kami tak lama. Ibarat bulan ini
kenalan, kemudian bulan depan lamaran. Saya sudah suka sama dia sebelum-sebelumnya?
Enggak juga. Semuanya serba “gercep” (gerak cepat), kalau nggak mau dibilang
(digoreng) dadakan (yaelah, tahu bulet dong, Sist).
Pasangan saya sanguinis-koleris? Ini
juga salah besar. Ia sebelas-dua belas seperti saya, plegmatis-melankolis.
Salah satu dari beberapa persamaan absurd yang saya temukan, selain IPK yang podho
plek dan weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa yang biasanya
digunakan para tetua untuk mencari hari pernikahan kedua mempelai) yang sama
persis. -_-
Kesimpulannya lagi, saya tidak
benar-benar tahu apa yang terbaik bagi diri saya sendiri. Menurut saya dulu,
laki-laki yang tepat bagi saya adalah yang begini-begitu. Namun tidak demikian
di mata Allah. Menurut saya dulu, lelaki yang cocok bagi saya adalah A, B, C,
D. Namun Allah menggariskan alfabet yang lain. Jadi, saya juga tidak
benar-benar mengetahui secara pasti, yang sekufu dengan saya adalah lelaki
seperti apa. Maka, ketika istikharah itu berjawaban “ya”, saya yakin ia memang
tepat untuk saya, Allah mengatakan bahwa ia adalah yang sekufu dengan saya.
Suatu hari, saya mendapat pesan yang
sangat menarik, ditulis oleh Ustaz Fariz Khairul Alam, Pesan itu bertajuk “Mungkin
Saja Ia Memang Saleh, Tapi Belum Tentu Kami Cocok.” Lagi-lagi, hadis di
bawah inilah yang menjadi dasar pembahasan.
“Jika datang padamu lelaki yang kau
ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka
akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan
Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi saw tidak
mengatakan, “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik,” namun Nabi
saw mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan
perangainya.” Apa bedanya? Pernyataan pertama—dan itu tidak diucapkan oleh Nabi
saw—bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki saleh, dan bahwa
lelaki saleh itu pasti akan menjadi suami saleh.
Namun, pernyataan kedua—yang
diucapkan Nabi saw—memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam
memilih calon menantu, syaratnya harus rida terhadap agama dan perangainya,
karena memang tidak semua lelaki saleh, kau setujui cara beragama dan
perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian
manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau tampak.
Kisah Fathimah binti Qays menjelaskan
hal ini. Alkisah, Fathimah binti Qays dilamar oleh dua orang lelaki. Tak
tanggung-tanggung, yang melamarnya adalah dua pembesar sahabat, yakni Mu’awiyah
dan Abu al-Jahm. Namun, setelah dikonsultasikan ke Rasulullah saw, apa yang
terjadi? Rasulullah saw menjelaskan bahwa kedua lelaki tersebut tidak cocok
menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan
Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki saleh yang memiliki keyakinan agama
yang baik. Namun, Rasulullah saw tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu
dari keduanya, karena Nabi saw mengetahui karakter Fathimah, juga karakter
Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi saw menawarkan
agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya
tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi
saw itu, apa yang dikatakannya kemudian?
Fathimah mengatakan, “Allah
melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil
manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal
bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: pertama, lelaki saleh. Kedua,
memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif,
yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Kesalehan seorang lelaki memang
menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu
dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus
sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah
(kesesuaian tabiat dan kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua sifat ini
sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan
keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah
karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari
kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah
dan sedang mencari jodoh, agama mensyariatkan adanya musyawarah dan
istikharah. Lakukanlah keduanya. Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah
keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu ‘satu paket’; paket
kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi
kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur,
menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran
yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat.”
Sesuatu yang baik dari suami,
ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama
Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain.
Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia
tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda. Boleh jadi Anda melihat
sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya
lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu
belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan
yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa
pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda.
Tak ada yang salah dengan perbedaan
dalam pernikahan—apapun itu, baik berbeda latar belakang kesukuan, perbedaan status
sosial, maupun berbeda dalam harakah, karena sejatinya perbedaan adalah
sebuah keniscayaan. Namun, bisa jadi, akan ada usaha yang lebih ekstra untuk
menjalankan rumah tangga demi meminimalisasi friksi-friksi atau konflik yang
akan timbul setelahnya. Baiklah, pada akhirnya ini memang pilihan masing-masing kita.