Minggu, 04 November 2012

Daun-Daun Luruh: (Semacam) Prolog





Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”

-QS Al-An’am : 59-






Sekar Melati Prameswari, Oktober 2014



Musim gugur masih berlangsung dengan khidmatnya. Membuat jalanan diliputi guguran daun momiji yang menguning atau memerah. Dua musim sudah kulalui di sini. Musim panas dengan teriknya yang membakar, dan musim gugur yang menggigilkan kulit ari. Ah, tentu di negeriku sana hujan sedang tercurah setiap harinya. Aku rindu berteduh dari derasnya hujan ketika aku terlupa membawa payung ke kampus. Aku rindu akan bau hawa basah yang meruap setelah hujan reda. Tak pernah lagi kujumpai hujan semenjak aku menginjakkan kaki di negeri ini, bahkan aku ragu apakah nanti musim semi masih sempat menyapaku beberapa bulan kemudian.
Kau tahu, Naufal? Kelak aku ingin melalui musim semi bersamamu. Kita ber-hanami di bawah pohon sakura yang tengah mekar merona, bersama anak-anak. Ketika yang lain ber-hanami dengan menikmati bento dan mabuk sake, kita akan ber-hanami sembari mentaddaburi ayat-ayat-Nya. Kita bikin lingkaran bernama “getar cahaya di atmosfer cinta”, anak-anak adalah mutarabbi yang harus kita bina, dan kita menjadi murabbi yang membina. Aih, sejak kapan ada halaqah dengan dua murabbi ya? Ah, tak masalah. Kau mengajari yang laki-laki, sedangkan yang perempuan adalah bagianku. Kita ciptakan kawasan Tokyo madani yang rajin mengaji, bukan begitu?
Ah, mimpi...
Sedang kenyataannya kini, kau ada di seberang benua dan samudera, ribuan kilometer berjarak dariku. Jika aku tengah menggigil karena angin musim gugur, kau mungkin sedang terperangkap oleh pengapnya udara dan angin panas yang dihembuskan Sahara. Kau tentu tengah khusyu thalabul ‘ilmy di sana. Aku pun berikhtiar untuk segera menuntaskan studiku di sini, dan kembali ke tanah air, menjemput takdir. Masih berapa lama lagi kah kau berada di sana? Atau jangan-jangan sudah ada bidadari yang siap kau pinang? Maafkan aku, Fal. Dua tahun berselang semenjak itu, aku tak pernah mencoba menghubungimu lagi, aku mengasingkan diri dari hal-hal yang bisa memecah konsentrasiku. Aku ingin fokus meraih mimpiku di negeri matahari terbit. Kesalahan fatalku mungkin, Fal. Kalaupun engkau tidak melamarku, setidaknya aku mencoba menawarkan diri untuk dilamar, sebagaimana Bunda Khadijah yang mendatangi Muhammad terlebih dahulu. Namun, ternyata aku ciut nyali, dan lebih memilih menjadi Sayyidah Fathimah yang mengheningkan cintanya terhadap Ali bin Abi Thalib. Mengheningkannya darimu, namun tidak kepada Allah.
Berdosakah aku yang hingga kini masih menyimpan rindu terhadapmu, Fal? Bahkan, diam-diam aku mengharapkanmu untuk menjadi imam bagi diriku, juga bagi anak-anakku kelak. Bagaimana jika nama yang tertera di Lauh Mahfuz-ku bukanlah engkau? Apakah aku harus merutuki takdir? Sedangkan aku tak tahu dirimu di sana masih sendiri atau sudah beristri. Rindu itu menyiksa, namun aku tak tertarik menjadi Layla yang merindui Qais hingga menjadi gila. Cinta sejati itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Aku tak ingin terlalu merindumu, itu hanya akan menjauhkanku dari cinta yang menyembuhkan. Tapi jangan kau kira kenangan itu akan raib tergilas bersama waktu. Ia masih utuh terpatri dalam memoarku yang kusam.
Sehelai daun momiji jatuh dari tangkainya, luruh ke tanah. Tak ada “kebetulan” di dunia ini. Bahkan daun momiji yang luruh ke tanah itu adalah bagian dari takdir-Nya. Pertemuan kita juga bukan sebuah “kebetulan”, Fal. Dan ketika aku menjatuhkan cinta kepadamu, itu juga bukanlah “kebetulan”? Ah, tidak. Aku tak ingin menyebutnya “jatuh cinta”, terkadang ia menuai sakit tiada tara. Maka, aku hanya ingin membangun cinta, bukan menjatuhkan cinta. Membangun cintaku kepada-Nya terlebih dahulu, sebelum kureguk cinta dari ikatan penggenapan separuh agama. Tetapi takdir tak semata berisi “kebetulan”, di dalamnya harus ada ikhtiar, usaha.
Sonata musim gugur, musik alam yang menyenandungkan ritme kaidah kefanaan dalam kehidupan. Bahwa hidup ini memang singkat dan sekejap. Menunggu, tentu saja menghabiskan waktu. Aku akan berusaha mencarimu kembali, tak peduli engkau ada di mana kini. Jikalau takdir-Nya menghendaki kita bersama, Dia akan mempersatukan kita—bagaimanapun caranya, melalui kun-Nya.





Yogyakarta, 4 November 2012





Catatan:
1. Hanami : Dari kata "hana" yang berarti "bunga", dan "mi" atau "miru" yang berarti "melihat". Hanami merupakan tradisi melihat bunga sakura ketika musim semi tiba. Di saat seperti itu orang Jepang akan bersuka-cita berpiknik memadati taman-taman kota. Membawa bekal makanan, bahkan minuman keras, berbincang dan bernyanyi bersama.

2. Momiji : Mapel.

3. Bento : Makanan Jepang. 

2 komentar:

Asa G. Lizadi (o^__^o)v mengatakan...

Uwaaaaaah, terharuuuu, dahsyat mbaknya. *keplok-keplok* Kekuatan mengheningkan cinta emang luar biasah ahahahaha xD

Lia Wibyaninggar mengatakan...

Asaaaa.... Terima kasiiihhh...
*ikutan terharu*
Kemarin pas aku tunjukin tulisan ini ke Tuti, tiba-tiba dia mbrebes. Huhuhu.

Di postinganku selanjutnya, akan kucantumkan namamu. ahaha. Tunggu saja. :D