Senin, 09 Agustus 2010

Setangkai Rindu untuk Surga-Mu


Aku bermimpi melihat wajah ibu yang seterang rembulan tersenyum kepadaku. Sinar matanya yang berkilauan bak kejora menatapku penuh harap, penuh rindu. Ah, ibu. Wanita tercantikku—yang senyumnya bagiku—adalah senyum bidadari taman surgawi. Ingin aku memelukmu, ibu. Larut dalam dekapanmu yang bertahun-tahun kurindu. Tenggelam dalam keindahan kasih-sayangmu. Tapi, selarik cahaya yang menyilaukan mataku membuat segalanya berpendar, dan terkikis perlahan…
*

Aku tersadar. Nafasku tersengal. Hatiku masih bersuara, “Ibu, ibu!” Mimpi ini sama untuk yang kesekian kalinya! Masih terbayang di benakku paras ibu yang mengharu-biru. Menatapku haru, dan aku pun haru. Hingga basah pipiku waktu bangun, selalu.
Selalu dia yang mengusap pipi basahku. Bukan ibu.

“Mimpi, Nak?” Tanya lelaki itu lembut.

“Iya, Yah.”

“Entah kenapa aku ingin bertemu ibu di surga, Yah.”

“Bukankah kamu selalu bertemu dengannya di sela-sela mimpimu, Zahra?”

“Tapi, ibu selalu pergi sebelum aku berhasil memeluknya.”

Lantas, kutemui aliran air di pipi lelaki itu.
*

Sembilan belas tahun aku hidup tanpa ibu. Bahkan, mengecap nikmat “air kehidupan” darinya, aku tak pernah. Ibu sudah keburu pergi, sebelum sempat melihat rupa putri kecilnya. Gugur dalam perjuangannya “mempersembahkan” aku kepada dunia. Syahid. Lelaki itu yang dengan berbesar hati membesarkanku sendirian, siang-malam. Ayah. Sekaligus juga ibuku.

Waktu aku balita, dan sedang polos-polosnya, kutanya ayah tentang ibu. Lalu, bak seorang pencerita ulung, ayah berkisah panjang-lebar hingga mataku terpejam dibuai mimpi.

“Ibundamu sekarang di surga,” ucapnya mengawali cerita, sambil menatap sayang kepadaku waktu itu.

“Surga itu di mana, Yah?”

“Tempat yang jauuuh sekali. Sayang sekali, sekarang jalan ke surga sedang rusak, belum diperbaiki. Jadi, kita belum bisa ke sana, belum bisa bertemu ibu. Ayah yakin, sekarang ibu sedang merindukan kita. Seperti halnya kita, ibu juga pasti sedih tidak bisa bertemu kita. Tapi, para bidadari di sana selalu menghibur ibu, sehingga ibu bisa tersenyum lagi.”
Mataku selalu terpejam, meski sebenarnya aku masih tersadar. Jika aku tidak pura-pura tidur, pasti ayah tetap akan berkisah panjang-lebar tanpa henti dengan cerita yang sama setiap harinya (sebab, aku selalu menanyakan hal yang sama setiap malam). Setelah tahu aku merem, ia akan menghentikan kalimatnya begitu saja. Lalu, menarik selimut, dan mengecup keningku.

Ayah terlihat grogi begitu aku menanyakan, “Kapan jalan ke surga bisa kita lewati, Yah? Aku ingin bertemu ibu.” Setiap kali pertanyaan itu kuajukan, jawabannya selalu: “Ayah tidak tahu, Sayang. Mungkin, sebentar lagi.”

Aku yang memang tidak mengerti makna “sebentar lagi” itu bosan, ingin berontak, melihat kenyataan setelah beberapa tahun pertanyaan yang sama berulang, dan jawaban itu pun berulang. Sebentar lagi. Apakah “sebentar lagi” itu nanti jika dunia kiamat?

Usiaku menginjak pra-remaja ketika sepenuhnya sadar jika ibu memang tak akan pernah kembali, dan entah kapan aku akan bertemu di surga—seperti yang ayah kisahkan.

“Aku ingin memiliki ibu, Yah.” Ucapku suatu kali. Kupikir, setelah ini ayah akan menikah lagi. Tapi, tidak seperti dugaanku.

“Zahra tidak takut?”

Takut apa? Pikirku. Ayah mengira aku terobsesi dengan sinetron-sinetron bertema basi di tivi; penyiksaan ibu tiri terhadap anak tirinya. Lalu, lagu jadul itu: “Ibu tiri hanya cintaa…kepadaa…ayahku sajaa…”

Aku menggeleng.

Lantas, ayah memegang pundakku seraya berujar, “Di dada ayah, ada sepotong hati ibumu. Bertahun-tahun ayah menyimpannya, dan kini sudah menyatu dalam diri dan jiwa ayah.” (Tentu saja sekarang aku sudah memahami kalimat konotasi seperti itu.) Dan ayah tetap saja men-jomblo. Usiaku kini mengajakku memahami arti sebuah kata lima huruf dalam Bahasa Indonesia, yang berawalan huruf C dan berakhiran A: cinta. Itulah cinta ayah kepada ibu.

Aku begitu merindukan figur seorang ibu. Jika raut mukaku sudah terlihat merana karena rindu, ayah akan langsung menyodorkan foto-foto ibu dan segenap cerita cinta mereka berdua jaman dulu kala. Aih, hal itu justru membuat rinduku kepada ibu kian bertumpuk-tumpuk saja.

Tiap sendiri, kupandangi pigura yang membingkai indah wajah cantik ibu—yang seakan tersenyum padaku. Lalu, tanpa kusadari, setitik bulir bening menetes di atas wajah ibu: air mataku.

Ayah berkisah lagi (kali ini kisah nyata). Aku tahu, sebenarnya itu hanyalah sarana penghiburan untukku, supaya aku mengikhlaskan kepergian ibu.

“Wajah ibumu begitu cantik, justru ketika ia meninggal. Tak tergurat sedikit pun kepayahan di wajahnya. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Seakan-akan, sang malaikat maut telah menunjukkannya sebuah pintu surga yang lebar menganga untuk dimasukinya. Ketika ayah mencium kening ibumu untuk terakhir kali, ayah merasakan wangi kesturi menguar darinya…”

Ketika itu, dapat kurasakan mata air cinta yang mengalir lembut di jiwa ayah. Cinta ayah kepada ibu. Cinta sejati yang tiada putus-putusnya.
*

Aih, betapa tidak beruntungnya aku menjadi piatu. Ibu, ibu, ibu. Tiga orang pertama yang aku harus berbakti kepadanya. Namun, sebelum aku dapat menyapa dunia, beliau telah tiada. Aku hanya punya orang yang keempat.

Betapa tidak beruntungnya aku menjadi piatu. Aku tak pernah berkesempatan mencium surgaku. Di mana aku harus membaktikan diriku untuk meraih surgaku? Apakah di depan kaki ayah?

Dan aku sadar, kaki itu tak lagi kekar, kuat, lagi tangguh. Layaknya sepohon kayu yang rapuh menua dimakan zaman. Ringkih. Bagaimana aku tidak ingat? Ayah selalu menopang badanku lalu mengayunku dengan kakinya ketika aku kanak-kanak dulu.

Kaki itu bahkan tak kuasa lagi menopang badan pemiliknya yang lapuk-lekang dimakan usia. Apalah daya? Aku juga tak kuasa memberikan kakiku untuknya, sebagai ganti kasih-sayangnya selama ini. Lantas, kursi roda itulah gantinya. Apakah aku bisa disebut berbakti kepada orang keempatku ini—dan mungkin juga orang pertama, kedua, dan ketigaku?

Dia tergolek di kursi itu sudah setahun. Kecelakaan membikin ayah lumpuh. Dan akulah satu-satunya yang harus merawatnya. Sebab akulah satu-satunya putrinya. Satu-satunya buah hatinya dengan cinta pertama dan terakhirnya. Satu-satunya orang yang hidup dengannya. Sebab tak ada kata ‘istri kedua’ dalam kamus hidup ayah. Tak ada kata ‘ibu tiri’ untukku.

Rasanya, ingin aku bersimpuh di depan kaki ayah. Memeluknya dan menciumnya. Ah, seandainya surga ada di bawah telapak kaki ayah.. tentu aku akan bersuka-cita mencurahkan rasa baktiku kepadanya untuk menjemput surgaku. Ya Allah, mengapa dunia ini justru penuh dengan orang-orang durhaka yang mengkhianati cinta seorang bunda, di saat aku justru bingung kepada bunda yang mana baktiku akan bermuara.

Ya Rabb, izinkan aku membaktikan cintaku kepada orang keempatku ini, dan tentu saja… kepada-Mu.
*

Hari berlari, bulan berganti, tahun berbilang.

Dan kini… Ayah berpulang. Kembali dengan tenang. Dengan seulas senyum yang ia sunggingkan. Bahagia. Khusnul Khatimah. Dini hari tadi, ayah kembali. Usai aku melantunkan surah Yaasiin di sampingnya semalam suntuk.

Air mata merembes pelan-pelan dari sepasang manik mataku. Ya Allah, telah Kau ambil satu-satunya orang tercinta yang kumiliki dalam hidupku. Namun, ia adalah kepunyaan-Mu. Engkau berhak mengambilnya sesuka-Mu, kapan pun Engkau mau.

Aku tak layak menangisinya, sebab ayah bahagia. Berjumpa dengan ibu, tentu saja. Berjumpa dengan Rabb-nya, Sang Maha Cinta yang telah menjanjikannya surga.
Kukirimkan selaksa doa untukmu, ayah-bunda. Sebagai ladang amalanmu yang tiada putus-putusnya.

Kelopak-kelopak kamboja luruh membelai pipiku. Semilir angin mempermainkan ujung jilbab hitamku. Diri ini masih terpekur menyendiri. Menatap nisan yang masih baru, dengan nama ayah yang telah terprasasti di sana. Di sampingnya, nisan yang sudah kusam. Tulisannya sudah mulai hilang ditelan zaman. Nisan itu seumuran denganku. Nisan ibu.
Ayah, ibu, kalian telah bersanding kembali…

Kumpulkanlah kami kelak di Firdaus-Mu, ya Allah…

Dan kini, aku ingin mencurahkan baktiku, hanya kepada-Mu. Merintis jalan menuju surga-Mu. Tak peduli aral, terjal, segala perih, segala jerih.

Ah… Ayah, ibu, tunggu aku! Di atas tanah merah yang masih basah aku masih duduk terpaku. Aku ingin bersujud kepada-Mu.

2 komentar:

Lintangra mengatakan...

Goresan yang indah... Salam kenal ^_^

Lia Wibyaninggar mengatakan...

Terima kasih, Ai Lynn ^^