Rabu, 01 Desember 2010

“Rengkuh Asa Itu Lagi, Nak!”



24 April 2009


Asaku Putus


Kejoraku membiru kuyu
Airmata membeku
Hanya sanggup meratap
Tiada kuasa lagi menatap
Selaksa asa di langit-langit impian
Tinggallah sedu-sedan
yang merampas impian
Kini, cuma puing berserakan
Bertebaran menyeketsa kelam
Ah, aku seperti berjalan sendirian
Memeluk gulita yang senyap kesepian
Mencoba menuliskan kesedihan
yang tak jua berkesudahan
dengan tinta penghabisan
Ya Allah, ya Tuhan…
Sedih tak sudah ini hanya engkau yang paham
Dengan apa hamba harus menggantikan,
Agar Kau datangkan keajaiban?
Di mana harus kucari,
Bait suci pengobat hati
Agar sembuh
Hatiku yang remuk-redam…


*



Aku pulang dengan airmata yang membanjir. Aku takut. Kalut. Cemas. Ya Rabbi, apa yang barusan terjadi? Susah payah kutahan airmata yang terus memaksa keluar. Sudah berapa orang yang kulewati dan melihat mataku begitu merah dan sembab? Aku malu.



Di toilet putri, kupeluk Zeze—salah seorang teman sekelasku—yang tadinya mengajakku ke sana. Buang air kecil. Sedangkan aku, buang airmata. Kutumpahkan saja di sana. Mumpung tak ada siapa-siapa. Hanya Zeze saja. Dia terkejut melihatku terisak-isak.



“Aku takut, Ze.”



“Sama. Aku juga. Tenang, Lia. Kita pasti lulus, kok.” Hiburnya.



Sampai di rumah, meledaklah tangisku. Menggemparkan seisi rumah. Aku terus menangis, layaknya anak kecil saja, padahal aku sudah di penghujung masa putih abu-abu. Orang pertama yang membujukku berhenti menangis: ummi.



“Istighfar, Nak. Jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Allah Maha Tahu apa yang telah hamba-Nya usahakan. Kau kan sudah berikhtiar semampumu. Kau sudah belajar siang-malam dan les ini-itu, sekarang tinggal diserahkan kepada-Nya. Kau harus percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik.”



“Tapi aku tak bisa mengerjakannya, Ummi. Soal Matematika itu sulit sekali. Waktu yang ada tak cukup bagiku untuk mengerjakan soal sekian banyak itu. Aku hanya mengerjakan asal-asalan. Aku takut jawabanku salah semua. Ummi tahu kan? Satu mata pelajaran tak lulus, hancurlah masa depanku, Ummi. Meskipun nilai Bahasa Inggris dan yang lain delapan, sembilan… Percuma, Ummi…”



Aku terus menangis sepanjang hari. Tak peduli isaknya didengar tetangga. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Tiga tahun adalah perjuangan yang berat. Jelas aku takkan rela mengulang jika tidak lulus. Lantas, apakah harus mengikuti Ujian Paket C? Solusi macam apa itu? Kurasa itu tak adil jika seorang siswi sekolah bertaraf internasional keluar dengan ijazah Paket C. Aku heran dengan kebijakan menteri pendidikan di negeri ini. Ujian Nasional membuat segalanya runyam! Lalu, apa solusinya ketika kata “tidak lulus” itu menimpa? Tak heran jika banyak yang berakhir duka: menenggak racun tikus, gantung diri, atau bahkan terjun dari atas jembatan. Sungguh memprihatinkan. Bagaimana jika terjadi padaku? Tidak-tidak-tidak! Aku masih punya Allah untuk berserah, tak perlu menyerahkan diri pada racun tikus atau pun tiang gantungan. Astaghfirullahal’adziim… kusebut nama-Nya untuk menenangkan jiwa.



Ujian masih dua hari lagi. Besok Geografi. Namun aku sudah kehilangan konsentrasi. Tiba di sekolah masih menangis. Malu, sebenarnya. Tapi, aku tak kuasa menahan airmata.



Teman-teman menghibur.



“Sudahlah, jangan dipikirkan. Pikirkan Geografi yang ada di hadapanmu.” Icha berujar.



Kami berdoa bersama. Bergandengan tangan. Ya Allah, mudahkanlah ujian hari ini. Luluskan kami semua… Doa yang tulus. Doa persahabatan. Doa kebersamaan. Aku menitikkan airmata lagi. Kebersamaan seperti ini sungguh-sungguh mengharukan.



*



Ujian usai. Aku masih lesu. Hatiku masih diliputi resah. Galau tak berujung. Semua sudah berlalu. Allah, seandainya aku bisa meminjam waktu milik-Mu, kembalikan aku ke dua hari yang lalu, ujian Matematika itu…



Sukacita Adalah Dukacita yang Terbuka Kedoknya…


Dari sumber yang sama, yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir airmata.
Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain?
Semakin dalam Sang Duka menggoreskan luka ke dalam sukma,
Maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia.
Bukankah piala minuman pernah menjalani pembakaran, ketika berada dalam pembuatan?
Dahulu, bukanlah seruling penghibur insan, sebilah kayu yang pernah dikerati, tatkala dia dalam pembikinan?
Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, di sanalah pula engkau bakal menemui, bahwa sesungguhnya engkau sedang menangisi sesuatu yang pernah engkau syukuri.
Di antara kalian ada yang mengatakan, “Sukacita itu lebih besar dari dukacita.” Yang lain pula berpandangan, “Tidak, dukalah yang lebih besar dari suka.”
Tetapi aku berkata kepadamu: Bahwa keduanya tak terpisahkan.
Bersama-sama keduanya datang, dan bila yang satu bertamu di meja makanmu, ingatlah selalu bahwa yang lain sedang ternyenyak di pembaringanmu.
Sebenarnyalah engkau ditempatkan tepat di tengah timbangan yang adil. Menengahi kegembiraan dan kesedihan.
Hanya, pabila engkau sedang hampa, kau diam tak gerak dan seimbanglah takaran.
Ketika Sang Bendahara berkenan mengangkatmu untuk menguji berat emas-perak di pinggan, di saat itulah kesukaanmu dan kedukaanmu timbul tenggelam…


(diinterpretasikan dari pemikiran agung Kahlil Gibran)



Dan perkataan Sang Pujanggawan menjelma nyata dalam hidupku, di sebuah pagi. Ketika sebilah duka masih menancap di relung hati, dan bias kabut muram masih melingkupi setiap senti paras wajah ini…









25 April 2009


Kubuka Al-Quran, kubaca surah Ar-Rahman. Kubaca ayat demi ayat perlahan-lahan. Aku tergetar setiap kali bibir ini mengucapkan: Fabiayyi alaai rabbikuma tukadziban? Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?



Yaa Rahman… Sejak tadi malam jantungku berdentuman tak karuan. Hari ini pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang aku ikuti. Aih, aku gugup membayangkan peristiwa di depan…



Sembilan belas hari berlalu sejak tes masuk itu. Hari ini pengumuman yang mendebarkan itu. Huft, sudah sekali gagal diterima di perguruan tinggi, aku tidak mau terulang untuk yang kedua kali. Sebulan lalu, pengumuman seleksi salah satu perguruan tinggi di ibukota. Kecewa menggelayut di muka begitu icon berjudul “hasil seleksi” kutekan. Aih, perih… “Maaf, anda tidak diterima.” Kata-kata itu bagaikan hantaman palu godam yang meluluh-lantakkan impian.



Lantas, bagaimana dengan kali ini?



Sebelum bangun pagi tadi aku sempat bermimpi: aku adalah salah satu peserta yang lolos. Mimpi itu mengacaukan tidurku karena gelisah akan alurnya, hingga aku terbangun. Mengambil air wudhu, lantas sembahyang subuh dan tilawah. Aku tidak tenang. Isyarat apakah?



Kuberanikan membuka situs penerimaan mahasiswa baru. Kutekan sandi-sandinya. Namun, aku terlalu khawatir. Bagaimana jika aku ditolak lagi?



Mataku terbelalak. Benarkah?! Aku mengucek-ucek mataku layaknya orang yang baru bangun tidur dengan penglihatan yang masih kabur. “Selamat. Anda diterima di Fakultas Ilmu Budaya, program studi Sastra Inggris.” Begitu bunyi test result-nya.



Tadi bukan mimpi belaka, tadi isyarat Allah…



Hm, jurusan dengan grade paling tinggi di fakultas itu, dari universitas terbaik di negeri ini. Aku serasa kerdil, merasa tidak pantas. Allah menghadiahi aku anugerah terlalu mewah. Maka, apakah yang membuatku tidak bersyukur? Kalimat itu terngiang kembali di gendang telingaku: “Faabi ayyi ala’i rabbikuma tukadziban?” Nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kau dustakan? Sungguh, kalimat sangat indah yang membuat setiap insan terpikat. Allahu akbar! Aku tersungkur dalam sujud syukur.



Tak kusadari ummi yang sedari tadi ikut melihat pengumuman itu. Mata tuanya berkaca-kaca. Memancarkan binar haru. Ia memelukku erat. Tersenyum bangga menyaksikan hasil yang kudapat.



“Semalam ummi tahajjud… Lirih ummi berdoa, ‘Ya Allah, berilah yang terbaik untuk anak hamba…’ Dan inilah yang terbaik, Lia…”



Ah, terima kasih, Bunda…



Terima kasih, ya Rabb…



Mana mungkin aku tak berbahagia? Ketika aku masih bersedih mengenang ujian itu, Kau hadirkan kabar gembira untukku.



Setangkai harapan mekar seketika, menyemai bahagia yang sebelumnya sirna.



Namun, kabar gembira ini belum sepenuhnya indah. Pengumuman Ujian Nasional masih sekitar sebulan kemudian. Aku mengenang saat-saat itu, ketika ujian Matematika terasa begitu sulitnya, dan aku tak bisa menjawabnya dengan seksama, lembar jawaban itu hanya kuisi asal-asalan… Lantas, bagaimana bisa mendapat hasil yang memuaskan? Jangankan hasil yang memuaskan, bisa mencapai standar minimal saja aku sudah sangat bersyukur. Lalu, bagaimana jika aku… aku tidak…



Mendung kembali menggelayut di wajahku. Harapan itu layu lagi.









30 April 2009


Kampus megah itu begitu kemilau di depan mataku. Di sinilah kelak aku meneruskan langkahku menimba ilmu. Auditorium universitas itu penuh-sesak, berbagai macam model manusia tumplek bleg. Dari berbagai daerah. Entah, mungkin ada dari Sabang hingga Merauke. Mereka para calon—termasuk aku, tentu. Calon dokter, jaksa, hakim, pengacara, sastrawan, wartawan… Aih, indahnya membayangkan masa depan yang kemilau, sekemilau kampus ini…



Hari ini daftar ulang para calon mahasiswa baru. Ummi dan abi mengantarku. Begitu juga dengan para calon maba yang lain, orangtuanya turut serta—mengantarkan anak kebanggaan mereka. Tentu saja, bisa diterima di sini adalah sebuah kebanggan tersendiri. Apalagi kami melalui jalur tes yang lumayan ketat persaingan, bukan jalur ‘uang’ yang rata-rata bisa diterima dengan gampang.



*



Berita di televisi siang itu, seharusnya aku tak menontonnya….



Pengumuman Ujian Nasional kali ini diundur. Beberapa sekolah di beberapa daerah dikabarkan seluruh siswanya tidak lulus, sehingga harus menempuh ujian ulang. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Kenapa jadi kacau begitu?



Oh, ya Allah, bahkan perguruan tinggi idaman di negeri ini sudah positif menerimaku. Apa jadinya jika tiba-tiba musibah itu menimpaku pula? Di mana harus kutaruh harga diriku? Apakah senyum bangga ummi dan abi harus dipertukar dengan sebuah pernyataan kejam ‘tidak lulus’?



Dalam benakku seketika muncul bayang-bayang besar, sebuah tulisan raksasa yang berbunyi: TIDAK LULUS.



Kepalaku tiba-tiba ngilu. Pusing menjalari kepalaku.



*



Hari-hari berlalu di atas ranjang. Aku sakit. Macam-macam penyakit. Demam, maag, panas tinggi. Berjenis-jenis obat kutelan. Hanya pahit yang kurasa, selanjutnya tak ada perubahan apa-apa.



Ummi prihatin melihatku tertekan seperti ini. Melihat wajahku pucat pasi karena tak doyan makan berhari-hari.



“Yakinlah bahwa kamu pasti lulus. Berprasangka baik kepada Allah, bahwa Ia akan mengabulkan doa-doa tulus yang kita panjatkan. Ayo, mulai malam nanti kita shalat tahajjud berdua, ya.”



Perkataan ummi tak ubahnya ucapan suci bidadari yang turun membawa embun penyembuh galau jiwaku. Tak salah jika surga itu ada di telapak kakimu…



Di sepertiga malam terakhir kami bersimpuh di ujung sajadah. Tersedu. Mengadu. Aku teringat kalimat-kalimat indah itu. Kalimat yang pernah dituturkan oleh Baginda Rasulullah tercinta.



“Tuhan kami turun ke langit dunia di waktu malam tinggal sepertiga yang akhir. Maka Dia berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, pasti Aku perkenankan. Barangsiapa memohon kepada-Ku, pasti Aku beri. Dan siapa memohon ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni.’” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)



Sungguh, malam ini kami memohon kepada-Mu, ya Rabb-ya Rahiim. Hanya Engkaulah pemilik segala keajaiban…



Kembali kutekuri mushaf Al-Quran pelan-pelan. Dan luh itu berderai tak tertahankan. Ketika kubaca, inilah jawaban akan gelisahku yang membadai…



“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permintaan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah:186)









Awal Juni 2009


Sakitku belum mereda. Semalam aku muntah-muntah beberapa kali. Maag akut yang menderaku membuatku harus kembali menelan seonggok pil pahit.



Pengumuman masih beberapa hari lagi. Ah, rasanya aku ingin agar waktu diperlambat saja, sehingga aku tak akan pernah tiba di hari itu. Lihatlah wajahku yang kuyu. Bagaimana aku bisa bangkit, jika membayangkan peristiwa di depan saja aku sudah ngeri bukan kepalang?



Ya Allah, aku berpegang kepada-Mu. Segala keputusan-Mu adalah yang paling bijak….









15 Juni 2009


Air mataku merembes. Membasahi kerudung putih yang kukenakan. Seragam putih abu-abu ini takkan kupakai lagi setelah ini. Hari ini terakhir aku mengenakannya, hanya untuk bertandang ke sekolah mengambil sepucuk surat.



Ummi membaca surat itu dengan seksama. “Nilai Matematikamu memang tak seberapa. Tapi, kata-kata yang tertera di bawahnya sungguh sakti untuk membuatmu sembuh dan bisa tersenyum lagi, bukan?”



Aku mengangguk pasti. Sumringah, tiba-tiba dunia dunia berubah jadi indah. Inilah jawaban atas doa-doa yang kita panjatkan, Ummi…



Subhanallah walhamdulillah…



Hanya pinta, hanya doa. Sebab, hanya Dia—Yang Maha Mendengar segala doa. Dia, penggenggam kunci yang mengurai setiap masalah, setiap musibah.



Inilah yang lantas membuatku tak putus meminta, tak lelah menghamba. Sebab, Ia ada. Lebih dekat dari urat nadi kita. Tempat segala keluh-kesah bermuara.



“Siapakah yang pernah mengharapkan Aku untuk menghalau kesulitannya, lalu aku kecewakan? Siapakah yang pernah mengharapkan Aku karena dosa-dosanya yang besar, lalu Aku putuskan harapannya? Siapakah pula yang pernah mengetuk pintu-Ku, lalu tidak aku bukakan?” (Hadist Qudsi)



Tak ada, Ya Allah…Nikmatmu terlampau indah untuk dijabarkan, untuk diuraikan. Kau sediakan selaksa kebahagiaan ketika aku terpuruk karena setitik kesedihan.



Ah, kini aku tak ragu lagi menatap hari depan yang menyambutku dengan tangan terentang. Hari-hari muram itu kini berlalu…



Ummi tersenyum kepadaku—yang senyumnya bagiku, seindah senyum bidadari taman surgawi… “Rengkuh asa itu lagi, Nak!”

Tidak ada komentar: