“Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (An-Nuur:26)
Dalam sebuah proses
pernikahan, apalagi ketika ta’aruf, dikenal adanya istilah “sekufu” atau
“setara”, atau “selevel”, atau bisa juga kita artikan sebagai “kesepadanan”. Hal
satu ini merupakan salah satu kriteria yang umumnya dicantumkan dalam memilih
pasangan hidup. Ah ya, “setara” itu bisa diartikan macam-macam sebenarnya.
Lantas, “setara” seperti apa yang harus dipertimbangkan ketika ta’aruf?
Mengutip firman Allah dalam surat An-Nuur ayat ke-26, bahwa wanita yang
baik hanya untuk lelaki yang baik. Begitu pun sebaliknya, lelaki yang baik hanya untuk
wanita yang baik. Yang buruk hanya tertakdir untuk yang buruk pula. Benarkah
selalu seperti itu? Jika kita runut sejarahnya, nyatanya Fir’aun yang lalim
malah beristrikan Asiyah yang shalihah—sang penghulu wanita-wanita di surga. Wallahu’alam.
Artinya apa? Allah salah memberi janji? Oh, tentu tidak. Dengan ayat itu Allah
memperingatkan kepada umat Islam agar memilih manusia yang baik untuk dijadikan
pasangan hidup, bukan manusia yang buruk. Sebab pasangan (suami-istri) adalah
layaknya pakaian, yang saling melengkapi. Bagi yang belum menikah, mungkin bisa
diibaratkan masih “telanjang”. Saling melengkapi, karena satu sama lain
masing-masing memiliki kekurangan yang harus dilengkapi, memiliki kelebihan
untuk melengkapi. Alangkah naif jika ada pasangan yang bercerai hanya karena
dalih “tidak cocok lagi”. Analogi sepasang sepatu, jika kanan dan kiri sama
persis, apakah bisa dipakai untuk berjalan? Tentu tidak. Sepatu kiri dan kanan
berbeda, biar bisa dipakai oleh kaki kiri dan kanan sehingga ia bisa berfungsi
dengan baik.
Jika perbedaan adalah sebuah
keniscayaan, lalu bagaimana kaidah “kesepadanan” atau “kesetaraan” dalam
memilih pasangan hidup ini dimaknai?
Suatu ketika, ada seorang
akhwat yang curhat bahwa terkadang ia memiliki perasaan tidak pantas untuk
mendapatkan lelaki shalih, sebab ia sendiri merasa belum shalihah. Apakah itu
artinya mereka tidak sekufu? Belum tentu.
Kata Rasulullah saw, seperti halnya
kaidah menikahi wanita, lelaki pun dinikahi karena empat hal; karena
ketampanan, keturunan, harta, dan agamanya. Tentu saja yang diutamakan adalah
yang terakhir. Ada hadis yang mengatakan, “Bila datang laki-laki yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya (untuk meminang), maka nikahilah ia. Bila tidak kalian lakukan
akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.” Maka, bukan tidak
pantas mendapatkan yang shalih, namun belum pantas. Caranya, ya memantaskan
diri, menjadi semakin shalihah dari hari ke hari. Jika ingin mendapatkan jodoh
yang hafiz, pantaskanlah diri terlebih dahulu dengan berusaha menjadi hafizah.
Bagaimana dengan pendidikan?
Pendidikan pun bisa berarti macam-macam. Pendidikan formal, pendidikan agama,
pendidikan non-formal? Tak jarang, banyak yang menaruh kriteria, jika sang
istri sarjana, sang suami juga harus (minimal) sarjana. Takutnya nanti jika
tingkat pendidikan sang suami lebih rendah levelnya daripada istrinya, ada gap tersendiri, ada dampak psikologis
yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya. Misalnya, suami yang lulusan S1
intelektualitas dan wawasannya sekian persen, sementara istrinya yang cuma
tamatan SMP kadar intelektualitasnya jauh di bawah itu. Kadang ketika mereka
membicarakan sesuatu, nggak nyambung!
Itu mungkin terjadi, meskipun tidak mutlak. Nyatanya, banyak lulusan S1 namun cupu-nya minta ampun. Relatif. Artinya, level pendidikan formal bukanlah sebuah parameter
dalam memilih pasangan, meskipun boleh dimasukkan dalam kriteria karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Usia. Sudah jelas bukan. Suami berusia lebih muda daripada
istri sah-sah saja. Sebagaimana Rasulullah saw pun lebih muda daripada istri beliau
yang pertama, Khadijah radhiyallahu’anha. Sebab, usia yang lebih tua bukan
berarti sudah lebih dewasa dan matang secara psikologis.
Fikrah alias pemikiran.
Misalnya, bagaimana menikah dengan orang berbeda harakah? Jawaban yang pernah saya
dapat dari beberapa ustaz, sebenarnya boleh-boleh saja, asalkan tidak beda
akidah. Harus jelas dulu, fikrah yang berbeda itu di sisi yang mana? Namun,
disarankan mencari pasangan yang fikrahnya sama, sebab itu berkaitan erat
dengan visi dan misi pernikahan yang akan dibangun dalam kehidupannya. Jika
akhwat X yang dulunya aktif dalam siyasiy alias perpolitikan menikah dengan
ikhwan Y yang menganut pergerakan khilafah, bisa jadi akan terjadi benturan
pemikiran sebab keduanya tidak senada. Namun, ada juga ustaz yang berpendapat, justru perbedaan harakah itulah yang diperlukan. Sebab, menikah adalah perintah li diiniha, bukan li harakaha.
Nah, bagaimana dengan muslimah
yang menikah dengan laki-laki muallaf? Jelas nantinya malah sang istri yang
mengarahkan suaminya untuk menjadi muslim yang baik. Atau sebaliknya, lelaki
muslim yang menikahi perempuan muallaf. Tentu mereka belum sekufu dalam hal
agama, sebab yang satu sudah berjalan jauh, yang satunya lagi masih belajar
merangkak.
Apa pun itu, kaidah memilih
pasangan berdasarkan agamanya adalah yang paling utama dalam Islam. Bukan
berdasarkan nasabnya seperti tradisi orang Quraisy jahiliah, berdasarkan paras
seperti orang Nasrani, atau berdasarkan harta laiknya orang Yahudi. Yang dimaksud sekufu dalam agama bukan lantas berarti yang setara dalam hal keluasan ilmu agamanya. (jika demikian, siapa pula yang sekufu dengan Rasulullah?) Namun, sekufu--sama-sama khusyuk, memiliki visi-misi dan cita-cita yang sama dalam membangun peradaban Islam melalui pernikahan.
Suatu hari datang tawaran
kepada saya, seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sedang mencari calon
istri. Kriterianya mengagumkan, guru bahasa Arab, hafalan Quran dan hadisnya
mantap, dan pastinya pengetahuan agamanya luas. DEG! Sekufu-kah dengan saya
yang bahkan belum bisa bahasa Arab? Saya lempar itu kepada kakak tingkat saya
di kampus jurusan Sastra Arab (*ini agak menggelikan). Apa jawaban beliau? Kalau ada yang kriterianya bagus, shalih, dan
ditawarkan kepadaku, ya sudah itu buatku saja. Kenapa harus orang lain?
Memangnya kalau kamu bisa bahasa Jepang, apa suamimu nanti juga harus orang
yang bisa bahasa Jepang? Nah!
“Permasalahannya bukan hanya
pada tataran sekufu saja, namun saya belum siaaaappp.” Hm, lame excuse. Padahal upaya untuk selalu mengikhtiarkannya adalah
bagian dari mujahadah.
Rabbana hablana
milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban
lii
fiddini waddunya wal akhirah.
fiddini waddunya wal akhirah.
12 komentar:
Mba Lia? q tunggu kabar baiknya lo...hehe
Kabar baik yang mana, Dek?
Insya Allah ada kabar baik tahun depan. Doakan. Ehehe^_^
deuhh.. syg bgdd :p
Apa yang sayang banget, Mbak?
Yang kureject itu kah?
oh ini to
any comment or suggestion?
komentar saya: no comment :D
Baiklah...
Kalau ada statement yang salah, mohon dikoreksi Ustaz. :D
hanya untuk yang benar-benar siap :D
Maksudnyaaa?
"siap"? Emangnya maut juga bakal tanya Anda siap meninggal atau tidak?
*jleb!*
lho, kan kak Lia sendiri yg kemarin bilang seperti itu
-_-a
#roaming
Posting Komentar