Tampilkan postingan dengan label cahaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cahaya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Agustus 2017

Perkara Memaafkan




Saya pernah berada dalam fase susah sekali memaafkan seseorang. Saya pernah berada pada tahap membenci dan mendendam dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya menyesali pertemuan dan perkenalan dengan orang-orang yang hanya mampir menggoreskan luka saja. Sebenarnya, bensin yang disiramkan tidaklah seberapa, namun sungguh itu berpotensi mengobarkan api besar yang menyala-nyala. Terlalu sulit melupakan kejadian-kejadian lampau, sebab segalanya sudah terlanjur melekat di dalam ingatan. Saya mengingat dengan baik setiap kata dan sikapnya yang menyinggung perasaan. Setiap teringat, kebencian saya rasanya merebak lagi. Saya menjadi sensitif terhadap segala sesuatu atau siapa pun yang ada kaitannya dengan seseorang itu. Meski demikian, tetap saja saya penasaran dan berusaha menyelidiki kehidupannya melalui social media, walau acapkali membuka akun dia, selalu ada rasa benci yang belum padam sama sekali. Sungguh, saya belum terlalu paham bahaya penyakit ‘ain yang bisa saja muncul dari rasa dengki campur benci yang saya lontarkan ketika melihat akun dia.

Proses memulihkan batin ini tidaklah sebentar. Lalu, suatu hari saya mengetahui kalau seseorang itu terkena sakit. Tapi, hati saya masih saja keras: gitu aja diunggah, jelek bangetlah, norak. Cukup lama berselang, baru saya merenung tentang dendam yang masih belum padam. Apa jangan-jangan musibah yang dia alami salah satunya akibat ‘ain yang datang dari saya? Meski pembahasan tentang penyakit ‘ain ini telah ada di mana-mana dan berulang-berulang, materi ini memang rumit, tetapi nyata dan ada. Setan menunggangi rasa benci dan dendam saya terhadapnya, sehingga ia mengalami keburukan dalam hidupnya. Wallahua’lam. Saya tidak tahu apakah benar hal buruk yang menimpanya ada kaitannya dengan kebencian saya. Ah ya, mohon koreksinya jikalau ada kesalahan dalam pemahaman saya yang masih sangat dangkal.

Segala tausiyah, hadis, dan ayat tentang betapa mulianya memaafkan coba saya telan. Pelan-pelan, saya memohon kepada Allah supaya disembuhkan dari rasa sakit hati yang jika terus dipelihara akan semakin bertumpuk-tumpuk bagai sampah busuk. 

Fase pembersihan hati dari rasa tak suka ini belumlah usai, ketika suatu hari saya mengetahui kenyataan lain yang tidak menyenangkan melalui cerita seorang sahabat. Saya dan dia memang sudah agak lama “perang dingin”. Ia memang masih ada kaitannya dengan seseorang yang saya benci di atas. Kejadian di masa lalu dan ketidakterbukaan antara saya dan dia tak hanya membuat pertemanan kami renggang, namun juga seolah bagai bara di dalam sekam yang membakar diam-diam. Setahun lebih berlalu, namun ganjalan yang ditimbun dalam hati belum jua terungkapkan. Hingga suatu hari, akhirnya saya dan dia saling bercerita tentang apa yang sesungguhnya dirasakan dan dialami oleh masing-masing kami selama ini.

“Sebenarnya, aku ingin menjelaskan semuanya dari dulu, supaya tidak ada yang mengganjal di antara kita. Tapi, dulu ada yang ‘mengompori’ aku untuk mendiamkan kamu. Nggak usah menghubungi kamu lagi, nggak usah komen atau nge-like setiap postingan kamu di socmed. Andai aku tidak mendengarkan semua omongannya. Perempuan itu bilang kamu begini dan begitu. Menurutku, yang bikin seseorang itu menjadi ragu dan bersikap nggak enak kepadamu ya dia itu juga, kali.”

Saya tertegun. Siapa gerangan perempuan-di-balik-batu ini? Kenapa di belakang seolah meniupkan aroma adu domba antara saya dan teman baik saya pasca kami bermasalah? Saya lalu menceritakan apa yang sesungguhnya saya alami dan rasakan, karena saya paham, selama ini persoalan kami hanyalah perbedaan persepsi.

“Kenapa berbeda dengan apa yang kuterima ya? Sepertinya ada yang miss. Menurut sumber ceritanya nggak gitu lho.”

Sumber cerita yang ia maksud tak lain adalah orang yang sama, si perempuan-di-balik-batu. Ah, saya semakin tak paham, sekaligus tak menyangka. Rasa-rasanya, hati saya kembali terbakar. Dia bilang saya begini dan begitu? Mungkin kata-kata dia memang ada benarnya. Tapi bisa jadi itu hanya penilaian subjektifnya belaka. Namun, pantaskah itu dia lontarkan kepada orang lain? Lagipula, tahu apa sih dia soal hidup saya, sehingga berani memberikan judgement yang semena-mena? Tahu apa dia soal cerita yang sesungguhnya? Meski ia mengenal saya, mengapa sepanjang ini tak pernah ia beriktikad baik mencoba melakukan tabayyun atau klarifikasi yang selayaknya? Lalu, malah bertingkah bagai bara dalam sekam, bak duri dalam daging. Apa salah saya terhadapnya? Mengapa seolah-olah ia menyimpan rasa dengki kepada saya? Pertanyaan bercabang-cabang, mau tak mau menyemai prasangka negatif.

“Maafkan saja beliaunya. Anggap tidak ada apa-apa. Aku tahu itu berat. Aku tahu kamu pasti sakit hati. Tapi ya gimana?”

Bagaimanalah caranya mengikhlaskan begitu saja? Saya sudah terlanjur tahu cerita itu. Mungkin jika saya tidak tahu, perasaan sebal saya tidak akan pernah ada. Lalu, memaafkan itu sendiri juga proses, terkadang memakan waktu yang tidak sebentar.

Ah, sia-sia. Memikirkan kesalahan orang lain kepada kita hanya akan membuat gelisah dalam jiwa. Alangkah ruginya jika waktu kita dihabiskan dengan menggenggam dendam terus-terusan, padahal ia, ingat kita saja mungkin tidak. Ia hidup bahagia tertawa-tawa, piknik dan makan enak bersama kekasihnya. Kita tentu tak ingin merugi, sakit hati seorang diri. Kita ingin hati ini lapang, terbebas dari segala macam perasaan buruk yang menyelimuti.

“Doa, minta sama Allah supaya dilembutkan hatinya.”

Memaafkan juga merupakan proses belajar. Kejadian menyakitkan adalah ujian. Acapkali menemui kejadian tak mengenakkan hadir, kita sedang diuji. Namun, bukanlah pelajaran susah jika tidak tinggi nilainya di hadapan-Nya. Memaafkan perlu dilatih. Di depan, bentangan ujian itu akan selalu hadir. Kita tidak akan bersedia memelihara luka hanya karena sulit memaafkan setiap peristiwa menyakitkan, bukan?

Rabu, 25 Januari 2017

Jawaban Sebilah Doa




“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai tuhanku.”

(Quran Surah Maryam: 4)

Pertengahan tahun 2015, dengan malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan proposal penelitian untuk tesis.

Saya sudah lupa berapa persisnya jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu. Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?

Daftar doa selanjutnya tentu saja berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia 27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula. Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan, malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya, Buk.”

Tidak ada ibu yang alpa mendoakan kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter, perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan panutan pula.

Ruang kosong yang seharusnya diisi perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’ dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di mana pun kampusnya.

Hari itu mungkin ia tengah terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air. Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?

Selang beberapa bulan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa? Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib. Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya. 

Kemudian, adakah satu demi satu pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan sejuk dan menenteramkan.

Selang beberapa bulan setelah doa itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.


“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”


Bahkan saya sudah melupakan itu ada di daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati, namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau yang lain. ^_^

Pengerjaan tesis berjalan lancar, bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.

Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat semuanya tertunda dan tertunda.

Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus, dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah. Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.

Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’ itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan terbata-bata.

Maka jelas sudah, Dia belum memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya, untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain, dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan hingga saat ini.

Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya sendiri).

Saya masih ingat doa-doa yang didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar, tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap. Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin surut, justru bertambah-tambah.


“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.


Saya menjadi paham, dan keyakinan saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang didoakan.

Entah berapa kali doa Mbak Dita yang diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk pintu-Nya.

Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.

Ketika itulah kau mulai paham mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap permasalahan.

Kita memang tak pernah tahu kapan setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban. Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.

Kita hanya harus selalu percaya, bahwa di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia dalam bentangan takdir kehidupan kita.

Minggu, 25 Desember 2016

Bertahan Setabah Masyithah



Alangkah tak mudahnya mempertahankan ketimbang mendapatkan. Dulu kita mengaduh mencari-cari cahaya terang, namun kini seolah enggan mendekapnya. Sukar. Bak mengikat bayang-bayang.

Alangkah rajinnya engkau dulu, satu juz adalah menu wajib saban hari. Bahkan kau pantang tidur sebelum selesai. Sekarang, beberapa lembar saja kau sudah merasa sok payah. Ujarmu, meluruskan niat itu pun susah. Beberapa lembar dengan niat karena-Nya jauh lebih baik daripada satu juz namun karena disuruh guru ngaji atau teman-teman satu lingkaran. Lantas, bagaimana dengan hafalan? Tak pernah kau ulang lagi, raib entah ke mana rimbanya.

Alangkah tertutup dan santunnya engkau dulu, kerudung panjang dan baju longgar. Auratmu tertutup dari atas hingga ujung kaki. Kau nyaman karena merasa terlindungi dari panas terik dunia, maupun dari kaum adam yang tak baik—menggoda, mengajakmu pacaran dan semacamnya. Ini pun wujud kecintaanmu kepada-Nya, wujud kau mulai memiliki ghirah terhadap agama. Dakwah adalah dunia penuh cahaya, lingkaran cinta yang meruapkan atmosfer surga.

Sekarang, kerudungmu tak lagi mengulur menutup dada. Tak lagi tebal nan menutupi mahkotamu secara sempurna. Padahal dulu kau hafal betul perintahnya di surah apa ayat berapa. Pergi main bersama non-mahram adalah hal biasa. Kau bilang, kita harus mampu menyesuaikan diri di dunia kerja. Realistis, jangan idealis. Padahal rezeki itu Allah yang memberi. Begitukah balasannya?

Sebegitu mudahnyakah berubah? Ke mana istikamah? Kau mengeluh bahwa bertahan itu susah. Tak sabar mempertahankan ikrar cinta pada Rabb yang menciptakanmu. Padahal dulu seorang wanita meninggal disiksa dalam bejana air yang mendidih karena mempertahankan imannya. Langit memuliakannya. Kuburannya pun seharum namanya. Ah, bisakah kita bertahan setabah Masyithah? Apatah lagi setangguh Asiyah, seteguh Bilal bin Rabah,  manusia-manusia mulia di permulaan risalah.

Keteguhan hari ini serapuh kertas tua nan diringkihkan anai-anai. Setipis kulit bawang yang mudah terbang terbawa angin. Menjadi taat hari ini layaknya menggenggam bara api. Siapa pula yang sudi terbakar? Kau tidak ingin, katamu. Kemudian surga yang selalu kau yakini sebagai tempat kembali paling abadi itu seolah hanya sebatas angan di tidur malam nyenyakmu.



-pengingat yang saya tulis di Line pada suatu hari-

Selasa, 18 November 2014

Seberkas Cahaya Sederhana


Prambanan, Klaten. Februari 2013

"So hasten towards all that is good" (Quran, 2:148)

 
Gadis berkerudung cokelat gelap itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku—si kerudung merah muda, raut wajahnya sepertinya gembira sekali, hanya karena aku baru saja bilang, “Ingin ke Jepang.” Ya, sama sepertinya. Dia tadi juga bilang, “Ingin ke Jepang.” Dia mahasiswi Sastra Jepang? Entahlah. Yang jelas, ada setitik cemburu, ada dendam yang menggumpal, ada kecewa yang belum meluruh dari gumpalan emosi dalam diriku, usai mbak-mbak berkerudung lebar sekali—yang aku lupa namanya—itu memutarkan video berjudul Jejak-Jejak Mimpi, kisah si bapak dari Indonesia yang berjuang kuliah di Jepang.
“Sastra Jepang?” tanyaku kemudian kepadanya. Ia menggeleng. “Sastra Arab.” Aku ber-oh pendek. “Kamu jurusan apa?” dia balik bertanya. “Inggris,” jawabku pendek. “Tapi aku sebenarnya lebih ingin di Sastra Jepang,” lanjutku. “Sama,” katanya. Sialan video tadi, membuat keinginanku ke Jepang semakin memuncak ketika kenyataannya... Ah, sudahlah, lupakan perkara itu. Kami duduk bersebelahan di ruang kelas itu, C201. Ngobrol ngalor-ngidul. Dua kali aku bertanya namanya hanya gara-gara aku selalu susah mengingat nama orang di awal mula perkenalan. Ruangan itu tidak penuh, namun semua perempuannya berkerudung lebar. Aku bertemu lagi dengan mbak-mbak berkerudung lebar sekali itu, yang tempo hari menemukan tersasar di Koperasi Mahasiswa. Maklum, mahasiswi baru masih ingusan yang belum terlalu hafal kampusnya sendiri. Sudah bisa ditebak selanjutnya, kami berada di forum apa. Kerohanian Islam fakultas.
Dari obrolanku dengannya sesiangan itu, setidaknya ada empat fakta yang mendekatkan kami: merasa salah jurusan, ingin ke Jepang, ingin bergabung di rohis fakultas, kota kelahirannya bersebelahan dengan kota kelahiranku, dan sama-sama suka menulis. Di ujung jalan Sosio-Humaniora kami berpisah setelah saling bertukar nomor handphone, berjanji akan saling menghubungi esok hari, kemudian bertemu lagi di tempat kami berpisah hari ini. Esoknya, di tengah riuh suasana pasar minggu pagi alias Sunday Morning ia menghampiriku lagi. Sambil menelusuri sepanjang area sunmor, selalu ada cerita tentang apa saja. Ah, ini masihlah awal mula. Kenal juga baru kemarin. Ia orang baru bagiku. Namun entah, rasanya bagai de javu, seperti kami sudah saling mengenal sejak lama.
Di kamar kosnya yang sempit dan sederhana kami kembali bertukar cerita mengenai apa saja. Ia sekamar berdua dengan temannya, namun tak terlalu akrab. Ia seolah kesepian. Lagi-lagi sama, aku pun kesepian di rumah kosku. Lalu, ia menunjukkan buku lusuh berisi tulisan-tulisan tangannya. Ia mengarang cerita di situ. “Kenapa nggak pakai laptop saja?” aku tergugu. Ia tak punya benda canggih itu. Kali ini berbeda denganku, aku telah dibekali laptop sejak kelas dua SMA, tulisan-tulisan rapiku telah banyak yang menumpuk di sana. Lantas, bagaimana cara ia mengerjakan tugas? Sementara ini, ia masih mengandalkan pinjaman dari teman-temannya. Jika aku, si sulung yang manja ini bertukar nasib dengannya, tentu aku tak tahan untuk tak merajuk kepada orang tua dengan berbagai alasan supaya dibelikan.
Di bus antarkota yang kami tumpangi dari Yogyakarta menuju kampung halaman, barulah aku tahu bahwa ibu tercintanya telah pulang ke haribaan Yang Maha Kuasa. Ayahnya menikah lagi dengan janda yang memiliki putri seusia dengannya, sementara kakak lelakinya semata wayang telah berkeluarga. Aku tidak berani menanyakan sebab ibundanya berpulang, tak ingin ada air mata yang bisa jadi tiba-tiba turun karena tanyaku yang frontal. Sudah pasti aku tidak akan mampu jika harus bertukar nasib dengannya. Ada sejuta syukur yang ketika itu harus kugumamkan dalam hati.
Hari-hari selanjutnya, sungguh, ia menjadi teman yang cocok bagiku, meski dipisahkan oleh tempat tinggal dan jurusan yang berbeda. Ialah yang kemudian mengenalkanku pada “lingkaran cinta” dan murabbi kami yang pertama. Bersama mereka ada segenggam ruapan aroma surga setelah penat dan dahaga melanda hari-hari kuliah. Ah, tentu aku selalu rindu tempat syahdu itu, lantai marmernya yang dingin, gemericik air mancur di halamannya, serta raut wajah bahagia para perindu surga... Bersama mereka aku—si naif ini, mulai bermetamorfosa.
Ketika itu kami memiliki cita-cita yang sama: bergabung di organisasi kepenulisan. Namun, aku gagal pada akhirnya, dan dia lulus. Tak penting membahas rasa kecewa, sebab aku berjanji dalam hati untuk tetap menulis, bagaimanapun caranya. Toh bergabung di organisasi semacam itu tak akan menjamin aku akan jadi penulis betulan. Ah, lupakan. Yang pasti, kami tetap masih sering hang out bersama, makan bersama, pinjam-pinjaman buku bacaan, bahkan ia rela berjalan kaki lumayan jauh dari kosnya ke kosku waktu itu demi menemaniku dua malam. Ya, jalan kaki. Alasannya sederhana, karena tak memiliki kendaraan pribadi, kami kemudian terlatih menjadi “pejalan tangguh”. Bahkan, di akhir-akhir masanya di Jogja, ia masihlah seorang muslimah tangguh. Mengayuh sepeda jauh sekali ke tempat yang menjadi amanahnya usai lulus.
2011. Kami masih sama-sama menjadi pengurus harian di lembaga dakwah fakultas. “Lia ikut ya...” Meski tak ada emoticon di teks yang dia kirim padaku saat itu, aku bisa menebak ekspresinya yang menghiba. Aku bimbang. Antara kasihan dan tidak berani menghadapi risiko. Rasanya ada tangis yang ingin luruh. Terharu akan keberanian dua sahabatku seperjuangan itu, sekaligus sedih akan diriku yang lembek, tidak bernyali besar seperti mereka. “Mereka mengancam... kita disuruh bawa teman,” lanjutnya. Ya Rabbi, Ramadan itu mereka rela pulang dari kampus menjelang sahur, tak peduli ada air mata yang jatuh satu-persatu setelahnya. Jika dakwah itu cinta, maka sudah selayaknya cinta menuntut pengorbanan dari masing-masing kita. Ah, sungguh, aku masih belum mampu mencinta seperti mereka. Kubalas pesannya dengan sejuta keraguan, “Maaf, aku nggak bisa...” Namun, alhamdulillah, perjuangan itu pada akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
Di masa-masa akhir kuliah, kami sudah tidak serekat awal masa di kampus dulu. Memiliki kesibukan masing-masing yang tak lagi di organisasi yang sama. Menyibukkan diri dengan skripsi, mengejar target wisuda. Agustus 2013, aku wisuda terlebih dahulu, sementara ia masih berproses dengan skripsinya. Setangkai mawar putih dihadiahkannya untukku. Bahkan hingga masa perpisahan aku sama sekali belum memberi sesuatu yang berarti baginya. Ia telah memberiku gantungan berinisial L yang malangnya hilang begitu saja ketika aku Kuliah Kerja Nyata di luar Jawa. Satu yang masih tidak berubah darinya: sederhana dan apa adanya. Tak ada polesan make-up, aksesoris, baju modis, apalagi kesan glamour. She’s so simple and humble. Juga bukan idola dan populer di dunia nyata maupun maya.
Aku masih selalu ingat catatannya yang jujur untukku di lingkaran cinta kami episode sekian: “Lia, kan udah gede, porsi manjanya dikurangi ya...” Ahai, aku juga masih belum berubah: si sulung yang manja. Menurutnya aku pengingat baginya, dia juga pengingat bagiku. Kami adalah cermin satu sama lain. Seperti pesan yang kuterima di hari jadiku: ukhuwah adalah cermin untuk saling mematut diri dalam rangka memperbaiki diri untuk meraih rida Ilahi.
Belakangan baru kuketahui ia penyuka hijau meski barang-barangnya tak selalu identik dengan hijau, berbeda denganku yang hampir segala barangku berwarna merah muda. Ia hijau yang sederhana, namun tidak dengan pengetahuan dan cara berpikirnya. Ia sederhana, seperti Jogja yang sederhana pula. Namun nyaman bersahaja dan dirindukan semua yang mengenalnya. Akhir 2014 kuterima kabar "mengejutkan" bahwa ia baru saja memenangi sebuah kompetisi menulis novel inspiratif. Jauh-jauh hari sebelum deadline lomba, aku sudah seenaknya saja memesan soft copy-nya, namun ia tak keberatan dengan pintaku dan dengan entengnya mengirimkannya melalui surel. Di ujung pembicaraan, aku menjanjikan editan jika di novelnya masih banyak yang salah atau typo. Namun, atas nama kesibukan dengan kuliah aku menyalahi janjiku sendiri. Atas nama kesibukan dengan kuliah pula aku menolak anjurannya untuk juga mengikuti lomba menulis itu. Maka, inilah aku, yang telah kalah sebelum bertanding. Sementara ia, tetap berjuang semampunya, tak menyerah hanya karena malas yang mendera. Kurasa, itu hadiah dari Tuhan untuknya, untuk setiap peluhnya dalam menulis--menyampaikan kebaikan. Tidak, ia tidak menulis cerita cinta-roman-yang berkutat dengan masalah perasaan nan menye-menye seperti yang biasa aku lakukan. Ia menulis tema yang sama sekali berbeda, sesungguhnya sederhana, namun tidak banyak orang yang mengangkatnya untuk dijadikan novel. Itulah mungkin, mengapa sang juri memilihnya menjadi juara.
 7 Maret 2015. Hari itu kami bertemu kembali di Istora Senayan, Jakarta. Ia berbicara di depan sebagai pemateri acara bincang-bincang kepenulisan, sekaligus peluncuran buku perdananya. Sungguh, aku iri. Aku hanya memajang mimpiku rapi di lemari buku. Sesekali kubuka jika keinginanku bangkit lagi, dan kututup jika aku sedang merasa itu tak perlu, kemudian sibuk dengan dunia yang lain.
"Jadilah cahaya di manapun kamu berada." Sebenarnya kalimat yang ia tulis di bukunya untukku (sekaligus dibubuhi tanda tangan) itu bukan untukku seorang, untuk yang lain juga. Namun, sepulangnya aku dari berjumpa dengannya, kalimat itu utuh membekas. Menjadi cahaya? Sejak beberapa tahun silam--semenjak hijrah, aku seolah hidup di lingkungan yang membuatku terlihat berbeda, hingga kini. Banyak dari mereka yang enggan melaksanakan perintah Tuhan, meski hanya sembahyang lima menit saja, dan lebih memilih sibuk dengan dunia sepanjang waktu. Di titik ini, jika ajakan sudah tak mempan, aku hanya bisa diam dan menggumamkan doa saja. Di titik ini, aku hanya punya satu pilihan: bertahan. Bertahan untuk tetap menjadi hamba-Nya yang patuh. Meski sendirian. Meski arus kehidupan tak selamanya tenang, namun menghanyutkan. Meski hanya menjadi seberkas lilin--yang tak lebih terang dibandingkan lampu neon, ia akan tetap menyala selama batangnya belum habis meleleh. Begitu pun seharusnya kita yang menginginkan berlomba dalam kebaikan. "Fastabiqul khairat, Li. Berlomba-lomba dalam kebaikan." Aku ingat dulu ia sering berkata seperti itu, sekarang pun masih. Bukankah itu juga perintah Sang Maha Pemilik Cahaya? Maka, begitu pun seharusnya aku, kamu, kita semua.
Menjadi cahaya di manapun kita berada.





Aku memang harus belajar banyak darimu