“Guru itu bukan
manusia, mereka zombie yang bangkit dari kuburan.”
Demikian
salah satu kalimat saya ketika menulis Seragam
Putih-Hijau: Memoar Masa Kanak yang berkisah tentang masa Madrasah
Ibtidaiyah (setingkat SD). Lepas dari madrasah yang “super-angker” itu, dunia
seolah bertransformasi menjadi cerah. SMP yang menjadi jenjang menimba ilmu
saya berikutnya menawarkan suasana yang sungguh berbeda. Guru-gurunya
bersahabat, masih muda-muda, dengan metode belajar-mengajar yang tidak itu-itu
melulu, serta bisa menjadi teman curhat. SMP swasta itu masih baru, masih orok, guru-guru yang direkrut juga
rata-rata masih dalam proses “menjadi”, belum matang seutuhnya. Namun, justru
di situlah kelebihannya. Membuat sesuatu yang baru lebih mudah daripada
mengubah. Apalagi mengubah paradigma. Ketika itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dan Quantum Teaching-Learning
begitu digaung-gaungkan. Itulah yang SMP swasta tersebut coba untuk diterapkan.
Konsep baru dengan bibit-bibit (guru) baru yang mudah menerima paradigma baru.
Maka, benarlah ketika saya menjejakkan kaki ke jenjang SMA yang notabene SMA
negeri, dunia kembali “suram”. Guru-guru lama jaman bahuela (tapi belum pensiun juga) yang mendominasi masih saja
menerapkan konsep belajar-mengajar konvensional yang menawarkan ketidaknyamanan
selama di sekolah. Tampak sekali bahwa konsep KBK, QTL, CTL, atau apapun itu
akhirnya hanya sekadar label yang melekat saja. Tidak mudah mengubah paradigma
atau pola berpikir guru-guru lama dengan konsep ajar baru. Menyedihkan ketika
mengetahui bahwa di sekolah itu bukan hanya 1-2 (tapi banyak) guru yang
dilabeli “guru killer, angker, bagai Hitler” oleh murid-muridnya, bahkan gelar
itu menempel pula pada guru Bimbingan Konseling (BK)—yang seharusnya bisa
menjadi “tempat mengadu” jika siswa bermasalah di sekolah.
Menyelami
Gurunya Manusia membuat saya tertegun
pada akhirnya. Sang penulis—Munif Chatib secara lugas dan bernas memaparkan
konsep pendidikan yang humanistik, menarik, dengan bahasa yang ringan dan mudah
dipahami, beserta contoh-contoh yang inspiratif dan aplikatif. Tesisnya, Islamic Quantum Learning cukup
menggemparkan dan sampai sekarang dijadikan referensi yang diminati di
Supercamp Oceanside, California, Amerika Serikat—sekolah yang dipimpin oleh
Bobbi DePorter (penggagas Quantum
Teaching-Learning). Pak Munif Chatib menemukan bahwa nilai-nilai islam
adalah nilai-nilai terbaik dalam penerapan penokohan dan pembangunan karakter
yang diajarkan di sekolah-sekolah. ibaratnya, air sumur itu adalah nilai islam,
dan mereka menyedotnya dengan mesin yang canggih. Sedangkan kita di Indonesia
atau di sekolah-sekolah islam mengambil air itu dengan timba bocor. Jadi,
kelemahan kita terletak pada metodologi, ujarnya.
Di
manakah negara dengan pendidikan terbaik dunia itu berada? Jepang? Bukan.
Belanda? Bukan. Amerika Serikat? Juga bukan. Indonesia? Apalagi! Lantas? Saya
merasa perlu mengobrak-abrik peta dunia untuk tahu di mana negara yang masih
asing di telinga saya itu berada: Finlandia. Bab pertama Gurunya Manusia mengajak kita mengintip sekilas pendidikan di sana.
Kegiatan sekolah di Finlandia hanya 6 jam per hari. Pelajar akan masuk sekolah
pukul 08.00 dan pulang pukul 13.00, tidak ada yang namanya full-day school. Ketika itu, menjadi siswi SMA dengan embel-embel
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah sesuatu yang wah, full-day
school adalah salah satu yang menjadi pembeda antara kami dengan
mereka—siswa kelas reguler. Bimbel khusus untuk mapel sains adalah makanan
wajib sehari-hari mulai pukul 13.00 hingga 16.00. Belum lagi bagi siswa-siswi
(termasuk saya) yang dulu mengambil intrakurikuler beladiri, karena jadwalnya
yang sore, usai bimbel kami langsung ganti baju olahraga dan push-up-sit-up untuk pemanasan sebelum
latihan. Malamnya? Belajar? Bukan. Tepar!
Seperti
halnya di Jepang, Finlandia menempatkan guru sebagai profesi yang terhormat,
anggaran pendidikan menjadi prioritas utama, gaji guru di sana rata-rata 2.311
dollar per bulan. Jika mau mengorek luka lama, tengok kembali puisi Pak Winarno
Surakhmad yang sempat membuat salah satu mantan wakil presiden kita berang,
pada salah satu barisnya tertulis, “guruku malang, hidup sebulan dengan gaji
sehari”. Maka jangan heran, ketika generasi-generasi baru bangsa ini—anak-anak
kecil, ditanya apa cita-cita mereka di masa depan, jarang sekali yang ingin
menjadi guru. Guru melarat, suka marah-marah pula. Wah-wah. Parah.
Para
guru di Finlandia menggunakan strategi belajar-mengajar dengan memerhatikan multiple intelligences semua siswa.
Tenaga pendidik di negeri ini sering terjebak memahami kemampuan dalam arti
sempit, yaitu pada ranah kognitif saja, sehingga penilaian pandai/tidaknya
siswa hanya terjebak pada angka di rapor. Nah, Ujian Nasional nan penuh polemik
merupakan bukti nyata kegagalan pemahaman mengenai kemampuan tersebut. Bagaimana
menilai aspek afektif dan psikomotorik? Itu masih menjadi PR yang belum selesai
bagi para tenaga pendidik di negeri ini.
Para
guru di Finlandia menghindari menvonis siswa dengan mengatakan “Kamu salah!”
karena mereka menganggap sebagai hal biasa jika siswa melakukan kesalahan,
termasuk dalam mengerjakan soal-soal. Berbanding terbalik dengan rentetan
peristiwa masa sekolah yang hingga kini masih terekam di benak saya. “Goblok ki ojo dipek dhewe!”,
“sing salahe luwih saka sepuluh,
mbrangkang!”,
“sing ora nggarap PR, metu, nggarap neng
njaba, dijejer.”
Sama sekali tidak manusiawi. Astaghfirullah.
Tentu saja hal-hal seperti itu menciptakan trauma, selanjutnya di benak siswa
guru adalah monster. Sekolah adalah neraka. Lebih baik sakit daripada harus
masuk sekolah. Jika demikian, pendidikan yang menjadi tombak kemajuan akan
dibawa kemana?
Pak
Munif membagi jenis guru ke dalam tiga kelompok berdasarkan kemauan untuk maju.
Pertama, guru robot. Guru jenis ini hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang.
Saya teringat guru-guru Bahasa Indonesia jaman SMA yang hampir semuanya mirip
dengan definisi di atas. Bermuka masam, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan textbook banget. Ahai, bagaimanalah kami bisa semakin menghargai dan
mencintai bahasa sendiri? Kedua, guru materialistis. Guru seperti ini sangat
hitung-hitungan dalam mengajar, mirip dengan aktivitas jual-beli. Ketiga,
gurunya manusia. Ia adalah guru yang punya keikhlasan dalam belajar dan
mengajar. Guru yang sebenar-benarnya guru. Di mata gurunya manusia, semua anak adalah juara. Semua memiliki intelejensia yang berbeda-beda. Amat sangat naif jika melekatkan kata "bodoh" kepada siswa hanya karena nilai matematika yang serupa telur dan angsa. Maka, gurunya manusia adalah guru yang selalu siap melakukan discovering ability, memahami bahwa kemampuan tidak terbatas pada angka yang tertera di rapor saja.
Johan
Friedrich Herbart (1776-1841), seorang psikolog, filsuf, dan guru asal Jerman
adalah orang pertama yang mengenalkan teori Apersepsi. Filosofi mendasar dari
teori ini adalah manusia adalah makhluk
pembelajar. Teori Apersepsi inilah yang kemudian diadopsi ke dalam konsep Gurunya
Manusia. Herbart membagi apersepsi menjadi tiga tahap, yakni penerimaan
rangsangan, ingatan, dan pemahaman. Sumber apersepsi pun ada banyak, salah
satunya adalah Alpha Zone atau Zona
Alfa (salah satu gelombang otak di mana seseorang dalam kondisi relaks tapi
waspada, sehingga tepat untuk belajar). Musik, menjadi salah satu faktor yang
diyakini dapat mengembalikan gelombang otak kembali ke zona alfa. Meski SMA
saya notabene sekolah negeri yang ketika itu masih sarat dengan guru-guru
konvensional, namun nampaknya teori musik ini sudah diterapkan dengan baik. Musik
instrumental Kenny G. yang melantunkan Titanic
atau score Numb-nya Linkin Park
menjadi penanda jam masuk dan istirahat. Bagaimana jika menyetel murattal Alquran saja? Saya yakin jika
itu diterapkan, yang mendengar tak hanya kembali ke zona alfa, namun lebih dari
itu! Selain musik, fun story dan ice breaking juga dikatakan bisa menjadi
pintu gerbang meraih zona alfa.
Jika
pernah menonton film Sang Pemimpi
yang mengisahkan masa SMA Andrea Hirata, kita akan diajak berkenalan dengan
guru muda bernama Pak Balia. Guru inspiratif yang menjadi penyuluh mimpi-mimpi
Ikal dan Arai. Guru yang di awal pertemuan selalu bersemangat meneriakkan, “Para pelopor, sebelum
kita memulai pelajaran hari ini, pekikkan kata-kata yang memberimu inspirasi!”.
Guru yang berbanding terbalik dengan sang kepala sekolah yang mengajar dengan
gaya menindas.
Menjadi
guru adalah menjadi seniman tingkat tinggi, sebab mereka diharuskan menghadapi
manusia. Jika mau menelusuri, saya yakin tak banyak guru seperti Pak Balia.
Namun, saya pun yakin, usai menamatkan membaca buku ini, Gurunya Manusia mulai
bertumbuh perlahan sebagai penyuluh lilin dalam kegelapan.
Hingga
nanti, senandung Hymne Guru yang
lirik awalnya berbunyi, “Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…” tidak lagi
menjadi ironi sebab tingkah-laku guru yang tak patut digugu lan ditiru sudah enyah dari muka bumi ini.
“If you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” –Albert Einstein
Judul: Gurunya Manusia
Penulis: Munif Chatib
Paperback, 254 pages