Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Januari 2017

Jawaban Sebilah Doa




“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai tuhanku.”

(Quran Surah Maryam: 4)

Pertengahan tahun 2015, dengan malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan proposal penelitian untuk tesis.

Saya sudah lupa berapa persisnya jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu. Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?

Daftar doa selanjutnya tentu saja berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia 27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula. Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan, malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya, Buk.”

Tidak ada ibu yang alpa mendoakan kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter, perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan panutan pula.

Ruang kosong yang seharusnya diisi perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’ dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di mana pun kampusnya.

Hari itu mungkin ia tengah terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air. Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?

Selang beberapa bulan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa? Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib. Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya. 

Kemudian, adakah satu demi satu pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan sejuk dan menenteramkan.

Selang beberapa bulan setelah doa itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.


“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”


Bahkan saya sudah melupakan itu ada di daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati, namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau yang lain. ^_^

Pengerjaan tesis berjalan lancar, bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.

Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat semuanya tertunda dan tertunda.

Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus, dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah. Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.

Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’ itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan terbata-bata.

Maka jelas sudah, Dia belum memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya, untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain, dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan hingga saat ini.

Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya sendiri).

Saya masih ingat doa-doa yang didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar, tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap. Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin surut, justru bertambah-tambah.


“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.


Saya menjadi paham, dan keyakinan saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang didoakan.

Entah berapa kali doa Mbak Dita yang diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk pintu-Nya.

Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.

Ketika itulah kau mulai paham mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap permasalahan.

Kita memang tak pernah tahu kapan setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban. Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.

Kita hanya harus selalu percaya, bahwa di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia dalam bentangan takdir kehidupan kita.

Minggu, 25 Desember 2016

Bertahan Setabah Masyithah



Alangkah tak mudahnya mempertahankan ketimbang mendapatkan. Dulu kita mengaduh mencari-cari cahaya terang, namun kini seolah enggan mendekapnya. Sukar. Bak mengikat bayang-bayang.

Alangkah rajinnya engkau dulu, satu juz adalah menu wajib saban hari. Bahkan kau pantang tidur sebelum selesai. Sekarang, beberapa lembar saja kau sudah merasa sok payah. Ujarmu, meluruskan niat itu pun susah. Beberapa lembar dengan niat karena-Nya jauh lebih baik daripada satu juz namun karena disuruh guru ngaji atau teman-teman satu lingkaran. Lantas, bagaimana dengan hafalan? Tak pernah kau ulang lagi, raib entah ke mana rimbanya.

Alangkah tertutup dan santunnya engkau dulu, kerudung panjang dan baju longgar. Auratmu tertutup dari atas hingga ujung kaki. Kau nyaman karena merasa terlindungi dari panas terik dunia, maupun dari kaum adam yang tak baik—menggoda, mengajakmu pacaran dan semacamnya. Ini pun wujud kecintaanmu kepada-Nya, wujud kau mulai memiliki ghirah terhadap agama. Dakwah adalah dunia penuh cahaya, lingkaran cinta yang meruapkan atmosfer surga.

Sekarang, kerudungmu tak lagi mengulur menutup dada. Tak lagi tebal nan menutupi mahkotamu secara sempurna. Padahal dulu kau hafal betul perintahnya di surah apa ayat berapa. Pergi main bersama non-mahram adalah hal biasa. Kau bilang, kita harus mampu menyesuaikan diri di dunia kerja. Realistis, jangan idealis. Padahal rezeki itu Allah yang memberi. Begitukah balasannya?

Sebegitu mudahnyakah berubah? Ke mana istikamah? Kau mengeluh bahwa bertahan itu susah. Tak sabar mempertahankan ikrar cinta pada Rabb yang menciptakanmu. Padahal dulu seorang wanita meninggal disiksa dalam bejana air yang mendidih karena mempertahankan imannya. Langit memuliakannya. Kuburannya pun seharum namanya. Ah, bisakah kita bertahan setabah Masyithah? Apatah lagi setangguh Asiyah, seteguh Bilal bin Rabah,  manusia-manusia mulia di permulaan risalah.

Keteguhan hari ini serapuh kertas tua nan diringkihkan anai-anai. Setipis kulit bawang yang mudah terbang terbawa angin. Menjadi taat hari ini layaknya menggenggam bara api. Siapa pula yang sudi terbakar? Kau tidak ingin, katamu. Kemudian surga yang selalu kau yakini sebagai tempat kembali paling abadi itu seolah hanya sebatas angan di tidur malam nyenyakmu.



-pengingat yang saya tulis di Line pada suatu hari-

Senin, 24 Agustus 2015

Catatan untuk Sang Mawar #2






When you are standing in front of the mirror
Look at your face, your hair and your body
Think that you are ugly and feel like terror
Contemplate that you have made from an error
Your self reflection makes you feel giddy
When you are standing in front of the mirror
(Ugly-Novita T. L.)

Nukilan villanelle (salah satu jenis puisi Inggris) gubahan salah satu teman saya bertitel Ugly (Jelek) tersebut lantas mengingatkan saya akan beberapa iklan yang menjamur bak cendawan di negeri ini. Mulai dari alat peninggi badan, pelangsing tubuh, produk perawatan dan pemutih kulit yang segambreng-gambreng banyaknya, hingga perawatan rambut. Berbagai macam salon dan rumah cantik dengan pelbagai fasilitas yang ditawarkannya juga sudah tak terhitung jumlahnya, seakan-akan kata “cantik” adalah kebutuhan primer bagi semua kaum wanita. Kadang, tanpa disadari, citra “cantik” yang dibangun oleh iklan dan salon di negeri ini tak lepas dari: tinggi, putih, langsing. Sedangkan jelek adalah: pendek, hitam, gemuk. Setidaknya, begitulah bayangan diri yang muncul ketika si tokoh dalam puisi tersebut menghadap cermin, hingga ia merasa terteror oleh bayangannya sendiri, dia berpikir betapa buruk wajahnya, lantas merasa putus asa.

Merawat diri demi kecantikan tentu bukanlah sesuatu yang dilarang, sepanjang itu baik bagi perempuan itu sendiri dan tidak berbahaya bagi dirinya. Penampilan yang bersih dan cantik tentu akan menumbuhkan rasa percaya diri. Di samping itu, merawat diri merupakan salah satu bentuk syukur kita terhadap karunia-Nya. Namun, tak sedikit pula kini, anugerah Allah berupa paras yang rupawan menjadikan banyak perempuan bak reinkarnasi Narcissus masa kini. Bedanya, Narcissus dalam kisah itu seorang lelaki. Konon, setiap hari ia berlutut di tepian telaga untuk berkaca, mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Maka, di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga suatu hari dia jatuh dan tenggelam.[1]

“Setiap kita memiliki kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya,” ujar Ustaz Salim A. Fillah. “Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.”

Baik perempuan dalam nukilan puisi di atas maupun Narcissus merupakan contoh manusia yang cenderung mendefinisikan cantik atau tampan sebagai rupa secara fisik, yang terlihat nyata dan bisa dijamah oleh indera penglihatan manusia. Maka, begitu pulalah definisi cantik yang hingar-bingar di masa sekarang. Tak heran, ia pun menjadi obyek komoditas yang diperjual-belikan, bahkan bermetamorfosis menjadi berhala yang tak kasat mata.

Paras yang menawan. Kita mengerahkan segala daya agar agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna. Manusia jelita bak bidadari yang diutus ke bumi. Bukankah kini tak perlu bersusah payah menjadi terkenal di televisi demi mendapatkan pujian serta pengakuan dari penduduk bumi? Sejuta sarana dunia modern tak ubahnya telaga tempat Narcissus berkaca setiap hari, atau cermin ajaib milik ibu tiri Putri Salju. Di sanalah letak orang-orang zaman ini memajang wajahnya yang indah sempurna. Dari balik layar, orang lain yang menjadi pemirsanya menyampaikan kekaguman mereka melalui tombol berjudul “suka”. Paras menawan perempuan. Aduhai, siapa lelaki yang tidak tertawan kemudian? Pujian datang bertubi-tubi, seraya nama-Nya tak lupa disebut; “Masya Allah… cantik sekali ukhti ini.” Batin yang melihat berseloroh, tak ada yang salah mengagumi ciptaan Allah. Maka, diteruskannya kekagumannya yang sembarangan dengan memantau foto-foto sang perempuan menawan dari hari ke hari. Lantas pujian yang mengalir itu, bagai ramuan yang menerbangkan sang perempuan ke awang-awang. Membuatnya alpa akan satu hal yang luput digerus bangga pada diri sendiri.

“Tahu nggak Dik, cuma lihat tangan kita aja, kadang-kadang cowok tuh bisa terpesona,” ucapnya suatu kali, bertahun-tahun silam. Saya paham, itulah alasannya para muslimah itu memakai manset lengan, meski agak ribet, supaya pergelangan tangannya tertutup rapi. Satu kebiasaan kecil yang ketika itu mulai saya terapkan.

“Duh-duh, mbak-mbak cantik nan salehah, istikamah itu memang nggak gampang ya.” Saya temukan komentar beraroma sindiran itu di foto yang saya unggah ke media sosial beberapa menit sebelumnya. Foto kami—para perempuan (yang notabene berkerudung panjang) usai berkegiatan. Beliau memang agak strict dengan perkara yang saya anggap sepele itu. Baginya, menampilkan banyak foto diri di dunia maya bukanlah hobi yang pantas dilakukan oleh seorang muslimah.

“Bagaimana jika banyak ikhwan melihat fotomu, lantas mereka jadi merasa gimanaaa gitu? Kamu muslimah yang sudah seharusnya paham menjaga diri, bukan hanya sebatas menutup aurat secara syar’i. Setiap kali rapat, bukankah kalian sudah belajar menjaga dengan memakai hijab pembatas demi menjaga pandangan? Mengapa di jagad maya justru tak sungkan kau perlihatkan paras jelitamu yang bisa bebas mereka pandangi setiap waktu? Kau tidak takut jika timbul sesuatu?” Hati nurani saya berontak suatu hari. Timbul sesuatu?

“Setahuku, nggak ada cowok normal yang nggak pernah terkontaminasi hal-hal berbau porno. Paling nggak, nonton yang seperti itu. Sealim apapun, ikhwan sekalipun. Menurut pengamatanku sih. Jadi, zaman sekarang ini susah sekali menahan pandangan. Banyak godaan di sepanjang jalan,” kali ini pengakuan langsung dari salah satu teman laki-laki. Saya jadi mengerti, betapa tak mudahnya bagi mereka meredam gejolak, terlebih bagi yang belum menikah. Wallahua’lam. Benar atau tidaknya hanya Allah yang Maha Tahu. Namun, tak ada salahnya itu menjadi sebuah sentilan bagi kita—kaum perempuan untuk lebih berhati-hati dan menjaga, tak terkecuali dalam perkara yang nampaknya remeh-temeh.

Bukan salah mata lelaki yang memandang, sebab kitalah—perempuan yang menyajikan, kitalah yang memasang umpan. Sementara kita tidak pernah tahu bagaimana alam pikiran dan imajinasi mereka bekerja. Ah, tentu saja kita tidak sampai hati membayangkan yang bukan-bukan, terlalu mengerikan. Selanjutnya, jika sampai terjadi zina mata, hati dan pikiran, mereka jugakah yang patut dipersalahkan? Oh, jangan-jangan semua dosa mereka bermuara kepada kita? Kalikan saja jumlah orang yang memandang dengan dosa mereka, dan itu semua ditimpakan kepada kita—sang penebar umpan. Tak terhitung. Sementara amalan baik yang kita punya sama sekali belum cukup menjadi penolong untuk meraih surga-Nya.

Maka, cukuplah keindahan yang kita punya tidak dijadikan obyek pemuas mata mereka yang bukan siapa-siapa. Apalah artinya penilaian dan pujian manusia tentang tampilan muka, sementara Baginda Rasulullah saw bersabda jika wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari bermata jeli karena salat, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Ah, hadis ini mungkin sudah sangat akrab sekali di telinga kita.

Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Ummu Salamah ra, bahwa beliau berkata: Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukan bidadari bermata jeli?”
Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang Nampak dari apa yang tidak terlihat.”
Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?”
Beliau menjawab, “Karena salat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami rida dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”

Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan sebagai mawar, maka ia yang terjaga bak mawar di tepi jurang nan curam, bukan mawar di tengah-tengah taman nan jamak dan pasaran. Ia menjaga dirinya dengan penuh kehati-hatian hingga ada tangan pemberani yang kelak bersedia menempuh bahaya demi memetiknya: yang bersamanya nanti ia temukan cinta yang sesungguhnya, yang dengan memandang kecantikannya menjadi lading pahala, bukan fitnah penuh dosa.

Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan layaknya mutiara, maka ia yang terjaga tersimpan dalam cangkang kerang di dasar lautan, hingga ada penyelam tangguh yang mengambilnya.

Selanjutnya, adalah pilihan masing-masing kita untuk menjadi yang mana.

“Di dalam surga itu terdapat bidadari yang sopan menundukkan pandangannya. Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka. Tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahmaan 56)

“Laksana mutiara yang tersimpan dengan baik.” (Al-Waqiah 23)

“Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan baik.” (Ash-Shaffat 49)











Judul awal tulisan ini adalah “Beautiful, Am I?”, kemudian diubah setelah ditimbang-timbang lagi. Telah direncanakan untuk ditulis sejak bertahun-tahun yang lalu, namun gairah menyelesaikannya baru muncul beberapa pekan yang lalu.
#Catatanuntukdiri
Semoga selalu terlantun istighfar

Referensi:

A.Fillah, Salim. Agar Bidadari Cemburu Padamu. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.
------------------. Dalam Dekapan Ukhuwah. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.



[1] Seperti yang dikisahkan Ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya: Dalam Dekapan Ukhuwah (Pro-U Media, 2010)