Aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Engkau di mana? Pulanglah, Nit…
Rinai hujan ditingkahi deru angin heboh di luar sana. Mita terpaku di pinggir jendela, memandang deras hujan yang entah kapan akan reda. Ingatan itu lantas berpilin di dalam benaknya, menciptakan adegan demi adegan, episode demi episode…
*
“Mita, Nita, masuk! Jangan hujan-hujanan di luar. Nanti kalau kalian sakit bagaimana? Mau jika Bunda panggilkan Dokter Amri biar kalian disuntik dengan jarum yang paling tajam?”
Begitu selalu cara Bunda mengancam, jika mereka nekat bermain-main di bawah hujan. Dan dua bocah kecil itu akan langsung menurut, meski beberapa menit kemudian, ketika sang bunda terlena mereka akan keluar lagi. Berbasah-basahan di bawah hujan. Tak peduli petir dan halilintar menyambar-nyambar. Umur mereka tujuh tahun. Polos. Menggemaskan sekaligus menjengkelkan. Membuat bunda jengah bukan kepalang. Terkadang, dijewernya daun telinga mereka hingga memerah.
“Kalian ini anak Bunda yang paling bebal! Ayo masuk ke dalam!” ucap bunda geram.
“Nggak mau, Bunda! Mita pengen lihat pelangi.”
“Iya, Bunda. Nita juga.”
Bunda kemudian tersenyum. Kini, menatap dua pasang manik mata yang jernih itu dengan tatapan sayang.
“Nanti pelanginya juga muncul. Mita dan Nita tunggu di teras saja, ya. Biar tidak kebasahan…” sang bunda membujuk.
Kedua bocah kecil itu lantas mengangguk.
Hujan sudah semakin mereda. Masih tampak sisa-sisa gerimis ketika hari beranjak senja. Senja jingga merah tembaga merekah di ufuk barat. Semburat cahayanya menyentuh titik-titik gerimis yang masih setia jatuh ke bumi. Menciptakan saputan warna yang melengkung indah di kaki langit. Berwarna-warni menawan hati. Me-ji-ku-hi-bi-ni-u.
“Bunda, apakah para bidadari surga turun ke bumi lewat pelangi? Mita ingin pergi ke surga. Bisakah naik ke sana melalui pelangi itu?”
“Iya, Nita juga ingin ke surga.”
Bunda menghela nafas. Pertanyaan itu begitu lugu. Namun, baginya tidaklah sesederhana itu untuk menjawabnya. Bunda paham maksud mereka. Air mukanya berubah sendu.
Nak, Bunda janji akan mendidik kalian sebisa Bunda. Kelak, jadilah kalian perempuan-perempuan shalihah. Calon bidadari surga. Ladang amal bagi Bunda jika kelak Bunda tiada.
*
Waktu telah menginjakkan kaki di bulan terakhir tahun ini. Menggenapkan umur remaja mereka: tujuhbelas tahun. Jelita. Rupawan. Elok nian. Incaran kaum adam. Tidak di sekolah tidak di sekitar rumah, mereka adalah primadona.
Wanita paruh baya di hadapan mereka terbatuk perlahan. Namun kemudian tersenyum memandang kedua gadis kecil-dan-bebalnya dahulu kini telah menjelma menjadi sepasang merpati cantik-jelita. Kerudung mereka anggun terjuntai hingga ke dada. Ujungnya anggun menari dipermainkan angin sepoi-sepoi.
“Bunda, Mita sudah baligh. Sudah sepantasnya Mita menutup aurat seperti yang Allah perintahkan kepada kaum perempuan. Nita juga kan?”
“Iya. Tentu saja, Bunda. Nita kan juga sudah baligh.”
Tak terbayang senangnya hati sang bunda ketika sepasang merpati itu menyadari kewajiban mereka sebagai seorang muslimah. Hm, bidadari-bidadariku, Bunda tunggu kalian di surga ya…
“Anak-anakku, Bunda bahagia melihat kalian telah beranjak dewasa. Mita, Nita, tetap istiqamah ya. Uhukk.. Uhukk. Kewajiban Bunda mendidik kalian telah selesai. Uhukk… Jika nanti Bunda… Uhukk!!”
Batuknya menghebat. Darah muncrat. Menodai kerudung kedua gadis di hadapannya. Mita dan Nita terkesiap.
BUNDAAA!!!
*
Tanah merah pusara itu masih basah ketika tiba-tiba…
“Mita, aku ingin kuliah ke Jakarta. Kau mau ikut, tidak?”
Tahun ini mereka kelas tiga SMA. Memang, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Mita juga berkeinginan sama, melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar kota. Akan tetapi…
“Biaya dari mana, Nit? Lebih baik kita cari kerja dulu. Setelah keuangan kita mapan, baru kita berpikir buat melanjutkan studi. Kau pikir, kuliah itu tidak butuh biaya? Biayanya sangat besar, Nit. Sementara kehidupan kita sekarang…” kalimat Mita terpenggal begitu saja.
“Jual saja rumah ini, dan kita pergi ke Jakarta. Gampang kan?”
Mita mencelos. Tidak disangkanya jika saudari kembarnya itu bisa berpikiran senaif itu.
“Tidak bisa! Rumah ini milik Bunda. Kau ingat kan apa yang diwasiatkan Bunda kepada kita sebelum beliau tutup usia? Kita anak tertua, Nita. Kita yang bertanggungjawab menjaga rumah ini dan juga adik-adik.”
“Ingat Mita, dia bukan ibu kita. Dan sekarang dia sudah tiada. Mau apa? Terserah jika kau tidak mau ikut. Jakarta menjanjikan segalanya. Dan aku tidak ingin mengorbankan masa depanku dengan tidak kuliah.”
Nita…
Mita merasa hatinya tertusuk. Perih. Sungguh, ia tidak mengerti dengan perangai adiknya yang tiba-tiba berubah. Apa yang terjadi denganmu, Nit?
*
Ujian telah usai. Mereka berdua mendapat hasil yang cukup membanggakan. Sayangnya, tiada lagi Bunda yang bisa mereka pameri sebuah prestasi. Tidak ada lagi yang tersenyum bangga akan keberhasilan mereka. Tak ada lagi Bunda. Apalagi Ayah…
Subuh telah mengumandangkan adzan. Gadis itu bersiap menjalankan kewajibannya menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Dibangunkannya adik-adiknya yang masih terlelap, dengan mimpi yang masih mendekap. Ia hanya ingin mereka disiplin, bersegera menunaikan ibadah kepada-Nya. Lantas, mereka mengambil air wudhu bersama-sama.
Tak dijumpainya saudara kandungnya yang biasanya membantunya membangunkan adik-adik ketika adzan subuh bergema. Ke mana dia? Ah, mungkin sedang berhalangan…
Mentari sudah tinggi ketika pintu kamar itu belum juga terbuka. Mita mengetuknya pelan.
“Nita, kau sudah bangun? Kenapa dari tadi tidak keluar-keluar? Kau sakit?”
Namun, tetap tak bergeming.
“Nit! Nita! Astaghfirullah…”
Mita kaget bukan kepalang. Yang dipanggilnya tidak ada di sana. Nita raib! Sepucuk surat di meja itulah penjelasannya. Ia pergi ke Jakarta, tanpa persetujuan Mita. Sungguh nekat!
*
Ia bersimpuh di atas sajadah. Mengadu. Hatinya remuk-redam. Tangisnya tak tertahankan. Adiknya, saudari kembarnya, belahan jiwanya, kini telah meninggalkannya. Pergi tak tentu rimbanya. Kini bulan-bulan berlalu, dan tak satu pun kabar ia terima. Ah, betapa ia merindukan adiknya…
Ya Allah, apa salahku hingga ia berbuat seperti itu?
Bunda, Nita pergi entah ke mana meninggalkanku sendirian di sini…
Ibu, aku ingin berjumpa denganmu, lantas mengadu di pangkuanmu…
Ayah.. Oh, ayah?
Pintu depan diketuk pelan. Tak ada ucapan salam. Mita segera beranjak. Dibukanya perlahan, dan…
Ia tercengang begitu melihat dua sosok manusia di hadapannya.
“Nita?!” dan sosok di sampingnya… seorang lelaki!
“Kau?” Mita masih belum bisa mengatasi keterkejutannya. Dipandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Namun sosok di depannya itu tak mau bicara.
“Mana jilbabmu? Siapa yang kau bawa ini?” seketika air mata berderai di pipi Mita.
“Dia pacarku. Memangnya kenapa? Kau tidak suka?”
Pacar?!
“Dengar ya, Mit. Aku ke sini hanya untuk memberikan ini kepadamu.” Nita mengangsurkan sebuah amplop tebal berisi lembaran-lembaran rupiah.
“Setelah ini, aku akan pergi lagi. Kau pikir, aku akan betah berlama-lama di tempat ini? Aku sudah bisa mencari uang. Lihatlah hasilnya. Tebal, bukan? Aku ingin bebas. Aku ingin lepas. Tak ada aturan yang bisa memenjaraku. Termasuk jilbab seperti yang kau pakai itu!”
Aku kira kau berjuang keras untuk kuliah, Nit. Sehingga kau tak bisa pulang. Ternyata… Kau berani menanggalkan kehormatanmu hanya untuk ini. Mita menatap amplop yang tadi diberikan Nita. Ia tak berani menyentuhnya. Entah, apakah isinya halal atau haram.
Ya Rabbi… Tangis Mita semakin menderas.
*
Tahun-tahun berganti. Nita tak pernah muncul lagi. Itulah perjumpaan terakhir sepasang dara kembar itu.
‘Rumah Singgah Seruni’. Arsitekturnya tak pernah berubah sejak dulu, meski kini jelas tampak lebih kusam. Tempat ia diasuh dan tumbuh, tempat ia menanam mimpi, dan tempatnya kini mengabdi. Mita mendesah resah. Adik-adik angkatnya telah dewasa. Ia yang telah mengasuh mereka. Seorang diri. Ia memiliki harapan yang sama seperti halnya Bunda dulu: jadilah kalian orang shalih dan shalihah. Berguna bagi bangsa dan agama.
Mita mendidik mereka seorang diri. Tanpa belahan jiwanya. Tanpa Nita…
Mereka terlahir dari rahim seorang wanita yatim-piatu. Ia bahkan tak bersuami. Mereka adalah hasil dari perkosaan keji yang dilakukan seorang lelaki—entah siapa kepada ibu mereka, tanpa adanya pertanggungjawaban. Kondisi fisik sang ibu yang lemah ditambah beban mental yang bertambah-tambah, membuatnya payah ketika harus melahirkan mereka. Hingga ia harus rela mempertukar nyawanya ketika menghadirkan sepasang bocah kembar itu ke dunia. Seseorang kemudian mengambil mereka sebagai anak angkat. Wanita yang kemudian mereka sebut ‘Bunda’. Wanita berhati mulia yang mengabdikan dirinya di rumah singgah ini, mengasuh anak-anak terlantar dan yatim-piatu. Wanita yang berbesar hati ketika ditinggalkan oleh suaminya karena tak bisa memberi keturunan. Hingga kemudian kanker paru-paru merenggutnya untuk kembali…
Rinai hujan ditingkahi deru angin masih heboh di luar sana. Mita terpaku di pinggir jendela, memandang deras hujan yang entah kapan akan reda. Pun rinai tangis di wajahnya belum juga mereda.
Bunda, bidadarimu tinggal satu. Yang satu hilang entah ke mana. Bolehkah aku menyusulmu ke surga tanpa dia?
Nita, lupakah engkau dengan janji kita? Janji ke surga melewati pelangi senja sesudah hujan reda… Bagaimana kita bisa pergi ke sana bersama, jika kini kau justru berpaling dari Sang Pemilik Surga?
Kerudung putih yang membingkai wajah ovalnya anggun diterpa angin semilir. Namun, sang pemilik wajah tetap kuyu. Bayang-bayang saudarinya yang mengumbar aurat berkelebat di benaknya.
Masih ada sisa-sisa gerimis yang jatuh ketika senja sudah mulai sirna.
Masih ada pula sisa-sisa air mata di wajah itu.
Wajah itu, wajah yang rindu.
Aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Engkau di mana? Pulanglah, Nit…
Matahari senja menebar cahayanya. Dan saputan warna menawan itu melengkung indah di kakilangit.
10 Safar 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar