Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juni 2015

Pintu



Kapan terbuka buatku?

Daunmu terbuka sekejap detik
Dan aku lengah selalu
Kau tertutup sekejap mataku

Lama nantiku
Apa kau tak tahu jika ada tamu?
Ketukanku tak berjawaban
Di mana bel? tanyaku
Tulikah kamu? aku masih menunggu

Ah, ada tamu baru
Dan “Kriet..” itu menyentakkanku
Kususul tergesa buat masuk pula
Namun, “Blam!” itu buatku terjengkang
Mataku nyalang, tamu baru hilang!
Ah, dia sudah di dalam
Aku tetap di sini
Tanpa arti

Aku mengumpat, “Kenapa tak mau antre?!”
Sungguh-sungguh ku tersinggung sekali!

Aku ingin terjaga
Selalu aku mengacaukan kantuk
Menuruti hasratku yang ingin masuk
Ah, kapan terbuka buatku?
Aku di sini masih menunggu,
derit menjerit dari pintumu

Aku kini tahu
Daunmu cuma satu
Hanya menyeleksi satu tamu
Sepertinya kau mengusirku mentah
Sebab lorongmu telah dihuni

Selamat tinggal,
aku ‘kan berlalu
Akan kuketuk pintu yang baru


-24 Januari 2008-


 Tak mengapa, asal pintu-Nya masih selalu terbuka. :)






sumber gambar: doorsstyle.com

Kamis, 23 Oktober 2014

Rindu #2




Hawa tanah basah meruap
Rinai masih setia jatuh dari langit, membuat kuyup reranting jambu dan rumpun anggrek ungu di samping rumahku yang diam membisu
Menatap indahnya rekahan ungu-merah jambu membuatku sayu
kau persaksian rinduku
Rinduku pada rekahan senyum di bibir mereka
Rinduku pada mushaf merah muda, yang telah berhari-hari tak kukecup mesra
Rinduku bercerita dan berceloteh jenaka
Menelusuri hijaiah kalam cinta-Nya yang lekuk-lekuknya membuatku tersenyum kagum,
serta maknanya yang tak bisa diurai hanya secara simbolis maupun linguis
Rinduku bergelora hingga ke tubir waktu,
tak bisa kukata setangkai, segenggam, segumpal, atau selaksa

Tak terkata






:: Ditulis di bulan hujan tahun 2010. Diposting di kemarau yang merindu hujan, tahun 2014 ::

Sabtu, 22 Maret 2014

Syair Keadaan & #ASEANLitFest

Well, readers, berhubung sudah dekat dengan momen pemilihan umum, tiba-tiba saya ingin memposting puisi penyair Wiji Thukul yang bebaitnya saya comot dari galeri puisi Tribute to Wiji Thukul di Asean Literary Festival, Sabtu 22 Maret 2014.



 
Doc. +Lia Wibyaninggar 


Syair Keadaan - Wiji Thukul

Kalimat-kalimat kotor
menghambur dalam gelap
membawa bau minuman
keringat tengik
dan kesumpekan

Ibu-ibu megap-megap
mengurus dapur suami dan anaknya
harga barang-barang kebutuhan makin tinggi
kaum penganggur sambung-menyambung
berbaris setiap hari
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Leleran keringat dan kacaunya pikiran
keputusasaan dan harapan yang dipaparkan iklan-iklan
siang malam membikin tegang

Dan di sana kaum tani
dipaksakan menyerahkan tanahnya
dan di sana pabrik-pabrik memecat buruhnya, memanggil tentara
karena ada aksi mogok di depan kantornya
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Hujan turun
got-got meluap
banjir datang
bingunglah rakyat

Gunung-gunung digunduli
hutan-hutan dibabati
cukong-cukong kongkalikong
para birokrat mengantongi uang komisi
karena memberi lisensi
dan para pemilik modal besar
terus mengaduk-aduk
menguras mengisap isi bumi
dan parpol-parpol

halo!
selamat pagi!

hujan turun
got-got meluap banjir datang
menenggelamkan rumah-rumah rakyat
dan parpol-parpol

halo!
kita nanti ketemu dalam pemilu lima tahun lagi!



Solo, Jagalan
Kalangan, 02-02, 1989


Maka lihatlah, syair itu telah berumur tua sekali, ditulis pada 1989. Ketika di era sekarang puisi itu dibaca lagi, persoalan lama tetap terasa hingga kini. Dan parpol-parpol sibuk sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu ramai. Hingar bingar. Milyaran rupiah dihabiskan demi kampanye, mengiklankan diri, meminta dipilih, disertai milayaran janji untuk rakyat dan negeri, ah.. pesta demokrasi. Tak ayal korupsi masih selalu menggejala dalam tubuh bangsa ini, melesap ke sendi dan urat nadi. Dari akar rumput hingga puncak menara gading. Bagai budaya yang seakan menjadi tabiat orang-orangnya. Yang di atas menyuap, yang di bawah mau disuap. Ahai, saya jadi ragu apakah kita benar-benar merindukan figur seorang pemimpin sejati. Atau enyah sajalah, pemimpin sejati yang bersih dari korupsi hanya ada dalam mimpi utopis yang tak berkesudahan sampai entah kapan. Kemudian keinginan membebaskan tanah air dari penjajahan masa kini mungkin hanya sekadar simulakra belaka.

Lantas? Ketika puisi itu dibaca lagi lima tahun kemudian, bisa jadi persoalan dan temanya tak akan pernah basi. Berulang dan berulang lagi. Dan parpol-parpol sibuk sendiri-sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu hingar bingar. Sementara penyair, menulis dalam sepi, mengobati luka hatinya dengan puisi.

"Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara." (Seno Gumira Ajidarma)


Here are some pictures captured by my Fujifilm:




Lendabook.co stand @Publishers Corner

Literary Zone: a space for literary discussion w/ some writers
A big red capital letters "Sastra" at the front gate, symbolizing bravery, the power of literature





Rabu, 05 Maret 2014

Rindu



 Bukan kepada masa depan yang nyalang di hadapan dan harus kujemput dengan suka cita
Bukan kepada belahan jiwa yang entah siapa dan entah di mana
Bukan kepada ayah-bunda yang jauh dari pandangan mata
Sebab waktu tak pernah ingkar janji
Ia akan selalu melangkah ke depan dengan pasti
tanpa berbalik ke belakang lagi
Mempertemukanku dengan masa depan yang nyalang di hadapan
Namun bagaimanalah harus menyikapi rindu yang kini membungkus hatiku, tak terperi
 Sedangkan dunia ini tak memiliki jam pasir pembalik waktu

Allah, aku rindu kepada masa lalu...





Depok, 05032014


Jumat, 11 Oktober 2013

Semu Dunia Maya



Dunia maya sungguh menggoda
Pintunya lebar terbuka, tentu saja boleh dimasuki siapa saja
Anak, remaja, dewasa, orang tua (tolong jangan sertakan balita)
Dunia itu punya bermilyar jendela, tentu saja boleh dibuka siapa saja
Yang tahu caranya silakan menjelajah sesukanya
Yang gaptek--gagap teknologi (bahkan pegang mouse saja grogi) diamlah saja
Milyaran jendela dengan segala jenis dan gaya, demi satu: memandang dunia dari belakang meja
Untuk itu kau tak perlu bersusah-payah beli tiket pesawat atau kereta
Tak perlu bertatap muka untuk sekadar menyapa
Bisa berbincang dengan orang-orang negara tetangga, dalam hitungan detik saja
Bukankah sederhana?
Pelajar mulai berguru kepadanya pula, buku teks sekolahan apalah guna
Berguru sebebasnya, sepuasnya, sesukanya
Hingga di bilik-bilik warnet pemudi-pemuda terkena candu berbahaya
Bilik warnet yang tertutup, aman, kecuali dari mata Sang Penguasa Semesta
Orang tua yang sibuk bekerja tahu apa anaknya melakukan apa?
Dunia maya sungguh menggoda
Semua jadi satu, berbaur di sosial-media
Semua bisa terjadi; suka, berduka, bercanda, marah, dengki, mengumpat, bahkan jatuh cinta
Semua bisa berubah dengan topeng di muka, sebab cuma nama yang tertera
Sementara kita tak tahu orangnya yang mana dan bagaimana sebenarnya
Tumplek blek, orang bodoh pun ikut serta
mencuri perhatian dengan bahasa alay ala kaumnya
Terkenallah ia karena perkara yang sebetulnya tak berguna
Orang pandai gila dipuji enggan dicaci
Setiap saat mempublikasikan prestasi dan penghargaan yang diperoleh diri sendiri
 tak terkecuali hal-hal pribadi yang membuat orang lain keki
misal, mengobral obrolan mesra suami-istri
tak ketinggalan, mengunggah foto wajah jelita penuh pesona yang memunculkan bibit-bibit pemuja rahasia
Hingga mereka terlatih menjadi penyelidik ulung yang pernah ada
Berburu kata "suka" sebanyak-banyaknya dari publik dunia maya
Lantas ia merasa menjadi manusia paling dihargai sesama
Slogannya: tanpa internet aku bisa apa? Tiada hari tanpa melongok dunia maya!
Persetan dengan dunia nyata karena realita tak sebanding dengan idealita
Terus saja menceracau meski kicaunya kacau tak enak dibaca
Menguap, kentut, bersin, kebelet, lapar, sendawa diumumkan kepada dunia
Kemudian dunia pun tahu bahwa ia patah hati, jatuh hati, tinggi hati, rendah hati, atau murah hati
Debat dan sengketa lewat tulisan bukan lagi barang tabu, justru seru
 Bahkan agama jadi bahan tertawaan dan perseteruan, di mana nuranimu?
Dunia maya sungguh menggoda
Tanpa sadar terkadang jendela yang kau buka dan lorong yang kau huni tak lain ilusi belaka
Niskala
melebihi cerita fiksi tempat setiap pengarang bereskapisme dengan alurnya sendiri-sendiri
Pemutar-balikan, penjungkir-balikan, distorsi
Dusta!
Sumpah serapah dari mulut yang bergurau tapi harimau, menciptakan luka
Bagaimana malaikat akan mencatat amalmu yang seharian terpapar dunia maya
Berdoa pun tergesa-gesa sebab ingin segera kembali ke alam maya
Jangan-jangan malah kau sudah dilabeli "pendosa" olehnya
Semua bisa terjadi; hasutan, fitnahan pun tak ayal terjadi
Tinggal pilih saja: termakan hasutan atau melawan dengan ideologi sendiri
Toh hukum hanya sebentuk permainan di dunia nyata, apalagi di dunia yang semu nan maya
Aku tak tahu, haruskah tertawa atau miris berduka
Memilih sejenak bisu berkelumun hening saja
Mengingat suatu masa, di mana semua ini belum ada
Nenek rentamu yang tak kenal ini semua masih hidup tenteram sentosa
Dulu dihiburnya engkau dengan bersama melongok cahaya bulan di suatu malam purnama
Bukankah kebahagiaan adalah perkara sederhana?
Ingat nasihatnya:
Jendela-jendela itu ada bukan hanya di belakang meja
Jendela yang sesungguhnya terbentang luas tak terkira, bisa kau jamah, bisa kau sentuh dan raba
Mau tak mau, kau harus berkemas dan menyeret kopermu pulang segera
bertatap muka dengan semesta yang sesungguhnya



--Lia Wibyaninggar
11 Oktober 2013

[ceracau ini tercipta tak sengaja, padahal niat saya sebelumnya ingin menulis tentang diary biru berdebu yang teronggok nista, gara-gara saya lebih banyak bercakap dengan blog ini daripada dengannya :( ]

Kamis, 08 Agustus 2013

Ramadan



Ramadan, tak terasa, jerejak langkahku sampai di haribaan waktu yang memisahkanku denganmu
Bolehkah aku menyeka air mata, atas pertemuan kita yang hanya sekejap mata?
Bagaimana harus kuhitung hari-hari, jika setiap detik bersamamu terasa syahdu
Sajadah-sajadah dibentangkan
Kalam-Nya dibacakan
Zikir-zikir dilantunkan
Selawat disenandungkan
Setiap senja, anak-anak mengeja dan mengaji menelusuri lembar-lembar bertorehkan hijaiah
Ramadan bagiku seolah jembatan yang mengantarkan metamorfosa cintaku kepada Rabb Semesta Alam
meski hijab keangkuhan nafsuku terkadang menjadi penyeling di jalan juang yang panjang
Kau mengajariku merengkuh kesabaran ketika berjumpa ujian
Mengajakku merenda harapan yang kemudian tumbuh serupa dahan
Lantas langit subuh yang terang dengan gemintang pun menjadi saksi
Titik mula cintaku kepadamu mulai bersemi
Kuuntai dalam doa di tiap sujud rakaat fajar
Kemudian bening subuh mengheningkannya menjadi satu rahasia di jagad raya

Ramadan, di tiap puisi cinta yang kau lantunkan
ada wangi kasturi yang semerbak mewangi memenuhi pagi
Menghampiri kesepianku yang sunyi

Bagaimana harus kuhitung hari-hari yang telah terlewati

jika setiap detik perjumpaan denganmu terasa syahdu, sayang berlalu
Ramadan, jika kau paham hikayat rasa yang menggelora, mengapa kau tinggalkan aku membatu dalam rindu

“Akankah kita bersama kembali di masa depan?” sungguh itu segumpal tanya yang belum berjawaban
Langkahku yang tersaruk terasa lelah, lungkrah
Ingin kutatap punggungmu yang menjauh dengan pandangan kesat oleh air mata
dan segaris senyuman yang pekat dengan rasa
Jika ada waktunya, rahasia yang kutitipkan kepada semesta akan terbuka
dibisikkan oleh desau angin musim semi di suatu hari
Kelak kita akan bersua, semoga, di depan sebuah pintu bernama Ar-Rayyan
Hanya jika Dia mengizinkan






Penghabisan Ramadan 1434 H

Selasa, 08 Januari 2013

Untuk Januari yang Membasah




-Allah, cinta selalu membutuhkan kata
Namun aku memilih bungkam untuk sementara
Hanya Engkau muara dari segala jatuh cinta yang pernah ada-


Pagi hari ini kekal sekali

Dari pagi menyapa, siang, hingga senja

Sendu-rindu sebab rinai gerimisnya setia jatuh membasah

Mengungkung hari tanpa mentari, surya, atau matahari

Pagi hari ini kekal sekali

Kekal dalam kefanaan yang membasuh kehidupan

Mawar-mawar bertumbuh bermekaran dalam basahnya Januari

Bagai kuntum-kuntum rindu yang kelopaknya menebar aroma haru

Aku mawar yang bertumbuh, namun engkau langit yang menyiraminya dengan air mata

Aku bukan melati putih nan suci lagi harum mewangi

Juga bukan sakura yang merona merah muda lagi jelita

Aku mawar rapuh yang berdiri utuh dengan duri,

penjaga kuntum-kuntumku

Pagi ini kekal sekali, terbekap mendung

Aku ingin menyibak mendung yang menudungi parasmu, wahai langit

Rindu sinar hangatmu menerpa kelopakku

Allah, cinta selalu membutuhkan kata

Namun, aku memilih bungkam untuk sementara

Hanya Engkau muara dari segala jatuh cinta yang pernah ada


[untuk Januari yang basah, semoga membasuh rinduku]
08-01-2013

Sabtu, 15 Desember 2012

(Untitled)




Sebab beda itu telah menjelma jeda yang mungkin menggarisi jarakku dengannya

Apakah beda harus menjadi sengketa?

Aku masih tertatih,

mulai kehabisan air mata

Senja yang rawan, senja yang sendu

Dan aku harus menelan rindu

yang tak tahu harus bermuara kepada siapa

Hanya jika aku menjadi hamba yang lancang mendosa

'Kan kutaruh rindu itu kepadanya--bukan kepada siapa-siapa

Namun Engkau Maha Tahu perihal semuanya

Apatah lagi tentang sepotong hati

yang memang benar-benar layak untuk menunaikan janji

Tak peduli beda yang menjadi sengketa

 Yang benar mengerti tentang arti pelitanya

Bagi diriku yang gelap gulita


[masih di tengah alunan senandung Herland Canovea]

Minggu, 29 April 2012

Jika Harus Kupakai Benda-Benda di Semesta Ini untuk Menggambarkanmu...




Jika harus kupakai benda-benda di semesta ini untuk menggambarkanmu, entah apa lagi—seperti kehabisan kata, sementara tinta begitu ingin menuliskannya.
Seumpama mawar merah yang siap merekah, indah. Menguarkan semerbak cintamu ke segala penjuru.
Seperti mutiara dalam cangkang kerang di dasar lautan, berkilau, dan tak sembarang orang bisa mendapatkanmu.
Bak melati putih nan suci, tatkala resapan embun pagi di pucuk kelopakmu belum beranjak pergi.
Atau, jika kau menyeberang ke negeri bermusim semi, akan kau dapati kuntum-kuntum merah muda yang mekar bersama. Seperti dirimu jua, “mekar” bersama mewarnai dunia.
Aih, kau juga seperti siluet senja di horison barat ketika sang surya bersiap tenggelam ke peraduan, menyemburatkan jingga-keemasan ke langit dan mega-mega dengan indahnya.
Laiknya kupu-kupu yang bermetamorfosa. Menjadi lebih indah dari hari ke hari.
Bagaikan sinar lembut mentari yang beradu dengan rinai gerimis yang riang, mencipta pelangi dengan spektrum berwarna-warni.
Cantik rupawan yang tak terkatakan.
Sebab kau tunduk dalam syariat-Nya, ridho atas takdir-Nya, tersenyum dalam musibah, tegar dalam ujian, teguh dalam pendirian.
Itulah engkau.
Muslimah sejati yang dicemburui para bidadari surgawi.

Senin, 05 Maret 2012

FRAGMENTS

Something about me, sometimes ineffable, unspeakable, unexpected
Each and everyone will not understand
Peak of the puzzle
Tea leaves, tearfully, end in tabernacle
An addiction, addlebrained addiction
Love story; also occurs in the halls of the mysteries of the heart
Identity, not just an idle talk
Ahead—where I go toward future

Against the powerlessness
Narrate the scramble that I did
Ultimately the episode will come to an end
Gifted, yes I am
Red rose, which grows in the rigid of the reef
Azure, offers million of hope
Hope and expectation for the victory

Wishing me a true love, life, and laugh
Idealism, always maintained
Beads spellings the prayers
Yield firmness in obedient heart
Awake and aware
Nightfall and dawn
In their changes
Namely, in the name of God
Gild the sky with the golden light
Guidance, You are the true guidance
Avidity of the victory
Riding reveries through the labyrinth of life

Kamis, 01 Maret 2012

Longing Musings






Nothing is more touching than the meeting
Where all begged and prayer are directed
To the God who really understanding

Where the tears flowing and the sobs bursting
The longing and compassion are harmonized
Nothing is more touching than the meeting

Nothing is more oppressing than worrying
When the nonsense-mortality pursued
But all were like hollows, emptiness feeling

My soul is fragile, while my heart still pinning
Remembering the sins, make me ashamed
Nothing is more touching than the meeting

Oh God, Your love is an important thing
After I looked for, loitered, and searched
Want to sense devout is ingratiating

So, for the contemptible and insulting
Please, forgive all the words that I said 
Because—I’m sure—this heart is still achieving
Your paradise, the most gracious ending