Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang
tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak
pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang
nyata (Lauh Mahfuz).”
-QS Al-An’am : 59-
Sekar Melati Prameswari, Oktober 2014
Musim gugur
masih berlangsung dengan khidmatnya. Membuat jalanan diliputi guguran daun momiji
yang menguning atau memerah. Dua musim sudah kulalui di sini. Musim panas
dengan teriknya yang membakar, dan musim gugur yang menggigilkan kulit ari. Ah,
tentu di negeriku sana
hujan sedang tercurah setiap harinya. Aku rindu berteduh dari derasnya hujan
ketika aku terlupa membawa payung ke kampus. Aku rindu akan bau hawa basah yang
meruap setelah hujan reda. Tak pernah lagi kujumpai hujan semenjak aku
menginjakkan kaki di negeri ini, bahkan aku ragu apakah nanti musim semi masih
sempat menyapaku beberapa bulan kemudian.
Kau tahu, Naufal?
Kelak aku ingin melalui musim semi bersamamu. Kita ber-hanami di bawah pohon sakura yang tengah mekar merona,
bersama anak-anak. Ketika yang lain ber-hanami dengan menikmati bento
dan mabuk sake, kita akan ber-hanami sembari mentaddaburi ayat-ayat-Nya.
Kita bikin lingkaran bernama “getar cahaya di atmosfer cinta”, anak-anak adalah
mutarabbi yang harus kita bina, dan kita menjadi murabbi yang membina. Aih,
sejak kapan ada halaqah dengan dua murabbi ya? Ah, tak masalah. Kau mengajari
yang laki-laki, sedangkan yang perempuan adalah bagianku. Kita ciptakan kawasan
Tokyo madani yang rajin mengaji, bukan begitu?
Ah, mimpi...
Sedang kenyataannya kini, kau ada di seberang
benua dan samudera, ribuan kilometer berjarak dariku. Jika aku tengah menggigil
karena angin musim gugur, kau mungkin sedang terperangkap oleh pengapnya udara
dan angin panas yang dihembuskan Sahara. Kau tentu tengah khusyu thalabul ‘ilmy
di sana. Aku pun berikhtiar untuk segera menuntaskan studiku di sini, dan
kembali ke tanah air, menjemput takdir. Masih berapa lama lagi kah kau berada di
sana? Atau jangan-jangan sudah ada bidadari yang siap kau pinang? Maafkan aku,
Fal. Dua tahun berselang semenjak itu, aku tak pernah mencoba menghubungimu
lagi, aku mengasingkan diri dari hal-hal yang bisa memecah konsentrasiku. Aku
ingin fokus meraih mimpiku di negeri matahari terbit. Kesalahan fatalku
mungkin, Fal. Kalaupun engkau tidak melamarku, setidaknya aku mencoba
menawarkan diri untuk dilamar, sebagaimana Bunda Khadijah yang mendatangi
Muhammad terlebih dahulu. Namun, ternyata aku ciut nyali, dan lebih memilih
menjadi Sayyidah Fathimah yang mengheningkan cintanya terhadap Ali bin Abi
Thalib. Mengheningkannya darimu, namun tidak kepada Allah.
Berdosakah aku yang hingga kini masih menyimpan
rindu terhadapmu, Fal? Bahkan, diam-diam aku mengharapkanmu untuk menjadi imam
bagi diriku, juga bagi anak-anakku kelak. Bagaimana jika nama yang tertera di
Lauh Mahfuz-ku bukanlah engkau? Apakah aku harus merutuki takdir? Sedangkan aku
tak tahu dirimu di sana masih sendiri atau sudah beristri. Rindu itu menyiksa,
namun aku tak tertarik menjadi Layla yang merindui Qais hingga menjadi gila.
Cinta sejati itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Aku tak ingin terlalu
merindumu, itu hanya akan menjauhkanku dari cinta yang menyembuhkan. Tapi
jangan kau kira kenangan itu akan raib tergilas bersama waktu. Ia masih utuh
terpatri dalam memoarku yang kusam.
Sehelai daun momiji jatuh dari tangkainya,
luruh ke tanah. Tak ada “kebetulan” di dunia ini. Bahkan daun momiji
yang luruh ke tanah itu adalah bagian dari takdir-Nya. Pertemuan kita juga
bukan sebuah “kebetulan”, Fal. Dan ketika aku menjatuhkan cinta kepadamu, itu
juga bukanlah “kebetulan”? Ah, tidak. Aku tak ingin menyebutnya “jatuh cinta”,
terkadang ia menuai sakit tiada tara. Maka, aku hanya ingin membangun cinta,
bukan menjatuhkan cinta. Membangun cintaku kepada-Nya terlebih dahulu, sebelum
kureguk cinta dari ikatan penggenapan separuh agama. Tetapi takdir tak semata
berisi “kebetulan”, di dalamnya harus ada ikhtiar, usaha.
Sonata
musim gugur, musik alam yang menyenandungkan ritme kaidah kefanaan dalam
kehidupan. Bahwa hidup ini memang singkat dan sekejap. Menunggu, tentu
saja menghabiskan waktu. Aku akan berusaha mencarimu kembali, tak
peduli engkau ada di mana kini. Jikalau takdir-Nya menghendaki kita bersama,
Dia akan mempersatukan kita—bagaimanapun caranya, melalui kun-Nya.
Yogyakarta, 4 November 2012
Catatan:
1. Hanami : Dari kata "hana" yang berarti "bunga", dan "mi" atau "miru" yang berarti "melihat". Hanami merupakan tradisi melihat bunga sakura ketika musim semi tiba. Di saat seperti itu orang Jepang akan bersuka-cita berpiknik memadati taman-taman kota. Membawa bekal makanan, bahkan minuman keras, berbincang dan bernyanyi bersama.
2. Momiji : Mapel.
3. Bento : Makanan Jepang.
2 komentar:
Uwaaaaaah, terharuuuu, dahsyat mbaknya. *keplok-keplok* Kekuatan mengheningkan cinta emang luar biasah ahahahaha xD
Asaaaa.... Terima kasiiihhh...
*ikutan terharu*
Kemarin pas aku tunjukin tulisan ini ke Tuti, tiba-tiba dia mbrebes. Huhuhu.
Di postinganku selanjutnya, akan kucantumkan namamu. ahaha. Tunggu saja. :D
Posting Komentar