Tampilkan postingan dengan label rindu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rindu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Oktober 2017

Menjeda: Tentang Jarak yang Merentang



Nyaris dua tahun lalu, saya tertarik dengan salah satu postingan di blog Mbak Cindi Riyanika yang diberi judul besar-besar: Commuter Marriage, Siapa Takut? Ketika itu, saya baru tahu kalau beliau yang masih di Jogja menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan suaminya yang bekerja di Ibukota. "LDM itu mudah diucapkan, namun susah untuk dijalani." Tentu saja.

Ketakutan akan kehidupan pasca pernikahan kemudian datang menghantui saya. Bagaimana pula dengan saya kelak? Waktu itu, kandidat yang tengah berproses dengan saya qadarullah adalah seorang yang bekerja nun jauh di sana, di luar Jawa. Sementara saya masih awang-awangen jika diajak jauh ke sana, selain saya memang ingin mencari kerja di Jakarta saja. Kalaupun jadi, maka LDM adalah satu-satunya cara, sambil berdoa semoga si calon kelak bisa pindah lagi ke Jawa. Akan tetapi, jika akan terjadi seperti itu, betahkah saya hidup berjauhan dengan suami? Padahal semenjak dulu, saya tanamkan tekad kuat-kuat, bahwa saya tak akan meniru pola rumah tangga kedua orang tua yang menjalani LDM pula.

Kisah selesai begitu saja. Tidak jadi berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya berharap, semoga usai wisuda, cepat atau lambat saya bisa mendapat pekerjaan di Ibukota, lalu bertemu entah siapa yang dihadirkan Allah untuk saya, yang juga berdomisili di kota yang sama, tentu saja.

Namun, ternyata, Allah menurunkan jawaban yang tak terduga...

Saya tidak jadi kembali ke Ibukota, malah mendapat amanah mengajar di kota kelahiran. Di saat yang nyaris sama, datang tawaran taaruf lagi. Namun, lagi-lagi sang kandidat berjarak lumayan jauh dengan saya, sebab ia bekerja nun di sana. Sekelebat kekhawatiran membayang lagi di benak. Jika saya terima lalu sampai ke nikah, kemungkinan saya akan menjalani LDM dulu dengannya. Entahlah. Tak mau berkutat dengan tanya "bagaimana ini semua bisa terjadi?", kami jalani saja setiap prosesnya, yang atas izin-Nya, restu turun begitu mudahnya, hingga hanya 7 bulan berselang semenjak perkenalan, pernikahan itu dilangsungkan.

Kami sepakat tidak akan berlama-lama berjauhan hanya karena alasan pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja saya yang harus mengalah dan ikut suami. Namun, rupa-rupanya memang butuh kesabaran berlimpah selama waktu tunggu tersebut. Lalu, kalimat "Ah, ada yang LDM-nya jauh lebih jauh daripada kita" tidak serta-merta bisa dijadikan pelipur lara. Sewajarnya pengantin baru yang setiap hari ingin berdekatan, tinggal bersama, menjalani hari-hari berdua, ada yang selama ini selalu tertahan dan ingin dicurahkan, namun di saat rindu yang menyesak belum habis, tiba-tiba harus ditimbun lagi dengan rindu baru. Kami yang sebelumnya sudah berjarak, kini harus berjarak lagi.

Ingin mencoba bersikap biasa saja dan happy, nggak usah sok mellow, nangis bawang atau apalah. Bisa, bisa! Lantas, tanpa diundang, muncul sekerat bayangan tentang ucapan salah satu sahabat saya yang LDM sebulan dengan suaminya: "Kamu jangan LDM ya, Li. Amat sangat tidak disarankan bagi umat." Tapi, saya yang agak songong ini mencoba mengusir kata-kata itu dengan bisikan, "Kebaperan nggak usah dituruti, nanti malah makan ati sendiri."

Waktu berputar cepat, dan yaah... saya mengalaminya sendiri. Welcome to the jungle, Sist! Jatah cuti suami sudah habis, harus segera kembali bekerja, dan saya juga belum bisa ikut pindah, jadilah ucapan semacam ini dilontarkannya, "Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?" tanyanya sebelum berpisah di stasiun.

"Enggak," sambil memasang senyum yang dibikin-bikin (lalu cium tangan). Maka, jawaban "enggak" itu hanyalah dusta. Setelah itu inginnya ambil langkah seribu tanpa menengok lagi, "Ah, udah ah, gue mau buru-buru pulang, nanti makin diliatin, makin kenapa-kenapa ini perasaan." Akting sok tegar berhasil!

Esoknya, barulah perasaan ‘kehilangan’ itu menjalar di seluruh urat nadi. Ada yang menyekat di kerongkongan. Rinai yang tak setitik pun jatuh ketika janji suci itu usai diucapkan, kini justru turun pelan-pelan, lalu menderas. Saya rindu, acapkali mengingat kebersamaan kami yang baru beberapa hari. Saya rindu campur haru, setiap kali mengingat kebaikan-kebaikannya selama ini.

Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi, drama baru dimulai. Karena pagi hingga sore mayoritas adalah jam kerja, maka waktu longgar kami untuk intens berkomunikasi adalah malam hari. Namun, saya yang seringkali mengantuk duluan membuat malah nggak jadi video-call atau terlupa membalas chat-nya. Terkadang pula, kehabisan tiket kereta menjadi kendala untuk bertemu kembali. Selanjutnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran yang menyergap tiba-tiba: apakah belahan jiwaku di sana baik-baik saja? Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu menjaganya, menjaga hati kami berdua agar dikuatkan ikatannya dan dikekalkan cintanya. Sebab ini juga adalah ujian cinta, sejauh mana kami mampu menjaga setia hanya kepada yang berhak saja.

Terkadang, cinta memang harus dididik dengan jarak. Karena jarak yang merentang memberi kesempatan bagi bertumbuhnya tunas-tunas rindu. Sebagaimana bumi akan bosan, jika selalu turun hujan, maka cinta—saya rasa juga memerlukan jeda, untuk mengambil napas dan menyegarkan bibit-bibitnya kembali. Agar ketika tak ada lagi jarak merentang panjang, kami semakin bersemangat untuk merawatnya setiap hari, hingga mekar dan ranum sampai nanti.

Jumat, 12 Februari 2016

Kepada Hujan yang Jatuh Ritmis





Matanya tengah merindukan hujan. Padahal jendela besar berkaca itu masih menyisakan titik-titik air di permukaannya. Daun-daun pepohonan di luar sana juga masih terlihat basah. Angin semilir yang menggoyangkan pucuk-pucuk dedaunan membuat sisa-sisa air yang menempel di sana berjatuhan, bak guguran kristal. Mereka jatuh ke tanah, jatuh ke danau, jatuh ke genangan air, menciptakan riak-riak bergelombang. Andai telinga manusia mampu menangkap bunyi paling mikro di dunia ini, mungkin episode butir air yang jatuh itu akan menciptakan nada, meski hanya sebentar saja. Bunyi yang mungkin kelak akan membuatnya berpikir, bahwa sekecil apapun kejadian sesungguhnya memiliki makna. Ia tidaklah jatuh hanya untuk sia-sia.

Matanya tengah merindukan hujan. Padahal hujan belum lama usai, ini tidak sedang kemarau. Hujan telah membuat ujung rok panjangnya basah di sepanjang perjalanan. Hujan pula yang membuatnya harus kerepotan mengembangkan payung di tengah lalu-lalang orang. Ah, namun suara deras hujanlah yang akhir-akhir ini mampu memupusnya dari perasaan kesepian nan membosankan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling merdu dan indah yang dihadiahkan tuhan. Rasanya, ia tak memerlukan lagi alasan-alasan, mengapa hujan yang kadang tak disukai sebagian orang itu justru selalu ia nantikan.

Sama seperti rinai hujan yang jatuh ke bumi, ia pernah jatuh berkali-kali. Entah hatinya, entah perasaannya, entah harapan, entah menjatuhkan pilihan, dan tentu saja... sepasang keping matanya yang bening itu pernah berkali-kali menjatuhkan rinai pula. Meskipun terkadang, ingin sekali ia menghindari jatuh. Ya, untuk apa terjatuh, jika kelak akan patah? Lalu, yang patah dan terencah itu harus ia tata ulang dengan susah payah. Sebagai hawa, sulit sekali rasanya menghindari jatuh. Perempuan tak bisa disandingkan begitu saja dengan logika, ia adalah konstelasi perasaan, lantas harapan-harapan dan keinginan. Perempuan tak bisa diibaratkan begitu saja dengan kerasnya karang di tepi samudra. Bahwa setegar apapun jiwanya, ia tetaplah daun kering yang luruh terkena tempias hujan. Rapuh. Tapi, bukankah tak jarang pula, cintanya tersembunyi. Rahasia. Dalam diam dan menunggunya, hening dalam doa adalah jalan cintanya. Hanya karena ia terlalu malu untuk mengutarakan sebelum rasa itu menjadi halal baginya.

Perempuan itu melangitkan doa-doa tiap usai menghadap Sang Pencipta meski dalam sehening-heningnya suara, tanpa seseorang nun jauh di sana itu pernah tahu, apalagi mendengarnya. Semoga Ar-Rahmaan meneguhkan langkahnya, menguatkan ikhtiarnya, menambah iman dan rasa cintanya kepada tuhan, meluruskan niatnya, memudahkan urusannya, melembutkan hati orang-orang terdekat kalian untuk senantiasa membukakan jalan, juga menjaga hati-hati kalian agar tetap berada di jalan tuhan selama perjalanan itu belum sampai ke titik pertemuan, dan semoga Ia segera turun tangan. Bersama sebilah keyakinan dan harap-harap cemas, ia tepis keraguan demi keraguan. Bukankah keraguan itu muasalnya dari setan? Ahai, banyak sekali ‘semoga’ yang ia panjatkan. Namun, ia tak peduli. Ia percaya, Allah selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya. Apakah nama yang ia doakan kali ini juga mendoakannya? Ia tak tahu, juga tak peduli. Yang ia dambakan, doa yang ia langitkan segera turun menjelma jawaban dari Sang Penguasa Alam.

Apakah kali ini ia telah jatuh kembali? Tidak-tidak. Seorang sahabat mengajarinya bahwa sebagai kata kerja, cinta haruslah diperjuangkan semampunya, diupayakan sebisanya. Tanpa perjuangan, seorang hamba tak akan pernah bisa menghargai cinta. Bukan membiarkannya jatuh dengan semena-mena, untuk kemudian patah berderaian begitu saja. Bangun cinta, bukan jatuh cinta. Cinta: bukan untuk dijatuhkan, namun ditumbuhkan di tempat yang layak, yang semestinya. Namun, bukankah tak selamanya jatuh itu bermuara pada pecah atau patah? Jatuh di ruang yang aman, seperti bola kristal yang jatuh di permukaan busa yang empuk, seperti ranting kayu yang jatuh di permukaan air yang tenang. Apabila saat ini hatinya tengah jatuh, apakah benar-benar telah menemukan tempat berlabuh?

Lantas, di saat yang tak lama berselang, apakah kali ini ia telah patah kembali? Patah untuk ke sekian kali? Apakah ia telah salah menjatuhkan pilihan? Lalu, apa sebenarnya makna ‘yakin’ yang selama ini perlahan ia lekatkan di dasar hatinya yang paling dalam? Apakah ia harus mengulang pertanyaan ini lagi: ke mana gerangan perginya doa-doanya yang rahasia? Mengapa harapan yang perlahan bertunas itu harus terinjak dan mati kembali? Kecewa di ujung harap, dalam bahagia yang nyaris mendekap. Bahwa menyandarkan harap seutuhnya kepada tuhan bukanlah semudah-mudahnya perkara. Ya, sama beratnya dengan belajar bersabar dalam setiap proses dan ujian. Kemudian, doanya pun berubah: jika itu takdirnya semoga Allah membukakan jalan, dan jika bukan mohon dijauhkan sejauh-jauhnya. Sejauh-jauhnya, hingga benar-benar lenyap dari pandangan. Sejauh-jauhnya, hingga tak bisa saling menyapa atau berkirim salam. Atau, jika jauh itu merupakan sebentuk ujian, maka hanya dia yang terpilihlah yang akan mampu memupus sekat-sekat jarak dalam memperjuangkan tujuan. Jika sekat itu berupa waktu yang tak menentu, maka hanya dia yang terbaiklah yang mampu bersabar dengan sebaik-baik kesabaran dalam mencapai tujuan. Jika hari ini ia berupaya menjaga apa yang seharusnya dijaga, maka ia juga akan dipertemukan dengan yang mampu menjaga pula. Jika hari ini ia berupaya menjadi seistimewa kembang di tepi jurang nan curam, maka hanya pejuang yang mau berjuang dengan setangguh-tangguh upaya yang kelak mampu memetik tangkainya. Sebab, memang tak ada sesuatu yang berharga bisa didapatkan dengan mudahnya. Sedangkan manifestasi cinta kepada Rabb Semesta Alam pun adalah perjuangan, tiada kata ‘gampang’, tiada kata mulus dan instan di jalan menuju surga-Nya. Pun jalan memenuhi cinta itu dengan penyelamatan setengah agama.

Matanya masih selalu merindukan hujan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling merdu dan indah yang dihadiahkan tuhan. Ada ayat kauniah yang berseru di tiap rinainya: akulah ciptaan-Nya yang paling berani, aku tak pernah takut jatuh meski berkali-kali. Ya, air curahan langit itu bertasbih di tiap jatuhnya. Sebab hujan jatuh di bumi yang lapang, dan tanah yang bersedia menampung setiap tetesnya sebagai sebentuk karunia. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan jatuh tanpa patah jua untuk seterusnya.... di hati seseorang yang paling lapang daripada hati-hati sebelumnya, yang mampu menerimanya dengan sebaik-baik penerimaan, sekaligus mampu memberi dengan setulus-tulusnya pemberian. Ia pun belajar melalui semesta, bahwa pelangi tak bisa hadir tanpa hujan yang mendera. Sesederhana itu.

Matanya masih selalu merindukan hujan. Tentu saja karena hujan adalah salah satu waktu yang sangat mustajabah bagi keterkabulan sebuah doa. Kusyuk, ia akan biarkan hujan mengawal doa-doa yang terlantun hingga ke angkasa.

Matanya masih merindukan hujan. Kelak, biar deras guyurannya menghapus jerejak kenangan tak menyenangkan di hari-hari yang telah lalu, lenyap mengabu, tak bersisa.


Depok, di Februari yang membasah 2016

Jumat, 24 Juli 2015

ジョグジャカルタ






Ramadan di tahun 2013 tak ubahnya mata koin dengan dua sisi yang bertolak belakang. Ada rasa bahagia membuncah, sebab sidang skripsi yang selama berbulan-bulan menjadi bayang-bayang kelam di benak saya telah usai, tinggal menunggu memakai toga dan menerima ijazah, alhamdulillah, maka itulah puncak predikat bahagia seorang mahasiswa. Di sisi lain, ada rasa sedih yang menggelayuti hati saya tersebab perpisahan yang hampir di depan mata akan mencegat saya dengan kata sayounara, bukan lagi jya mata, atau mata ashita. Sayounara, tak lain adalah ungkapan untuk perpisahan dalam kurun waktu yang lama, dan bisa jadi tidak bertemu lagi. Ramadan itu, Ramadan terakhir saya di kota bernama Yogyakarta, itu pun tidak sepenuhnya. Setelah selesai wara-wiri dengan urusan berkas wisuda dan yudisium, sudah bisa dipastikan, saat itulah saya harus dijemput pulang: pertengahan Juli 2013.


Rasanya biasa saja ketika berkemas, meninggalkan ruang yang sudah tiga tahun saya huni. Namun, ketika bus yang saya tumpangi mulai melaju meninggalkan kota itu, susah payah saya sembunyikan air mata yang mulai turun dari perempuan terkasih yang duduk di samping saya—yang sejak selesai sahur sudah berangkat dari rumah untuk menjemput saya pulang ke haribaan kampung halaman. Muncul tanya yang melesak dalam dada: mengapa secepat ini saya harus pergi? Empat tahun terasa begitu singkat untuk saya lalui. Entah, ada semacam duka  yang susah untuk didefinisi. Meninggalkan Jogja yang telah menjadi tempat bernaung saya selama empat tahun merupakan keputusan berat yang harus dijalani. 


Darinya saya belajar banyak hal tentang kehidupan. Ia mengajarkan saya betapa bahagia bukan sesuatu yang melulu diukur dengan materi. Bahagia bagi Jogja adalah perkara sederhana. Sesederhana tawa renyah yang ada hingga jauh malam di angkringan-angkringan tepi jalan. Sesederhana suara ketipak kaki kuda penarik delman di sepanjang Malioboro. Tempat itu pula yang memperjumpakan saya dengan sahabat-sahabat hebat, orang-orang luar biasa yang menginspirasi. Hijrah ke kota itu beberapa tahun silam bagi saya bukan hanya dimaknai secara lahiriah, namun juga ruhiyah. Tempat itu pulalah yang memperjumpakan saya dengan sahabat-sahabat dalam kebaikan. Dari mereka saya belajar lebih dalam tentang makna metamorfosis—berubah menjadi lebih baik, laiknya kupu-kupu cantik. Dari kesederhanaan mereka saya belajar bahwa kecantikan rupa tidak bisa mengalahkan kecantikan hati. Dari kebersamaan-kebersamaan sederhana bersama mereka, ada sejuta bahagia yang mengendap, kemudian bertransformasi menjadi semangat: “Kita semua sama-sama berjuang meraih cinta-Nya!” Maka, masjid-masjid sekitar kampus itu menjadi saksi hijrah tak kenal lelah dari para perindu jannah


Saya mengamini kalimat salah seorang ustaz: Jogja adalah kota yang saleh. Ya, secara harfiah, ada banyak sekali ustaz, kajian, masjid-masjid yang seolah menjadi pusat peradaban tersebar di seanteronya, menebarkan cahaya kearifan. Di sisi lain, saleh, sebab ia kota besar yang tak metropolis dan angkuh seperti ibukota. Meski sekarang telah banyak gedung dan pusat perbelanjaan yang bertumbuh seiring geliat ekonomi masa kini, sisi sederhana itu tentu tetap ada, tak lekang oleh usia, tak pudar ditelan zaman. 


Meski berat, ketika itu saya bertekad untuk pergi. Merantau ke bagian bumi-Nya yang lain. Bukan pilihan saya untuk menetap di Jogja setelah studi S1 saya usai. Saya ingin mencicipi bersekolah di perguruan tinggi papan atas lain di negeri ini. Jogja terlalu nyaman untuk ditinggali, saya tidak akan pernah bisa move on dan terperangkap pada zona nyaman jika tidak bergerak dan memutuskan benar-benar pergi. Maka, saya beranikan diri menantang badai. Jakarta: kota yang menjanjikan mimpi-mimpi. Dan begitulah, saya hijrah membawa segumpal mimpi yang semenjak kanak telah saya simpan. Nasib baik, saya diterima sebagai mahasiswi pascasarjana universitas yang juga melahirkan banyak orang besar di negeri ini.


Ada jurang beda yang menganga, yang saya rasakan setelah menetap di tempat baru. Segalanya berbeda, tentu saja. Tertatih beradaptasi membuat beberapa bulan saya sakit-sakitan dan berat badan jadi turun drastis. Serta masih ada cobaan-cobaan lain di kampus, di jalan, di mana-mana. Itu berarti, keputusan hijrah kemari saya dari zona nyaman bernama Jogja adalah tepat sebab ini memang bukan zona yang nyaman dalam berbagai segi. Ah, namun saya kehilangan banyak hal. Teman-teman kampus yang tidak sebanyak dulu, kemudahan mendapatkan makanan dan kebutuhan yang murah—sedangkan di ibukota makanan sungguh berharga, lingkungan hangat nan kekeluargaan—sedangkan kini, orang-orang sekitar begitu individualis. Sederhana. Kata itu tiba-tiba menguap hilang dari peredaran. Di mata saya, rata-rata semuanya gemerlap, materi, uang, orang-orang kaya. Gedung-gedung apartemen dan universitas yang menjulang tinggi itu seolah tak ubahnya simbol-simbol keangkuhan yang amat nyata, terpampang nyalang di depan mata saya. Itu semua kontras, berbenturan dengan pemandangan banyak penjaja tisu, pengamen dan pengemis yang menadahkan tangan di pinggir-pinggir jalan, atau bahkan penipu ulung yang mengaku tersesat namun meminta uang dengan cara berbohong. Kesenjangan sosial yang sangat terasa.


Well, kemudian, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak merindukan kota itu: Yogyakarta. Kerinduan yang melesak lantas membuat saya jadi menumpahkannya di mana-mana, berkali-kali, tidak terhitung lagi berapa kali saya menulis “rindu Jogja”. Ada yang menuduh saya menyesal, ada yang mempersalahkan keputusan saya pergi dari kota itu, ada yang berkata bahwa saya tidak bisa benar-benar hijrah. Selanjutnya, segalanya ditanggapi dengan senyuman saja. Ya, saya memang tidak bisa sepenuhnya hijrah. Badan saya memang hijrah, namun hati saya tidak. Seperti ada kepingan-kepingan yang masih tertinggal dan belum saya pungut. Namun, saya tidak menyesal. Tidak ada yang perlu disesali, sebab tidak ada segala sesuatu yang dihadirkan Allah bagi seseorang dengan kesia-siaan. Sama halnya seperti Jogja, saya pun belajar banyak hal dari kota nan keras berjudul ibukota. Allah berkehendak menempa saya menjadi perempuan yang kuat, yang tidak mudah rapuh dan patah. Bahwa hidup kita memiliki masanya untuk dilalui oleh masa-masa sulit, oleh kerasnya halang-rintang. Kota nan keras itu juga mengajari saya betapa hidup ini tidak linier, bukan garis lurus, namun random, ibarat benang ruwet, tidak bisa diprediksi alurnya maupun ending-nya. Hanya saja, sebagai seorang Muslim, berpegang teguh pada tali-Nya merupakan sebuah keharusan yang niscaya. 


Dari semua keluhan rindu yang pernah saya lemparkan, di sisi lain saya bersyukur mampu pergi melanjutkan hidup ke lain tempat. Saya lebih beruntung daripada mereka yang tidak pergi dan menetap di sana sekian lama. Mereka tidak akan merasakan pahitnya merindukan kota yang damai dan bersahaja bernama Jogja. Pun mereka tidak akan merasakan betapa manisnya ‘pertemuan’ ketika kembali lagi ke sana. Ya, rindu adalah candu untuk bertemu.


Ia bukan tanah kelahiran saya. Ia juga bukan tempat saya tumbuh hingga remaja. Namun, ia seolah menjadi kampung halaman setiap orang. Setiap kembali ke sana sama dengan pulang. Gadjah Mada Chamber Orchestra yang menyenandungkan Yogyakarta dua tahun lalu masih jelas terngiang di telinga hingga kini. Liriknya seakan merayu untuk singgah ke sana lagi. Meninggalkan Jogja bukan berarti melepaskan semua perca kenangan dan peristiwa yang telah dilalui. Ada yang harus tetap tinggal dalam memori. Ada yang harus dilepaskan, dihapus, ditinggalkan dan dilupakan seiring jeda jarak yang membentang. Memang, perlu ada ikhlas yang harus disemaikan di lahan hati.


Namun, lantaran kata sastrawan Joko Pinurbo Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan, izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi… 

Kamis, 23 Oktober 2014

Rindu #2




Hawa tanah basah meruap
Rinai masih setia jatuh dari langit, membuat kuyup reranting jambu dan rumpun anggrek ungu di samping rumahku yang diam membisu
Menatap indahnya rekahan ungu-merah jambu membuatku sayu
kau persaksian rinduku
Rinduku pada rekahan senyum di bibir mereka
Rinduku pada mushaf merah muda, yang telah berhari-hari tak kukecup mesra
Rinduku bercerita dan berceloteh jenaka
Menelusuri hijaiah kalam cinta-Nya yang lekuk-lekuknya membuatku tersenyum kagum,
serta maknanya yang tak bisa diurai hanya secara simbolis maupun linguis
Rinduku bergelora hingga ke tubir waktu,
tak bisa kukata setangkai, segenggam, segumpal, atau selaksa

Tak terkata






:: Ditulis di bulan hujan tahun 2010. Diposting di kemarau yang merindu hujan, tahun 2014 ::

Selasa, 25 Maret 2014

Angkasa Rindu: Antologi Rindu Para Perindu


Judul: Angkasa Rindu
Jenis buku: Antologi Cerpen
Penulis: Mardhiyan Novita MZ, Lia Wibyaninggar, Henny Nur Alifah, dkk.
Tebal: vii + 236 halaman
Kata Pengantar: Aris Munandar, S.S., M.Hum.
Penyunting: Eka Damayanti, Lia Wibyaninggar
Desain Sampul: Umar Hanif Al-Faruqy
melalui nulisbuku.com
Bisa dibeli secara online via nulisbuku.com
Harga: Rp. 56.000


"Seluas angkasa kau sebutkan rindu bapakmu, Nak. Lalu seluas apa rindu ibu di matamu? Itulah pertama kali angkasa dikenalkan Rasyid padanya. Masih ada angkasa untuk hari-hari berikutnya. Rasyid yang bisa membayangkan wajah bapaknya di angkasa. Rasyid yang menganggap betapa tingginya cinta bapak, setinggi angkasa yang jauh di sana. Rasyid yang memenuhi buku gambarnya dengan angkasa. Hingga ia tumbuh dewasa."
(Kutipan cerpen Angkasa Rindu)

Denting-denting rindu yang bermain di jiwa setiap penulis dalam antologi cerpen ini menggerakkan mereka untuk menulis, melukis asa melalui baris-baris kata, menjadikannya melodi yang harmoni tanpa suara, maka biarlah masing-masing pembaca menerjemahkannya ke dalam butir-butir mutiara hikmah penghias kehidupan.
Semuanya adalah tentang rindu. Rindu anak kepada bapak, rindu terhadap manisnya persahabatan, rindu teman seperjuangan dalam kebaikan, kerinduan akan masa depan yang gilang-gemilang, merindukan hadirnya belahan jiwa, kerinduan tentang kampus madani, juga rindu akan kehidupan yang lebih baik. Kisah yang berbeda-beda, namun semuanya terangkum menjadi satu, bermuara kepada satu rindu: lillahi ta’ala.
Angkasa Rindu adalah antologi cerpen dari para aktivis dakwah yang tergabung dalam Keluarga Muslim Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (KMIB UGM). Mengusung tema Islami, namun tidak menggurui. 23 cerita, 14 penulis. Gaya bahasa dan alur penceritaan yang berbeda-beda dari setiap kisah yang ditulis memberikan warna-warni tersendiri dalam antologi cerpen ini. Layaknya pelangi—kisah-kisahnya tak hanya hitam-putih, namun juga merah yang berani, ungu yang sendu, kuning yang mencerahkan, hijau yang menyegarkan, juga biru yang menenangkan, sehingga sungguh layak dinikmati.