Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 November 2018

Kepada Anakku, Yasmina: Ini Hidupmu, Jalanilah




Matamu yang bundar itu mengerjap-kerjap, sesekali kau tersenyum bahkan tergelak—entah apa yang kau tertawakan. Apapun itu, Nak, kau berhak untuk selalu menyunggingkan senyum kebahagiaan, senyum keceriaan, selayaknya anak-anak pada umumnya yang masih bersih dari lumuran dosa. Bunda pun tersenyum. Terima kasih ya, Nak. Bolehkah Bunda menyebutmu Peri Kecil saja? Sebab sedih dan luka yang datang seketika hilang karena memandang senyum lesung pipitmu.

Sayangku, tahukah kamu, terkadang Bunda berpikir, apakah hadirmu kini adalah ujian? Apakah hadirmu adalah beban? Ataukah hadirmu merupakan ujian dan berkah sekaligus dari tuhan? Semuanya repot dan mendadak sibuk karena ada kamu di tengah-tengah kami. Semuanya seolah ikut lelah karena ada kamu di tengah-tengah kami. Nak, patutkah kamu dipersalahkan? Tidak sama sekali. Hadirmu adalah kesyukuran tiada tara. Berapa banyak perempuan yang telah menikah bertahun-tahun, namun belum ada tanda-tanda diberi keturunan? Sedangkan hanya tiga bulan berselang sejak akad terucap, engkau sudah hadir mengisi hari-hari kami sebagai calon orang tua. Bahkan kehadiranmu sudah Bunda rindukan semenjak dulu, jauh sebelum Bunda tahu siapa abimu. Maafkan atas berlapis-lapis kesedihan yang menumpuk semenjak dulu, sejak waktumu masih benih di dalam rahim. Jika kelak kamu menjumpai Bunda menangis, jangan takut ya. Itu air mata yang keluar karena Bunda sangat mencintaimu. Jangan kau tiru air mata Bunda, sebab—sekali lagi, kau berhak untuk selalu tersenyum bahagia. Meski demikian, lewat beragam luka, Bunda belajar banyak hal. Semoga menjadi hikmah dan pelajaran bagi kami, orang tuamu, untuk mendidikmu dengan cinta.

Nak, kamu terlahir perempuan. Adalah tugas berat bagi Bunda (dan juga Abi) untuk mendidikmu kelak menjadi wanita salehah sesuai koridor agama kita. Mendidikmu sesuai fitrahmu sebagai perempuan. Dengar, Sayang, kemuliaanmu nanti tidak ditentukan oleh beragam prestasi duniawi, sekolah tinggi hingga bergelar master ataupun doktor, atau menjadi wanita karier yang sibuk di luar rumah. Kemuliaanmu kelak ditentukan oleh seberapa taatnya kamu kepada Rabb Semesta Alam yang menciptakan kita, seberapa pandai kamu menjaga diri sebagai seorang muslimah, serta bagaimana taatmu kelak kepada suamimu setelah menikah. Bunda harap, kamu mau patuh kepada orang tuamu jika menyuruhmu untuk patuh jua kepada aturan agama. Kebahagiaan terbesar Bunda bukan ketika kelak kamu sukses mendapatkan serenteng gelar akademik, lalu menjadi wanita karier. Kebahagiaan terbesar Bunda nanti ada pada doa-doa tulusmu untuk kami, sebab itulah amalan anak Adam yang tak terputus jika telah tiada, Nak. Bunda tak akan memaksamu kau harus jadi apa. Ini hidupmu, jalanilah. Jangan sampai kau seperti Bunda, tersandera oleh obsesi orang tua. Namun, kau harus ingat, segala keputusan yang kau ambil harus tetap berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Yasmin cantik, saat ini mungkin ada ratusan bahkan ribuan perempuan seperti Bunda. Meninggalnya egonya sebagai perempuan bekerja di rumah. Lebih memilih memakai daster lusuh di rumah dan berpeluh karena asap dapur, daripada berdandan rapi dan wangi sedari pagi, berkejaran dengan waktu dan rutinitas jalanan. Kalau kamu sudah sekolah nanti, lalu ada temanmu yang bertanya apa pekerjaan bundamu, janganlah kau sedih dan malu. Bunda mungkin tidak seperti ibu teman-temanmu yang guru, perawat, dokter, PNS, dan pekerja kantoran lainnya. Namun, Bunda bisa menemanimu sepanjang waktu, tidak harus menitipkanmu di daycare atau meninggalkanmu bersama baby sitter. Doakan kami bisa membersamaimu (dan adik-adikmu kelak) hingga kalian dewasa ya, Sayang. 

Tidak ada yang salah dengan para ibu yang bekerja di luar sana, Nak. Mereka memilih berkorban meninggalkan anak-anaknya di rumah tentu bukan tanpa alasan. Ada yang memang harus diperjuangkan di sela rasa bersalahnya karena tak bisa selalu membersamai buah hatinya. Tidak ada salahnya pula dengan para ibu yang memilih ‘bekerja’ di rumah, tersebab bakti dan cintanya pada sang suami dan anaknya. Tapi, Nak, kata nenek, Bunda tak berguna, hina, dan menyedihkan. Hanya karena Bunda tidak bekerja di luar rumah, memilih mengikuti abimu dan mengasuhmu. Karena Bunda mengecewakannya, orang yang telah menyekolahkan Bunda hingga perguruan tinggi. Nak, dari sini Bunda belajar, Sayang. Bahwa tak semua harapan harus selalu dipaksakan untuk mewujud dalam kenyataan. Bahwa memiliki anak perempuan, suatu saat akan menjadi istri orang. Ketika telah menikah, rida suamimulah yang lebih utama. Jangan sekali-kali kau menggugat takdir, sebab ia adalah ketentuan Yang Maha Kuasa.

Anakku, bundamu hanyalah manusia biasa. Teramat sangat biasa. Bunda bisa marah, kesal, jengkel, dan juga mengomel. Untuk itu, ingatkan Bunda agar selalu berlemah-lembut kepadamu. Bunda selalu berdoa, supaya Allah menjaga lisan Bunda dari kata-kata yang tak seharusnya dikeluarkan mulut ini. Sebab omongan orang tua itu doa, Nak. Kita mungkin sanggup bertahan dari omongan orang lain yang tak mengenakkan. Namun, akan sangat pedih jika kalimat-kalimat pahit itu terucap dari bibir orang terdekat. Orang yang menghujani kita cinta, namun juga hujatan sekaligus. Semoga Allah menjaga telinga mungilmu dari kata-kata kotor yang—sengaja atau tidak—terucap oleh orang tuamu atau bahkan nenekmu.

Sayang, surat ini akan sangat panjang kalau diteruskan. Sementara kau sudah terlelap dipeluk mimpi. Jalan masih panjang, Nak. Tak sependek mimpimu semalam. Terpenting, ini hidupmu. Kau berhak untuk bahagia. 


Lots of Love,
Bunda

Selasa, 30 Desember 2014

Cintamu (Tak Cukup) Seluas Angkasa

A woman is like a tea bag, you never know how strong she is until she gets into hot water 
-Eleanor Roosevelt-





Bu Tami, perempuan berusia lima puluhan tahun--istri dari komedian Pepeng itu, sungguh ia adalah perempuan tangguh yang luar biasa. Sembilan tahun terkungkung dalam suramnya "goa Pepeng" yang memenjaranya untuk harus selalu mendampingi suaminya yang sudah tak berdaya itu selama 24 jam. Dalam kepiluan ia bercerita, bagaimana mirisnya ketika tangannya harus mencongkel luka suaminya. Namun, Allah menganugerahinya jiwa yang lapang untuk menerima apapun kondisinya, seberat apapun itu, ia selalu ingat akan kebesaran Sang Maha Kuasa.

Aku juga memiliki perempuan tangguh sepertinya, ia telah hadir jauh sebelum aku mampu menyapa dunia. Matanyalah yang pertama kali kutatap ketika pertama kali aku membuka mata. Tangannyalah yang pertama kali merengkuhku ketika aku masih tak berdaya. Ia telah mengajariku cinta semenjak aku masih benih dalam garbanya. Semuanya tahu, malaikat  pun tahu, ia adalah jelmaan bidadari yang turun ke bumi. Tiap tetes peluhnya menguarkan wewangi cinta, kuntum-kuntum mawar yang mengiringiku tumbuh dewasa. Namanya adalah melodi paling harmoni bagi tiap buah hati.

Rasanya, tak cukup satu-dua, bahkan tiga-lima tulisan, bahkan beratus tulisan untuknya. Tidak mungkin kutuliskan semua cintanya untukku di sini. Terlalu banyak. Terlalu sempit ruang bercerita. Hanya jika aku boleh berhiperbola, cintanya tak cukup memenuhi angkasa. Ah, tentulah cinta-Nya melebihi segalanya. Namun, jika harus kuhitung cintanya semenjak aku masih benih dahulu kala hingga aku dewasa, tidak bisa kubilang seribu, sejuta, semilyar, atau selaksa. Tak terkata. Sedari dulu kurepotkan, namun ia hanya mampu membalasnya dengan gelimang kasih sayang. “Tidak ada orang tua yang menuntut balasan dari anaknya,” ujarnya suatu hari di telepon, meredakan gelisahku yang membadai. Ya, memang tidak akan pernah ada, sebab tidak akan pernah ada yang mampu. Aku tergugu. Di bilangan usia yang beranjak dewasa, dua puluh empat tahun berselang semenjak dia melahirkanku, aku belum bisa membalas apa-apa, kecuali doa tiap usai salat yang kugumamkan tergesa-gesa. Namun, aku yakin, dia tetap akan rela kurepotkan sampai kapan pun, hingga aku menikah nanti dan memiliki anak, mungkin. Dia akan sepenuh hati menyayangi anak-anakku kelak, sebagaimana nenekku mencintai aku semenjak aku masih kanak. Cinta seorang ibu tiada berbatas.

22 Desember ditahbiskan menjadi Hari Ibu. Mengapa harus ada hari ibu di tanggal tertentu? Bagiku, setiap hari yang kutapaki adalah hari ibu, baik ketika aku ada di dekatnya, maupun jauh dari pandangannya. Ia selalu mendahului membuka percakapan denganku, menanyakan hal-hal sepele bagiku yang baginya justru hal penting yang menyulut kekhawatiran.

Adalah susah mendefinisikan cintanya. Terlalu sulit.

Maka, tugas untuk memberikannya hadiah terindah kelak juga teramat sulit. Hadiah yang lebih indah dibandingkan dunia dan seisinya: mahkota cahaya.

There is no one in this world that can take your place. Mom, could I ask a small piece of heaven beneath your feet?




Rabu, 03 Desember 2014

Deraan


Kurasakan lagi nyeri dan perih sejak beberapa hari yang lalu. Aih, sudah terlalu biasa sebenarnya. Namun, tetap saja sakit. Dan sakit yang menggejala itu berpuncak malam ini. Jadilah bermacam agenda sore tadi kubatalkan karena tak tahan sakitnya. Aku tak tahan untuk tak menarik selimut. Dingin. Keringat dingin perlahan mengalir. Mual dan ingin muntah. Perutku seakan diinjak-injak. Antara lapar dan nyeri. Namun aku sudah tak berselera makan lagi. Mual itu penyebabnya. Ah, Rabbi... ini belumlah apa-apa. Aku yakin nanti aku akan merasakan kesakitan yang lebih hebat lagi. Sendiri bertemankan laptop yang menyala sejak asar tadi--yang sebelumnya kuniatkan untuk membuat project desain grafis. Berusaha menghibur diri dengan menyetel film yang sudah berulang kali kutonton. Entahlah, mungkin aku memang tak pernah bosan menontonnya, hingga suatu saat aku akan hafal dialognya.
Jika di rumah, pasti ibu sudah membuatkanku teh hangat, memaksa mulutku untuk makan sesuap-dua suap nasi. Dan aku selalu mengelak. Mual. Jika aku tetap begitu, maka bisa jadi aku pucat pasi karena banyak darah yang keluar. Lantas aku akan didoktrin anemia dan dipaksa menelan pil penambah darah. Atau, ibu akan membuatkanku segelas kunyit-asam yang rasanya tak enak itu. Aku sempat merasa tak adil ketika mendapati kenyataan bahwa banyak teman-temanku tak pernah mengalami sakit yang kurasakan. Sakit menurun, sebab dulu ibuku juga memiliki sakit yang sama. Kalau sudah begini, jangan ditanya. Aku akan berbaring sepanjang hari di tempat tidur dan mengabaikan yang lain. Sekolah, tugas-tugas, hand phone, buku-buku. Mengabaikan adikku yang nakal, maupun adikku yang ingin bermanja denganku. Aku hanya ingin memeluk guling, berselimut kain tebal, lantas tertidur dan bermimpi, lupa akan kesakitan ini.

Ah, biarkan rasa sakit ini. Biarkan. Sebenarnya, aku hanya ingin satu. Menuntaskan rinduku kepada ibu. Padahal baru sepekan yang lalu beliau mengantarku berkereta menuju Jogja, hanya karena keadaanku yang belum pulih--namun kupaksa kembali ke sini, sebab kuliah dan tugas-tugas menanti dan tak mengijinkanku pulang terlalu lama. Rela menginap berdua denganku di kamar sempit ini, meninggalkan adikku sendirian di rumah. Rela tidur di bawah hanya beralaskan selimut dan aku di atas. Rela berhujan-hujan basah-basahan demi mengantarku beli sepeda. Membangunkanku ketika azan subuh berkumandang, sementara aku masih menggeliat malas-malasan. Menyeduhkanku segelas kopi hangat sebelum aku berangkat kuliah pagi itu. Dan ia kemudian harus pulang sendirian tanpa aku, dalam keadaan tak berhape. Hingga aku hanya bisa berdoa untuk keselamatannya, sebab aku tak bisa menghubunginya.
Duh, Rabbi.. aku hanya ingin Engkau selalu melimpahkan rahmat untuknya, memudahkan rezekinya, memberkahi usia ke-48-nya tahun ini.

Ketika kutulis catatan ini, ponselku bergetar. Pukul sembilan malam lebih. Seperti biasa, ia meneleponku sepulang dari kantor, malam-malam begini. Dengan nyeri yang masih tersisa, kukatakan bahwa aku sedang didera sakit seperti biasa. "Segera tidur aja, Nduk. Ya.." aku hanya mengiyakan seraya menjawab salamnya di seberang.

Rindu ini benar-benar melesak. Liburan menjelang UAS sudah di depan mata. Namun, amanah di sana-sini membuatku mungkin tak bisa pulang untuk menuntaskan rinduku. Semoga ada waktu. Hanya 2 jam berkereta dan sampailah aku. Aku ingin pulang. Hanya untuk orang yang selama ini mencintaiku.





27 Mei 2011
di Yogyakarta (seperti biasa)


Membuka catatan lama tiga tahun yang lalu. Keadaan yang nyaris serupa dalam dimensi waktu yang tak sama. Kota ini seakan memenjaraku dengan segudang  dinamikanya. Belum bisa kusebut ia rumah selayaknya aku menyebut Yogyakarta. I'm sick. Really wanna back home, Mom. Now.

Jumat, 15 Maret 2013

Ada Rindu di Mata Ibu




"Kalau tujuh tahun lagi Ibu berangkat ke Makkah, pas sekali, kau sudah berkeluarga. Sudah
ada yang menemani di rumah, tidak akan sesepi ini lagi."
Ada guratan rindu yang mengapung begitu jelas di kedua lensa matanya yang semakin
menua. Rindu teramat dalam kepada Baitullah, Makkah Al-Mukarramah.

Dan kerinduan itu harus dipendam tujuh tahun lamanya dari sekarang. Semuanya harus
ditebus dengan kesabaran berlipat ganda.

Man shabara zhafira.

Ada isyarat yang kutangkap dari kalimat jujurnya itu, namun tak berani menafsirkannya lebih jauh.
Seperti apakah rindu ibu kepada Baitullah?
Mungkin seperti rinduku kepada sosok yang akan menemaniku kelak ketika ibu tak lagi di sisiku.
Mendung yang menggelayut di pelupuk mataku seketika menjelma gerimis.



-150313-

Senin, 09 Agustus 2010

Setangkai Rindu untuk Surga-Mu


Aku bermimpi melihat wajah ibu yang seterang rembulan tersenyum kepadaku. Sinar matanya yang berkilauan bak kejora menatapku penuh harap, penuh rindu. Ah, ibu. Wanita tercantikku—yang senyumnya bagiku—adalah senyum bidadari taman surgawi. Ingin aku memelukmu, ibu. Larut dalam dekapanmu yang bertahun-tahun kurindu. Tenggelam dalam keindahan kasih-sayangmu. Tapi, selarik cahaya yang menyilaukan mataku membuat segalanya berpendar, dan terkikis perlahan…
*

Aku tersadar. Nafasku tersengal. Hatiku masih bersuara, “Ibu, ibu!” Mimpi ini sama untuk yang kesekian kalinya! Masih terbayang di benakku paras ibu yang mengharu-biru. Menatapku haru, dan aku pun haru. Hingga basah pipiku waktu bangun, selalu.
Selalu dia yang mengusap pipi basahku. Bukan ibu.

“Mimpi, Nak?” Tanya lelaki itu lembut.

“Iya, Yah.”

“Entah kenapa aku ingin bertemu ibu di surga, Yah.”

“Bukankah kamu selalu bertemu dengannya di sela-sela mimpimu, Zahra?”

“Tapi, ibu selalu pergi sebelum aku berhasil memeluknya.”

Lantas, kutemui aliran air di pipi lelaki itu.
*

Sembilan belas tahun aku hidup tanpa ibu. Bahkan, mengecap nikmat “air kehidupan” darinya, aku tak pernah. Ibu sudah keburu pergi, sebelum sempat melihat rupa putri kecilnya. Gugur dalam perjuangannya “mempersembahkan” aku kepada dunia. Syahid. Lelaki itu yang dengan berbesar hati membesarkanku sendirian, siang-malam. Ayah. Sekaligus juga ibuku.

Waktu aku balita, dan sedang polos-polosnya, kutanya ayah tentang ibu. Lalu, bak seorang pencerita ulung, ayah berkisah panjang-lebar hingga mataku terpejam dibuai mimpi.

“Ibundamu sekarang di surga,” ucapnya mengawali cerita, sambil menatap sayang kepadaku waktu itu.

“Surga itu di mana, Yah?”

“Tempat yang jauuuh sekali. Sayang sekali, sekarang jalan ke surga sedang rusak, belum diperbaiki. Jadi, kita belum bisa ke sana, belum bisa bertemu ibu. Ayah yakin, sekarang ibu sedang merindukan kita. Seperti halnya kita, ibu juga pasti sedih tidak bisa bertemu kita. Tapi, para bidadari di sana selalu menghibur ibu, sehingga ibu bisa tersenyum lagi.”
Mataku selalu terpejam, meski sebenarnya aku masih tersadar. Jika aku tidak pura-pura tidur, pasti ayah tetap akan berkisah panjang-lebar tanpa henti dengan cerita yang sama setiap harinya (sebab, aku selalu menanyakan hal yang sama setiap malam). Setelah tahu aku merem, ia akan menghentikan kalimatnya begitu saja. Lalu, menarik selimut, dan mengecup keningku.

Ayah terlihat grogi begitu aku menanyakan, “Kapan jalan ke surga bisa kita lewati, Yah? Aku ingin bertemu ibu.” Setiap kali pertanyaan itu kuajukan, jawabannya selalu: “Ayah tidak tahu, Sayang. Mungkin, sebentar lagi.”

Aku yang memang tidak mengerti makna “sebentar lagi” itu bosan, ingin berontak, melihat kenyataan setelah beberapa tahun pertanyaan yang sama berulang, dan jawaban itu pun berulang. Sebentar lagi. Apakah “sebentar lagi” itu nanti jika dunia kiamat?

Usiaku menginjak pra-remaja ketika sepenuhnya sadar jika ibu memang tak akan pernah kembali, dan entah kapan aku akan bertemu di surga—seperti yang ayah kisahkan.

“Aku ingin memiliki ibu, Yah.” Ucapku suatu kali. Kupikir, setelah ini ayah akan menikah lagi. Tapi, tidak seperti dugaanku.

“Zahra tidak takut?”

Takut apa? Pikirku. Ayah mengira aku terobsesi dengan sinetron-sinetron bertema basi di tivi; penyiksaan ibu tiri terhadap anak tirinya. Lalu, lagu jadul itu: “Ibu tiri hanya cintaa…kepadaa…ayahku sajaa…”

Aku menggeleng.

Lantas, ayah memegang pundakku seraya berujar, “Di dada ayah, ada sepotong hati ibumu. Bertahun-tahun ayah menyimpannya, dan kini sudah menyatu dalam diri dan jiwa ayah.” (Tentu saja sekarang aku sudah memahami kalimat konotasi seperti itu.) Dan ayah tetap saja men-jomblo. Usiaku kini mengajakku memahami arti sebuah kata lima huruf dalam Bahasa Indonesia, yang berawalan huruf C dan berakhiran A: cinta. Itulah cinta ayah kepada ibu.

Aku begitu merindukan figur seorang ibu. Jika raut mukaku sudah terlihat merana karena rindu, ayah akan langsung menyodorkan foto-foto ibu dan segenap cerita cinta mereka berdua jaman dulu kala. Aih, hal itu justru membuat rinduku kepada ibu kian bertumpuk-tumpuk saja.

Tiap sendiri, kupandangi pigura yang membingkai indah wajah cantik ibu—yang seakan tersenyum padaku. Lalu, tanpa kusadari, setitik bulir bening menetes di atas wajah ibu: air mataku.

Ayah berkisah lagi (kali ini kisah nyata). Aku tahu, sebenarnya itu hanyalah sarana penghiburan untukku, supaya aku mengikhlaskan kepergian ibu.

“Wajah ibumu begitu cantik, justru ketika ia meninggal. Tak tergurat sedikit pun kepayahan di wajahnya. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Seakan-akan, sang malaikat maut telah menunjukkannya sebuah pintu surga yang lebar menganga untuk dimasukinya. Ketika ayah mencium kening ibumu untuk terakhir kali, ayah merasakan wangi kesturi menguar darinya…”

Ketika itu, dapat kurasakan mata air cinta yang mengalir lembut di jiwa ayah. Cinta ayah kepada ibu. Cinta sejati yang tiada putus-putusnya.
*

Aih, betapa tidak beruntungnya aku menjadi piatu. Ibu, ibu, ibu. Tiga orang pertama yang aku harus berbakti kepadanya. Namun, sebelum aku dapat menyapa dunia, beliau telah tiada. Aku hanya punya orang yang keempat.

Betapa tidak beruntungnya aku menjadi piatu. Aku tak pernah berkesempatan mencium surgaku. Di mana aku harus membaktikan diriku untuk meraih surgaku? Apakah di depan kaki ayah?

Dan aku sadar, kaki itu tak lagi kekar, kuat, lagi tangguh. Layaknya sepohon kayu yang rapuh menua dimakan zaman. Ringkih. Bagaimana aku tidak ingat? Ayah selalu menopang badanku lalu mengayunku dengan kakinya ketika aku kanak-kanak dulu.

Kaki itu bahkan tak kuasa lagi menopang badan pemiliknya yang lapuk-lekang dimakan usia. Apalah daya? Aku juga tak kuasa memberikan kakiku untuknya, sebagai ganti kasih-sayangnya selama ini. Lantas, kursi roda itulah gantinya. Apakah aku bisa disebut berbakti kepada orang keempatku ini—dan mungkin juga orang pertama, kedua, dan ketigaku?

Dia tergolek di kursi itu sudah setahun. Kecelakaan membikin ayah lumpuh. Dan akulah satu-satunya yang harus merawatnya. Sebab akulah satu-satunya putrinya. Satu-satunya buah hatinya dengan cinta pertama dan terakhirnya. Satu-satunya orang yang hidup dengannya. Sebab tak ada kata ‘istri kedua’ dalam kamus hidup ayah. Tak ada kata ‘ibu tiri’ untukku.

Rasanya, ingin aku bersimpuh di depan kaki ayah. Memeluknya dan menciumnya. Ah, seandainya surga ada di bawah telapak kaki ayah.. tentu aku akan bersuka-cita mencurahkan rasa baktiku kepadanya untuk menjemput surgaku. Ya Allah, mengapa dunia ini justru penuh dengan orang-orang durhaka yang mengkhianati cinta seorang bunda, di saat aku justru bingung kepada bunda yang mana baktiku akan bermuara.

Ya Rabb, izinkan aku membaktikan cintaku kepada orang keempatku ini, dan tentu saja… kepada-Mu.
*

Hari berlari, bulan berganti, tahun berbilang.

Dan kini… Ayah berpulang. Kembali dengan tenang. Dengan seulas senyum yang ia sunggingkan. Bahagia. Khusnul Khatimah. Dini hari tadi, ayah kembali. Usai aku melantunkan surah Yaasiin di sampingnya semalam suntuk.

Air mata merembes pelan-pelan dari sepasang manik mataku. Ya Allah, telah Kau ambil satu-satunya orang tercinta yang kumiliki dalam hidupku. Namun, ia adalah kepunyaan-Mu. Engkau berhak mengambilnya sesuka-Mu, kapan pun Engkau mau.

Aku tak layak menangisinya, sebab ayah bahagia. Berjumpa dengan ibu, tentu saja. Berjumpa dengan Rabb-nya, Sang Maha Cinta yang telah menjanjikannya surga.
Kukirimkan selaksa doa untukmu, ayah-bunda. Sebagai ladang amalanmu yang tiada putus-putusnya.

Kelopak-kelopak kamboja luruh membelai pipiku. Semilir angin mempermainkan ujung jilbab hitamku. Diri ini masih terpekur menyendiri. Menatap nisan yang masih baru, dengan nama ayah yang telah terprasasti di sana. Di sampingnya, nisan yang sudah kusam. Tulisannya sudah mulai hilang ditelan zaman. Nisan itu seumuran denganku. Nisan ibu.
Ayah, ibu, kalian telah bersanding kembali…

Kumpulkanlah kami kelak di Firdaus-Mu, ya Allah…

Dan kini, aku ingin mencurahkan baktiku, hanya kepada-Mu. Merintis jalan menuju surga-Mu. Tak peduli aral, terjal, segala perih, segala jerih.

Ah… Ayah, ibu, tunggu aku! Di atas tanah merah yang masih basah aku masih duduk terpaku. Aku ingin bersujud kepada-Mu.