Tampilkan postingan dengan label jodoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jodoh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 April 2018

Parameter Sekufu #2





“Untuk mampu diajak berjalan bersama, sepasang sandal memang haruslah berbeda. Namun, tidak mungkin pula untuk memasangkan sandal jepit dengan sepatu berhak tinggi, bukan?”

“Kalau kalian berjodoh, itu artinya kalian sekufu,” lontar seseorang melalui sebuah pesan WhatsApp, suatu hari, sekitar 2 tahun yang lalu. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya berhari-hari lamanya. Ketika itu, rasanya saya sudah tidak ingin ambil pusing dengan yang namanya sekufu, selevel, setara, atau apalah sebutannya itu ketika memutuskan membuka pintu untuk seseorang. Siapalah saya, hamba biasa yang tak tahu apa-apa perkara yang terbaik untuk diri saya sendiri di masa depan. Itu sepenuhnya hak prerogatif Sang Maha Pengatur Semesta. Lagipula, apakah sebenarnya parameter yang hakiki dari ‘sekufu’ itu sendiri? Telah bertahun-tahun berlalu semenjak saya menulis ini, telah berlalu pula fase single menjadi sold-out, namun entah kenapa rasanya ingin menulis tentang ini lagi.

Baiklah, mentang-mentang kami sudah menikah, jadi, apakah saya dan suami benar-benar sekufu? Jika berdasarkan lontaran teman di atas, tentu saja jawabannya “iya”. Tetapi, jujur, ketika taaruf dengan si Abi dulu, saya sudah nggak mikir sekufu-sekufuan lagi. Yang penting kami berkomunikasi untuk saling mengenal satu sama lain, dan nyambung, merasa cocok, ya sudah, lanjut! 

Cocok? Eh, kata satu ini juga sempat bikin saya mikir lumayan lama. Sebenarnya kaidah cocok itu apa dan bagaimana? Lha gimana, orang-orang yang sedang galau mencari belahan jiwa selalu mengandalkan kata satu ini, tapi sering enggak menyadari kalau... first thing first, enggak ada dua insan yang benar-benar cocok satu sama lain di muka bumi ini (kalau maunya gitu mah nikah aja sama diri sendiri, berkembang biak dengan cara membelah diri. *eh). Kedua, banyak juga pasangan yang sudah lama menikah malah memutuskan bercerai dengan alasan yang... ehm... “Kita udah nggak cocok lagi!” Nah lhoooo. Ketiga, sesungguhnya seringkali kita juga nggak bener-bener paham, cocok itu apa dan bagaimana (tapi pengennya teh jodoh yang cucok meong sama ngana. Bingung kan?).

Apakah kalau saya hobi baca buku dan dia sukanya naik gunung itu artinya nggak cocok? Apakah ketika kami satu jurusan dan satu pekerjaan itu cocok? Apakah kalau dia koleris yang hobi marah-marah dan saya plegmatis yang gampang nangis itu nggak cocok sama sekali?

Keempat, men are from Mars, women are from Venus. Mengertilah bahwa sampai kapan pun, laki-laki dan perempuan berbeda di banyak hal yang sesungguhnya butuh effort untuk menyatukannya. Perkara cocok dan tidak cocok sejatinya adalah persoalan seberapa lapang ruang penerimaan dalam hati kita sendiri, juga seberapa luas kadar penerimaan seseorang itu tentang kita. Sebab, kita menikah, hidup bersama dalam kurun waktu yang lama dengan manusia biasa yang tentu tidak luput dari keburukan-keburukan yang mungkin kita akan susah menerimanya.

Well, duluuuu sekali, saya punya list kriteria calon lelaki yang ideal menurut saya (tapi ujungnya mostly nggak pernah saya tulis di biodata taaruf. Haduuh, maaf ya, Pak Suami :p). Pertama, agamanya harus baik—paling tidak, lebih baik dari sayalah ya (ini udah pasti). Kedua, harus GANTEEEENG! (parameter ganteng saya ituh; putih, minimal kuning langsat, tinggi dan berat proporsional, good-looking menurut banyak orang, gak sipit-sipit amat matanya, dan berkacamata kayak itu tuh... Kanata Hongo pas berperan jadi Izumi #eaa). Ketiga, dia punya hobi yang sama dengan saya, yakni menulis dan baca buku—wabilkhusus buku-buku fiksi dan sastra. Impian absurd saya waktu itu, saya ingin bisa menulis buku berdua dengan suami. Ngomong-ngomong soal impian nulis buku bareng, sudah bisa ditebak, saya mendambakan lelaki yang bisa ROMANTIS. Romantis ini maksudnya, dia juga lihai berkata-kata puitis macam Fahd Pahdepie atau Pak Sapardi. Dia juga bisa main gitar atau sedikit-sedikit menyanyi, soalnya saya suka orang yang punya jiwa seni (wah, kok impian gue dulu ala sinetron atau drama remaja banget gini ya. Haha. Embuhlah). 

Berikutnya, saya ingin nikah sama orang yang sudah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya, bukan dadakan sebulan-dua bulan sebelumnya lalu dia ngajak married. Saya sudah jatuh hati dengannya sebelumnya, kemudian kami menikah (and we live happily ever-after. *langsung inget film Shrek -.-)
Terakhir, karena saya berkarakter plegmatis-melankolis, saya berharap semoga pasangan saya adalah orang sanguinis atau koleris, biar setidaknya bisa mengimbangi saya.

Sekarang, mari kita cocokkan dengan kenyataan yang ada.

“Li, dia ganteng nggaaak?” tanya seorang teman, H minus entah berapa hari menuju hari pernikahan. “Siapaaah?” tanya saya balik, sok bego. “Calon elu.” Saya cengo. “Kok pertanyaanmu gitu sih?” Jawab dia, “Kan kamu biasanya suka sama yang ganteng.” Etdah. *tepok jidat. Dan sebagai sahabat baik, dia tahu parameter ganteng absurd saya seperti apa. Saya harus jawab gimana? Hahaha. Sejak taaruf pertama kali, saya sudah tidak mempersoalkan ganteng-tidaknya secara fisik. Terpenting, agamanya baik, saleh. Gantengnya akan ngikut sendiri, itu sudah cukup. Ini juga tergantung mata hati masing-masing bagaimana menilai orang lain sih. Tapi kemudian, parameter ganteng saya berubah, paling tidak, mukanya harus ada hawa-hawa masjidnya. Adem alias menyejukkan jika dipandang (iyalah, qurrata a’yun kan tidak harus tinggi, putih, berkacamata). Lagi-lagi, perkara ini cuma hati yang bisa menilai.

Lalu, romantis? Hmm, suami saya tidak hobi menulis seperti saya. Bahkan, jurusan kami berseberangan—baik secara jarak maupun disiplin ilmu. Saya dibesarkan di lingkungan ilmu sosial humaniora, dia anak ilmu teknika. Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Teknik di UGM itu jauh-jauhan, bro. Sudah jauh, tak pernah bertemu di organisasi atau kegiatan yang sama pula. Secara pola pikir mungkin kami akan jomplang dan banyak tak sejalannya. Saya pernah bilang ke diri sendiri kalau saya nggak mau berjodoh sama anak teknik (akibat trauma, pasalnya dulu pernah nemu orang teknik yang kaku dan ampun dah, gak nyambung banget). Namun, perkara jodoh, Allah-lah yang berkuasa. Kun fayakuun, jodoh saya anak teknik. Maka, hati-hati dengan ucapan anda sendiri ya. ^^v

Jangan bayangkan di bawah sinar rembulan dia akan berpuisi, apalagi sok-sokan bersenandung “Zaujati, Antii habiibati anti...” atau Sakinah Bersamamu ala-ala Romantic Duo Kang Suby dan Teh Ina, saya pernah ketawa-ketiwi baca biodata yang dia tulis karena penuh typo. Mak, impianku kandas. L Apatah lagi berani merayu dengan gombalan semacam, “Duhai bidadariku, Ainul Mardhiyahku...” Nggak pernah. Kalau benar terjadi mungkin malah saya akan bergidik lantas membatin, “Kenapa Abi jadi mendadak dangdut gini?”

Kesimpulannya, suami saya tidak romantis. Ia tidak bisa romantis seperti standar saya sebelumnya. Namun, romantisnya ditunjukkannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan kata, namun perbuatan. Love is not an adjective, it is a verb. Ye kan?

Kemudian, saya sudah kenal sama dia jauh-jauh hari? Big NO. Perkenalan kami tak lama. Ibarat bulan ini kenalan, kemudian bulan depan lamaran. Saya sudah suka sama dia sebelum-sebelumnya? Enggak juga. Semuanya serba “gercep” (gerak cepat), kalau nggak mau dibilang (digoreng) dadakan (yaelah, tahu bulet dong, Sist).

Pasangan saya sanguinis-koleris? Ini juga salah besar. Ia sebelas-dua belas seperti saya, plegmatis-melankolis. Salah satu dari beberapa persamaan absurd yang saya temukan, selain IPK yang podho plek dan weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa yang biasanya digunakan para tetua untuk mencari hari pernikahan kedua mempelai) yang sama persis. -_-

Kesimpulannya lagi, saya tidak benar-benar tahu apa yang terbaik bagi diri saya sendiri. Menurut saya dulu, laki-laki yang tepat bagi saya adalah yang begini-begitu. Namun tidak demikian di mata Allah. Menurut saya dulu, lelaki yang cocok bagi saya adalah A, B, C, D. Namun Allah menggariskan alfabet yang lain. Jadi, saya juga tidak benar-benar mengetahui secara pasti, yang sekufu dengan saya adalah lelaki seperti apa. Maka, ketika istikharah itu berjawaban “ya”, saya yakin ia memang tepat untuk saya, Allah mengatakan bahwa ia adalah yang sekufu dengan saya.

Suatu hari, saya mendapat pesan yang sangat menarik, ditulis oleh Ustaz Fariz Khairul Alam, Pesan itu bertajuk “Mungkin Saja Ia Memang Saleh, Tapi Belum Tentu Kami Cocok.” Lagi-lagi, hadis di bawah inilah yang menjadi dasar pembahasan.

“Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi saw tidak mengatakan, “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik,” namun Nabi saw mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan perangainya.” Apa bedanya? Pernyataan pertama—dan itu tidak diucapkan oleh Nabi saw—bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki saleh, dan bahwa lelaki saleh itu pasti akan menjadi suami saleh.
Namun, pernyataan kedua—yang diucapkan Nabi saw—memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus rida terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki saleh, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau tampak.
Kisah Fathimah binti Qays menjelaskan hal ini. Alkisah, Fathimah binti Qays dilamar oleh dua orang lelaki. Tak tanggung-tanggung, yang melamarnya adalah dua pembesar sahabat, yakni Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Namun, setelah dikonsultasikan ke Rasulullah saw, apa yang terjadi? Rasulullah saw menjelaskan bahwa kedua lelaki tersebut tidak cocok menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki saleh yang memiliki keyakinan agama yang baik. Namun, Rasulullah saw tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi saw mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi saw menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi saw itu, apa yang dikatakannya kemudian?
Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: pertama, lelaki saleh. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Kesalehan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua sifat ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang mencari jodoh, agama mensyariatkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya. Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu ‘satu paket’; paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat.”
Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda. Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda.

Tak ada yang salah dengan perbedaan dalam pernikahan—apapun itu, baik berbeda latar belakang kesukuan, perbedaan status sosial, maupun berbeda dalam harakah, karena sejatinya perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bisa jadi, akan ada usaha yang lebih ekstra untuk menjalankan rumah tangga demi meminimalisasi friksi-friksi atau konflik yang akan timbul setelahnya. Baiklah, pada akhirnya ini memang pilihan masing-masing kita.

Rabu, 25 Oktober 2017

Epilog: And It Completely Falls






Di sebuah resort tepi pantai, Tanjung Benoa
Hawa ruangan kamar hotel itu mendingin, hembusan AC menampar-nampar permukaan kulit ari. Ada single bed berukuran cukup besar untuk tidur berdua, bahkan spring bed-nya di apartemen tidak seluas ini. Aroma lavender yang menguar sedikit-banyak membuatnya mengantuk. Panorama di luar jendela berkaca menawarkan kesejukan. Ada taman buatan dan kolam ikan disertai irama gemericik air mengalir. Ia sedang bosan. Apa gunanya berada di tempat laksana surga, jika sendirian? Yang ditunggu tak juga kembali, meninggalkan ia sendiri berkawan sepi. Ah, apa memang begini konsekuensi menjadi istri seorang eksekutif muda?

Pintu diketuk pelan. Perempuan itu panik. Buru-buru dikenakannya kerudung dan baju panjangnya.

Assalamu’alaykum.

Wa’alaykumussalam. Kirain pegawai hotel mau nganterin pesanan.” Perempuan itu mendesah kecewa. Dilepasnya lagi kerudung instan yang menutupi kepalanya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Maaf ya, lama. Tadi masih ketemu kolega dari Singapore. Setelah ini free, kok. Waktu untuk kita berdua.” Dibalasnya senyum itu, penuh arti.

“Vin, eh.. Bang, kalau aku boleh tahu, biaya hotel ini berapa? Kita menginap di sini tiga malam kan.” (baru seminggu menikah, masih beradaptasi, meski mereka sudah saling mengenal semenjak baru menjadi anak kuliahan yang lugu. Status mereka bukan teman seangkatan lagi. Alvin adalah pemimpinnya kini. Mutia pun—mau tak mau—harus menanggalkan egonya, meski awalnya terasa aneh mengucap “Bang” di depan “Alvin.)

Hampir sejuta setengah untuk satu malam.

What?!Uang sebanyak itu dia korbankan hanya untuk bulan madu? Yang benar saja. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka hidup bermewah-mewah. Kita jalan-jalan berdua ke Kaliurang, itu sudah lebih dari cukup. Tidak usah melanglang jauh ke sini. Bukankah lebih baik ditabung saja demi investasi masa depan, kelak kalau kita punya anak, misalnya. Hah? Anak? Waduh, sudah menikah, kenapa malu memikirkan soal itu?

“Tenang, semuanya gratis. Aku dapat voucher menginap di hotel ini, bonus dari kantor. Sengaja aku nggak ngasih tahu kamu, biar kaget.” Alvin tersenyum penuh kemenangan. Mutia mendadak malu, namun lantas terbahak.

“Nggak lucu!”

“Nggak lucu kok ketawa? Bisa-bisanya ya aku dapet istri aneh kayak kamu, tukang ngambek, berantakan pula.”

Mutia merengut. “Oh, baiklah, Tuan Eksekutif. Gara-gara menunggu Anda, saya rela menjomblo dua puluh enam tahun lamanya. Kurang sabar apa saya, coba? Padahal…”

“Padahal apa? Salah sendiri, siapa suruh menungguku?”

Aku tidak menunggu siapa pun. Justru pinangan itu datang, namun kutolak mentah-mentah karena alasan klise. Lantas sekarang pria itu entah di mana rimbanya, gone with the wind. Mungkin, ia juga sudah menikah dengan muslimah lain, mungkin juga jauh lebih salehah daripada aku yang masih tertatih belajar ini.

Hening sepersekian detik. Hingga ada suara ketukan di pintu.

“Bang, tolong bukain. Tadi aku pesan minuman.” Alvin beranjak dari tempat duduknya. Tak lama kemudian ia kembali dengan dua gelas susu putih.

“Eeehh, jangan diminum dulu. Itu buat nanti aja, habis makan malam. Kalau dingin, kan di sini ada heater. Tinggal dipanasin.” Tanggung, Alvin sudah menyeruputnya hingga seperempat gelas.

“Kalau begitu, kenapa pesannya susu, sih? Antitoksin satu ini bikin ngantuk. Nanti malam kan kita…”

“Oh iya, benar! Nanti malam kan ada liga champion, mana boleh tidur!”

Pria itu kesal, bercampur geli. Sejak hidup bersamaku, dia jadi ketularan keranjingan bola, padahal dulu nggak suka mati-matian. Satu lagi, ternyata dia masih Mutia yang dulu. Manja dan lugu. Awas saja kalau menolak, mau dilaknat malaikat sampai pagi, ha?
 *

Angin malam mempermainkan ujung khimar Mutia. Alvin meletakkan tangannya di pundak sang istri, bermaksud menahan si khimar panjang biar tidak berkibar.

“Anginnya genit, iseng pengen buka kerudungmu.”

“Mungkin anginnya laki-laki,” Mutia tertawa.

“Sial, bikin aku cemburu.”

“Cemburu kok sama angin?”

“Biarin, kalau sama laki-laki beneran kan gawat.” Alvin terkekeh. Mutia teringat sesuatu. Tiga hari setelah walimatul ‘ursy, Alvin sudah membuatnya cemburu.

“Kamu kok tambah gemuk, stres gara-gara menikah denganku, ya?” ucapnya bercanda.

“Ah, masak? Alvin sok tahu. Apa hubungannya gemuk dengan stres?” Diperhatikannya tubuhnya di cermin kamar, masih ramping, masih cantik.

“Ya ada. Stres mengacaukan hormon dalam tubuh dan mengakibatkan sistem metabolisme jadi tidak seimbang, sehingga tubuh jadi tidak maksimal membakar kalori, lemak, dan gula. Kadar insulin juga berkurang, yang membuat pengidapnya jadi doyan makan banget, akibatnya ya tambah gemuk.”

“Pintaaaar! Sarjana Teknik tahu masalah kesehatan juga toh? Belajar dari mana, Bang?”

“Dulu, dari Dokter Talita.”

Paras Mutia berubah masam seketika. Dokter Talita… Apa kau masih menyimpan rasa terhadapnya? Dia yang kamu harap-harapkan semenjak dulu. Perempuan cantik, pintar, mapan. Namun sayang, langkahmu terlambat beberapa saat. Dia sudah keburu dikhitbah lelaki lain. Apakah menikah denganku adalah sebuah keterpaksaan, hanya sekadar pelampiasan atas kegagalanmu mewujudkan apa yang kau mau?

Lelaki itu paham apa yang tengah berkecamuk di benak istrinya. Dipeluknya Mutia. Tanpa dinyana, mata perempuan itu menggulirkan bulir bening. Entah mengapa, tak bisa ditahan. Ah, cemburu… Baru mendengar nama perempuan itu saja sudah jealous. Katanya, cemburu tanda cinta. Oh, cinta itu bertumbuh sedemikian cepat ternyata.

“Dengar, Mutia. Sejak dulu, aku tidak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, aku meyakini bahwa apa yang Allah beri adalah yang terbaik. Segala apa yang kudapat sekarang memang bukan yang aku inginkan, namun yang aku butuhkan.”

Begitu mudahnya makhluk bernama perempuan itu meneteskan air mata. Atau hanya istriku saja yang cengeng? Apa-apaan ini, baru beberapa hari menikah aku sudah membuatnya menangis. Aku tak tahu-menahu, itu air mata terharu atau justru cemburu. Kalau cemburu, baguslah. Artinya dia memang mencintaiku.

Mereka meneruskan berjalan, menyusuri sepanjang pantai. Langit malam itu tak terlalu cerah, sedikit berawan. Benda-benda langit yang berkelip itu disembunyikan mendung. Yang ada, temaram lampu-lampu restoran tepi pantai yang cahayanya remang-remang. Temperatur semakin dingin. Alvin memeluknya. Ini sudah ke sekian kalinya. Namun, kenapa masih ada degup yang tak biasa dalam dadanya? Grogi. Namun, ia suka degup itu, degup yang ia dengar samar-samar ketika kepalanya bersandar di dada Alvin, bersaing dengan suara debur ombak. Ingin rasanya balas memeluk lelaki itu erat-erat, sambil diam-diam bergumam, “Aku tak mau kehilanganmu barang sedetik pun!” kalau saja ia tak ingat bahwa mereka masih di jalan.

“Nona Mutiara Khairunnisa,”

Yes, Sir?

“Sekarang Negeri Sakura sedang musim sakura atau musim apa?”

Mutia sejenak mengingat-ingat sekarang sedang bulan apa dan tanggal berapa.

“Tergantung di Jepang bagian mana. Kalau di Tokyo sana, diperkirakan sakura akan segera meranggas akhir bulan ini, luruh satu persatu. Ciri khas musim itu adalah daun-daun momiji yang menguning, memerah, kemudian luruh pula. Kalau ada film judulnya Autumn Sonata, mungkin background-nya seperti itu, daun-daun jatuh, bunga-bunga rontok. Ditambah si tokoh utama sedang berpatah hati. Sempurnalah ceritanya, mengaduk-aduk perasaan pemirsa. Eh, ada apa, Tuan Alvin Hamizan? Anda mau mengajak saya kembali ke sana?”

Ada binar harap yang ditangkap Alvin dari mata bening Mutia. Kekasihnya sedang rindu negeri itu rupanya. Ia membalas tatapan itu dengan sebilah senyuman.

“Jadi begini menjadi suami seorang penulis? Bukannya aku yang menggombal seperti kebanyakan lelaki, justru kamu yang menggombaliku dengan imajinasimu yang kelewat absurd itu. Haha.”

“Hei, Bung, aku tidak sedang menggombal.” Mutia gusar. Selalu ada saja cara suaminya untuk membuatnya kesal. “Memang benar ya, sampai kiamat pun, Sarjana Teknik tidak akan pernah cocok dipasangkan dengan Sarjana Sastra. Di benakmu rumus dan angka-angka, di benakku seluruhnya kata-kata dan puisi. Kita tidak nyambung!”

Alvin tak menanggapi kekesalan Mutia—yang sesungguhnya tidak benar-benar kesal itu. Mereka sudah sama-sama paham. Tidak ‘bertengkar’ sekali sehari sama saja memasak sayur tanpa garam. Hambar. Pertengkaran kecil yang sejatinya candaan belaka, bumbu yang harus selalu mereka hadirkan dalam cawan kehidupan rumah tangga.

“Aku ingin menyaksikan luruhnya daun-daun itu. Momennya sama dengan hatiku yang sedang jatuh.”

Mutia terdiam. Kali ini ia merasa Alvin sudah mulai ketularan naluri menggombalnya.

“Dulu, aku tak ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali mengingat seorang perempuan. Menginginkannya menjadi pendamping, sementara belum tentu pula ia yang ditakdirkan tuhan untukku. Jatuh itu berujung pada sakit tak terperi ketika mengetahui kenyataan tidak seindah apa yang diangankan.”

Mutia menggigit bibir. Aku juga, batinnya. Kau tahu kan, Bung, betapa sulitnya menjaga sekeping substansi bernama hati. Menjaga cinta ini utuh sepanjang jalan, sebelum Sang Pemilik Semesta mengembalikanku kepadamu—yang memang seharusnya kucintai sepenuh hati. Aku tak ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali mengingat seorang lelaki yang belum tentu ditakdirkan Allah untuk membersamaiku.

“Namun, sekarang aku ingin jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku yakin, kali ini tidak akan sakit.”

Senyap tercipta di antara mereka berdua. Ada jeda sekian detik sebelum dialog dua hati itu dimulai kembali. Detik seolah berhenti berdetak, waktu terusir. Semua seakan berubah slow motion. Mutia menghela nafas, menunggu kelanjutan kalimat Alvin. Ada desir-desir halus yang merayapi rongga-rongga dadanya. Desir yang serupa ketika dulu ia mengalami jatuh cintanya yang pertama-tama. Namun, ada yang berbeda kali ini. Ia merasa tak perlu susah payah menyembunyikan rasanya. 

“Aku ingin jatuh di palung hatimu. Sedalam apapun itu. Bahkan jika aku harus mati karena tenggelam terlalu dalam.”

Mutia bergeming. Rembulan separuh memendarkan cahaya lembutnya. Remang malam tak bisa menyembunyikan rona merah muda di paras perempuan berkerudung panjang itu rupanya. Hatinya tersanjung, meski ada rasa geli yang menggelitikinya. Ah, gombal!

“Pintaaar. Sarjana Teknik ternyata pandai merangkai kata romantis juga, Bang. Kau tidak sedang menggombal kan? Atau itu sebenarnya bakatmu yang selama ini disembunyikan gengsi?” Mutia tergelak mencandai lelaki di hadapannya yang selama ini menurutnya tak pernah romantis dan anti kata-kata puitis.

“Aku belajar. Dari perempuan bernama Mutia. Ia yang membuatku menjadi Qais secara tiba-tiba. Kau juga pasti tahu mengapa Qais—si Majnun itu begitu puitis. Sebab hatinya terlanjur berpaut pada perempuan yang dicintainya, Layla. Cinta yang membuatnya demikian. Namun, tentu kisahku dengan perempuan yang kucintai tidak akan senelangsa Layla-Majnun. Bukankah kita sama-sama memiliki alasan yang kuat untuk mencintai, lebih dari sekadar ikatan bernama pernikahan ini?”

Iya, alasan itu Dia—Sang Maha Penggenggam Nyawa, serta keimanan yang sama. Cita-cita yang serupa: saling menjaga cinta karena Yang Esa, dan keinginan untuk menjejakkan kaki di pelataran surga bersama-sama. Sebab, tak ada yang lebih kekal daripada cinta-Nya.

 ***

#LatihanMenulisFiksi (Lagi)
By the way, ini apa ya? Tiba-tiba menemukan ini di kumpulan file di folder laptop saya. Gara-gara ngayal jadi manten anyar, lalu mengandaikan kisah yang endingnya demikian. Maafkan jika terlalu banyak gombalan sok-romantis yang bikin mual.

Selasa, 17 Oktober 2017

Benang Merah Takdir: Bagaimana Saya Berjumpa Dengannya




Al-arwahu junudun mujannadah.

Kalimat itu terngiang kembali. Memutar ingatan tentang bagaimana awal mula kami memutuskan untuk saling mengenal, berjumpa, kemudian mengambil langkah besar: menggenapkan separuh agama. Dua pekan setelah kami berkenalan dan berinteraksi hanya melalui perbincangan di social media (dan sama sekali belum bersua), saya berujar, “Kita kenal baru berapa hari ya? Tapi kok saya merasa kayak udah kenal lama.” Dibalasnya kalimat saya dengan sebuah video potongan ceramah kajian pranikah dari Ustaz Salim A. Fillah. 

Dalam video itu ada kutipan terkenal dari pujangga kelas dunia, Kahlil Gibran, yang sudah tak asing di telinga saya. Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah anak dari kecocokan jiwa, dan selama kecocokan jiwa itu tiada, cinta tak akan pernah lahir dalam hitungan tahun atau bahkan milenia. Lalu, hadis al-arwahu junudun mujannadah menjadi kalimat penguat selanjutnya. Ruh-ruh itu seperti pasukan yang ada dalam kesatuan-kesatuan. Jika mereka saling mengenal, maka mereka akan mudah untuk bersepakat. Kalau mereka tidak saling mengenal, maka mereka akan gampang untuk berselisih.

Saya tercenung-cenung memikirkan kalimat itu. Hari-hari bulan Februari masih dihiasi rinai hujan. Saya ingat, setahun sebelumnya, saya pernah menumpahkan tangis ketika hujan sedang deras-derasnya. Namun, tahun ini deras hujan membuat saya bersemangat melantunkan doa-doa setiap harinya, sejak saya tak menemukan satu senti pun keraguan dari istikharah pertama dan seterusnya, meskipun masih saja ada segumpal tanya yang menyesaki benak saya tentang bagaimana bisa dan mengapa ia memilih saya. Ada sejumlah adukan rasa yang susah diuraikan, acapkali mengingat bagaimana benang-benang episode itu teranyam menjadi satu cerita utuh, hingga kami sampai di hadapan penghulu.

HELAI BENANG PERTAMA
Kisah ini dimulai sekitar bulan Oktober di tahun 2015. Malam itu saya tertegun dengan satu akun laki-laki yang request to follow saya di instagram. Tidak saya follow balik, karena saya tidak kenal dia siapa, namun karena rasa penasaran saya mudah berkecambah, tanpa pikir panjang saya stalking akun itu, membaca postingan dan komentar-komentar dari teman-temannya. Kemudian, saya mendapati satu fakta, orang ini sepertinya kenal dekat dengan teman saya satu jurusan. 

Tanpa pikir panjang pula, karena saya juga sudah lama tidak mengobrol dengannya, malam itu langsung saya sapa dia, seorang teman baik laki-laki yang saya kenal sejak awal kuliah, Afrizal Luthfi Lisdianta (Afi). ”Assalamualaikum. Fi, apa kabar? Kamu kenal sama itu nggak? Dia follow aku di instagram. Teman kamu ya?” Jeda beberapa jam. Lantas, balasannya membuat saya semakin tertegun. “Li, aku ingin bertanya serius. Kamu saat ini sedang ada yang mendekati atau sedang proses, nggak?” Glek. Rasa-rasanya ingin tersedak. Saya jawab jujur, “Iya, Fi. Saat ini aku sedang berproses taaruf dengan seseorang. Aku belum memberikan jawaban kepadanya sih, tapi insyaallah lanjut. Doakan saja.” 

Kemudian dia menerangkan bahwa lelaki itu tak lain adalah sepupunya, masih satu angkatan dan sealmamater di kampus Gadjah Mada, Sarjana Teknik juga (sama seperti orang yang taaruf dengan saya waktu itu, meski berbeda jurusan). Afi bermaksud baik ingin mengenalkan saya dengan sepupunya karena ia pikir kami memang sedang sama-sama mencari pasangan. Namun, karena saya sedang terikat proses dengan orang lain, otomatis tawarannya yang datang belakangan itu saya tolak. Upaya perjodohan bubar. Saya ingin fokus mengerjakan tesis, mengejar target wisuda S-2 di Februari 2016, kemudian berharap segera menikah dengan lelaki yang bertaaruf dengan saya waktu itu.

Waktu berputar cepat. Singkat cerita, taaruf saya gagal. Pertemuan kedua sekaligus terakhir dengannya menyisakan sesak luar biasa di ruang batin saya. Susah dihapus dari ingatan, bagaimana sikap dan kata-katanya ketika berbincang langsung dengan saya. Ketus nan emosional, agak kasar, dan tidak menjaga pandangan. Duhai, begitukah lelaki hanif seperti informasi awal yang saya terima tentangnya? Kami memang taaruf dengan dijaga perantara. Empat bulan berlalu, namun perkenalan kami terasa hambar. Tak banyak informasi yang saya dapat dan simpulkan tentangnya, selain komunikasi kami memang dibatasi. Di sela deras hujan yang mengguyur Depok dan deras tangis saya malam itu, untuk ke sekian kalinya saya memohon kepada Allah, jika dia terbaik mohon dilancarkan, namun jika tidak mohon dijauhkan sejauh-sejauhnya hingga lenyap dari pandangan, dan digantikan dengan yang jauh lebih baik. 

Banyak hal yang membuat saya merenung. Semenjak awal proses dan setelah beberapa kali melakukan istikharah, hati saya dipenuhi ragu yang tak bisa dijabarkan. Pria itu memang belum memenuhi kriteria saya tentang seorang calon imam—yang mana saya rida dengan agamanya, namun saya justru menepis segala keraguan yang berkelindan. Saya tak mau egois dengan mematok kriteria calon suami terlalu melangit, sebab sebetulnya saya juga masih serba biasa, masih sangat jauh dari salehah, masih payah menggenggam istikamah. Saya tepis keraguan yang memenuhi hati saya, meski hadis Rasulullah saw yang selama ini saya pegang itu selalu berdesing-desing di kepala. Mintalah fatwa kepada hatimu. Well, saya sudah istikharah berkali-kali, namun saya tak peka bahwa ragu yang Allah titipkan itu adalah serupa sinyal tertentu. 

Seperti biasa, hikmah selalu datang belakangan. Namun, alangkah bodohnya jika kita tak bisa memungut keping-keping hikmah yang berserakan dari tiap potongan kejadian. Menyesal? Tidak. Yang tidak baik bagi saya telah Allah selesaikan dengan cara-Nya. Telah Allah jauhkan dan hindarkan dari saya. Alhamdulillah, saya wisuda tepat waktu, ada orang tua dan sahabat-sahabat yang menyayangi dan mengucapkan selamat di hari saya memakai toga untuk kedua kalinya. 

Namun, goresan menganga di hati saya belum sepenuhnya sembuh. Saya menjadi perempuan yang menyimpan dendam diam-diam. Tentu saja tidak enak. Mendendam ibarat memasukkan racun ke mulut sendiri, tapi berharap orang lain yang mati. Luka yang masih ada itu membuat saya agak trauma. Ketika ada tawaran taaruf lagi yang datang silih berganti, saya membuat penolakan, lagi dan lagi. Alasan yang saya utarakan cuma: saya belum siap membuka pintu untuk siapa pun itu. Sudah. Hati saya gembok rapat-rapat. Jodoh? Saya benar-benar belum ingin memikirkan itu lagi. Masa bodoh dengan usia yang telah lewat dua puluh lima. Belum terlalu tua, saya kira. Ah ya, sebagai perempuan yang terdominasi perasaan, saya tak ingin dengan bodohnya membuka pintu secara serampangan lagi, terbang karena harapan, kemudian jatuh terhempas dan retak kembali. Saya tak ingin membuka pintu hanya karena telah didesak umur, melainkan harus karena saya telah benar-benar siap dan seseorang itu memang pantas memasuki ruang saya. Di tengah masa transisi itu saya berharap, semoga kelak saya menikah bukan hanya dengan orang taat dan baik, namun juga menikah dengan pemahaman yang baik.

HELAI BENANG KEDUA
Oktober 2016. Posisi saya sedang di Jakarta, ada beberapa agenda tes kerja (yang qadarullah gagal semua), dan simposium internasional di mana saya ikut andil jadi pemakalah. Sebuah pesan datang dari Afi. Saya membatin, jika dia menghubungi saya, pastilah ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Benarlah, ada pesan dari seseorang, bahwasanya seseorang itu ingin bertaaruf dengan saya. Seseorang itu tak lain adalah saudara sepupunya, ikhwan Teknik yang dulu pernah saya tolak. Di titik itu, saya merasa janggal. Jika Afi yang ‘mengompori’ sepupunya untuk taaruf dengan saya—mentang-mentang saya sedang tak terikat dengan siapa-siapa, rasanya tidak mungkin. Namun, jika itu adalah kemauan si ikhwan sendiri, apa dasarnya? Kami sama sekali tidak berteman di dunia maya, apalagi pernah berbincang dan berjumpa. Janggal, sebab ia pun berjarak cukup jauh dengan saya.

Saya sampaikan apa adanya, bahwa saya benar-benar belum ingin membuka pintu untuk siapa pun itu. Saya masih proses cleansing dari hal-hal pahit di masa lalu. Lama? Memang. Namun, tentu saja saya tak bisa memaksakan diri dalam kondisi hati yang masih rawan.

“Jadi, kamu enggak mau nerima nih?” tanyanya.

“Untuk saat ini, aku belum ingin taaruf lagi.” Tegas. Saya tolak lagi, untuk kedua kalinya. Namun, pertanyaan itu saya lontarkan jua, “Kenapa saudaramu itu enggak mencari akhwat yang satu kota dengan tempat dia bekerja saja? Kan prosesnya akan lebih mudah seandainya butuh ketemuan.”

“Kalau di dalam hatinya sreg sama kamu aku bisa ngomong apa lagi, Li? Aku pernah tanya begini, ‘kamu ini nggak sok-sokan suka sama perempuan padahal belum pernah ketemu kan? Jangan-jangan gara-gara kamu nggak ada pilihan aja nih.’ Kemudian, dia cerita bahwa salah satu alasan yakinnya sama kamu adalah karena dia membaca tulisan-tulisanmu di blog. Karaktermu kan jelas tergambar di situ. Salah dua, tiga, empatnya mungkin berdasarkan cerita-ceritaku tentang kamu, karena aku kenal baik sama kamu. Tapi kalau kamu sudah menolak ya bagaimana lagi, sudah tidak ada kemungkinan bagi dia, jadi mungkin dia bisa beralih ke yang lain.”

Ahai, lucu sekali. Ada orang asing yang tiba-tiba sreg sama saya hanya karena membaca tulisan-tulisan saya di blog? Belum pernah berjumpa, belum pernah kenal sebelumnya, apalagi berbincang, meski hanya di dunia maya, tak pernah. Apa tidak aneh namanya? Saya tipe perempuan yang mudah skeptis duluan jika ada orang tak dikenal tiba-tiba mengaku suka sama saya, apalagi jika dia hanya tahu saya lewat social media. Itu hanyalah sebuah kekonyolan yang mungkin patut ditertawakan.

Baiklah, ingin saya lupakan tawaran itu. Hidup saya rasanya masih berada di titik kegamangan. Belum ingin memikirkan nikah. Titik. Terkadang melintas pula pemikiran untuk tidak usah menikah, ingin menutup mata dan telinga dari kabar bahagia dan undangan-undangan yang semakin hari semakin datang beruntun. Astaghfirullah. Apa saya terkena sindrom gamophobia? Entahlah. Masalah jodoh dan berjodoh ini begitu abu-abu. Absurd nan random. Adalah lebih konkret memikirkan yang lain; cari kerja, menulis macam-macam, kuliah lagi, atau bikin penelitian. Absurdisme dalam hidup memang niscaya ada, justru di situlah seninya. Namun, terkadang absurdisme ini semacam benang ruwet tak berpola yang sukar diurai kerumitannya, serupa teka-teki sulit yang entah di mana petunjuknya.

Tak berapa lama berselang, ada seseorang yang mengontak saya lagi. Orang yang berbeda, namun ia ingin mencoba menjadi jembatan antara saya dan... ikhwan itu (lagi). Rupa-rupanya ia diminta tolong oleh sang ikhwan untuk nembung ke saya (lagi). Aduh, sudah saya bilang, saya belum ingin berproses taaruf lagi. Masih enggan rasanya meraih kunci pembuka gembok yang saya sembunyikan dalam peti di dasar hati, kemudian memutar gagang pintu untuk menyilakan orang asing masuk. Apakah jawaban yang saya utarakan dulu masih kurang jelas? Tentu saja saya bersikeras menolak (lagi), untuk ketiga kali.

HELAI BENANG KETIGA
Saya pulang ke haribaan kampung halaman. Episode saya di Jakarta sudah usai. Tak tahulah, saya akan memulai hidup baru di desa nan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk khas kota megapolitan yang semenjak dua tahunan terakhir akrab dalam keseharian. Meski mungkin hidup saya akan lebih terasa sepi, saya ingin mengucap syukur saja.

Suatu hari, ada sebuah komentar dari akun perempuan tak dikenal nongol di postingan video instagram saya. Saya langsung merasa janggal begitu membaca kalimatnya. Apa pasalnya? Pertama, komentar dia nyaris tidak ada kaitannya dengan caption yang saya tulis. Kedua, saya rasa, komentar dia kurang pantas dilontarkan bagi sesama orang yang belum saling mengenal. Ketiga, dia menyinggung perkara taaruf, lha kok kayak tahu banget kalau saya baru menolak orang untuk taaruf?
Tidak saya balas komentarnya. Namun, tentu saja saya langsung stalking akun janggal itu. Followers maupun following-nya sedikit sekali. Postingannya juga cuma sembilan. Aneh. Saya cek satu demi satu, saya hubungkan satu hal dengan hal lainnya, saya analisis, akhirnya saya menemukan kesimpulan: fix! Itu akun palsu. Siapa orang di balik itu? Tanpa bermaksud suuzan, saya berkesimpulan, ikhwan yang saya tolak beberapa kali dulu itulah dalangnya. Nekat betul. Apa sebenarnya maunya? Dia membuat akun perempuan palsu di instagram, demi bisa follow saya (karena beberapa hal, saya membatasi followers di instagram, tidak menerima followers laki-laki yang bukan mahram atau keluarga). Apa jangan-jangan dia masih mengharapkan saya? Ah, saya tidak ingin gede rasa. Saya biarkan saja, tak ambil pusing. Hanya jeda beberapa hari sejak saya tahu perihal akun palsu itu, ikhwan itu mengirim permintaan pertemanan di facebook. Mutual friends-nya lumayan banyak, rata-rata teman-teman aktivis dakwah di kampus dulu. Saya terima, karena di facebook saya tidak memberlakukan batasan pertemanan lelaki atau perempuan. Satu lagi, sebenarnya saya ingin wait and see saja, sebenarnya orang ini maunya apa ke saya, padahal sudah jelas Oktober lalu saya menolak ajakan taarufnya (meski alasan prinsipil saya adalah karena saya sendiri yang belum ingin buka pintu).

Entah dia yang ingin mengirim sinyal tertentu atau memang suka begitu saja dengan postingan-postingan saya, ikhwan itu jadi seolah rajin sekali menaruh likes di tiap postingan saya. Detik berdetak, jam berputar. Semakin hari berganti, saya tak tahu mengapa semakin merasa bahwa cepat atau lambat, akan ada yang nembung ke saya lagi.

21 Januari 2017. Notifikasi di layar android saya malam itu menampilkan nama Afi lagi. Seperti biasa, kalau dia mengontak saya, pasti ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Tiba-tiba jantung saya berdegup tak beraturan. Benarlah, dia menyampaikan pesan dari... sepupunya, alias ikhwan yang akhir-akhir ini namanya selalu muncul di notifikasi facebook saya. 

Li, maybe this is really really really the final question.” Saya manyun. Sudah bisa ditebak.

“Dia itu begitu persistent tanpa lelah sedari dulu nanyain tentang kamu. Dia kelihatan serius banget berniat ke kamu dan minta tolong aku yang nanyain. Bisa tidak, dikasih kesempatan untuk taaruf dengan kamu dan caranya bagaimana yang kamu mau.”

Ahai, bagaimanalah ini? Serenteng kekhawatiran muncul bercabang-cabang. Bagaimana jika kisah berakhir pahit alias gagal lagi seperti dulu? Siapkah saya menerima luka kembali? Apakah ia memang lelaki baik, yang memenuhi kriteria saya tentang seorang imam pendamping diri? Bagaimana jika ortu saya tak restu, lantaran ia bekerja nun jauh di sana? Bagaimana jika ortu saya ragu, sebab kami belum pernah mengenal sebelumnya?

Ya Rabbi, saya bimbang bukan kepalang. Tapi, memangnya sampai kapan saya akan membuat penolakan demi penolakan lagi?

Saya sampaikan sebuah tanya melalui Afi tentang apa gerangan yang membuat lelaki itu sebegitu yakin dengan saya. Apakah ia benar-benar serius? Mengapa ia memilih saya yang berjarak cukup jauh dengannya dan belum pernah berjumpa? Jika ada yang dekat, mengapa mencari yang jauh dari pandangan? Sebab tak mungkin di sana tak ada akhwat. Saya yakin di sana ada akhwat alumni UGM yang ia kenal, yang bekerja atau berdomisili di kota yang sama dengannya. Dan bisa jadi malah lebih baik dan salehah daripada saya. Di saat yang nyaris sama, saya mencoba mencari-cari informasi sendiri melalui beberapa orang. Responnya positif, insyaallah ia jauh lebih baik daripada orang yang dulu itu.

Seraya menunggu jawaban atas pertanyaan saya, istikharah saya dirikan terbata-bata. Rasanya beda dengan yang dulu. Entah kenapa kali ini saya tidak dihinggapi ragu tentangnya. Apakah ini pertanda? Satu-satunya kekhawatiran saya adalah restu orang tua. Maka, di samping istikharah, diam-diam saya tunaikan salat hajat pula. Saya doakan orang tua supaya dilembutkan hatinya. Lalu, entah kenapa diam-diam saya juga mulai mendoakannya—lelaki yang bahkan bertegur sapa dengan saya saja belum.

Jawaban datang beberapa hari kemudian. Rupa-rupanya, pertanyaan saya membuat ia agak kebingungan mengutarakan jawaban. Firasat, ujarnya. Firasat? Alamak, bak kisah di novel saja. Ia juga bercerita sedikit tentang prosesnya yang tiba-tiba kandas di tengah jalan, padahal sudah akan lamaran. Ujar si perempuan, “Kamu bukan jodoh yang tepat untukku.” Ingatan saya berputar, setahun lalu orang yang dulu itu juga berujar kalimat yang hampir sama, “Barangkali ada yang lebih cocok sama kamu.” Setelah itu semuanya berakhir. The end.

Firasat? Namun, ia mengaku sudah istikharah berulang kali. Saya juga sudah beberapa kali istikharah. Bedanya, seperti tak ada sesenti pun keraguan yang hadir di hati saya. Saya yakin, ia saleh, pantas menjadi imam bagi saya yang masih tertatih meniti cinta kepada Rabb dan agamanya ini. Jika ia memang saleh dan saya ridai agamanya, rasa-rasanya saya tak memiliki alasan syar’i untuk menolaknya (lagi).

Saya belum tahu kisah kami akan berakhir bagaimana nanti. Saya hanya memohon kepada Sang Pemilik Hati untuk memudahkan turunnya restu dan melembutkan hati orang-orang terdekat kami untuk memberikan jalan dan meridai. Saya juga harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. 

Allah, ingin kutemukan dan kurengkuh cinta, tanpa harus ada luka di hati siapapun jua.

HELAI BENANG KEEMPAT
Karena kami sama-sama kurang sreg dengan metode taaruf yang formal dan dijaga oleh perantara (tersebab sama-sama memiliki pengalaman serupa sebelumnya), maka bismillah, awal Februari kami memutuskan untuk melakukan proses mengenal secara mandiri (setelah saling bertukar biodata), membuat peraturan sendiri, dan berkomitmen saling mengingatkan jika ada yang melenceng dan harus diperbaiki dari interaksi kami.

Selang dua minggu setelah berbincang hanya melalui chat media sosial, kalimat itu saya ucapkan, “Rasanya kok kayak udah kenal lama.” Al-arwahu junudun mujannadah. Saya lantas teringat satu paragraf dalam serial drama Jepang berjudul Akai Ito (Benang Merah) yang temanya tentang jodoh pula: It’s said that after a person born, they will meet approximately 30.000 people before they die. Of those, the number of people you’ll meet and work at school is 3000. And of those, you’ll intimately know is 300. It’s said that God has arranged a special one for you. One made from before you were born. However, that bond of fate is invisible to everyone. And yet that unseen person in your destiny is connected to you by a red string on your pinkie.

Namun, saya masih berkutat dengan tanya “bagaimana bisa?” Bagaimana bisa keyakinan itu hinggap di hatinya? Tidak adakah alasan yang lebih logis, mengapa memilih saya? Bagaimana bisa ia dulu tiba-tiba ingat tentang saya, iseng membuka blog saya dan membaca postingan-postingannya, terlebih postingan yang ini, lalu menyimpulkan sendiri bahwa saya gagal berproses dan tidak jadi menikah, kemudian memutuskan untuk nembung kembali? Sedangkan saya, ingat dia saja tidak. Kenapa harus saya, kalau ada yang jauh lebih baik dan lebih salehah, dan berjarak lebih dekat dengannya? 

Allah yang maha berkuasa menggenggam hati-hati hamba-Nya. Allah yang maha menghadirkan cinta, bahkan di mata yang belum pernah bersua sebelumnya. Allah yang maha menitipkan keyakinan dan keraguan, usai sang hamba bermunajat memohon petunjuk-Nya. Allah yang maha menggerakkan hati siapa saja yang Ia kehendaki, termasuk hatinya dan hati saya.

Ada kalanya, kita memang harus berhenti mempertanyakan sesuatu yang mungkin tak bisa dijelaskan, susah dijabarkan, dan di luar jangkauan daya nalar kita yang serba terbatas ini. Ada kalanya, suatu hal memang begitu rumit, abstrak, absurd, tak berpola, tak diketahui rumusnya, dan tak akan bisa dicerna menggunakan logika. Ada kalanya kita memang harus berhenti mencoba menguraikan segala sesuatu yang tak terjemahkan, sulit terejawantahkan, lalu membiarkannya hadir begitu saja sebagai ayat-ayat semesta. Ada kalanya kita harus mengistirahatkan pikir, memperpanjang zikir, lalu tabah menerima ketentuan yang digariskan Sang Pengatur Takdir.

Awal Maret, kami berjumpa untuk pertama kalinya. Meskipun berminggu-minggu dihiasi rasa penasaran akan suaranya (karena komunikasi kami hanya chat, belum pernah telepon), rasa sebal saya masih tersisa sedikit, “Oh, jadi ini toh, si ikhwan akun palsu. Tega-teganya dulu berlaku curang seperti itu.”

Pertemuan pertama kami menyisakan degup grogi bercampur takut dan khawatir tentang bagaimana saya harus mulai mengomunikasikan ke orang tua, sebab sepanjang ini saya masih menyembunyikannya. Masih saja berkutat dengan “bagaimana jika”, padahal ia, orang yang tengah bertaaruf dengan saya, jauh-jauh hari sudah menunjukkan foto saya kepada ibunya agar didoakan demi kelancaran proses kami.

Saya terus berdoa, memohon pertolongan-Nya. Selang satu mingguan setelah pertemuan itu, saya baru berani berterus terang. Respon orang tua di luar dugaan saya. Singkat, jelas, dan tidak bertele-tele. “Kalau mau serius, segera suruh dia main ke rumah. Jangan berlarut-larut.” Positif. Maka, akhir Maret itu, pertemuan kedua kami sudah di depan Ayah-Bunda. Hari itu juga ia mengutarakan niatan untuk melamar saya secara resmi bersama keluarganya pertengahan April nanti.

HELAI BENANG KELIMA
Usai silaturahim keluarga dan lamaran yang sederhana pertengahan April itu, awal Mei adalah silaturahim balasan dan penentuan tanggal pernikahan. Hampir empat bulan jeda menuju Zulhijjah, pertengahan September—yang qadarullah tepat sehari setelah tanggal milad ke-27 saya. 

Ada banyak ketakutan, kekhawatiran, dan harap-harap cemas yang sulit untuk dijabarkan. Saya tetap memperbanyak jumlah doa, juga mengingatkan untuk saling bersabar dan tetap menjaga sepanjang perjalanan ini belum sampai ke titik pertemuan bernama mitsaqan ghalizha.

Namun, waktu tetap seolah berlari...

BENANG MERAH
Pagi itu, tak ada setitik pun bening yang turun dari mata saya—ketika pada umumnya, setiap perempuan akan meneteskan air mata usai lelakinya mengucap akad yang serupa perjanjian berat. Luh itu malah menderas satu pekan setelahnya, setelah perasaan ‘kehilangan’ itu mulai menjalar karena ia sudah harus mulai bekerja nun di sana. Ah, kami berjanji akan segera menebas jarak ini.

Betapa berliku dan panjang jalan untuk bertemu, betapa rumit jalan untuk bersatu, betapa jauh rentang jarak yang membentang di antara kami. Betapa hati kami yang rapuh ini pernah diuji dengan kejatuhan dan kegagalan-kegagalan. Namun, kemudian Allah Yang Maha Mengatur Takdir dan Membolak-Balikkan Hati menjadikan semua ini mudah, niscaya, kun fayakuun. Bulan yang menyabit telah menjadi separuh, maka bertakwa untuk separuhnya lagi adalah kewajiban kami setelahnya.

Maka, sungguh, Allah bersama orang-orang yang yakin, sabar, dan berprasangka baik terhadap takdir-Nya. Bahwa skenario-Nya memang yang terbaik, terindah, terromantis.

Maafkan aku yang dulu terlampau sulit menjaga cinta, sebab namamu sebelumnya terlalu erat disembunyikan semesta. Namun, bukankah kita tak bisa menolak nama yang telah diguratkan indah oleh-Nya dalam kitab takdir yang terjaga, bahkan sebelum kita menarik napas pertama di dunia.


#AzmiLiaStory




Beberapa menit usai sahnya akad nikah, 17 September 2017