Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Oktober 2013

Memotret Indonesia dari Jepang



Oleh: Lia Wibyaninggar




Judul Buku: Koinobori
Genre: Fiksi (kumpulan cerpen)
Penulis: Herlino Soleman
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2001
Tebal: xi + 169 halaman


Cerpen dibaca bukan hanya sebagai sarana penghiburan diri, memperluas imaji dan bendahara kata-kata, atau pun menambah wawasan. Cerpen bahkan bisa memperkaya batin kita dari perenungan masalah yang diangkat sebagai tema cerpen tersebut.
Sesuai dengan judul salah satu cerpen yang kemudian menjadi judul buku ini—Koinobori, pembaca seolah segera digiring untuk memasuki dunia fiksi berlatar negeri matahari terbit. Lokalitas Jepang yang diusung oleh sang pengarang—Herlino Soleman tentu bukan tanpa sebab. Secara sosiologis, pengarang adalah makhluk sosial yang dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Dalam hal ini, Herlino yang juga seorang pengajar di Sekolah Indonesia di Tokyo, mengakumulasikan problem yang terjadi dalam komunitas budayanya (di Jepang) ke dalam teks sastra. Dari sinilah kemudian pembaca diajak untuk memahami kebudayaan yang dikenalkan oleh sang pengarang.
Di sini, lokalitas yang dimaksud bukan sekadar latar an sich yang hanya mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran tentang masyarakat setempat, namun juga ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan ideology yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya. Menyitir pandangan Melani Budianta yang ditulis kembali oleh Maman S. Mahayana (2012), “lokalitas adalah proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Maka, tidak terhindarkan, makna teks jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi. (2012:161)
Koinobori memuat enam belas cerpen yang kesemuanya ditulis di Tokyo tahun 1997-2000. Itu pula sebabnya, cerpen-cerpen di dalam buku ini sangat kental dengan lokalitas Jepang. Uniknya, masalah yang diangkat dalam cerita tetaplah masalah-masalah manusia Indonesia. Tentu kita tidak lupa bahwa penulisnya adalah sastrawan Indonesia yang paham realita-realita di Indonesia. Dalam cerpen-cerpen di buku ini, lokalitas Jepang yang dihadirkan sang pengarang menjadi menarik dengan adanya persinggungan dua budaya: Jepang dan Indonesia.
Koinobori (鯉のぼり) adalah bendera berbentuk ikan koi yang dikibarkan di rumah-rumah di Jepang oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki. Bendera ini memiliki mulut bundar karena diberi watang bambu sehingga membentuk mulut yang jika ditiup angin akan menggelembung seperti ikan. Pengibaran koinobori dilakukan untuk menyambut perayaan Tango no Sekku.
Menurut penanggalan Imlek, Tango no Sekku jatuh pada tanggal 5 bulan 5 ketika Asia Timur sedang musim hujan. Orang tua yang memiliki anak laki-laki mengibarkan koinobori hingga hari Tango no Sekku untuk mendoakan agar anak laki-lakinya menjadi orang dewasa yang sukses (orang Jepang menyimbolkan ikan sebagai “keberanian” yang harus dimiliki setiap anak laki-laki. Sesuai tabiat ikan yang berenang ke hulu, berani menantang arus, bukan hanyut ke muara). Setelah Jepang memakai kalender Gregorian, koinobori dikibarkan hingga Hari Anak-anak atau Kodomo no Hi pada tanggal 5 Mei. Koinobori yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Jika dulu koinobori berkibar di tengah musim hujan, koinobori sekarang mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.
Dalam kumpulan cerpen karya Herlino Soleman ini, koinobori dikisahkan menjadi persoalan utama antara sang ayah (Nakamura) dengan anak laki-lakinya (Matsui). Tidak seperti anak Nippon lainnya, Matsui tidak pernah menyukai koinobori—si bendera ikan simbol keberanian. Ayahnya selalu beranggapan bahwa kelemahan Matsui adalah karena darah yang turun dari ibunya, Kemuning—yang seorang Indonesia. Karena itulah, sang ayah kemudian pasrah menerima kenyataan pahit bahwa Matsui bunuh diri setelah di-PHK.

Ia banyak mengetahui, jika di negeri istrinya yang jadi korban adalah mereka yang berani dan punya otak, di negerinya yang pantas jadi korban yang tak memiliki keberanian dan tak punya otak. Nakamura Tua terlanjur yakin bahwa tidak seperti negeri istrinya yang banyak memiliki sumber daya alam, tidak peduli eksis atau tidak negeri itu di mata dunia, negerinya harus dihidupi oleh otak dan segala kreativitas penduduknya jika ingin tetap eksis di bawah matahari. (hal. 7)

Penggalan di atas jelas menunjukkan persinggungan dua budaya berbeda, sekaligus kritik sosial yang ingin disampaikan oleh sang pengarang.
Seusai Koinobori, cerpen-cerpen di belakangnya masih kental dengan persinggungan dua budaya. Penulisnya tak segan-segan membandingkan Indonesia dengan Jepang, seolah ingin menjadikannya bahan perenungan untuk para pembacanya. Melalui Tanaka Tua, pembaca seakan dibuat tergelitik oleh adanya tokoh seorang Jepang yang menyanyikan lagu Indonesia dengan logat Jepangnya yang kental: “Bungawan… soroooo…., riwayatmu…. Iniiiii. Sudari duru…jadi, purhatian insani…!” Kemudian ia juga meracau tentang pemerintahan Indonesia yang disebutnya “maling teriak maling”.
Begitu pula dengan cerpen Memburu Semar, Tangis, Yumenoshima, serta Edomura tak lain merupakan potret yang terlahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural pengarangnya. Karenanya, jika kemudian cerpen-cerpen dalam buku ini disebut sebagai satire-satire, maka itu pun juga tidak salah. Tudingan uraian kepiluan jelas tergambar pada cerpen Memburu Semar. Ia seolah memburu sosok pemimpin yang sekaligus diberi dua jabatan dan nama dari dua keyakinan yang saling bertolak belakang akan arti kepemimpinan itu sendiri. Yang pertama menggariskan, pemimpin itu adalah pribadi yang memberikan pengetahuan, tenaga, waktu, dan harta bendanya untuk mengangkat kehidupan umatnya, sedangkan yang terakhir adalah sebaliknya.
Kumpulan cerpen ini pada akhirnya, bukan hanya kemeriahan imajinasi pengarangnya semata, namun juga menukilkan pengetahuan pembaca mengenai budaya masyarakat Jepang. Terlebih lagi, satire-satire di dalamnya merupakan otokritik mengenai persoalan manusia-manusia Indonesia yang disampaikan dalam bingkai tokoh-tokoh Jepang. Hati siapa yang tidak tersulut seandainya ada orang asing yang mengkritik negerinya? Namun, melalui kumpulan cerpen ini dapat diambil kesimpulan bahwa sang pengarang berhasil menyalurkan protes maupun amarahnya dengan cara yang elegan. Bukan lagi kisah cinta dua sejoli melankolik nan mainstream yang mendominasi, cinta dalam cerpen-cerpen ini dihadirkan dalam warna yang berbeda. Sejatinya, otokritik yang ada mengajarkan pembaca tanah air untuk lebih mencintai negerinya—si Zamrud Khatulistiwa.


Referensi:
Mahayana, Maman S. Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia. 2012. Bandung: Penerbit Nuansa.
Soleman, Herlino. Koinobori. 2001. Jakarta: Grasindo.

 

Kamis, 17 Februari 2011

Mematahkan Mitos Origami Tsuru



Judul Buku : 1000 Bangau Kertas
Penulis : Ezokanzo
Penerbit : Gema Insani Press (GIP), 2005
Tebal : 150 halaman

“Aku akan menuliskan tentang perdamaian pada setiap kepak sayapmu, dan engkau harus terbang mengelilingi dunia agar anak-anak tak perlu lagi mati dengan cara ini…”

Itulah penggalan haiku (semacam puisi Jepang) yang ditulis Sasaki Sadako di saat-saat terakhirnya, ketika ia berjuang melawan leukemia. Ya, kisah bocah perempuan berumur sebelas tahun ini memang cukup fenomenal di Negeri Sakura tersebut. Terjadi pasca perang dunia II, ketika sang negeri adikuasa menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sadako yang ketika itu masih bayi, harus menerima efek dari bom atom, dan ia tumbuh bersama kanker darahnya.
Di rumah sakit, di mana ia menunggu maut, tangan-tangan kecilnya sibuk melipat origami-tsuru (dari kata oru: melipat, kami: kertas, tsuru: bangau. Jadi, origami tsuru berarti bangau kertas) sambil sesekali berharap akan kesembuhannya. Ia percaya jika ia berhasil membuat seribu bangau kertas, maka permintaannya akan terkabul. Lalu, ia memanjatkan harapan nomor duanya untuk terciptanya perdamaian dunia.
Sadako tak dapat mengelak ketika maut menjemputnya saat ia baru membuat 642 bangau kertas. Hal itulah yang menginspirasi anak-anak seluruh dunia untuk mengirim seribu bangau kertas ke Jepang setiap Hari Perdamaian Dunia tanggal 6 Agustus.
Mungkin itu pula yang menginspirasi Ezokanzo—penulis yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Jepang ini—untuk menciptakan fiksi berjudul 1000 Bangau Kertas. Novel bergenre fiksi Islami bersetting Sapporo-Bandung ini memang cukup charming dengan covernya yang bernuansa biru-putih, ditambah ilustrasi warna-warni bangau kertas yang berserakan di atas meja. Itulah yang membuat saya menariknya dari deretan buku di bookstore selain karena saya memang suka mempelajari budaya Jepang.
Lembar pembuka novel ini—yang menjadi semacam intro—adalah terjemahan lirik lagu Kimura Yumi berjudul ‘Itsumo Nando Demo’ yang kata-katanya indah dan menyentuh.
Tokoh utama dalam novel ini, Anggie, adalah mahasiswi Indonesia di fakultas Engineering salah satu universitas di Jepang. Ia bersahabat dengan Naomi, gadis Jepang cerdas yang terobsesi dengan origami tsuru. Melalui mulut Naomi, Anggie tahu seluk-beluk mitos bangau kertas yang sudah berurat akar di negeri tempatnya menuntut ilmu. Sejak kecil, Naomi selalu tidak percaya diri sebelum bangau kertas yang dibuatnya mencapai seribu. Pun ketika ia hendak menghadapi ujian. Ia tidak yakin akan berhasil sebelum origami-nya komplit berjumlah seribu.
Hal itu lantas membikin konflik dalam diri Anggie. Bagaimana bisa Naomi yang intelektualitasnya tinggi mudah sekali percaya dengan mitos? Itu pula yang seringkali mendorong Anggie untuk tetap bersikukuh dengan iman Islamnya. Jika Naomi saja percaya dengan bangau kertas yang tidak bisa apa-apa—bahkan pasrah ketika dilipat-lipat tangan manusia—maka ia harus lebih percaya kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.
Dalam novel ini, penulis mencoba berdialog dengan pembaca tentang gambaran umum Jepang, juga kebiasaan-kebiasaan masyarakat negeri tersebut. Jalanan yang licin karena salju yang mencair saat musim dingin. Adat disiplin orang Jepang yang tentu bertentangan dengan adat ‘jam karet’ orang Indonesia. Kebiasaan tidak membuang sampah sembarangan, walau hanya sepuntung rokok. Tak ketinggalan pula, pergaulan bebas yang membudaya di kalangan anak muda Jepang. Penulis juga bercerita soal sikap orang Jepang yang cenderung sentimen terhadap suara ribut tetangga, bahkan bisa berbuntut ke polisi. Hm, orang Jepang memang cukup individualistis.
Unsur ‘percintaan’ memang tak bisa lepas dari keberadaan fiksi mana pun. Begitu pula dalam novel ini. Naomi tinggal serumah dengan Taki, pacarnya. Hal itu biasa, kendati belum resmi menikah. Apa lagi, negeri yang mayoritasnya penganut Shintoisme itu minim norma-norma pergaulan seperti dalam Islam.
Inilah awal konflik yang sebenarnya. Naomi dikhianati Taki dalam keadaan hamil. Ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengadu kepada Anggie, sahabatnya. Naomi yang bersedih merasa tak ada yang bisa menenangkan hatinya kecuali membuat seribu origami tsuru, sebelum ia memutuskan untuk menggugurkan kandungannya atau tidak.
Lewat perhatian dan bantuan Anggie, Naomi batal melakukan rencana buruknya itu dan berusaha melupakan Taki. Naomi kemudian dibawa Anggie pulang ke Indonesia, dan melahirkan di Bandung, tanah kelahiran Anggie. Ironisnya, Naomi tak pernah mengakui anaknya sendiri. Jadilah Anggie yang menjadi ibu angkat anaknya, setelah Naomi pulang ke Jepang.
Zahra, gadis kecil yang dilahirkan Naomi tumbuh tanpa ayah yang seharusnya menjadi pendamping Anggie. Hal itu membuat Anggie murung sebab Zahra mulai berpikir kritis tentang hal itu.
Hingga takdir mempertemukan Anggie dengan Muhammad Taqwa, seorang Jepang yang menjadi atasannya. Mereka kemudian saling jatuh hati dan menikah, sesuai keinginan Anggie untuk memberikan Zahra seorang ayah.
Ternyata, Taqwa tak lain adalah ayah Zahra secara biologis. Ia adalah Takemago Taki yang telah menjadi muallaf, dan bertekad menebus kesalahannya di masa lampau, usai mengetahui Naomi telah meninggal bunuh diri. Naomi bunuh diri ketika dirinya gagal ujian, dan menghadapi kenyataan bahwa seribu bangau kertas ternyata tak bisa membantunya.
Seperti pembukanya, novel ini ditutup dengan bait terakhir lirik ‘Itsumo Nando Demo’ yang belum diterjemahkan, disertai catatan kaki di bawahnya. Petikan-petikan kosakata Jepang memang menambah novel ini jadi lebih semarak, dan penguatan karakter jadi lebih hidup.
Hal yang saya sukai adalah manisnya persahabatan Anggie dan Naomi yang jelas-jelas berbeda negara, bangsa, dan agama. Ketulusan persahabatan melahirkan kepercayaan dan kasih sayang yang indah, serta menghapus jurang perbedaan antara keduanya.
1000 Bangau Kertas adalah novel perdana penulis. Isinya cukup berkualitas. Dikemas dalam bahasa yang fresh dan bernas, serta menjaga dramatikanya dari awal sampai akhir. Dijamin tak akan membuat kening berkerut ketika membacanya. Sehingga, cocok dibaca oleh siapa saja .
Tentunya, seusai membacanya, kita tak hanya terhibur oleh endingnya yang mengharukan. Namun, ada lain lagi yang tertinggal di hati, bahwa nasib tidak ditentukan dengan bangau kertas. Bahwa kepercayaan yang sempurna hanyalah untuk Allah semata. 

Dua foto di atas saya ambil di Lembaga Bahasa Jepang Yogyakarta ^__^