Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Oktober 2017

Menjeda: Tentang Jarak yang Merentang



Nyaris dua tahun lalu, saya tertarik dengan salah satu postingan di blog Mbak Cindi Riyanika yang diberi judul besar-besar: Commuter Marriage, Siapa Takut? Ketika itu, saya baru tahu kalau beliau yang masih di Jogja menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan suaminya yang bekerja di Ibukota. "LDM itu mudah diucapkan, namun susah untuk dijalani." Tentu saja.

Ketakutan akan kehidupan pasca pernikahan kemudian datang menghantui saya. Bagaimana pula dengan saya kelak? Waktu itu, kandidat yang tengah berproses dengan saya qadarullah adalah seorang yang bekerja nun jauh di sana, di luar Jawa. Sementara saya masih awang-awangen jika diajak jauh ke sana, selain saya memang ingin mencari kerja di Jakarta saja. Kalaupun jadi, maka LDM adalah satu-satunya cara, sambil berdoa semoga si calon kelak bisa pindah lagi ke Jawa. Akan tetapi, jika akan terjadi seperti itu, betahkah saya hidup berjauhan dengan suami? Padahal semenjak dulu, saya tanamkan tekad kuat-kuat, bahwa saya tak akan meniru pola rumah tangga kedua orang tua yang menjalani LDM pula.

Kisah selesai begitu saja. Tidak jadi berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya berharap, semoga usai wisuda, cepat atau lambat saya bisa mendapat pekerjaan di Ibukota, lalu bertemu entah siapa yang dihadirkan Allah untuk saya, yang juga berdomisili di kota yang sama, tentu saja.

Namun, ternyata, Allah menurunkan jawaban yang tak terduga...

Saya tidak jadi kembali ke Ibukota, malah mendapat amanah mengajar di kota kelahiran. Di saat yang nyaris sama, datang tawaran taaruf lagi. Namun, lagi-lagi sang kandidat berjarak lumayan jauh dengan saya, sebab ia bekerja nun di sana. Sekelebat kekhawatiran membayang lagi di benak. Jika saya terima lalu sampai ke nikah, kemungkinan saya akan menjalani LDM dulu dengannya. Entahlah. Tak mau berkutat dengan tanya "bagaimana ini semua bisa terjadi?", kami jalani saja setiap prosesnya, yang atas izin-Nya, restu turun begitu mudahnya, hingga hanya 7 bulan berselang semenjak perkenalan, pernikahan itu dilangsungkan.

Kami sepakat tidak akan berlama-lama berjauhan hanya karena alasan pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja saya yang harus mengalah dan ikut suami. Namun, rupa-rupanya memang butuh kesabaran berlimpah selama waktu tunggu tersebut. Lalu, kalimat "Ah, ada yang LDM-nya jauh lebih jauh daripada kita" tidak serta-merta bisa dijadikan pelipur lara. Sewajarnya pengantin baru yang setiap hari ingin berdekatan, tinggal bersama, menjalani hari-hari berdua, ada yang selama ini selalu tertahan dan ingin dicurahkan, namun di saat rindu yang menyesak belum habis, tiba-tiba harus ditimbun lagi dengan rindu baru. Kami yang sebelumnya sudah berjarak, kini harus berjarak lagi.

Ingin mencoba bersikap biasa saja dan happy, nggak usah sok mellow, nangis bawang atau apalah. Bisa, bisa! Lantas, tanpa diundang, muncul sekerat bayangan tentang ucapan salah satu sahabat saya yang LDM sebulan dengan suaminya: "Kamu jangan LDM ya, Li. Amat sangat tidak disarankan bagi umat." Tapi, saya yang agak songong ini mencoba mengusir kata-kata itu dengan bisikan, "Kebaperan nggak usah dituruti, nanti malah makan ati sendiri."

Waktu berputar cepat, dan yaah... saya mengalaminya sendiri. Welcome to the jungle, Sist! Jatah cuti suami sudah habis, harus segera kembali bekerja, dan saya juga belum bisa ikut pindah, jadilah ucapan semacam ini dilontarkannya, "Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?" tanyanya sebelum berpisah di stasiun.

"Enggak," sambil memasang senyum yang dibikin-bikin (lalu cium tangan). Maka, jawaban "enggak" itu hanyalah dusta. Setelah itu inginnya ambil langkah seribu tanpa menengok lagi, "Ah, udah ah, gue mau buru-buru pulang, nanti makin diliatin, makin kenapa-kenapa ini perasaan." Akting sok tegar berhasil!

Esoknya, barulah perasaan ‘kehilangan’ itu menjalar di seluruh urat nadi. Ada yang menyekat di kerongkongan. Rinai yang tak setitik pun jatuh ketika janji suci itu usai diucapkan, kini justru turun pelan-pelan, lalu menderas. Saya rindu, acapkali mengingat kebersamaan kami yang baru beberapa hari. Saya rindu campur haru, setiap kali mengingat kebaikan-kebaikannya selama ini.

Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi, drama baru dimulai. Karena pagi hingga sore mayoritas adalah jam kerja, maka waktu longgar kami untuk intens berkomunikasi adalah malam hari. Namun, saya yang seringkali mengantuk duluan membuat malah nggak jadi video-call atau terlupa membalas chat-nya. Terkadang pula, kehabisan tiket kereta menjadi kendala untuk bertemu kembali. Selanjutnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran yang menyergap tiba-tiba: apakah belahan jiwaku di sana baik-baik saja? Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu menjaganya, menjaga hati kami berdua agar dikuatkan ikatannya dan dikekalkan cintanya. Sebab ini juga adalah ujian cinta, sejauh mana kami mampu menjaga setia hanya kepada yang berhak saja.

Terkadang, cinta memang harus dididik dengan jarak. Karena jarak yang merentang memberi kesempatan bagi bertumbuhnya tunas-tunas rindu. Sebagaimana bumi akan bosan, jika selalu turun hujan, maka cinta—saya rasa juga memerlukan jeda, untuk mengambil napas dan menyegarkan bibit-bibitnya kembali. Agar ketika tak ada lagi jarak merentang panjang, kami semakin bersemangat untuk merawatnya setiap hari, hingga mekar dan ranum sampai nanti.

Senin, 12 Desember 2016

Cinta Laki-Laki Biasa: Haruskah Ada Batas Bagi Cinta?


Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang sebagai manusia. Di mana iman, di mana tawakal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Saya menemukan kalimat itu di sebuah buku berjudul Emak Ingin Naik Haji, buku kumpulan cerpen karya Asma Nadia yang terbit tahun 2009. Hampir semua cerita pendek dalam buku itu mengharukan, dan Cinta Laki-Laki Biasa adalah salah satunya. Emak Ingin Naik Haji, cerpen pertama di buku tersebut telah dilayarlebarkan pada 2009. Tak dinyana, Cinta Laki-Laki Biasa, cerpen pamungkas di buku itu menyusul beralih wujud menjadi film dan tayang pada 1 Desember 2016. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah karya yang rampung ditulis tahun 2005.

Nania dan Rafli—dua tokoh sentral dalam cerita ini digambarkan sebagai dua orang yang sangat berbeda. Muhammad Rafli Imani dideskripsikan sebagai seorang laki-laki yang serba biasa. Berasal dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa (hanya tamatan D3), berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Sementara, Nania sebaliknya. Nania Dinda Wirawan adalah bungsu dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan. Seperti kakak-kakaknya, Nania cantik, berwajah indo, berasal dari keluarga kaya-raya, berprestasi, sarjana Teknik Arsitektur yang sukses dalam kariernya

Pertemuan Nania dan Rafli berawal dari kerja praktek Nania di sebuah proyek perumahan yang dimandori oleh Rafli. Benih kekaguman mulai hadir sejak pertama kali Nania mengenal Rafli, apalagi ketika dijumpainya lelaki itu tengah mendirikan salat dengan kusyuknya di tempat proyek, di atas tanah merah, di antara truk-truk besar pengangkut bahan bangunan

Usai beberapa kebersamaan yang mereka lalui, Nania tanpa sungkan meminta Rafli hadir di wisudanya. Namun, Rafli tahu diri. Pada hari ketika Nania memakai toga, Rafli mengurungkan niat menemui Nania. Disimpannya kembali bunga mawar putih dan plakat bertuliskan ucapan selamat. Apalagi setelah ia tahu tentang keluarga Nania yang perlente, juga kehadiran sosok Dokter Tyo, pria yang digadang-gadang keluarga besar Nania sebagai calon suaminya.

Dua tahun berlalu dan Rafli menghilang begitu saja dari kehidupan Nania. Ia mempersiapkan rumah masa depan bagi keluarga kecilnya kelak. Rumah sederhana yang serambinya ia penuhi dengan pot-pot bunga mawar putih. Juga sebuah ruangan khusus yang ia persiapkan bagi pendamping hidup, meski belum tahu siapa. Ia harap perempuan itu adalah Nania, sang arsitek hebat.

Rafli kemudian memutuskan untuk menemui Nania di tempat kerjanya. Dibawanya mawar putih dan plakat bertuliskan ucapan selamat yang dulu urung ia serahkan. Di scene itu pula, Rafli memberanikan diri mengajak Nania taaruf. Meski awalnya ada beberapa tanya yang ia lontarkan, namun akhirnya Nania setuju.

“Lelaki yang berani mengajak seorang perempuan untuk taaruf, itu artinya dia yakin bahwa perempuan itu akan cocok untuknya,” ucap Rafli.

Maka, suatu hari diajaknya Rafli menemui keluarga besar Nania untuk meminta izin menikahi Nania. 

“Kenapa? Kenapa harus dengan laki-laki itu?”

Pertanyaan itu mengudara di sela shock yang sudah lebih dulu menyerang keluarga Nania yang kaya. Sebab Rafli hanya laki-laki biasa. Pendidikan biasa, penampilan biasa, pekerjaan dan gaji yang juga biasa. Berbeda dengan putri bungsu mereka. Sama sekali tak imbang!

Namun akhirnya mereka menikah, meski ibunda Nania masih berat hati. Restu yang setengah-setengah menjadi ganjalan dalam kehidupan pernikahan mereka kemudian. Intervensi ibu dan kakak-kakak Nania yang terlalu khawatir dan skeptis terhadap suaminya, Rafli yang sering dipojokkan dan direndahkan di hadapan orang tua dan kakak-kakak Nania.

Cobaan berat datang saat buah hati mereka sudah dua. Nania kecelakaan dan menderita amnesia. Ia bahkan tak ingat siapa suami dan anak-anaknya, membenci Rafli yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya.

Rafli tabah menerima segalanya. Ia menjadi ibu sekaligus ayah, menggantikan Nania mengurus Yasmin dan Yusuf, dua bocah buah hati mereka, selama Nania dirawat di rumah sakit.

Meskipun terkesan begitu fiktif di beberapa bagian dalam film ini, kisah cinta beda “strata” seperti Rafli dan Nania sebenarnya merupakan hal yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata. Kisah Rafli dan Nania merupakan sebuah otokritik terhadap klaim bibit-bebet-bobot pada calon pasangan, yang umumnya dikatakan bahwa laki-laki harus mapan, rupawan, dan berasal dari keluarga terhormat (dalam pandangan manusia). 

Telah banyak kisah cinta serupa yang digoreskan. Saya teringat cerita yang saya tulis sendiri, judulnya Aku Mencintaimu dalam Gulita. Tentang Layla dan Yusuf, sepasang suami-istri tunanetra. Saya teringat pula akan karya fenomenal Asma Nadia lainnya yang juga telah difilmkan, Assalamualaikum Beijing. Tentang Zhong Wen yang mencintai Asmara setulus-tulisnya, meski perempuan itu sudah tidak sempurna lagi secara fisik. 

Zhong Wen berujar kepada Asmara, “Tidak butuh fisik yang sempurna untuk memiliki kisah cinta yang sempurna.” 

Ah, maafkan saya, mungkin memang terlalu naif membandingkan cerpen garapan saya yang ala kadarnya dengan novel laris Asma Nadia. Namun intinya serupa, ketika cinta telah menyentuh titik terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Begitu pun dengan Bidadari Senja (2005), cerpen yang ditulis Sakti Wibowo itu berkisah tentang seorang perempuan yang memilih suami karena akhlak dan agamanya, meski suaminya tersebut cacat. Ketika cinta telah menyentuh titik terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Sebab yang menjadi tolok ukur adalah seberapa besar cinta dan ketaatan kepada Sang Maha Pemilik Cinta itu sendiri.

Sebagai pemirsa, lagi-lagi saya mendapatkan pesan bahwa kebahagiaan selalu bertaut mesra dengan kesederhanaan. Nania menolak barang-barang mewah pemberian ibu dan kakak-kakaknya, ia sepenuhnya rida dan bahagia hidup dengan nafkah suaminya yang tidak seberapa. 

“Untuk apa ranjang yang mewah dan mahal, jika seorang anak tidak mendapatkan kehangatan kasih sayang kedua orang tuanya?”

Layaknya film-film yang diadaptasi dari buku lainnya, cerita dalam film ini pun mengalami modifikasi. Di cerpen diceritakan bahwa Nania koma, kritis setelah berjuang melahirkan bayinya, sementara di film Nania kecelakaan lantas amnesia. Meski berbeda, namun esensinya tetap sama, tentang kesabaran dan keteguhan hati seorang suami sekaligus ayah mempertahankan setianya kepada perempuan yang harus ia jaga. Juga tentang hakikat sebuah penerimaan dari setulus-tulusnya hati. Tentang cinta luar biasa dari laki-laki yang sangat biasa.

Bagi saya, film ini pantas disaksikan beragam kalangan. Meski terselip nilai-nilai relijius, itu tidak serta-serta membuat film ini distempel dengan kategori film Islami, yang bisa jadi justru menciptakan batas tertentu dan penontonnya tidak bisa meluas. Saya tertarik dengan terminologi taaruf yang diselipkan di film ini, sementara di sisi lain, tokoh sentralnya sendiri—Nania, perempuan yang bahkan belum berhijab. Tokoh Nania tidak serta-merta diciptakan dengan atribut “suci” yang melekat padanya, berhijab lebar, baju longgar, lengkap dengan kaos kaki misalnya. Tokoh-tokohnya dihadirkan apa adanya. Natural. Saya kira, inilah kelebihan Asma Nadia sendiri sebagai penulisnya. Mampu mengangkat hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang terbentang megah dan sarat akan pelajaran.

Cinta Laki-Laki Biasa meninggalkan pesan yang tidak sederhana di hati pemirsanya. Lantas, sudahkah kita jatuh cinta melalui mata hati?