Al-arwahu
junudun mujannadah.
Kalimat itu terngiang kembali. Memutar
ingatan tentang bagaimana awal mula kami memutuskan untuk saling mengenal,
berjumpa, kemudian mengambil langkah besar: menggenapkan separuh agama. Dua
pekan setelah kami berkenalan dan berinteraksi hanya melalui perbincangan di social
media (dan sama sekali belum bersua), saya berujar, “Kita kenal baru berapa
hari ya? Tapi kok saya merasa kayak udah kenal lama.” Dibalasnya kalimat saya
dengan sebuah video potongan ceramah kajian pranikah dari Ustaz Salim A. Fillah.
Dalam video itu ada kutipan terkenal
dari pujangga kelas dunia, Kahlil Gibran, yang sudah tak asing di telinga saya.
Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang
tekun. Cinta adalah anak dari kecocokan jiwa, dan selama kecocokan jiwa itu
tiada, cinta tak akan pernah lahir dalam hitungan tahun atau bahkan milenia.
Lalu, hadis al-arwahu junudun mujannadah menjadi kalimat penguat
selanjutnya. Ruh-ruh itu seperti pasukan yang ada dalam kesatuan-kesatuan. Jika
mereka saling mengenal, maka mereka akan mudah untuk bersepakat. Kalau mereka
tidak saling mengenal, maka mereka akan gampang untuk berselisih.
Saya tercenung-cenung memikirkan
kalimat itu. Hari-hari bulan Februari masih dihiasi rinai hujan. Saya ingat,
setahun sebelumnya, saya pernah menumpahkan tangis ketika hujan sedang
deras-derasnya. Namun, tahun ini deras hujan membuat saya bersemangat
melantunkan doa-doa setiap harinya, sejak saya tak menemukan satu senti pun
keraguan dari istikharah pertama dan seterusnya, meskipun masih saja ada
segumpal tanya yang menyesaki benak saya tentang bagaimana bisa dan mengapa ia
memilih saya. Ada sejumlah adukan rasa yang susah diuraikan, acapkali mengingat
bagaimana benang-benang episode itu teranyam menjadi satu cerita utuh, hingga
kami sampai di hadapan penghulu.
HELAI BENANG PERTAMA
Kisah ini dimulai sekitar bulan
Oktober di tahun 2015. Malam itu saya tertegun dengan satu akun laki-laki yang request
to follow saya di instagram. Tidak saya follow balik, karena
saya tidak kenal dia siapa, namun karena rasa penasaran saya mudah berkecambah,
tanpa pikir panjang saya stalking akun itu, membaca postingan dan
komentar-komentar dari teman-temannya. Kemudian, saya mendapati satu fakta,
orang ini sepertinya kenal dekat dengan teman saya satu jurusan.
Tanpa pikir panjang pula, karena
saya juga sudah lama tidak mengobrol dengannya, malam itu langsung saya sapa
dia, seorang teman baik laki-laki yang saya kenal sejak awal kuliah, Afrizal Luthfi Lisdianta (Afi). ”Assalamualaikum. Fi, apa kabar? Kamu kenal sama itu
nggak? Dia follow aku di instagram. Teman kamu ya?” Jeda beberapa
jam. Lantas, balasannya membuat saya semakin tertegun. “Li, aku ingin bertanya
serius. Kamu saat ini sedang ada yang mendekati atau sedang proses, nggak?”
Glek. Rasa-rasanya ingin tersedak. Saya jawab jujur, “Iya, Fi. Saat ini aku sedang
berproses taaruf dengan seseorang. Aku belum memberikan jawaban kepadanya sih,
tapi insyaallah lanjut. Doakan saja.”
Kemudian dia menerangkan bahwa
lelaki itu tak lain adalah sepupunya, masih satu angkatan dan sealmamater di
kampus Gadjah Mada, Sarjana Teknik juga (sama seperti orang yang taaruf dengan saya
waktu itu, meski berbeda jurusan). Afi bermaksud baik ingin mengenalkan saya
dengan sepupunya karena ia pikir kami memang sedang sama-sama mencari pasangan.
Namun, karena saya sedang terikat proses dengan orang lain, otomatis tawarannya
yang datang belakangan itu saya tolak. Upaya perjodohan bubar. Saya ingin fokus
mengerjakan tesis, mengejar target wisuda S-2 di Februari 2016, kemudian
berharap segera menikah dengan lelaki yang bertaaruf dengan saya waktu itu.
Waktu berputar cepat. Singkat
cerita, taaruf saya gagal. Pertemuan kedua sekaligus terakhir dengannya
menyisakan sesak luar biasa di ruang batin saya. Susah dihapus dari ingatan,
bagaimana sikap dan kata-katanya ketika berbincang langsung dengan saya. Ketus
nan emosional, agak kasar, dan tidak menjaga pandangan. Duhai, begitukah lelaki
hanif seperti informasi awal yang saya terima tentangnya? Kami memang
taaruf dengan dijaga perantara. Empat bulan berlalu, namun perkenalan kami
terasa hambar. Tak banyak informasi yang saya dapat dan simpulkan tentangnya,
selain komunikasi kami memang dibatasi. Di sela deras hujan yang mengguyur
Depok dan deras tangis saya malam itu, untuk ke sekian kalinya saya memohon
kepada Allah, jika dia terbaik mohon dilancarkan, namun jika tidak mohon
dijauhkan sejauh-sejauhnya hingga lenyap dari pandangan, dan digantikan dengan
yang jauh lebih baik.
Banyak hal yang membuat saya
merenung. Semenjak awal proses dan setelah beberapa kali melakukan istikharah,
hati saya dipenuhi ragu yang tak bisa dijabarkan. Pria itu memang belum
memenuhi kriteria saya tentang seorang calon imam—yang mana saya rida dengan
agamanya, namun saya justru menepis segala keraguan yang berkelindan. Saya tak
mau egois dengan mematok kriteria calon suami terlalu melangit, sebab
sebetulnya saya juga masih serba biasa, masih sangat jauh dari salehah, masih
payah menggenggam istikamah. Saya tepis keraguan yang memenuhi hati saya, meski
hadis Rasulullah saw yang selama ini saya pegang itu selalu berdesing-desing di
kepala. Mintalah fatwa kepada hatimu. Well, saya sudah istikharah
berkali-kali, namun saya tak peka bahwa ragu yang Allah titipkan itu adalah
serupa sinyal tertentu.
Seperti biasa, hikmah selalu datang
belakangan. Namun, alangkah bodohnya jika kita tak bisa memungut keping-keping
hikmah yang berserakan dari tiap potongan kejadian. Menyesal? Tidak. Yang tidak
baik bagi saya telah Allah selesaikan dengan cara-Nya. Telah Allah jauhkan dan
hindarkan dari saya. Alhamdulillah, saya wisuda tepat waktu, ada orang tua dan
sahabat-sahabat yang menyayangi dan mengucapkan selamat di hari saya memakai
toga untuk kedua kalinya.
Namun, goresan menganga di hati saya
belum sepenuhnya sembuh. Saya menjadi perempuan yang menyimpan dendam
diam-diam. Tentu saja tidak enak. Mendendam ibarat memasukkan racun ke mulut
sendiri, tapi berharap orang lain yang mati. Luka yang masih ada itu membuat
saya agak trauma. Ketika ada tawaran taaruf lagi yang datang silih berganti,
saya membuat penolakan, lagi dan lagi. Alasan yang saya utarakan cuma: saya
belum siap membuka pintu untuk siapa pun itu. Sudah. Hati saya gembok
rapat-rapat. Jodoh? Saya benar-benar belum ingin memikirkan itu lagi. Masa
bodoh dengan usia yang telah lewat dua puluh lima. Belum terlalu tua, saya
kira. Ah ya, sebagai perempuan yang terdominasi perasaan, saya tak ingin dengan
bodohnya membuka pintu secara serampangan lagi, terbang karena harapan,
kemudian jatuh terhempas dan retak kembali. Saya tak ingin membuka pintu hanya
karena telah didesak umur, melainkan harus karena saya telah benar-benar siap
dan seseorang itu memang pantas memasuki ruang saya. Di tengah masa transisi
itu saya berharap, semoga kelak saya menikah bukan hanya dengan orang taat dan
baik, namun juga menikah dengan pemahaman yang baik.
HELAI BENANG KEDUA
Oktober 2016. Posisi saya sedang di
Jakarta, ada beberapa agenda tes kerja (yang qadarullah gagal semua),
dan simposium internasional di mana saya ikut andil jadi pemakalah. Sebuah
pesan datang dari Afi. Saya membatin, jika dia menghubungi saya, pastilah ada
hal penting yang ingin ia bicarakan. Benarlah, ada pesan dari seseorang, bahwasanya
seseorang itu ingin bertaaruf dengan saya. Seseorang itu tak lain adalah
saudara sepupunya, ikhwan Teknik yang dulu pernah saya tolak. Di titik
itu, saya merasa janggal. Jika Afi yang ‘mengompori’ sepupunya untuk taaruf
dengan saya—mentang-mentang saya sedang tak terikat dengan siapa-siapa, rasanya
tidak mungkin. Namun, jika itu adalah kemauan si ikhwan sendiri, apa
dasarnya? Kami sama sekali tidak berteman di dunia maya, apalagi pernah berbincang
dan berjumpa. Janggal, sebab ia pun berjarak cukup jauh dengan saya.
Saya sampaikan apa adanya, bahwa
saya benar-benar belum ingin membuka pintu untuk siapa pun itu. Saya masih
proses cleansing dari hal-hal pahit di masa lalu. Lama? Memang. Namun,
tentu saja saya tak bisa memaksakan diri dalam kondisi hati yang masih rawan.
“Jadi, kamu enggak mau nerima nih?”
tanyanya.
“Untuk saat ini, aku belum ingin
taaruf lagi.” Tegas. Saya tolak lagi, untuk kedua kalinya. Namun, pertanyaan
itu saya lontarkan jua, “Kenapa saudaramu itu enggak mencari akhwat yang
satu kota dengan tempat dia bekerja saja? Kan prosesnya akan lebih mudah
seandainya butuh ketemuan.”
“Kalau di dalam hatinya sreg
sama kamu aku bisa ngomong apa lagi, Li? Aku pernah tanya begini, ‘kamu ini
nggak sok-sokan suka sama perempuan padahal belum pernah ketemu kan?
Jangan-jangan gara-gara kamu nggak ada pilihan aja nih.’ Kemudian, dia cerita
bahwa salah satu alasan yakinnya sama kamu adalah karena dia membaca
tulisan-tulisanmu di blog. Karaktermu kan jelas tergambar di situ. Salah dua,
tiga, empatnya mungkin berdasarkan cerita-ceritaku tentang kamu, karena aku
kenal baik sama kamu. Tapi kalau kamu sudah menolak ya bagaimana lagi, sudah
tidak ada kemungkinan bagi dia, jadi mungkin dia bisa beralih ke yang lain.”
Ahai, lucu sekali. Ada orang asing
yang tiba-tiba sreg sama saya hanya karena membaca tulisan-tulisan saya
di blog? Belum pernah berjumpa, belum pernah kenal sebelumnya, apalagi berbincang,
meski hanya di dunia maya, tak pernah. Apa tidak aneh namanya? Saya tipe
perempuan yang mudah skeptis duluan jika ada orang tak dikenal tiba-tiba
mengaku suka sama saya, apalagi jika dia hanya tahu saya lewat social media.
Itu hanyalah sebuah kekonyolan yang mungkin patut ditertawakan.
Baiklah, ingin saya lupakan tawaran
itu. Hidup saya rasanya masih berada di titik kegamangan. Belum ingin
memikirkan nikah. Titik. Terkadang melintas pula pemikiran untuk tidak usah
menikah, ingin menutup mata dan telinga dari kabar bahagia dan
undangan-undangan yang semakin hari semakin datang beruntun. Astaghfirullah.
Apa saya terkena sindrom gamophobia? Entahlah. Masalah jodoh dan
berjodoh ini begitu abu-abu. Absurd nan random. Adalah lebih konkret
memikirkan yang lain; cari kerja, menulis macam-macam, kuliah lagi, atau bikin
penelitian. Absurdisme dalam hidup memang niscaya ada, justru di situlah
seninya. Namun, terkadang absurdisme ini semacam benang ruwet tak berpola yang
sukar diurai kerumitannya, serupa teka-teki sulit yang entah di mana
petunjuknya.
Tak berapa lama berselang, ada
seseorang yang mengontak saya lagi. Orang yang berbeda, namun ia ingin mencoba
menjadi jembatan antara saya dan... ikhwan itu (lagi). Rupa-rupanya ia
diminta tolong oleh sang ikhwan untuk nembung ke saya (lagi).
Aduh, sudah saya bilang, saya belum ingin berproses taaruf lagi. Masih enggan
rasanya meraih kunci pembuka gembok yang saya sembunyikan dalam peti di dasar
hati, kemudian memutar gagang pintu untuk menyilakan orang asing masuk. Apakah
jawaban yang saya utarakan dulu masih kurang jelas? Tentu saja saya bersikeras
menolak (lagi), untuk ketiga kali.
HELAI BENANG KETIGA
Saya pulang ke haribaan kampung
halaman. Episode saya di Jakarta sudah usai. Tak tahulah, saya akan memulai
hidup baru di desa nan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk khas kota megapolitan yang
semenjak dua tahunan terakhir akrab dalam keseharian. Meski mungkin hidup saya
akan lebih terasa sepi, saya ingin mengucap syukur saja.
Suatu hari, ada sebuah komentar dari
akun perempuan tak dikenal nongol di postingan video instagram saya. Saya
langsung merasa janggal begitu membaca kalimatnya. Apa pasalnya? Pertama,
komentar dia nyaris tidak ada kaitannya dengan caption yang saya tulis.
Kedua, saya rasa, komentar dia kurang pantas dilontarkan bagi sesama orang yang
belum saling mengenal. Ketiga, dia menyinggung perkara taaruf, lha kok
kayak tahu banget kalau saya baru menolak orang untuk taaruf?
Tidak saya balas komentarnya. Namun,
tentu saja saya langsung stalking akun janggal itu. Followers
maupun following-nya sedikit sekali. Postingannya juga cuma sembilan. Aneh.
Saya cek satu demi satu, saya hubungkan satu hal dengan hal lainnya, saya
analisis, akhirnya saya menemukan kesimpulan: fix! Itu akun palsu. Siapa
orang di balik itu? Tanpa bermaksud suuzan, saya berkesimpulan, ikhwan
yang saya tolak beberapa kali dulu itulah dalangnya. Nekat betul. Apa
sebenarnya maunya? Dia membuat akun perempuan palsu di instagram, demi bisa follow
saya (karena beberapa hal, saya membatasi followers di instagram, tidak
menerima followers laki-laki yang bukan mahram atau keluarga). Apa
jangan-jangan dia masih mengharapkan saya? Ah, saya tidak ingin gede rasa. Saya
biarkan saja, tak ambil pusing. Hanya jeda beberapa hari sejak saya tahu
perihal akun palsu itu, ikhwan itu mengirim permintaan pertemanan di
facebook. Mutual friends-nya lumayan banyak, rata-rata teman-teman
aktivis dakwah di kampus dulu. Saya terima, karena di facebook saya tidak memberlakukan
batasan pertemanan lelaki atau perempuan. Satu lagi, sebenarnya saya ingin wait
and see saja, sebenarnya orang ini maunya apa ke saya, padahal sudah jelas
Oktober lalu saya menolak ajakan taarufnya (meski alasan prinsipil saya adalah
karena saya sendiri yang belum ingin buka pintu).
Entah dia yang ingin mengirim sinyal
tertentu atau memang suka begitu saja dengan postingan-postingan saya, ikhwan
itu jadi seolah rajin sekali menaruh likes di tiap postingan saya. Detik
berdetak, jam berputar. Semakin hari berganti, saya tak tahu mengapa semakin
merasa bahwa cepat atau lambat, akan ada yang nembung ke saya lagi.
21 Januari 2017. Notifikasi di layar
android saya malam itu menampilkan nama Afi lagi. Seperti biasa, kalau dia
mengontak saya, pasti ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Tiba-tiba
jantung saya berdegup tak beraturan. Benarlah, dia menyampaikan pesan dari...
sepupunya, alias ikhwan yang akhir-akhir ini namanya selalu muncul di
notifikasi facebook saya.
“Li, maybe this is really really
really the final question.” Saya manyun. Sudah bisa ditebak.
“Dia itu begitu persistent
tanpa lelah sedari dulu nanyain tentang kamu. Dia kelihatan serius banget
berniat ke kamu dan minta tolong aku yang nanyain. Bisa tidak, dikasih
kesempatan untuk taaruf dengan kamu dan caranya bagaimana yang kamu mau.”
Ahai, bagaimanalah ini? Serenteng
kekhawatiran muncul bercabang-cabang. Bagaimana jika kisah berakhir pahit alias
gagal lagi seperti dulu? Siapkah saya menerima luka kembali? Apakah ia memang
lelaki baik, yang memenuhi kriteria saya tentang seorang imam pendamping diri?
Bagaimana jika ortu saya tak restu, lantaran ia bekerja nun jauh di sana? Bagaimana
jika ortu saya ragu, sebab kami belum pernah mengenal sebelumnya?
Ya Rabbi, saya bimbang bukan kepalang. Tapi, memangnya sampai kapan saya
akan membuat penolakan demi penolakan lagi?
Saya sampaikan sebuah tanya melalui
Afi tentang apa gerangan yang membuat lelaki itu sebegitu yakin dengan saya.
Apakah ia benar-benar serius? Mengapa ia memilih saya yang berjarak cukup jauh
dengannya dan belum pernah berjumpa? Jika ada yang dekat, mengapa mencari yang
jauh dari pandangan? Sebab tak mungkin di sana tak ada akhwat. Saya yakin di
sana ada akhwat alumni UGM yang ia kenal, yang bekerja atau berdomisili di kota
yang sama dengannya. Dan bisa jadi malah lebih baik dan salehah daripada saya.
Di saat yang nyaris sama, saya mencoba mencari-cari informasi sendiri melalui
beberapa orang. Responnya positif, insyaallah ia jauh lebih baik daripada orang
yang dulu itu.
Seraya menunggu jawaban atas
pertanyaan saya, istikharah saya dirikan terbata-bata. Rasanya beda dengan yang
dulu. Entah kenapa kali ini saya tidak dihinggapi ragu tentangnya. Apakah ini
pertanda? Satu-satunya kekhawatiran saya adalah restu orang tua. Maka, di
samping istikharah, diam-diam saya tunaikan salat hajat pula. Saya doakan orang
tua supaya dilembutkan hatinya. Lalu, entah kenapa diam-diam saya juga mulai
mendoakannya—lelaki yang bahkan bertegur sapa dengan saya saja belum.
Jawaban datang beberapa hari
kemudian. Rupa-rupanya, pertanyaan saya membuat ia agak kebingungan
mengutarakan jawaban. Firasat, ujarnya. Firasat? Alamak, bak kisah di novel
saja. Ia juga bercerita sedikit tentang prosesnya yang tiba-tiba kandas di
tengah jalan, padahal sudah akan lamaran. Ujar si perempuan, “Kamu bukan jodoh
yang tepat untukku.” Ingatan saya berputar, setahun lalu orang yang dulu itu
juga berujar kalimat yang hampir sama, “Barangkali ada yang lebih cocok sama
kamu.” Setelah itu semuanya berakhir. The end.
Firasat? Namun, ia mengaku sudah
istikharah berulang kali. Saya juga sudah beberapa kali istikharah. Bedanya,
seperti tak ada sesenti pun keraguan yang hadir di hati saya. Saya yakin, ia
saleh, pantas menjadi imam bagi saya yang masih tertatih meniti cinta kepada Rabb
dan agamanya ini. Jika ia memang saleh dan saya ridai agamanya, rasa-rasanya
saya tak memiliki alasan syar’i untuk menolaknya (lagi).
Saya belum tahu kisah kami akan
berakhir bagaimana nanti. Saya hanya memohon kepada Sang Pemilik Hati untuk
memudahkan turunnya restu dan melembutkan hati orang-orang terdekat kami untuk
memberikan jalan dan meridai. Saya juga harus siap dengan segala kemungkinan
yang akan terjadi.
Allah, ingin kutemukan dan kurengkuh
cinta, tanpa harus ada luka di hati siapapun jua.
HELAI BENANG KEEMPAT
Karena kami sama-sama kurang sreg
dengan metode taaruf yang formal dan dijaga oleh perantara (tersebab sama-sama
memiliki pengalaman serupa sebelumnya), maka bismillah, awal Februari
kami memutuskan untuk melakukan proses mengenal secara mandiri (setelah saling
bertukar biodata), membuat peraturan sendiri, dan berkomitmen saling
mengingatkan jika ada yang melenceng dan harus diperbaiki dari interaksi kami.
Selang dua minggu setelah berbincang
hanya melalui chat media sosial, kalimat itu saya ucapkan, “Rasanya kok kayak
udah kenal lama.” Al-arwahu junudun mujannadah. Saya lantas teringat
satu paragraf dalam serial drama Jepang berjudul Akai Ito (Benang Merah)
yang temanya tentang jodoh pula: It’s said that after a person born, they
will meet approximately 30.000 people before they die. Of those, the number of
people you’ll meet and work at school is 3000. And of those, you’ll intimately
know is 300. It’s said that God has arranged a special one for you. One made
from before you were born. However, that bond of fate is invisible to
everyone. And yet that unseen person in your destiny is connected to you by a
red string on your pinkie.
Namun, saya masih berkutat dengan
tanya “bagaimana bisa?” Bagaimana bisa keyakinan itu hinggap di hatinya? Tidak
adakah alasan yang lebih logis, mengapa memilih saya? Bagaimana bisa ia dulu
tiba-tiba ingat tentang saya, iseng membuka blog saya dan membaca
postingan-postingannya, terlebih postingan yang ini, lalu menyimpulkan sendiri bahwa saya gagal berproses
dan tidak jadi menikah, kemudian memutuskan untuk nembung kembali?
Sedangkan saya, ingat dia saja tidak. Kenapa harus saya, kalau ada yang jauh
lebih baik dan lebih salehah, dan berjarak lebih dekat dengannya?
Allah yang maha berkuasa menggenggam
hati-hati hamba-Nya. Allah yang maha menghadirkan cinta, bahkan di mata yang
belum pernah bersua sebelumnya. Allah yang maha menitipkan keyakinan dan
keraguan, usai sang hamba bermunajat memohon petunjuk-Nya. Allah yang maha
menggerakkan hati siapa saja yang Ia kehendaki, termasuk hatinya dan hati saya.
Ada kalanya, kita memang harus
berhenti mempertanyakan sesuatu yang mungkin tak bisa dijelaskan, susah
dijabarkan, dan di luar jangkauan daya nalar kita yang serba terbatas ini. Ada
kalanya, suatu hal memang begitu rumit, abstrak, absurd, tak berpola, tak
diketahui rumusnya, dan tak akan bisa dicerna menggunakan logika. Ada kalanya
kita memang harus berhenti mencoba menguraikan segala sesuatu yang tak
terjemahkan, sulit terejawantahkan, lalu membiarkannya hadir begitu saja
sebagai ayat-ayat semesta. Ada kalanya kita harus mengistirahatkan pikir,
memperpanjang zikir, lalu tabah menerima ketentuan yang digariskan Sang
Pengatur Takdir.
Awal Maret, kami berjumpa untuk
pertama kalinya. Meskipun berminggu-minggu dihiasi rasa penasaran akan suaranya
(karena komunikasi kami hanya chat, belum pernah telepon), rasa sebal saya
masih tersisa sedikit, “Oh, jadi ini toh, si ikhwan akun palsu.
Tega-teganya dulu berlaku curang seperti itu.”
Pertemuan pertama kami menyisakan
degup grogi bercampur takut dan khawatir tentang bagaimana saya harus mulai
mengomunikasikan ke orang tua, sebab sepanjang ini saya masih menyembunyikannya.
Masih saja berkutat dengan “bagaimana jika”, padahal ia, orang yang tengah
bertaaruf dengan saya, jauh-jauh hari sudah menunjukkan foto saya kepada ibunya
agar didoakan demi kelancaran proses kami.
Saya terus berdoa, memohon
pertolongan-Nya. Selang satu mingguan setelah pertemuan itu, saya baru berani
berterus terang. Respon orang tua di luar dugaan saya. Singkat, jelas, dan
tidak bertele-tele. “Kalau mau serius, segera suruh dia main ke rumah. Jangan
berlarut-larut.” Positif. Maka, akhir Maret itu, pertemuan kedua kami sudah di
depan Ayah-Bunda. Hari itu juga ia mengutarakan niatan untuk melamar saya secara
resmi bersama keluarganya pertengahan April nanti.
HELAI BENANG KELIMA
Usai silaturahim keluarga dan
lamaran yang sederhana pertengahan April itu, awal Mei adalah silaturahim
balasan dan penentuan tanggal pernikahan. Hampir empat bulan jeda menuju Zulhijjah,
pertengahan September—yang qadarullah tepat sehari setelah tanggal milad
ke-27 saya.
Ada banyak ketakutan, kekhawatiran,
dan harap-harap cemas yang sulit untuk dijabarkan. Saya tetap memperbanyak
jumlah doa, juga mengingatkan untuk saling bersabar dan tetap menjaga sepanjang
perjalanan ini belum sampai ke titik pertemuan bernama mitsaqan ghalizha.
Namun, waktu tetap seolah berlari...
BENANG MERAH
Pagi itu, tak ada setitik pun bening
yang turun dari mata saya—ketika pada umumnya, setiap perempuan akan meneteskan
air mata usai lelakinya mengucap akad yang serupa perjanjian berat. Luh itu
malah menderas satu pekan setelahnya, setelah perasaan ‘kehilangan’ itu mulai
menjalar karena ia sudah harus mulai bekerja nun di sana. Ah, kami berjanji
akan segera menebas jarak ini.
Betapa berliku dan panjang jalan
untuk bertemu, betapa rumit jalan untuk bersatu, betapa jauh rentang jarak yang
membentang di antara kami. Betapa hati kami yang rapuh ini pernah diuji dengan
kejatuhan dan kegagalan-kegagalan. Namun, kemudian Allah Yang Maha Mengatur
Takdir dan Membolak-Balikkan Hati menjadikan semua ini mudah, niscaya, kun
fayakuun. Bulan yang menyabit telah menjadi separuh, maka bertakwa untuk
separuhnya lagi adalah kewajiban kami setelahnya.
Maka, sungguh, Allah bersama
orang-orang yang yakin, sabar, dan berprasangka baik terhadap takdir-Nya. Bahwa
skenario-Nya memang yang terbaik, terindah, terromantis.
Maafkan aku yang dulu terlampau sulit menjaga cinta, sebab namamu
sebelumnya terlalu erat disembunyikan semesta. Namun, bukankah kita tak bisa
menolak nama yang telah diguratkan indah oleh-Nya dalam kitab takdir yang
terjaga, bahkan sebelum kita menarik napas pertama di dunia.
#AzmiLiaStory
Beberapa menit usai sahnya akad nikah, 17 September 2017 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar