Tampilkan postingan dengan label Harapan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Harapan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Maret 2017

Renjana #3



Kita tertatih mengurai takdir, meski tangan kita terlalu rapuh untuk memunguti keping-keping hikmah sepanjang jalan. Kita mencoba menerka jawaban, atas mengapa kegagalan-kegagalan nan menyakitkan harus menjadi penyeling dalam setapak perjalanan. Kita mencoba belajar menerima segala kemungkinan dan ketentuan, seraya masih terus memanjangkan sabar dan memperkuat ikhtiar. Kita mematut diri di depan cermin, mencoba untuk mencerna pemahaman bahwa pantulan seperti itulah nanti yang akan kita dapatkan sebagai teman. 

Kita berupaya menahan rasa yang mulai menggejala. Tak boleh sekali-kali kuncup dan mekar sebelum waktunya. Kita mengadu di atas sajadah, memperbanyak jumlah doa dalam sehening-heningnya munajat di malam-Nya yang sepertiga. Kita tetap belajar melabuhkan harapan tinggi jauh ke langit sana. Sebab membangun harap kepada sesama tak ubahnya bersiap jatuh ke jurang kecewa. Kita berupaya memperbaiki niatan, supaya tak berbelok, lantas malah mematahkan keinginan. Kita berusaha menjadi apa adanya, sebab kita sadar kita jauh sekali dari sempurna.

Kita bergerak pasrah seperti daun-daun luruh. Entah di mana kita akan jatuh. Sekecil apapun kemungkinan untuk jatuh di tempat yang sama, kita percaya itu sangat mudah bagi-Nya.




(Disalin dari caption di instagram)

Rabu, 25 Januari 2017

Jawaban Sebilah Doa




“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai tuhanku.”

(Quran Surah Maryam: 4)

Pertengahan tahun 2015, dengan malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan proposal penelitian untuk tesis.

Saya sudah lupa berapa persisnya jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu. Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?

Daftar doa selanjutnya tentu saja berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia 27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula. Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan, malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya, Buk.”

Tidak ada ibu yang alpa mendoakan kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter, perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan panutan pula.

Ruang kosong yang seharusnya diisi perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’ dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di mana pun kampusnya.

Hari itu mungkin ia tengah terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air. Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?

Selang beberapa bulan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa? Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib. Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya. 

Kemudian, adakah satu demi satu pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan sejuk dan menenteramkan.

Selang beberapa bulan setelah doa itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.


“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”


Bahkan saya sudah melupakan itu ada di daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati, namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau yang lain. ^_^

Pengerjaan tesis berjalan lancar, bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.

Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat semuanya tertunda dan tertunda.

Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus, dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah. Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.

Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’ itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan terbata-bata.

Maka jelas sudah, Dia belum memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya, untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain, dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan hingga saat ini.

Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya sendiri).

Saya masih ingat doa-doa yang didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar, tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap. Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin surut, justru bertambah-tambah.


“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.


Saya menjadi paham, dan keyakinan saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang didoakan.

Entah berapa kali doa Mbak Dita yang diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk pintu-Nya.

Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.

Ketika itulah kau mulai paham mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap permasalahan.

Kita memang tak pernah tahu kapan setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban. Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.

Kita hanya harus selalu percaya, bahwa di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia dalam bentangan takdir kehidupan kita.

Rabu, 22 Juli 2015

Epitaf






Kepada lelaki yang pernah mendiami salah satu relung tersembunyi di hati adindaku, Rinai.

Elang, perkenalkan, aku Mentari. Surat ini datang kepadamu atas dorongan dari hatiku sendiri. Kutulis dengan sejumput doa semoga engkau sudi menelusuri setiap jengkal kata-kata di beberapa helai kertas lusuh ini, tidak lantas mencampakkannya ke tempat sampah. Namun jika surat ini telah usai kau baca, itu terserahmu, kau membuangnya juga aku tak mengapa. Semoga pesanku tetap sampai ke hatimu.

Kau tentu terkejut dengan kalimat pembuka yang kutulis. Kau tidak pernah menyangka sebelumnya, bukan? Bagaimana mungkin? Selama beberapa tahun ini kalian bersahabat. Sahabat dalam kebaikan, bukan? Sebagai orang yang sama-sama bertekad untuk teguh dalam beragama, kalian tetap berusaha saling menjaga. Kalian sepenuhnya menyadari jika apapun statusnya, kalian tetap bukan mahram. Tidak ada hubungan apapun yang bisa menghalalkan kedekatan kalian lebih dari sepasang teman—kecuali… pernikahan. Namun frasa ‘sahabat baik’ tetap tidak mampu hilang atau musnah begitu saja. Kalian tetap bersahabat apa adanya. Ya, mungkin bagimu itu biasa.

Akan tetapi Lang, kuberi tahu satu rahasia besar yang harus kau camkan baik-baik. Bagi Rinai, kau lelaki yang berbeda daripada umumnya—betapapun kalian berbeda dalam banyak hal. Kau istimewa di matanya. Aku tidak mengerti sejak kapan ia memiliki kesimpulan seperti ini. Namun, tahukah kau, kebaikan-kebaikan kecil yang pernah kau berikan kepadanya itu tidak akan hilang selamanya dari ingatan Rinai. Mungkin kau sudah lupa, mungkin bagimu itu hal sepele nan remeh-temeh. Bagi perempuan—makhluk dengan sejuta kelembutan yang diciptakan Allah—itu bagaikan sebuah sentilan halus yang sedang menyapa hatinya. Ada lawan jenis yang sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu hatinya. Yang kutahu, tidak ada perempuan yang tidak tertawan dengan perhatian. Tidak ada, Lang. Maka, begitulah cara rasa bernama ‘suka’ dan ‘cinta’ bekerja. Ia bermula dari setitik noktah berjudul perhatian, interaksi dan kebersamaan yang mungkin tak kasat mata. Rinai tidak pernah mengatakan bahwa ia menaruh hati terhadapmu, namun diam-diam hatinya bersedih ketika kau sakit—tapi kau malah bungkam tentang sakitmu. Ia gelisah dalam doanya, bertanya-tanya dalam hening, apakah engkau baik-baik saja.

Mungkin kau juga tidak pernah menyadari gelagat Rinai yang tak jarang cuek terhadapmu. Ia bukannya sebal, jutek, atau marah kepadamu. Ia hanya sibuk menyembunyikan rona parasnya yang bersemu malu-malu, sembari menenangkan degub yang perlahan berdetak dan desir aneh yang tiba-tiba hadir acapkali kalian bertemu. Ia pun bingung, bagaimana agar rasa yang mendiami kalbunya mampu cepat-cepat ia usir. Ia sadar sepenuhnya, kau bak ksatria yang diidamkan banyak hawa. Ia tak ingin turut serta dalam deretan perempuan yang menyukaimu. Ia hanya perempuan sederhana yang ingin dicintai dengan sederhana pula. Lantas, ketika rasa yang selama ini ia hindari datang tanpa diminta, ia ingin mematahkan interaksinya denganmu, namun tentu saja ia tidak bisa menjauhimu begitu saja tanpa alasan. Sementara, tahun berlalu dan kalian tetaplah sahabat dalam kebaikan. Maka, hening adalah jalan cinta yang ia tempuh kemudian.

Usai jeda jarak membentang yang memisahkan kalian, senyum itu masih setia melengkung di bibir tipisnya. Doa-doa dan harapan masa depan yang ia gumamkan dalam hati tersimpan dalam diam yang menjadi bahasanya. Sungguh, aku tak tahu apa-apa tentang semuanya. Hingga ia bercerita tentang pinangan yang ia tolak. Tidak ada yang salah. Lelaki itu saleh nan sederhana, pandai dan sudah bekerja. Namun, usai istikharah, Rinai justru bermimpi bertemu denganmu. Ah, entah itu isyarat tuhan atau malah bunga tidur yang ditiupkan setan. Meski kau tidak pernah menjanjikan apapun, ia yakin, akan ada pertemuan berharga lagi di masa depan. Denganmu, Lang.

Semuanya baik-baik saja hingga hari itu, hari suratmu yang bersampul merah marun sampai di depan pintu rumah kami. Aku masih ingat betul isinya, kau bercerita, “Rinai, aku dijodohkan oleh orang tuaku. Namun, selama ini aku mencintai perempuan lain. Kau tidak mengenalnya, namun ia anggun dan  salehah sepertimu. Ia bernama…”

Sampai pada kalimat itu, semua alinea seakan mengapung, lantas kabur, buram. Wajah adindaku tertekuk. Tak butuh waktu lama setelahnya, tulisan tanganmu telah kabur oleh luh yang berderai-derai dari manik matanya.

…Laras.”

Cukup sudah. Nama itu bukan Rinai. Jelas sudah, sejak saat itu, merpati kecilku itu memendam luka. Cukup sudah untuk semuanya, mungkin namamu memang harus dihapusnya dari lembaran kisah. Mengambil langkah seribu, menghilang tanpa jejak, dan kau tak perlu tahu. Jahatkah Rinai, Lang? Kau tentu menantikan balasan darinya atas suratmu yang sendu. Sungguh, maafkan dia. Bagaimana mungkin ia menasihatimu untuk mengikhlaskan segalanya dan menyandarkan segala harap kepada Yang Kuasa ketika ia tidak bisa mengingkari hatinya yang masih jauh dari ikhlas? Kabura maqtan ‘indallahi antaquulu ma laa taf’aluun. Tentu saja ia tak ingin menyalahi aturan itu.

Kuyakinkan ia untuk melepaskan semuanya. Cinta, rindu, marah, dendam atau apapun rasa dalam hatinya yang masih berkaitan denganmu. Kuyakinkan dia tentang rumus sederhana, bahwa cinta adalah pemberian yang tulus, tanpa mengharapkan balasan apapun. Di sisi lain, cinta juga adalah sebuah penerimaan. Ikhlas menerima apapun keadaannya. Maka, tak bisa kusebut itu cinta selama ia masih terikat oleh perasaan ingin memiliki dan membersamai, ketika takdir kalian justru tak sama. Tidak mudah baginya menelan segala kalimatku yang mungkin sok bijak. Sama sulitnya dengan menghapus semua kenangan yang sudah terlanjur menetap di memorinya. Namun, Rinai belajar. Ya, Rinai belajar untuk melepaskan. Cinta adalah memberi tanpa mengharap balas. Ia melepaskan semuanya, tanpa dibebani ingin agar kau membalasnya. Maka, ia lepaskan doa-doa menuju langit setiap ia bersimpuh di atas sajadah. Sungguh, ada sejumput rasa bersalah yang menyesaki hatinya usai ia memutuskan pergi menghilangkan jejak tanpa membalas suratmu ketika itu. Namun, lidahnya sudah terlanjur kelu, apatah lagi untuk berjumpa denganmu kembali. Sepertinya lebih baik tidak usah saja. Sebagai gantinya, doa-doa itulah yang ia gumamkan setiap malam. Ia berdoa, semoga engkau dikaruniai pasangan yang terbaik menurut pandangan-Nya. Siapapun itu. Baik engkau telah lama mengenalnya maupun belum. Baik engkau telah memiliki rasa cinta terhadapnya atau belum.   

Untuk doa-doa yang selama ini ia utarakan diam-diam untukmu, sebenarnya aku ingin meminta satu hal darimu. Aku ingin meminta doa yang tulus darimu untuk Rinai. Jika orang itu memang benar-benar bukan kamu, doakan ia mendapatkan kekasih yang terbaik menurut-Nya, yang mampu menggenapinya dengan kasih sayang yang tulus, selayaknya bening cinta dari Yang Maha Kuasa. Doakan Rinai mampu mencintainya dengan sepenuh jiwa.

Namun, sayangnya itu semua tidak akan terjadi.

Dari mana aku tahu semua ini? Lisan adindaku tidak pernah berkisah secara lengkap, Lang. Buku hariannyalah yang bercerita. Kupungut buku kumal itu dari almari kamarnya yang kini tak berpenghuni. Usianya dua puluh empat ketika ia divonis mengidap meningitis. Rupa-rupanya itu jawaban atas sakit kepala luar biasa yang beberapa tahun terakhir menderanya. Rinai optimis ia akan sembuh. Cerita-cerita pendeknya berserakan di banyak surat kabar. Naluri menulisnya tidak pernah menyusut barang sesenti pun. Secara tidak langsung, inspirasi-inspirasinya datang darimu, dari pertemuan kalian yang dulu-dulu itu. Secara tidak langsung, kaulah salah satu alasan yang menguatkan jiwanya untuk tetap menapak menuju kesembuhan. Ah, terima kasih banyak, Lang. Namun, ternyata tidak butuh waktu sampai satu tahun untukku menerima kenyataan pahit itu. Kukira ia yang layu akan bersemi kembali. Tapi tidak, mau tak mau, aku harus selalu memercayai nasihat sederhana ini: Allah menyayanginya lebih dari apapun, lebih dari ayah-ibunya, lebih dari sahabat-sahabatnya, lebih dari kita semua yang mengenalnya.

Tanah merah pusaranya masih basah ketika nuraniku meminta tangan ini untuk menulis surat kepadamu, biar segala kisah dan cinta yang pernah ia simpan tidak selamanya ikut tertimbun dalam liang lahat menjadi rahasia.

Kisah kalian mungkin hanya sepersekian dari beribu-juta bahkan selaksa kisah yang ada di muka bumi ini, kisah yang sudah jamak terjadi. Kisah yang menjadi andalan para pengarang, pujangga dan sastrawan. Kisah yang tidak pernah habis untuk dikisahkan lagi dan lagi. Namun apalah gunanya kita mencintai mati-matian segala sesuatu yang fana, yang sejatinya bukan milik kita?

Maafkan dan ikhlaskan dia. Terima kasih telah memberi warna tersendiri dalam hidupnya yang tidak lama. Jika suatu saat kau ingin menjenguknya, carilah pusara adindaku, namanya tertera di epitaf itu.



Senin, 25 Agustus 2014

"Selaksa Bintang di Langit Itu"





“Harapan adalah langit luas bertabur gemintang. Kau pernah menulis begitu dulu, Kenanga.”
“Aku mengutip dari buku lain yang entah—aku lupa judulnya.”
“Jadi, harapan selalu bersemayam di tempat yang tinggi? Setinggi angkasa? Bintang-bintang itu yang ingin kau petik? Mana sayapmu? Tak ada.” Seruni menertawakan candaannya sendiri yang sama sekali tak lucu.
“Iya, harapan selalu bersemayam di tempat yang tinggi, sangat tinggi, paling tinggi. Tak ada harapan yang bersemayam di tempat rendah, apalagi hanya setinggi atap rumah. Kau menemukan apa di sana? Sarang laba-laba?” Kenanga mengejek.
“Harapan adalah ruh yang nyalanya membuat kita bertahan untuk tetap hidup. Tak ada harapan lagi, kau mati. Harapan itulah yang membuat kita mampu berdiri, berlari, atau bahkan terbang tinggi—meskipun kau tak punya sayap. Bintang-bintang itu adalah keinginanmu, mereka semua indah, berkilau. Alangkah bahagia jika bisa memilikinya satu saja dalam hidup.”
“Tidakkah menakutkan berharap terlampau tinggi, Kenanga? Bagaimana jika apa yang kau ingini tidak bisa terpenuhi, sedangkan kau sudah terlanjur melambungkan segepok harap sebelumnya. Tidakkah kau takut jatuh berdebam ke tanah, terluka, dan sakit?”
“Maksudmu?” Kenanga menatap Seruni. Mereka sudah sama-sama dewasa untuk memahami urusan-urusan perasaan.
“Aku tak bisa mengingkari bahwa dia baik. Satu inginku, semoga kelak ia menggenapi diriku yang ganjil.”
“Lantas?”
“Ia begitu sulit, begitu melangit. Ketakutan terbesarku adalah.. harapan itu tinggal harapan. Untuk apa melabuhkan harap kepada sosok yang tak pernah mengharapkan kita? Tak ubahnya mengejar bayanganmu sendiri. Hasilnya tak ada, hampa, kecuali kau lelah sendiri.”
“Sebab kau menggantungkan harap terlalu rendah. Ruang bagi harapanmu terlalu sempit.”
“Aku tak mengerti.”
“Coba kau teliti lagi bait-bait tulisan ini.” Seruni menerima buku itu, Dalam Dekapan Ukhuwah.

Membersamai orang-orang saleh memang perintah Allah, memang keniscayaan bagi ikrar takwa. Tetapi meletakkan harapan atau menggantungkan kebaikan diri padanya, pada sosok itu, adalah kesalahan dan kekecewaan…
Seorang sahabat berkata padaku, “Aku ingin menikah dengannya… Hanya dengannya…” Aku bertanya mengapa. “Agar ia menjadi imamku, agar ia membimbingku, agar ia mengajariku arti ikhlas dan cinta, agar ia membangunkanku salat malam, agar ia membersamaiku dalam santap buka yang sederhana.”
“Ah, itulah masalahnya,” kataku. Dan dia kini tahu bahwa khawatirku benar, bahwa sosok lelaki penyabar yang dia kenal juga bisa marah, bahkan sering. Bahwa sosok lelaki saleh yang dia damba kadang sulit dibangunkan untuk salat subuh berjamaah. Bahwa lelaki yang menghafal juz-juz Alquran itu tak pernah menyempatkan diri mengajarinya a-ba-ta-tsa.
“Ah, itulah masalahnya.” Semakin mengenali manusia, yang makin akrab bagi kita pastilah aib-aibnya, sedang mengenali Allah pasti membuat kita mengakrabi kesempurnaan-Nya. Maka gantungkanlah harapan dan segala niat untuk menjadi baik hanya pada-Nya, hanya pada-Nya. Jadilah ia tali kokoh yang mengantar pada bahagia dan surga.

“Jadi?”
“Kau meletakkan harapan terlalu rendah, kepada sesama manusia penuh kekurangan yang sama rendahnya dengan diri kita sendiri. Sedangkan jika kita analogikan gemintang itu sebagai harapan-harapan, jelas mustahil menyejajarkannya dengan manusia biasa yang sama-sama menjejak bumi seperti kita. Harapan hanya boleh disemayamkan di tempat yang tinggi, sangat tinggi, paling tinggi. Arsy-Nya.” Kenanga melayangkan pandang ke kanvas raksasa yang semakin mengelam di atas sana, ramai benda langit, termasuk bulan yang pongah di malam purnama.
“Seberapa banyak harapanmu?” tanya Seruni kemudian.
“Sebanyak bintang-bintang itu.”
“Semilyar?”
“Selaksa.”
“Mengapa bukan sejuta, seribu, atau semilyar? Mengapa harus selaksa?”
“Bintang-bintang tak bisa dikalkulasi oleh pengetahuan manusia setinggi apapun jenjang pendidikannya, maka kubilang selaksa.”
Mereka saling melempar senyum. Ah, malam, jangan dulu berlalu.