Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang sebagai manusia. Di mana iman, di mana tawakal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Saya menemukan kalimat itu di sebuah
buku berjudul Emak Ingin Naik Haji, buku kumpulan cerpen karya Asma
Nadia yang terbit tahun 2009. Hampir semua cerita pendek dalam buku itu mengharukan,
dan Cinta Laki-Laki Biasa adalah salah satunya. Emak Ingin Naik Haji,
cerpen pertama di buku tersebut telah dilayarlebarkan pada 2009. Tak dinyana, Cinta
Laki-Laki Biasa, cerpen pamungkas di buku itu menyusul beralih wujud
menjadi film dan tayang pada 1 Desember 2016. Sebuah perjalanan panjang bagi
sebuah karya yang rampung ditulis tahun 2005.
Nania dan Rafli—dua tokoh sentral
dalam cerita ini digambarkan sebagai dua orang yang sangat berbeda. Muhammad Rafli Imani
dideskripsikan sebagai seorang laki-laki yang serba biasa. Berasal dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa (hanya tamatan D3), berpenampilan
biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Sementara, Nania
sebaliknya. Nania Dinda Wirawan adalah bungsu dari empat bersaudara yang
kesemuanya perempuan. Seperti kakak-kakaknya, Nania cantik, berwajah indo,
berasal dari keluarga kaya-raya, berprestasi, sarjana Teknik Arsitektur yang
sukses dalam kariernya
Pertemuan Nania dan Rafli berawal
dari kerja praktek Nania di sebuah proyek perumahan yang dimandori oleh Rafli.
Benih kekaguman mulai hadir sejak pertama kali Nania mengenal Rafli, apalagi
ketika dijumpainya lelaki itu tengah mendirikan salat dengan kusyuknya di
tempat proyek, di atas tanah merah, di antara truk-truk besar pengangkut bahan
bangunan
Usai beberapa kebersamaan yang
mereka lalui, Nania tanpa sungkan meminta Rafli hadir di wisudanya. Namun,
Rafli tahu diri. Pada hari ketika Nania memakai toga, Rafli mengurungkan niat
menemui Nania. Disimpannya kembali bunga mawar putih dan plakat bertuliskan
ucapan selamat. Apalagi setelah ia tahu tentang keluarga Nania yang perlente,
juga kehadiran sosok Dokter Tyo, pria yang digadang-gadang keluarga besar Nania
sebagai calon suaminya.
Dua tahun berlalu dan Rafli
menghilang begitu saja dari kehidupan Nania. Ia mempersiapkan rumah masa depan
bagi keluarga kecilnya kelak. Rumah sederhana yang serambinya ia penuhi dengan
pot-pot bunga mawar putih. Juga sebuah ruangan khusus yang ia persiapkan bagi
pendamping hidup, meski belum tahu siapa. Ia harap perempuan itu adalah Nania,
sang arsitek hebat.
Rafli kemudian memutuskan untuk
menemui Nania di tempat kerjanya. Dibawanya mawar putih dan plakat bertuliskan
ucapan selamat yang dulu urung ia serahkan. Di scene itu pula, Rafli
memberanikan diri mengajak Nania taaruf. Meski awalnya ada beberapa tanya yang
ia lontarkan, namun akhirnya Nania setuju.
“Lelaki yang berani mengajak seorang
perempuan untuk taaruf, itu artinya dia yakin bahwa perempuan itu akan cocok
untuknya,” ucap Rafli.
Maka, suatu hari diajaknya Rafli
menemui keluarga besar Nania untuk meminta izin menikahi Nania.
“Kenapa? Kenapa harus dengan
laki-laki itu?”
Pertanyaan itu mengudara di sela shock
yang sudah lebih dulu menyerang keluarga Nania yang kaya. Sebab Rafli hanya
laki-laki biasa. Pendidikan biasa, penampilan biasa, pekerjaan dan gaji yang
juga biasa. Berbeda dengan putri bungsu mereka. Sama sekali tak imbang!
Namun akhirnya mereka menikah, meski
ibunda Nania masih berat hati. Restu yang setengah-setengah menjadi ganjalan
dalam kehidupan pernikahan mereka kemudian. Intervensi ibu dan kakak-kakak Nania
yang terlalu khawatir dan skeptis terhadap suaminya, Rafli yang sering
dipojokkan dan direndahkan di hadapan orang tua dan kakak-kakak Nania.
Cobaan berat datang saat buah hati
mereka sudah dua. Nania kecelakaan dan menderita amnesia. Ia bahkan tak ingat
siapa suami dan anak-anaknya, membenci Rafli yang tiba-tiba hadir dalam
hidupnya.
Rafli tabah menerima segalanya. Ia
menjadi ibu sekaligus ayah, menggantikan Nania mengurus Yasmin dan Yusuf, dua
bocah buah hati mereka, selama Nania dirawat di rumah sakit.
Meskipun terkesan begitu fiktif di
beberapa bagian dalam film ini, kisah cinta beda “strata” seperti Rafli dan
Nania sebenarnya merupakan hal yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata. Kisah
Rafli dan Nania merupakan sebuah otokritik terhadap klaim bibit-bebet-bobot
pada calon pasangan, yang umumnya dikatakan bahwa laki-laki harus mapan,
rupawan, dan berasal dari keluarga terhormat (dalam pandangan manusia).
Telah banyak kisah cinta serupa yang
digoreskan. Saya teringat cerita yang saya tulis sendiri, judulnya Aku Mencintaimu dalam Gulita. Tentang Layla dan Yusuf, sepasang suami-istri
tunanetra. Saya teringat pula akan karya fenomenal Asma Nadia lainnya yang juga
telah difilmkan, Assalamualaikum Beijing. Tentang Zhong Wen yang
mencintai Asmara setulus-tulisnya, meski perempuan itu sudah tidak sempurna
lagi secara fisik.
Zhong Wen berujar kepada Asmara, “Tidak butuh fisik yang
sempurna untuk memiliki kisah cinta yang sempurna.”
Ah, maafkan saya, mungkin
memang terlalu naif membandingkan cerpen garapan saya yang ala kadarnya dengan
novel laris Asma Nadia. Namun intinya serupa, ketika cinta telah menyentuh
titik terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Begitu
pun dengan Bidadari Senja (2005), cerpen yang ditulis Sakti Wibowo itu
berkisah tentang seorang perempuan yang memilih suami karena akhlak dan
agamanya, meski suaminya tersebut cacat. Ketika cinta telah menyentuh titik
terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Sebab yang
menjadi tolok ukur adalah seberapa besar cinta dan ketaatan kepada Sang Maha
Pemilik Cinta itu sendiri.
Sebagai pemirsa, lagi-lagi saya
mendapatkan pesan bahwa kebahagiaan selalu bertaut mesra dengan kesederhanaan. Nania
menolak barang-barang mewah pemberian ibu dan kakak-kakaknya, ia sepenuhnya
rida dan bahagia hidup dengan nafkah suaminya yang tidak seberapa.
“Untuk apa
ranjang yang mewah dan mahal, jika seorang anak tidak mendapatkan kehangatan
kasih sayang kedua orang tuanya?”
Layaknya film-film yang diadaptasi
dari buku lainnya, cerita dalam film ini pun mengalami modifikasi. Di cerpen
diceritakan bahwa Nania koma, kritis setelah berjuang melahirkan bayinya,
sementara di film Nania kecelakaan lantas amnesia. Meski berbeda, namun
esensinya tetap sama, tentang kesabaran dan keteguhan hati seorang suami
sekaligus ayah mempertahankan setianya kepada perempuan yang harus ia jaga. Juga
tentang hakikat sebuah penerimaan dari setulus-tulusnya hati. Tentang cinta luar biasa dari laki-laki yang sangat biasa.
Bagi saya, film ini pantas
disaksikan beragam kalangan. Meski terselip nilai-nilai relijius, itu tidak
serta-serta membuat film ini distempel dengan kategori film Islami, yang bisa
jadi justru menciptakan batas tertentu dan penontonnya tidak bisa meluas. Saya tertarik
dengan terminologi taaruf yang diselipkan di film ini, sementara di sisi
lain, tokoh sentralnya sendiri—Nania, perempuan yang bahkan belum berhijab. Tokoh
Nania tidak serta-merta diciptakan dengan atribut “suci” yang melekat padanya,
berhijab lebar, baju longgar, lengkap dengan kaos kaki misalnya. Tokoh-tokohnya
dihadirkan apa adanya. Natural. Saya kira, inilah kelebihan Asma Nadia sendiri
sebagai penulisnya. Mampu mengangkat hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang terbentang
megah dan sarat akan pelajaran.
Cinta Laki-Laki Biasa meninggalkan pesan yang tidak sederhana di hati pemirsanya. Lantas,
sudahkah kita jatuh cinta melalui mata hati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar