Tampilkan postingan dengan label perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perempuan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Desember 2017

Telapak Surga




"Apakah yang lebih meresahkan bagi perempuan, selain usia yang semakin beranjak, sementara ia belum jua bertemu takdirnya sehingga tak jarang mendapat julukan 'perawan tua'?"

"Ia dikatakan sempurna jika telah mengandung dan melahirkan malaikat-malaikat kecil yang selama 9 bulan dititipkan di rahim sucinya." Suara itu berdesing-desing di kepalanya. Tak jelas siapa sesungguhnya si pemilik suara. Bising. Bercampur baur antara suara saudara-saudara perempuannya, teman-teman satu pengajian, ibu-ibu kompleks yang hobi bergosip, hingga suara emak dan mertuanya sendiri.

"Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah sekian tahun berumah tangga, namun belum juga ada tanda-tanda bahwa amanah dari-Nya itu akan ada? Apakah mereka perempuan tak sempurna?"

"Aku tak tahu. Mungkin di situlah bagian dari ujian penggenapan separuh agama."

Lalu, bising itu seketika berganti hening. Dibukanya Alquran tajwid yang selalu menemani hari-harinya. Fashbir shabran jamiila. Bersabarlah dengan sebaik-baik kesabaran.

"Sabar, Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan seadil-adilnya. Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha. Ya..."

Kali ini ia tahu betul siapa si pemilik suara. Suaminya—yang entah bagaimana bisa lelaki itu merenda kesabaran sedemikian rupa. Suaminya yang selama ini jarang sekali menjadi imam salat di rumah untuknya, sebab lelaki itu selalu bergegas ke masjid tiap kali azan berkumandang pertama kalinya. Lalu, tegakah ia berpikiran bahwa orang yang hatinya berpaut pada rumah-Nya itu suatu kali akan berhenti mencintai istrinya?

"Aku ingin punya investasi surga." Kalimat itu yang ia lontarkan sejak awal menikah. Kemudian, pria di sampingnya hanya tersenyum simpul seraya menimpali dengan kata-kata sederhana, "Sama. Aku juga ingin." Meski demikian, ia paham betul maksud senyum suaminya: "Agar bisa menjadikannya investasi surga, kamu harus menjadi madrasah yang baik bagi anak-anak kita. Begitu juga aku." Suaminya tidak melarangnya berkarier, namun alangkah lebih baiknya jika ia dapat bekerja di rumah saja sembari menemani buah hatinya kelak, meskipun telah menyandang gelar kelulusan dari sekolah pascasarjana.

Lantas, kini, setelah sekian purnama berlalu dengan cepatnya semenjak hari pernikahannya yang syahdu, gulana semakin hari semakin membebat urat-urat nadinya. Terlebih ketika dua-tiga sahabatnya yang menikah hampir bersamaan dengannya—atau bahkan yang menikah berbulan-bulan setelahnya, tak lama kemudian mengabarkan kepada dunia bahwa dirinya tengah berbadan dua. Ya, amanah-Nya itu telah tiba! Tentu para calon ibu itu menyambut dengan penuh suka cita, meskipun mereka bercerita tentang beragam kesakitan dan ujian yang dialami sejak hamil muda. Namun, itulah jihadnya perempuan, jalan syahid jikalau ia meninggal ketika melahirkan. Malaikat memohonkan ampun untuknya setiap hari. Jika anaknya telah lahir, maka ia pun terlahir kembali dengan dosa-dosa yang telah terbasuh air mata jihad sembilan bulan. Betapa istimewanya. Semenjak saat itu, di telapak kakinya pun tersemat surga. Namanya tiga kali disebut sebagai orang yang harus dimuliakan sebelum seorang ayah. Manakah puisi semesta yang lebih puitis daripada itu semua?

Duhai, apakah surga belum pantas tersemat di telapak kakiku?

Setiap hari tak pernah jeda ia lantukan doa-doa pengharapan demi seorang keturunan. Apa yang akan dikatakan orang-orang sekitar dan keluarga suaminya jika tanda-tanda bahwa ia mengandung itu belum juga ada? Apakah ia berani menjamin bahwa suaminya akan tetap setia jika kelak menemui kemungkinan terburuk? Sedangkan cintanya yang terlanjur membara tak akan pernah sudi atau merelakan belahan jiwanya berbagi.

“Salah seorang temanku baru dikaruniai anak setelah 15 tahun menikah.” Perempuan berkerudung lebar di hadapannya tiba-tiba bertutur tanpa diminta.

“Kukira itu bukanlah waktu yang singkat. Lima belas tahun lamanya. Namun, aku belajar kesabaran dan tawakal darinya, terlebih dari suaminya. Mereka dua orang yang luar biasa. Tidak mungkin selama masa penantian yang lama itu tidak terjadi apa-apa, pastinya cinta mereka pun diuji. Dari setiap lontaran pertanyaan dan prasangka-prasangka yang ditudingkan orang-orang sekitar. Dari omongan miring yang meruap acapkali berkumpul ketika lebaran. Akan tetapi, suaminya jugalah yang dengan sepenuh kesabaran membesarkan hati sang istri. Bukan hal yang mudah. Dan sungguh, lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Aku sempat bertanya-tanya, kesabaran dan kekuatan macam apa yang Allah titipkan untuk mereka. Di tengah masa penantian itu, mereka sempat mengambil seorang anak untuk dijadikan anak angkat. Mereka berdua memang pasangan yang luar biasa. Anak angkatnya saja cerdas. Mungkin jika Allah tidak memberi ujian berupa sulitnya memperoleh keturunan, kehidupan pernikahan mereka mungkin akan nyaris sempurna. Namun, Allah Maha Adil. Mereka diuji dengan buah hati yang tak kunjung hadir lima belas tahun lamanya. Ujian yang ternyata mereka sanggup melaluinya.”

Ia tergugu. “Sabar, Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan seadil-adilnya. Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha.” Seolah kalimat-kalimat suaminya beberapa bulan silam berbisik kembali di telinganya, bercampur baur dengan suara bising kendaraan bermotor di jalan raya depan kedai tempat ia dan perempuan berkerudung lebar itu menuntaskan dahaga.

Entah bagaimana jika sang istri yang diuji itu dan ia sendiri tak memiliki suami yang sanggup membesarkan hatinya. Detik itu ia yakin, surga juga layak tersemat di telapak kaki ayah, yang telah berlelah-lelah mencari nafkah, yang dengan sepenuh keimanan dan takwanya memuliakan perempuannya.

Ayah? Kapankah ada yang memanggil suamiku dengan sapaan itu?

“Sayang, kamu belum pulang? Baik-baik saja kan? Biasanya bukankah di tanggal-tanggal ini kamu nggak enak badan karena sedang bulanan,” ucap suaminya tiba-tiba di telepon.

“Enggak. Aku sehat saja.”

Ia terkesiap. Tersadar jika telah satu bulan lebih tamu bulanan itu tidak datang.

Jumat, 06 Oktober 2017

Menjeda: Tentang Jarak yang Merentang



Nyaris dua tahun lalu, saya tertarik dengan salah satu postingan di blog Mbak Cindi Riyanika yang diberi judul besar-besar: Commuter Marriage, Siapa Takut? Ketika itu, saya baru tahu kalau beliau yang masih di Jogja menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan suaminya yang bekerja di Ibukota. "LDM itu mudah diucapkan, namun susah untuk dijalani." Tentu saja.

Ketakutan akan kehidupan pasca pernikahan kemudian datang menghantui saya. Bagaimana pula dengan saya kelak? Waktu itu, kandidat yang tengah berproses dengan saya qadarullah adalah seorang yang bekerja nun jauh di sana, di luar Jawa. Sementara saya masih awang-awangen jika diajak jauh ke sana, selain saya memang ingin mencari kerja di Jakarta saja. Kalaupun jadi, maka LDM adalah satu-satunya cara, sambil berdoa semoga si calon kelak bisa pindah lagi ke Jawa. Akan tetapi, jika akan terjadi seperti itu, betahkah saya hidup berjauhan dengan suami? Padahal semenjak dulu, saya tanamkan tekad kuat-kuat, bahwa saya tak akan meniru pola rumah tangga kedua orang tua yang menjalani LDM pula.

Kisah selesai begitu saja. Tidak jadi berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya berharap, semoga usai wisuda, cepat atau lambat saya bisa mendapat pekerjaan di Ibukota, lalu bertemu entah siapa yang dihadirkan Allah untuk saya, yang juga berdomisili di kota yang sama, tentu saja.

Namun, ternyata, Allah menurunkan jawaban yang tak terduga...

Saya tidak jadi kembali ke Ibukota, malah mendapat amanah mengajar di kota kelahiran. Di saat yang nyaris sama, datang tawaran taaruf lagi. Namun, lagi-lagi sang kandidat berjarak lumayan jauh dengan saya, sebab ia bekerja nun di sana. Sekelebat kekhawatiran membayang lagi di benak. Jika saya terima lalu sampai ke nikah, kemungkinan saya akan menjalani LDM dulu dengannya. Entahlah. Tak mau berkutat dengan tanya "bagaimana ini semua bisa terjadi?", kami jalani saja setiap prosesnya, yang atas izin-Nya, restu turun begitu mudahnya, hingga hanya 7 bulan berselang semenjak perkenalan, pernikahan itu dilangsungkan.

Kami sepakat tidak akan berlama-lama berjauhan hanya karena alasan pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja saya yang harus mengalah dan ikut suami. Namun, rupa-rupanya memang butuh kesabaran berlimpah selama waktu tunggu tersebut. Lalu, kalimat "Ah, ada yang LDM-nya jauh lebih jauh daripada kita" tidak serta-merta bisa dijadikan pelipur lara. Sewajarnya pengantin baru yang setiap hari ingin berdekatan, tinggal bersama, menjalani hari-hari berdua, ada yang selama ini selalu tertahan dan ingin dicurahkan, namun di saat rindu yang menyesak belum habis, tiba-tiba harus ditimbun lagi dengan rindu baru. Kami yang sebelumnya sudah berjarak, kini harus berjarak lagi.

Ingin mencoba bersikap biasa saja dan happy, nggak usah sok mellow, nangis bawang atau apalah. Bisa, bisa! Lantas, tanpa diundang, muncul sekerat bayangan tentang ucapan salah satu sahabat saya yang LDM sebulan dengan suaminya: "Kamu jangan LDM ya, Li. Amat sangat tidak disarankan bagi umat." Tapi, saya yang agak songong ini mencoba mengusir kata-kata itu dengan bisikan, "Kebaperan nggak usah dituruti, nanti malah makan ati sendiri."

Waktu berputar cepat, dan yaah... saya mengalaminya sendiri. Welcome to the jungle, Sist! Jatah cuti suami sudah habis, harus segera kembali bekerja, dan saya juga belum bisa ikut pindah, jadilah ucapan semacam ini dilontarkannya, "Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?" tanyanya sebelum berpisah di stasiun.

"Enggak," sambil memasang senyum yang dibikin-bikin (lalu cium tangan). Maka, jawaban "enggak" itu hanyalah dusta. Setelah itu inginnya ambil langkah seribu tanpa menengok lagi, "Ah, udah ah, gue mau buru-buru pulang, nanti makin diliatin, makin kenapa-kenapa ini perasaan." Akting sok tegar berhasil!

Esoknya, barulah perasaan ‘kehilangan’ itu menjalar di seluruh urat nadi. Ada yang menyekat di kerongkongan. Rinai yang tak setitik pun jatuh ketika janji suci itu usai diucapkan, kini justru turun pelan-pelan, lalu menderas. Saya rindu, acapkali mengingat kebersamaan kami yang baru beberapa hari. Saya rindu campur haru, setiap kali mengingat kebaikan-kebaikannya selama ini.

Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi, drama baru dimulai. Karena pagi hingga sore mayoritas adalah jam kerja, maka waktu longgar kami untuk intens berkomunikasi adalah malam hari. Namun, saya yang seringkali mengantuk duluan membuat malah nggak jadi video-call atau terlupa membalas chat-nya. Terkadang pula, kehabisan tiket kereta menjadi kendala untuk bertemu kembali. Selanjutnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran yang menyergap tiba-tiba: apakah belahan jiwaku di sana baik-baik saja? Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu menjaganya, menjaga hati kami berdua agar dikuatkan ikatannya dan dikekalkan cintanya. Sebab ini juga adalah ujian cinta, sejauh mana kami mampu menjaga setia hanya kepada yang berhak saja.

Terkadang, cinta memang harus dididik dengan jarak. Karena jarak yang merentang memberi kesempatan bagi bertumbuhnya tunas-tunas rindu. Sebagaimana bumi akan bosan, jika selalu turun hujan, maka cinta—saya rasa juga memerlukan jeda, untuk mengambil napas dan menyegarkan bibit-bibitnya kembali. Agar ketika tak ada lagi jarak merentang panjang, kami semakin bersemangat untuk merawatnya setiap hari, hingga mekar dan ranum sampai nanti.