Telah kutinggalkan ia bermil-mil jauhnya, sejauh lintasan tahun
seperti bumi yang mengelilingi matahari lewat garis edarnya. Aku, dengan
garis edarku. Ya, telah kutinggalkan ia. Aneh, tak ada gurat sedih yang
menyerta di parasku ketika itu. Selamat tinggal, aku hanya berlalu
dengan seutas senyum akan sejuta kerinduan tentang masa depan dan
seonggok harapan. Dan kini, aku tak ingin berpayah mencari-cari berkas
rindu kepada masa itu--karena mungkin rindu itu memang tak pernah ada.
"Kenangan pahitkah?" tanya sebuah suara.
"Mungkin," jawabku sepat.
Aku
masih sering melintas di depannya, membangkitkan beribujuta kenangan
yang tersisa di memoarku yang kusam. Melintas di depannya, dua-tiga
bulan sekali. Tiap aku pulang dari kota, menuntut ilmu. Ia masih berdiri
gagah dan sombong di antara petak-petak sawah. Di depannya ada jalan
raya yang selalu kulintasi. Jalanan rusak penuh lobang dan kepulan debu.
Bising suara kendaraan raksasa yang menyeret tubuhnya di sepanjang
jalanan 'hancur' itu. Sungguh sebuah kekonyolan meletakkan bangunan
megah itu terkucil di sana. Gersang. Sepi. Dan bangunan itu layaknya
pusat peradaban. Dua tahun aku pernah menetap di sana. Sebagai murid
berseragam putih abu-abu.
Sebelas. Aku tak pernah menyukai
sepakbola dan segala tetek-bengeknya. Namun, hari itu aku harus
menyadari satu hal: penduduk kelas berhawa dingin itu layaknya tim
sepakbola. Sebelas. Aku membenci kesalahan tulisan 'Jenis Kelamin' yang
tertera di buku absen. Alangkah naifnya jika makhluk manis berjilbab
sepertiku dilabeli 'L' sehingga aku harus memplesetkannya menjadi
'Ladies'. Sungguh motonon menemui kenyataan nama wali kelas yang tak
terganti semenjak aku masih bocah ingusan di sekolah itu. Aku malas
bercerita secara detail tentangnya. Ia wanita tua yang sungguh
perfeksionis. Refleksi dari Hitler yang menindas. Buah pendidikan
konvensional yang menerapkan kekonvensionalan pendidikan pula.
Malangnya, ia membawahi mata pelajaran favoritku di masa putih biru:
English. Bahasa itu pula yang menjadi andalan sekolah itu, hingga
ditambahi embel-embel 'bertaraf internasional', padahal kurasa lebih
cocok menggunakan kata 'bertarif', bukan 'bertaraf'. Alangkah lucunya
negeri ini, sebuah sekolah go abroad, kepala sekolahnya sungguh terbata-bata
berkata-kata dalam bahasa internasional. Menjadi bahan tertawaan seisi
lapangan ketika upacara hari Senin.
Tak kutemui lagi kelas
dengan nama-nama ilmuwan dan saintis tersohor seperti halnya kelas 8
dan 9 dulu. Napoleon, Darwin, Newton, Marcopolo. Aku takjub dengan
nama-nama itu. Nama yang dijadikan ruang kelas kami, berharap kelak
mengikuti jejak sang pemilik nama. Nama-nama keren itu tak lagi
kujumpai. Hanya angka romawi biasa dan huruf biasa. XII A2, XII S1, dan
lain-lain. Menjemukan.
IPS. Kadang ada suara-suara resek
yang berbaur dengan gurat kesombongan, namun tanpa diimbangi sebuah
kesadaran akan potensi dirinya sendiri. Adalah sebuah kekonyolan (lagi)
demi entah apa, berpuluh siswa yang terstempel IPS di rapornya menjelang
kenaikan kelas XI merajuk--migrasi besar-besaran ke IPA, layaknya
antelop dehidrasi di padang Afrika. Dengan mudahnya. Tanpa tetek-bengek
dan birokrasi yang menyulitkan. Aku enggan. Aku benci angka dan
rumus-rumus susah. Benci Fisika, Kimia, apalagi Matematika--meski aku
kagum kepada para saintis. Bagiku, mereka semua hanya teori pemeras otak
remajaku. Tanpa aplikasi, tanpa implikasi, tanpa bukti yang bisa
diapresiasi. Ya, ketika itu aku harus belajar imajinasi, yang sayangnya
bukan imaji tentang sebuah drama melankolis, namun zat-zat aneh yang
wujudnya entahlah. Aku enggan. Aku tetap menetap di sini. Walau sebelas
ekor. Dengan wali kelas abadi, reinkarnasi Hitler versi nenek-nenek.
Awal
mula tak saling sapa. Sebagian kenal, sebagian baru. Sebelas ekor itu
jumlah sangat sedikit. Menghafal nama adalah perkara anak TK. Kelas
eksklusif di pojok lantai atas, dekat dengan kantin dan lab komputer.
Layaknya les pivat, tinggallah 8 orang ketika pelajaran agama Islam.
Sunyi. Senyap. Bahkan aneh, bagiku. Aku tak peduli dengan ucapan-ucapan
miring tentang murid IPS. Lebih liar dari anak IPA atau apalah, anak IPA
kadang lebih picik--ngapain masuk IPA kalau ujung-ujungnya kuliah di
jurusan IPS? Di kelas berpenghuni sedikit itu aku kenal dengan beberapa
yang mengajariku keburukan, juga yang mengajari kebaikan. Bersama-sama
melarikan diri dari kelas Akuntansi dan bersembunyi di ruang
UKS--pura-pura pusing. (memang iya, pusing menghitung debet-kredit.
Jelas, saya bukan tipe orang mata duitan). Aku mulai menghargai
kebersamaan yang aneh itu. Perlahan tapi pasti. Conversation. Pelajaran
satu ini sama sekali tak mencipta rasa bosan, namun menegangkan.
Pengajarnya adalah bapak-bapak bercelana cingkrang yang enggan salaman.
Mulutnya selalu berceloteh tentang Amerika yang ia banggakan. Indonesia? Non-sense. Ia memiliki inovasi pembelajaran yang jauh dari konvensional. Ada
apresiasi bagi muridnya. Sweet Seventeen-ku, dirayakan di kelas sempit
itu, atas inisiatif sang bapak guru. Setiap dari mereka mengucap selamat
kepadaku. Tak bisa kusembunyikan haru yang merambat hangat dalam degup
di dadaku. Beliau menyuruhku menyanyi. Lagu Barat. Namun, lirik yang
terucap dari bibirku justru.. lagu Jepang. "Ashita sae mieta nara..."
Sebuah doa indah dari sahabat terucap lirih, "Semoga nanti kau
benar-benar ke Jepang," Meski tak ada kue, lilin dengan angka 17,
apalagi kado dari someone special. Karena itulah aku merengek kado kepada Bapak; kamus Bahasa Jepang.
Civics.
Tak ada yang lebih membuat pegal urat leher dan jari tangan selain
mengisi LKS. Buku yang kurasa lebih pantas jadi kertas pembungkus kacang
rebus itu harus diisi penuh jika ingin tambahan nilai. Dari sini, harus
belajar satu hal lagi; menjadi warga negara yang baik tidak mungkin
melalui kertas pembungkus kacang rebus. Sebuah tragedi terjadi, justru
ketika pelajaran ini berlangsung dengan amat kusyuk. Bunyi berdebam itu
membuatku jantungan. Atap kelas roboh. Menciptakan sebuah lobang besar
di langit-langit layaknya ozon yang terlobangi. Sekolah ini baru, bukan
begitu? 44 milyar? Atap roboh, pintu rusak, meja patah, langit-langit
bocor... Kelak, 44 milyar itu akan bersaksi di hadapan-Nya... Tentang
tikus-tikus berdasi pengerat duit rakyat. Kelas sempitku berpindah ke
ruang khusus yang namanya 'Akselerasi', terletak nun jauh dari kantin
dan lab komputer, berdekatan dengan toilet yang terkenal berhantu di
seantero sekolah. Di sini, aku bebas memandang jalan raya rusak itu
beserta lalu lalang kendaraan raksasa yang melintas-lintas.. Tak ada AC
layaknya di kelas-kelas lain. Hanya ada kipas angin yang menengok
kiri-kanan, tak mempan mengusir kegerahan. Sebelas ekor itu bertambah
satu. Pindahan dari kelas IPA. Entahlah, di saat yang lain mendambakan
IPA, ia justru mengungsi ke IPS. Kuhargai itu sebagai suatu apresiasi
dan kesadaran akan potensi diri sendiri. Meski begitu, kelas tak
bertambah ramai. Tetap makhluk-makhluk pendiam yang menghuni kesunyian.
Kecuali ketika jam kosong, maka dalam sekejap mereka akan berubah
tabiat, kelas ramai bagai pasar.
Sebuah kesalahan. Ya,
bukan manusia jika tak pernah bersalah. Sering bolos, menyeretku ke
ruang BP, ruang yang lebih angker daripada toilet berhantu di samping
kelasku. Lebih angker karena di sana duduk seorang wanita berkarakter
mirip wali kelasku. Orang yang membuat pencitraan BP horor dan suram
macam ruang eksekusi. Hm, kurasa ia harus kuliah sekali lagi.. Belajar
tekun tentang konseling masa kini yang jauh dari metode angker-nya itu.
Sang wali kelas terhormat berkoar-berkoar lewat TOA, memanggil namaku
dengan nada tak suka, namun aku tetap bengal. Tak kuindahkan itu,
buru-buru hengkang dari sekolah, mencegat bis dan pulang.
"Kamu
mau nggak naik kelas?" tatapannya tajam, menyeringai, saat itu aku yakin
ia bukan lagi reinkarnasi Hitler, tapi Dementor yang lepas dari
Azkaban. Aku tak mampu berkata-kata karena kebahagiaanku sudah habis
dihisapnya. Lemas tak bergerak di atas bangku kelas. Meski dalam hati,
aku menangis diam-diam. Sungguh, aku tak menginginkan ini terjadi.
Seakan seluruh dunia berbalik memusuhiku. Hari-hariku diisi dengan
kelesuan dan putus asa. Hingga perjuanganku berhasil, lepas dari ancaman
kata-katanya yang membuatku tertekan. Melakoni hari-hariku seperti
sedia kala. Ngekos dari Senin hingga Jumat. Masuk sekolah dari pagi
hingga sore. Mengerjakan tugas-tugas di laptop baruku waktu itu. Menulis
berbagai macam tulisan. Membikin weekly--tugas spesial dari sang wali
kelas abadi. Jika bukan karena aku senang menulis, mungkin aku tak
jarang kena damprat seperti yang lain, telat menumpuk buku bersampul
Winnie The Pooh bernama Weekly-cerita pekanan. Tidak lagi merutuki bahwa
kelas ini adalah kelas terbuang dan diasingkan. Namun tetap tak
sehangat dan seakrab kelasku sebelumnya. Kadang ada umpatan kotor yang
keluar dari beberapa bibir. Tak jarang ada emosi-emosi yang meruap,
tertahan, dan tumpah ruah. Canda justru menorehkan luka. Aku semakin
menyadari sebuah ketidakadilan, semakin mengerti urgensi sebuah
pemberontakan. Offensive. Bukannya defensive sepertiku. Mangkuk
dipecahkan, tas dihilangkan, jajan dicuri, disisihkan tempat duduknya,
memanggil dengan panggilan yang tak kusuka, ancaman-ancaman (aku tak
ingin datang pesta sekolah di suatu malam, karena aku sakit dan benci
kegiatan malam, apalagi pesta hura-hura. Ancamannya: buat yang tak
datang, BAYAR DENDA 75 RIBU, DICUEKIN, DAN GAK DIPERCAYA OMONGANNYA!)
membuatku nampak semakin remeh-temeh di mata mereka. Ah, itu hal biasa
sebenarnya, namun ini... "Jangan jadi Muslim yang menyebalkan, huh!"
kalimat itu meluncur otomatis dari bibir gadis berkerudung di depanku.
Astaghfirullah, aku hanya bertanya tentang PR Bahasa Mandarin. Aku
telah mengusik kenyamanannya mendengarkan musik. Ah, lagipula,
tanggapannya seperti tadi lebih menunjukkan siapa sebenarnya yang tidak
baik. Aku jadi ingin juga pindah ke IPA, lebih memiliki keluarga di
sana.. daripada di sini..
*
Kuusap linang yang luruh sejak
tadi, aku masih belum beranjak dari sajadah, masih terbalut mukena.
Entah mengapa ingatan itu berputar dalam benak begitu saja, menuntunku
berbalik ke memoar tak sedap di masa lalu. Ah, aku tak pernah
membayangkan akan kembali bersua. Jika diingat akan sakit. Maka,
kuputuskan untuk memendamnya dalam-dalam. Tertimbun dalam jejak-jejak
langkahku di hari depan. Tergilas oleh berbagai mimpi dan harapan yang
kurenda dengan tanganku sendiri.
"Lantas, untuk apa luh yang tak kuasa tertahan itu?" tanya sebuah suara lagi.
"Hanya
tetesan rasa syukur atas indahnya berjumpa dengan teman seperjuangan,
teman-teman bak keluarga yang harmonis dan manis, persahabatan yang
hangat dan nikmat. Di sini. Di kota penuh cinta."
Aku tak bisa mendapatkan semua yang aku cintai. Namun, aku bisa mencintai apa yang aku dapatkan...
(untuk sahabat-sahabatku. Lagi-lagi, aku hanya ingin berbagi)
-Yogyakarta, Januari 2011-