Tampilkan postingan dengan label solilokui. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label solilokui. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 April 2015

Cermin Retak



 
homes-kid.com


“Si A sama si B ini pacaran ya? Benarkah?” Matanya menatap tak percaya pada foto profil seseorang di sebuah media sosial. Foto itu menampilkan sepasang lelaki-perempuan yang tengah berpose dengan senyum luar biasa sumringah.

“Bukan sekali ini lho, aku lihat foto mereka berdua. Berkali-kali,” lanjutnya.

“Atau, jangan-jangan mereka sudah menikah?” tanyaku lugu.

“Belumlah. Kalau iya, pasti ada kabar.” Gadis itu mengerutkan keningnya. Ada gurat keheranan di parasnya yang sendu.

“Lantas?” Aku semakin bingung menghadapi kebingungannya.

“Yang membuat keningku berkerut adalah, sepemahamanku selama ini, si laki-laki itu alim. Dulu, ia sering mengimami teman-temannya salat berjamaah. Bahkan, anti sekali ia duduk berdekatan dengan perempuan yang bukan mahram. Kalau sedang berbincang denganku—misalnya, matanya berlabuh entah ke mana. Kuhargai itu. Dia berusaha ghadhul bashar dengan tidak menatap perempuan jelita di hadapannya (eh?). Tapi sekarang... mereka berfoto berdua, dekat sekali, dan belum ada ikatan yang sah menurut agama kita. Apa namanya kalau bukan pacaran? Atau... aku saja yang dulu salah menginterpretasikan perilakunya? Ternyata dia juga laki-laki biasa pada umumnya. Dulu sok menjaga, sekarang berubah. Oh, betapa ajaibnya dunia!”

People change. And we do change,” ujarku. Terlihat sekali ia kecewa dan hilang kepercayaan. Mungkin kalimat ini ingin dimuntahkannya juga tadi: jangan lekas percaya lelaki yang alim hari ini, bisa jadi ia brengsek esok hari. Begitu pula sebaliknya.

“Namun, apa gunanya konsistensi? Apakah ia hanya sebatas teori yang kita pahami, mengapung-apung di otak kita yang rumit, kemudian hati yang serapuh kertas mencoba menerjemahkannya menjadi seutas niat untuk dilakukan. Namun, apa daya? Betapa banyak bisikan halus tak kasat mata yang menolaknya. Iya, betapa tidak mudahnya mendekap cahaya. Cahaya yang dulu dicari tertatih-tatih, dari orang-orang sesama perindu cahaya, dari kajian-kajian di rumah Allah, majelis-majelis taklim, dari bacaan Quran yang setiap hari tidak pernah terlewat. Mungkinkah cahaya itu tercerabut begitu saja, karena dosa setitik yang setiap hari dipupuk? Ironis. Jika ia berwujud benda, mungkin istikamah menjadi salah satu barang paling mahal di dunia.” Parasnya semakin terlihat miris.

“Ah, bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanyaku kemudian.

“Sungguh, ingin kujaga diriku untuk satu-satunya lelaki yang berhak atasku kelak. Meskipun aku belum tahu siapa gerangan ia, dan di mana ia sekarang.”

“Oya? Lantas bagaimana dengan sebuah inisial yang tiga tahun terakhir ini membuatmu berbunga, berharap, menitipkan nama itu dalam doa-doamu yang penuh air mata, hingga akhirnya, nama yang rajin kau gumamkan dalam doa itu pulalah yang membuatmu terjerembab, jatuh, dan patah begitu saja? Kau bungkam dalam kondisi hati yang serba terluka, sebagaimana perempuan sewajarnya yang pandai mengunci mati rahasia batinnya di sudut hati. Namun, jatuh itu belum membuatmu patah arang, bukan? Sebab kemungkinan selalu ada. Tetap kau gumamkan doa dalam sujud-sujudmu, tanpa sebuah nama itu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cinta mengajarimu dusta. Kau bersikap seolah baik-baik saja di hadapannya, meski tiap candamu tak lebih dari luka yang digarami. Perih. Itukah cinta yang sesungguhnya? Kau naif memaknai cinta dalam diam. Ikhlasmu palsu. Belum kau pasrahkan segalanya kepada Sang Pemilik Takdir. Kau tidak siap jika lelaki yang berhak atasmu kelak bukan ia—sang nama rahasia.”

Kini, kutemukan air bening bergulir dari mata sipitnya. Mukanya tertunduk. Ia mengiyakan ucapanku. Sepenuhnya.

“Bercerminlah kepada dirimu sendiri. Menghakimi kesalahan orang lain, namun alpa mengoreksi jika dosa-dosa diri yang melekat masih bercokol di sana-sini. Bukankah dosa bukan semata-mata yang tampak secara kasat mata, namun juga yang tersembunyi dalam hati?”

Ia mengangguk lagi. “Cerminku mungkin telah retak, hingga aku sendiri kesulitan berkaca,” katanya. Aku terdiam. Ingin kupungut kepingan-kepingan hatinya yang tengah jatuh dalam cinta yang entah. Kurasa, itulah mengapa ia kesulitan berkaca. 



-Dialog dua sisi hati yang suatu hari berisik menggangguku yang sedang belajar-
April 2015
Ketika sakura bermekaran meramaikan musim semi
sedangkan di sini, musim hujan belum pergi

Minggu, 08 Februari 2015

Unfinished Story


Ia telah sampai di separuh perjalanan. Setengah perjalanan lagi, maka ia akan mencapai puncak. Ah, puncak? Benarkah setelah ia sampai di ujung perjalanan, tidak akan lagi yang perlu didaki? Tentunya ada puncak yang lebih tinggi. Masih ada langit di atas langit. Jika benar begitu, ia merasa masih belum mendaki apa-apa. Namun, lelah yang belakangan memasung jiwanya seolah membuat semangatnya kian menipis. Ada rupa-rupa peristiwa yang berkelindan memenuhi rongga benaknya, semua seakan menggodanya untuk turun, tidak usah meneruskan perjalanan. Ah, sakit. Awal mula perjalanannya penuh belukar, meski bukan tebing curam, namun ia tetap harus hati-hati. Ia masih ingat bagaimana tetumbuhan berbahaya yang menghiasi sepanjang jalur pendakiannya itu membuat kulitnya tersayat dan mengeluarkan darah. Perih. Ia masih berusaha menyembuhkan luka, ketika suara-suara sumbang itu justru datang: bahwa ini salahmu sendiri, yang nekat menempuh jalan berbahaya tanpa memikirkan risiko yang akan menghadang

Bukankah semua jalan memiliko risiko masing-masing? Aku tidak bisa mengatakan semua jalan aman. Semua jalan adalah rawan. Ucap hatinya ketika itu.

Sungguh, ia tidak butuh suara-suara sumbang yang justru membuatnya semakin jatuh ketika ia sendiri telah terluka. Bukankah semua itu terlalu pahit untuk dicecap? Yang ia butuhkan hanyalah suara-suara yang meniupkan keyakinan untuknya, yang membuatnya tetap berteguh hati menapaki jalur pendakian itu, bukan lantas tumbang dan pulang sebagai pecundang. Maka, dipasangnya egonya di dalam dada. Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa, ia bangkit kembali berbekal amunisi berupa doa-doa supaya Dia menjadikan ujian-ujian di depan mampu dilaluinya.

Ada selaksa air mata di trek kedua yang dilewatinya. Perasaan tak menentu itu menyergap lagi. Ia telah meninggalkan banyak hal di belakang; orang tua yang ia paksa merelakannya pergi menantang badai, nasib di depan yang masih entah--apakah ia bisa pulang dengan selamat tepat waktu atau tidak, serta duri belukar yang hadir lagi menyayat hati. Tetapi, ia harus mensyukuri jalan yang dilaluinya kali ini. Cuaca ramah serta angin sepoi yang meniupkan sejumlah spirit membuatnya tersenyum kembali. Bukan lagi deru suara sumbang yang memaki-makinya dengan tega, namun kesiur lembut angin sepoi dan hawa hangat mentari musim panas. Sajian panorama alam yang membentang membuatnya lupa akan kesedihan. Ada danau dan sungai-sungai jernih yang airnya mengalir sampai ke hati. Ah iya, bahkan ia telah berjanji membawa pulang edelweiss--si bunga abadi dari puncak untuk insan terkasih yang selama ini menghujaninya dengan cinta. Ia ingin menciptakan senyum haru di bibir perempuan bernama Bunda. Maka, seharusnya tak ada hal yang pantas membuat perjalanannya terpenggal.

Ia telah sampai di separuh perjalanan. Berkali-kali ia menemui raut muka bahagia orang-orang yang pulang dari perjuangan, penuh kemenangan. Apakah ia akan seperti itu juga nanti? Bukankah jalur turun terkadang lebih mengerikan daripada jalur naik? Naik memang melelahkan, namun turun bisa menggelincirkan jika tidak hati-hati. Bisa jadi terpeleset ke jurang, dan... tamatlah riwayat! Tidak-tidak. Jalan di depan memang penuh ketidakpastian. Untuk membuatnya jelas, ia harus berani menghadapinya, apapun yang terjadi. Meski ada sejumput ragu kembali, adakah jalan di depan menawarkan keindahan pula?

Sebab ia tahu, ada tebing terjal yang menghadang nyalang di depan matanya. Bayang-bayang puncak yang samar-samar di antara kabut tipis yang mengambang membuatnya tersadar lagi, tak ada yang berhak melukai hatinya lagi, tak ada yang berhak membuat perjalanannya terpenggal dan memaksanya pulang bagai pecundang.

Bibir merah mudanya mulai bersegera merapal doa-doa. Tuhan sedang melatihku untuk kuat, batinnya.  


jelajah.valadoo.com


(Februari 2015)

Selasa, 06 Januari 2015

Memilah Kenangan


Telah kutinggalkan ia bermil-mil jauhnya, sejauh lintasan tahun seperti bumi yang mengelilingi matahari lewat garis edarnya. Aku, dengan garis edarku. Ya, telah kutinggalkan ia. Aneh, tak ada gurat sedih yang menyerta di parasku ketika itu. Selamat tinggal, aku hanya berlalu dengan seutas senyum akan sejuta kerinduan tentang masa depan dan seonggok harapan. Dan kini, aku tak ingin berpayah mencari-cari berkas rindu kepada masa itu--karena mungkin rindu itu memang tak pernah ada.

"Kenangan pahitkah?" tanya sebuah suara.
"Mungkin," jawabku sepat.

Aku masih sering melintas di depannya, membangkitkan beribujuta kenangan yang tersisa di memoarku yang kusam. Melintas di depannya, dua-tiga bulan sekali. Tiap aku pulang dari kota, menuntut ilmu. Ia masih berdiri gagah dan sombong di antara petak-petak sawah. Di depannya ada jalan raya yang selalu kulintasi. Jalanan rusak penuh lobang dan kepulan debu. Bising suara kendaraan raksasa yang menyeret tubuhnya di sepanjang jalanan 'hancur' itu. Sungguh sebuah kekonyolan meletakkan bangunan megah itu terkucil di sana. Gersang. Sepi. Dan bangunan itu layaknya pusat peradaban. Dua tahun aku pernah menetap di sana. Sebagai murid berseragam putih abu-abu.

Sebelas. Aku tak pernah menyukai sepakbola dan segala tetek-bengeknya. Namun, hari itu aku harus menyadari satu hal: penduduk kelas berhawa dingin itu layaknya tim sepakbola. Sebelas. Aku membenci kesalahan tulisan 'Jenis Kelamin' yang tertera di buku absen. Alangkah naifnya jika makhluk manis berjilbab sepertiku dilabeli 'L' sehingga aku harus memplesetkannya menjadi 'Ladies'. Sungguh motonon menemui kenyataan nama wali kelas yang tak terganti semenjak aku masih bocah ingusan di sekolah itu. Aku malas bercerita secara detail tentangnya. Ia wanita tua yang sungguh perfeksionis. Refleksi dari Hitler yang menindas. Buah pendidikan konvensional yang menerapkan kekonvensionalan pendidikan pula. Malangnya, ia membawahi mata pelajaran favoritku di masa putih biru: English. Bahasa itu pula yang menjadi andalan sekolah itu, hingga ditambahi embel-embel 'bertaraf internasional', padahal kurasa lebih cocok menggunakan kata 'bertarif', bukan 'bertaraf'. Alangkah lucunya negeri ini, sebuah sekolah go abroad, kepala sekolahnya sungguh terbata-bata berkata-kata dalam bahasa internasional. Menjadi bahan tertawaan seisi lapangan ketika upacara hari Senin.

Tak kutemui lagi kelas dengan nama-nama ilmuwan dan saintis tersohor seperti halnya kelas 8 dan 9 dulu. Napoleon, Darwin, Newton, Marcopolo. Aku takjub dengan nama-nama itu. Nama yang dijadikan ruang kelas kami, berharap kelak mengikuti jejak sang pemilik nama. Nama-nama keren itu tak lagi kujumpai. Hanya angka romawi biasa dan huruf biasa. XII A2, XII S1, dan lain-lain. Menjemukan.

IPS. Kadang ada suara-suara resek yang berbaur dengan gurat kesombongan, namun tanpa diimbangi sebuah kesadaran akan potensi dirinya sendiri. Adalah sebuah kekonyolan (lagi) demi entah apa, berpuluh siswa yang terstempel IPS di rapornya menjelang kenaikan kelas XI merajuk--migrasi besar-besaran ke IPA, layaknya antelop dehidrasi di padang Afrika. Dengan mudahnya. Tanpa tetek-bengek dan birokrasi yang menyulitkan. Aku enggan. Aku benci angka dan rumus-rumus susah. Benci Fisika, Kimia, apalagi Matematika--meski aku kagum kepada para saintis. Bagiku, mereka semua hanya teori pemeras otak remajaku. Tanpa aplikasi, tanpa implikasi, tanpa bukti yang bisa diapresiasi. Ya, ketika itu aku harus belajar imajinasi, yang sayangnya bukan imaji tentang sebuah drama melankolis, namun zat-zat aneh yang wujudnya entahlah. Aku enggan. Aku tetap menetap di sini. Walau sebelas ekor. Dengan wali kelas abadi, reinkarnasi Hitler versi nenek-nenek.

Awal mula tak saling sapa. Sebagian kenal, sebagian baru. Sebelas ekor itu jumlah sangat sedikit. Menghafal nama adalah perkara anak TK. Kelas eksklusif di pojok lantai atas, dekat dengan kantin dan lab komputer. Layaknya les pivat, tinggallah 8 orang ketika pelajaran agama Islam. Sunyi. Senyap. Bahkan aneh, bagiku. Aku tak peduli dengan ucapan-ucapan miring tentang murid IPS. Lebih liar dari anak IPA atau apalah, anak IPA kadang lebih picik--ngapain masuk IPA kalau ujung-ujungnya kuliah di jurusan IPS? Di kelas berpenghuni sedikit itu aku kenal dengan beberapa yang mengajariku keburukan, juga yang mengajari kebaikan. Bersama-sama melarikan diri dari kelas Akuntansi dan bersembunyi di ruang UKS--pura-pura pusing. (memang iya, pusing menghitung debet-kredit. Jelas, saya bukan tipe orang mata duitan). Aku mulai menghargai kebersamaan yang aneh itu. Perlahan tapi pasti. Conversation. Pelajaran satu ini sama sekali tak mencipta rasa bosan, namun menegangkan. Pengajarnya adalah bapak-bapak bercelana cingkrang yang enggan salaman. Mulutnya selalu berceloteh tentang Amerika yang ia banggakan. Indonesia? Non-sense. Ia memiliki inovasi pembelajaran yang jauh dari konvensional. Ada apresiasi bagi muridnya. Sweet Seventeen-ku, dirayakan di kelas sempit itu, atas inisiatif sang bapak guru. Setiap dari mereka mengucap selamat kepadaku. Tak bisa kusembunyikan haru yang merambat hangat dalam degup di dadaku. Beliau menyuruhku menyanyi. Lagu Barat. Namun, lirik yang terucap dari bibirku justru.. lagu Jepang. "Ashita sae mieta nara..." Sebuah doa indah dari sahabat terucap lirih, "Semoga nanti kau benar-benar ke Jepang," Meski tak ada kue, lilin dengan angka 17, apalagi kado dari someone special. Karena itulah aku merengek kado kepada Bapak; kamus Bahasa Jepang.

Civics. Tak ada yang lebih membuat pegal urat leher dan jari tangan selain mengisi LKS. Buku yang kurasa lebih pantas jadi kertas pembungkus kacang rebus itu harus diisi penuh jika ingin tambahan nilai. Dari sini, harus belajar satu hal lagi; menjadi warga negara yang baik tidak mungkin melalui kertas pembungkus kacang rebus. Sebuah tragedi terjadi, justru ketika pelajaran ini berlangsung dengan amat kusyuk. Bunyi berdebam itu membuatku jantungan. Atap kelas roboh. Menciptakan sebuah lobang besar di langit-langit layaknya ozon yang terlobangi. Sekolah ini baru, bukan begitu? 44 milyar? Atap roboh, pintu rusak, meja patah, langit-langit bocor... Kelak, 44 milyar itu akan bersaksi di hadapan-Nya... Tentang tikus-tikus berdasi pengerat duit rakyat. Kelas sempitku berpindah ke ruang khusus yang namanya 'Akselerasi', terletak nun jauh dari kantin dan lab komputer, berdekatan dengan toilet yang terkenal berhantu di seantero sekolah. Di sini, aku bebas memandang jalan raya rusak itu beserta lalu lalang kendaraan raksasa yang melintas-lintas.. Tak ada AC layaknya di kelas-kelas lain. Hanya ada kipas angin yang menengok kiri-kanan, tak mempan mengusir kegerahan. Sebelas ekor itu bertambah satu. Pindahan dari kelas IPA. Entahlah, di saat yang lain mendambakan IPA, ia justru mengungsi ke IPS. Kuhargai itu sebagai suatu apresiasi dan kesadaran akan potensi diri sendiri. Meski begitu, kelas tak bertambah ramai. Tetap makhluk-makhluk pendiam yang menghuni kesunyian. Kecuali ketika jam kosong, maka dalam sekejap mereka akan berubah tabiat, kelas ramai bagai pasar.

Sebuah kesalahan. Ya, bukan manusia jika tak pernah bersalah. Sering bolos, menyeretku ke ruang BP, ruang yang lebih angker daripada toilet berhantu di samping kelasku. Lebih angker karena di sana duduk seorang wanita berkarakter mirip wali kelasku. Orang yang membuat pencitraan BP horor dan suram macam ruang eksekusi. Hm, kurasa ia harus kuliah sekali lagi.. Belajar tekun tentang konseling masa kini yang jauh dari metode angker-nya itu. Sang wali kelas terhormat berkoar-berkoar lewat TOA, memanggil namaku dengan nada tak suka, namun aku tetap bengal. Tak kuindahkan itu, buru-buru hengkang dari sekolah, mencegat bis dan pulang.

"Kamu mau nggak naik kelas?" tatapannya tajam, menyeringai, saat itu aku yakin ia bukan lagi reinkarnasi Hitler, tapi Dementor yang lepas dari Azkaban. Aku tak mampu berkata-kata karena kebahagiaanku sudah habis dihisapnya. Lemas tak bergerak di atas bangku kelas. Meski dalam hati, aku menangis diam-diam. Sungguh, aku tak menginginkan ini terjadi. Seakan seluruh dunia berbalik memusuhiku. Hari-hariku diisi dengan kelesuan dan putus asa. Hingga perjuanganku berhasil, lepas dari ancaman kata-katanya yang membuatku tertekan. Melakoni hari-hariku seperti sedia kala. Ngekos dari Senin hingga Jumat. Masuk sekolah dari pagi hingga sore. Mengerjakan tugas-tugas di laptop baruku waktu itu. Menulis berbagai macam tulisan. Membikin weekly--tugas spesial dari sang wali kelas abadi. Jika bukan karena aku senang menulis, mungkin aku tak jarang kena damprat seperti yang lain, telat menumpuk buku bersampul Winnie The Pooh bernama Weekly-cerita pekanan. Tidak lagi merutuki bahwa kelas ini adalah kelas terbuang dan diasingkan. Namun tetap tak sehangat dan seakrab kelasku sebelumnya. Kadang ada umpatan kotor yang keluar dari beberapa bibir. Tak jarang ada emosi-emosi yang meruap, tertahan, dan tumpah ruah. Canda justru menorehkan luka. Aku semakin menyadari sebuah ketidakadilan, semakin mengerti urgensi sebuah pemberontakan. Offensive. Bukannya defensive sepertiku. Mangkuk dipecahkan, tas dihilangkan, jajan dicuri, disisihkan tempat duduknya, memanggil dengan panggilan yang tak kusuka, ancaman-ancaman (aku tak ingin datang pesta sekolah di suatu malam, karena aku sakit dan benci kegiatan malam, apalagi pesta hura-hura. Ancamannya: buat yang tak datang, BAYAR DENDA 75 RIBU, DICUEKIN, DAN GAK DIPERCAYA OMONGANNYA!) membuatku nampak semakin remeh-temeh di mata mereka. Ah, itu hal biasa sebenarnya, namun ini... "Jangan jadi Muslim yang menyebalkan, huh!" kalimat itu meluncur otomatis dari bibir gadis berkerudung di depanku. Astaghfirullah, aku hanya bertanya tentang PR Bahasa Mandarin. Aku telah mengusik kenyamanannya mendengarkan musik. Ah, lagipula, tanggapannya seperti tadi lebih menunjukkan siapa sebenarnya yang tidak baik. Aku jadi ingin juga pindah ke IPA, lebih memiliki keluarga di sana.. daripada di sini..
 *

Kuusap linang yang luruh sejak tadi, aku masih belum beranjak dari sajadah, masih terbalut mukena. Entah mengapa ingatan itu berputar dalam benak begitu saja, menuntunku berbalik ke memoar tak sedap di masa lalu. Ah, aku tak pernah membayangkan akan kembali bersua. Jika diingat akan sakit. Maka, kuputuskan untuk memendamnya dalam-dalam. Tertimbun dalam jejak-jejak langkahku di hari depan. Tergilas oleh berbagai mimpi dan harapan yang kurenda dengan tanganku sendiri.

"Lantas, untuk apa luh yang tak kuasa tertahan itu?" tanya sebuah suara lagi.
"Hanya tetesan rasa syukur atas indahnya berjumpa dengan teman seperjuangan, teman-teman bak keluarga yang harmonis dan manis, persahabatan yang hangat dan nikmat. Di sini. Di kota penuh cinta."

Aku tak bisa mendapatkan semua yang aku cintai. Namun, aku bisa mencintai apa yang aku dapatkan...




(untuk sahabat-sahabatku. Lagi-lagi, aku hanya ingin berbagi)


-Yogyakarta, Januari 2011-

Jikalau potongan kenangan bisa diiris, lantas dibuang, rasanya ingin mengiris sejumlah kenangan pahit di masa lalu, biar tak berjejalan di pikiran, biar yang tersisa hanya kenangan indah saja.
Namun, aku tersadar, kenangan tak akan pernah bisa diiris kemudian dibuang sebagian untuk menyisakan sebagian lainnya begitu saja. Kenangan tetap utuh merekam segala rupa-rupa ingatan dari beragam jerejak peristiwa yang kita tinggalkan--entah sedih, senang, tawa, tangis, duka, suka, dan semacamnya. Betapapun kita tak suka dengan sejumlah kenangan pahit, karena menyakitkan dan membuat kita tersuruk dalam air mata, sebenarnya ia sama pentingnya dengan kenangan manis. Bagaimana kita mampu mengenali manis jika tak merasakan pahit? Begitupun sebaliknya. Sebab, suka dan duka yang berlawanan sesungguhnya berada di neraca yang sama, pahit-manis berjalan bersisian dalam bentangan rasa kehidupan. Rumus sederhana yang sering dilupa.

Maka sebaiknya segala rupa kenangan-tak peduli yg membangkitkan tawa atau yg menggulirkan air mata-disimpan rapi di laci yang sama. Kau pasti paham, ada sejumlah hikmah berjejalan di sana, untuk kau ambil pelajarannya untuk hidupmu kini dan juga nanti.




-Januari 2015- 

Rabu, 29 Oktober 2014

Renjana #2







“Aku takut jatuh cinta. Sungguh. Bahkan di bilangan usiaku yang kini tak lagi remaja. Ia perasaan yang berbahaya,” ujarnya. Aku mendengarkan dengan seksama. Cukuplah selama ini aku menjadi pendengarnya yang baik, tanpa nasihat, apalagi menghujat. Aku hanya si pendengar bisu yang mencoba mengarifi setiap kata-kata monolognya dengan diam, lalu merenungkannya dalam-dalam.

“Aku takut jatuh cinta. Sungguh. Terkadang ia akan membentangkan luka perih menganga dan mencipta sedih tak sudah. Ia mencabik harapan yang timbul tenggelam hingga terkoyak dan luluh lantak. Namun, adakah hati perempuan yang sekeras baja? Seumpama kuntum mawar, meski ia melindungi dirinya dengan duri, mahkotanya yang lembut tetap rapuh adanya. Begitulah hati, ia tak pernah bisa diprediksi. Pertemuan pertama akan membiaskan kerinduan, begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kita jualah yang akan menjadi hakim yang adil bagi hati kita sendiri. Apakah akan kita biarkan rindu setitik itu bertunas, kemudian bercabang atau mengakar. Atau kita pangkas habis sebelum ia tumbuh semakin meraja dan terlanjur membebatmu pada perasaan serta harapan-harapan tak tentu.

Sejauh ini, kubentengi setitik cinta kepada makhluk-Nya yang mulai ada biar ia tak tumbuh kian mengakar dengan ayat-ayat cinta-Nya yang kueja terbata-bata, biar kadar cintaku kepada-Nya menepis si ‘rasa tak semestinya’. Menjaganya untuk yang memang benar-benar berhak menerima rasaku, ketika aku tak lagi takut untuk menjatuhkan cinta. Ketika ia bukan lagi sepotong rasa yang berbahaya.”

Ah, menjaganya. Ia paham sepenuhnya jika ‘menjaga’ bukanlah pekerjaan biasa. Begitu pula, aku tak bisa menjagamu dengan sebaik-baiknya. Tuhan kitalah yang menjagamu selama ini dengan sebaik-baik penjagaan. Apalagi urusan menjaga sekeping substansi berjudul hati. Entah dari apa hati perempuan diciptakan. Sejauh yang aku tahu, dari monolognya, hati perempuan akan mudah luruh hanya karena setitik perhatian. Ya, sungguh rapuh laiknya mahkota mawar yang mendapat sedikit sentuhan tangan, rontok berguguran. Entah. Apakah bisa dipukul rata semua hati perempuan selembut mahkota mawar. Namun, aku percaya. Itulah mengapa Yang Maha Kuasa menciptakan lelaki setegar karang, yang kuat meski dihempas gelombang pasang. Supaya mereka bisa hidup menggenap bersama. Karang tegar itu, pelindung bagi si mawar.

“Sekali lagi, ada kata ‘yakin’ terselip di lubuk hatiku, hari ini,” ucapnya lagi. Berbahaya! Berbahaya! Namun tentu saja ia tak pernah mendengar teriakku. Sudahkah kau pikirkan ulang rasa yakinmu, wahai perempuan yang serapuh tangkai mawar? Kau siap menelan rasa kecewa sekali lagi, berulang kali, hanya karena sebilah keyakinan yang bisa jadi muasalnya dari setan yang membisiki nuranimu? Tentu jawabannya ‘tidak’, bukan? Kau juga pasti tidak akan sampai hati menyelingkuhi kekasihmu di masa depan—Sang Entah Siapa, jika memang bukan dia orang yang kau maksud hari ini yang kelak tertakdir untukmu.

“Itulah. Alangkah sulitnya menjaga sekeping substansi bernama hati.” Ia tersenyum. Senyumnya masih senyum yang dulu, menyiratkan ketulusan. Sejauh ini, ia nikmati sendirinya dengan sepenuh kesabaran dan doa-doa yang hening dalam senyap malam. Jika memang benar, biarlah mereka saling mencinta dalam diam. Tuhan tahu waktu yang tepat, kapan rasa yang sama itu harus dipertemukan dalam satu bingkai, di mana ia akan bertumbuh dan mengakar, bertunas, lantas menebar harumnya pada semesta.

Ia yakin itu.







-Penghujung Oktober 2014-