Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 April 2018

Parameter Sekufu #2





“Untuk mampu diajak berjalan bersama, sepasang sandal memang haruslah berbeda. Namun, tidak mungkin pula untuk memasangkan sandal jepit dengan sepatu berhak tinggi, bukan?”

“Kalau kalian berjodoh, itu artinya kalian sekufu,” lontar seseorang melalui sebuah pesan WhatsApp, suatu hari, sekitar 2 tahun yang lalu. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya berhari-hari lamanya. Ketika itu, rasanya saya sudah tidak ingin ambil pusing dengan yang namanya sekufu, selevel, setara, atau apalah sebutannya itu ketika memutuskan membuka pintu untuk seseorang. Siapalah saya, hamba biasa yang tak tahu apa-apa perkara yang terbaik untuk diri saya sendiri di masa depan. Itu sepenuhnya hak prerogatif Sang Maha Pengatur Semesta. Lagipula, apakah sebenarnya parameter yang hakiki dari ‘sekufu’ itu sendiri? Telah bertahun-tahun berlalu semenjak saya menulis ini, telah berlalu pula fase single menjadi sold-out, namun entah kenapa rasanya ingin menulis tentang ini lagi.

Baiklah, mentang-mentang kami sudah menikah, jadi, apakah saya dan suami benar-benar sekufu? Jika berdasarkan lontaran teman di atas, tentu saja jawabannya “iya”. Tetapi, jujur, ketika taaruf dengan si Abi dulu, saya sudah nggak mikir sekufu-sekufuan lagi. Yang penting kami berkomunikasi untuk saling mengenal satu sama lain, dan nyambung, merasa cocok, ya sudah, lanjut! 

Cocok? Eh, kata satu ini juga sempat bikin saya mikir lumayan lama. Sebenarnya kaidah cocok itu apa dan bagaimana? Lha gimana, orang-orang yang sedang galau mencari belahan jiwa selalu mengandalkan kata satu ini, tapi sering enggak menyadari kalau... first thing first, enggak ada dua insan yang benar-benar cocok satu sama lain di muka bumi ini (kalau maunya gitu mah nikah aja sama diri sendiri, berkembang biak dengan cara membelah diri. *eh). Kedua, banyak juga pasangan yang sudah lama menikah malah memutuskan bercerai dengan alasan yang... ehm... “Kita udah nggak cocok lagi!” Nah lhoooo. Ketiga, sesungguhnya seringkali kita juga nggak bener-bener paham, cocok itu apa dan bagaimana (tapi pengennya teh jodoh yang cucok meong sama ngana. Bingung kan?).

Apakah kalau saya hobi baca buku dan dia sukanya naik gunung itu artinya nggak cocok? Apakah ketika kami satu jurusan dan satu pekerjaan itu cocok? Apakah kalau dia koleris yang hobi marah-marah dan saya plegmatis yang gampang nangis itu nggak cocok sama sekali?

Keempat, men are from Mars, women are from Venus. Mengertilah bahwa sampai kapan pun, laki-laki dan perempuan berbeda di banyak hal yang sesungguhnya butuh effort untuk menyatukannya. Perkara cocok dan tidak cocok sejatinya adalah persoalan seberapa lapang ruang penerimaan dalam hati kita sendiri, juga seberapa luas kadar penerimaan seseorang itu tentang kita. Sebab, kita menikah, hidup bersama dalam kurun waktu yang lama dengan manusia biasa yang tentu tidak luput dari keburukan-keburukan yang mungkin kita akan susah menerimanya.

Well, duluuuu sekali, saya punya list kriteria calon lelaki yang ideal menurut saya (tapi ujungnya mostly nggak pernah saya tulis di biodata taaruf. Haduuh, maaf ya, Pak Suami :p). Pertama, agamanya harus baik—paling tidak, lebih baik dari sayalah ya (ini udah pasti). Kedua, harus GANTEEEENG! (parameter ganteng saya ituh; putih, minimal kuning langsat, tinggi dan berat proporsional, good-looking menurut banyak orang, gak sipit-sipit amat matanya, dan berkacamata kayak itu tuh... Kanata Hongo pas berperan jadi Izumi #eaa). Ketiga, dia punya hobi yang sama dengan saya, yakni menulis dan baca buku—wabilkhusus buku-buku fiksi dan sastra. Impian absurd saya waktu itu, saya ingin bisa menulis buku berdua dengan suami. Ngomong-ngomong soal impian nulis buku bareng, sudah bisa ditebak, saya mendambakan lelaki yang bisa ROMANTIS. Romantis ini maksudnya, dia juga lihai berkata-kata puitis macam Fahd Pahdepie atau Pak Sapardi. Dia juga bisa main gitar atau sedikit-sedikit menyanyi, soalnya saya suka orang yang punya jiwa seni (wah, kok impian gue dulu ala sinetron atau drama remaja banget gini ya. Haha. Embuhlah). 

Berikutnya, saya ingin nikah sama orang yang sudah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya, bukan dadakan sebulan-dua bulan sebelumnya lalu dia ngajak married. Saya sudah jatuh hati dengannya sebelumnya, kemudian kami menikah (and we live happily ever-after. *langsung inget film Shrek -.-)
Terakhir, karena saya berkarakter plegmatis-melankolis, saya berharap semoga pasangan saya adalah orang sanguinis atau koleris, biar setidaknya bisa mengimbangi saya.

Sekarang, mari kita cocokkan dengan kenyataan yang ada.

“Li, dia ganteng nggaaak?” tanya seorang teman, H minus entah berapa hari menuju hari pernikahan. “Siapaaah?” tanya saya balik, sok bego. “Calon elu.” Saya cengo. “Kok pertanyaanmu gitu sih?” Jawab dia, “Kan kamu biasanya suka sama yang ganteng.” Etdah. *tepok jidat. Dan sebagai sahabat baik, dia tahu parameter ganteng absurd saya seperti apa. Saya harus jawab gimana? Hahaha. Sejak taaruf pertama kali, saya sudah tidak mempersoalkan ganteng-tidaknya secara fisik. Terpenting, agamanya baik, saleh. Gantengnya akan ngikut sendiri, itu sudah cukup. Ini juga tergantung mata hati masing-masing bagaimana menilai orang lain sih. Tapi kemudian, parameter ganteng saya berubah, paling tidak, mukanya harus ada hawa-hawa masjidnya. Adem alias menyejukkan jika dipandang (iyalah, qurrata a’yun kan tidak harus tinggi, putih, berkacamata). Lagi-lagi, perkara ini cuma hati yang bisa menilai.

Lalu, romantis? Hmm, suami saya tidak hobi menulis seperti saya. Bahkan, jurusan kami berseberangan—baik secara jarak maupun disiplin ilmu. Saya dibesarkan di lingkungan ilmu sosial humaniora, dia anak ilmu teknika. Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Teknik di UGM itu jauh-jauhan, bro. Sudah jauh, tak pernah bertemu di organisasi atau kegiatan yang sama pula. Secara pola pikir mungkin kami akan jomplang dan banyak tak sejalannya. Saya pernah bilang ke diri sendiri kalau saya nggak mau berjodoh sama anak teknik (akibat trauma, pasalnya dulu pernah nemu orang teknik yang kaku dan ampun dah, gak nyambung banget). Namun, perkara jodoh, Allah-lah yang berkuasa. Kun fayakuun, jodoh saya anak teknik. Maka, hati-hati dengan ucapan anda sendiri ya. ^^v

Jangan bayangkan di bawah sinar rembulan dia akan berpuisi, apalagi sok-sokan bersenandung “Zaujati, Antii habiibati anti...” atau Sakinah Bersamamu ala-ala Romantic Duo Kang Suby dan Teh Ina, saya pernah ketawa-ketiwi baca biodata yang dia tulis karena penuh typo. Mak, impianku kandas. L Apatah lagi berani merayu dengan gombalan semacam, “Duhai bidadariku, Ainul Mardhiyahku...” Nggak pernah. Kalau benar terjadi mungkin malah saya akan bergidik lantas membatin, “Kenapa Abi jadi mendadak dangdut gini?”

Kesimpulannya, suami saya tidak romantis. Ia tidak bisa romantis seperti standar saya sebelumnya. Namun, romantisnya ditunjukkannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan kata, namun perbuatan. Love is not an adjective, it is a verb. Ye kan?

Kemudian, saya sudah kenal sama dia jauh-jauh hari? Big NO. Perkenalan kami tak lama. Ibarat bulan ini kenalan, kemudian bulan depan lamaran. Saya sudah suka sama dia sebelum-sebelumnya? Enggak juga. Semuanya serba “gercep” (gerak cepat), kalau nggak mau dibilang (digoreng) dadakan (yaelah, tahu bulet dong, Sist).

Pasangan saya sanguinis-koleris? Ini juga salah besar. Ia sebelas-dua belas seperti saya, plegmatis-melankolis. Salah satu dari beberapa persamaan absurd yang saya temukan, selain IPK yang podho plek dan weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa yang biasanya digunakan para tetua untuk mencari hari pernikahan kedua mempelai) yang sama persis. -_-

Kesimpulannya lagi, saya tidak benar-benar tahu apa yang terbaik bagi diri saya sendiri. Menurut saya dulu, laki-laki yang tepat bagi saya adalah yang begini-begitu. Namun tidak demikian di mata Allah. Menurut saya dulu, lelaki yang cocok bagi saya adalah A, B, C, D. Namun Allah menggariskan alfabet yang lain. Jadi, saya juga tidak benar-benar mengetahui secara pasti, yang sekufu dengan saya adalah lelaki seperti apa. Maka, ketika istikharah itu berjawaban “ya”, saya yakin ia memang tepat untuk saya, Allah mengatakan bahwa ia adalah yang sekufu dengan saya.

Suatu hari, saya mendapat pesan yang sangat menarik, ditulis oleh Ustaz Fariz Khairul Alam, Pesan itu bertajuk “Mungkin Saja Ia Memang Saleh, Tapi Belum Tentu Kami Cocok.” Lagi-lagi, hadis di bawah inilah yang menjadi dasar pembahasan.

“Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi saw tidak mengatakan, “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik,” namun Nabi saw mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan perangainya.” Apa bedanya? Pernyataan pertama—dan itu tidak diucapkan oleh Nabi saw—bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki saleh, dan bahwa lelaki saleh itu pasti akan menjadi suami saleh.
Namun, pernyataan kedua—yang diucapkan Nabi saw—memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus rida terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki saleh, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau tampak.
Kisah Fathimah binti Qays menjelaskan hal ini. Alkisah, Fathimah binti Qays dilamar oleh dua orang lelaki. Tak tanggung-tanggung, yang melamarnya adalah dua pembesar sahabat, yakni Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Namun, setelah dikonsultasikan ke Rasulullah saw, apa yang terjadi? Rasulullah saw menjelaskan bahwa kedua lelaki tersebut tidak cocok menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki saleh yang memiliki keyakinan agama yang baik. Namun, Rasulullah saw tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi saw mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi saw menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi saw itu, apa yang dikatakannya kemudian?
Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: pertama, lelaki saleh. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Kesalehan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua sifat ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang mencari jodoh, agama mensyariatkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya. Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu ‘satu paket’; paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat.”
Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda. Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda.

Tak ada yang salah dengan perbedaan dalam pernikahan—apapun itu, baik berbeda latar belakang kesukuan, perbedaan status sosial, maupun berbeda dalam harakah, karena sejatinya perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bisa jadi, akan ada usaha yang lebih ekstra untuk menjalankan rumah tangga demi meminimalisasi friksi-friksi atau konflik yang akan timbul setelahnya. Baiklah, pada akhirnya ini memang pilihan masing-masing kita.

Sabtu, 29 April 2017

Jalan Pulang




Two roads diverged in a yellow wood
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth

-Robert Frost-

Jika setiap jalan lurus tanpa kelokan dan tanjakan, jika setiap kisah selalu bermuara pada ekspektasi sebelumnya, jika semua cerita selalu berakhir bahagia tanpa kegagalan-kegagalan yang menjadi konfliknya, bisa jadi akan sulit sekali syukur terucap dari bibir kita. Bisa jadi pula kita yang lemah ini tak akan kunjung menarik pelajaran demi pelajaran yang dihidangkan semesta.

Setiap jalan adalah rawan, mengandung bahayanya masing-masing. Dan kita sepenuhnya berhak menentukan jalan mana yang paling aman, meski itu semua menghajatkan hati yang lapang, kesabaran tiada berbatas, serta sepasang kaki yang kuat untuk terus melangkah.

Mungkin jalan itu terjal mendaki. Mungkin ruas jalan yang kita tempuh tak pernah luput dari semak belukar maupun duri-duri yang menajam. Mungkin bentangan jalur yang harus dilalui itu menikung-nikung, naik turun, dan berkelak-kelok. Namun, untuk sebuah tempat pulang paling lapang yang kelak akan kita temukan setelahnya, tak ada perasaan paling melegakan selain bahagia, tak ada ungkapan paling merdu selain kesyukuran yang tak terungkapkan oleh kata-kata.

Untuk segala ujian sepanjang perjalanan, semoga tak ada sesal yang hinggap, tak ada sedih yang turun, tak ada dendam yang mengendap bertahun-tahun. Kita tak akan menyesali pilihan yang telah kita ambil, walaupun mungkin pilihan itu pada akhirnya menemui titik gagal yang membuat kita tak bisa meneruskan perjalanan. Kita hanya perlu memutar arah, kemudian mengusahakan jalan-jalan lain yang disediakan oleh tuhan. Seraya berprasangka baik bahwa kemudahan-kemudahan akan selalu dihadirkan, seiring kuatnya munajat dan ikhtiar yang benar.

Kita percaya, suatu saat kita akan pulang ke tempat terbaik, kita juga percaya cepat atau lambat segala cerita ini akan mencapai ujung pangkal alias ending-nya. Meski lamanya waktu dan kerasnya upaya menjadi syarat yang harus ditunaikan sebelumnya. Meski konflik demi konflik menjadi penghias alurnya. Meski kita tidak benar-benar tahu ujung pangkal segala cerita ini akan seperti apa, itu rahasia-Nya. Lambat laun kita akan memahami, betapa baiknya Allah ta’ala yang selalu menghadirkan tanda-tanda bagi setiap pengelana. Kita semakin yakin bahwa setiap yang istimewa tak akan diraih dengan mudahnya. Semoga kuat melangkah seraya menguntai kesabaran yang tiada berbatas, esok dan seterusnya.

Selasa, 07 Maret 2017

Mengeja Kesendirian




Sesungguhnya, apa yang tengah dipikirkan orang-orang tentang kesendirian? Adakah kebanyakan manusia berasumsi bahwa sendiri selalu berkawan akrab dengan kesunyian? Sesungguhnya, apa yang selalu dipikirkan orang-orang kebanyakan tentang kesendirian? Adakah mereka selalu menganggap bahwa sendiri berarti hampa, sepi, dan penuh kesedihan nan tak berkesudahan?

Orang-orang yang merasa kesepian selalu mencari tempat-tempat ramai. Orang-orang yang jemu akan kesendirian memupus kehampaan melalui berjumpa dengan banyak manusia-manusia lainnya, menyibukkan diri dengan aneka kegiatan, berbincang, berdiskusi, bertukar cerita, atau sekadar menciptakan senda gurau tak penting sambil menyeruput kopi. Namun, ada pula orang-orang yang memberantas kesepian cukup melalui menenggelamkan diri sendiri pada musik yang sibuk ia dengarkan, atau membenamkan dunianya pada buku cerita yang tekun ia telusuri kisahnya. Di sisi lain, ada masanya kesendirian begitu mengasyikkan. Ia tak lagi dimaknai sebagai wujud kesepian atau keterasingan, namun lebih sebagai kebebasan yang membahagiakan.

Kau menikmati sebuah perjalanan tanpa teman dan hanya bisu sepanjang kereta itu mengantarmu ke tempat tujuan. Kau menikmati melemparkan pandang ke luar jendela sembari merenungkan banyak hal atau membuat kontemplasi demi kontemplasi tanpa ada yang mengusikmu hanya untuk sebuah pertanyaan basa-basi. Kau pun menikmati kesendirian di sepertiga malam, di mana kau bebas mengadu, menumpahkan air mata, mengutarakan segerombolan sesak dan keinginan kepada tuhan. Bagaimana mungkin kau akan sebebas itu menumpahkan tangis dan sedu-sedan di tengah keramaian? Kau tentu malu. Bahkan dalam kesendirian pun jiwamu tetaplah ramai, riuh mempertengkarkan banyak persoalan dan pertanyaan. Lalu, kau juga menikmati kesendirian sebagai waktu terbaikmu untuk menulis berbagai hal yang melesak di benak. Kesendirian mengajakmu memikirkan ulang kejadian-kejadian, mengurai hikmah dan pelajaran-pelajaran yang berserakan. Tak jarang, kesendirian menciptakan ruang pula bagi perbaikan demi perbaikan. Ada kalanya, sendiri terdengar jauh lebih merdu diucapkan daripada berdua, bertiga, berempat dan seterusnya.

Kemudian orang-orang yang mencintai kesendirian bertanya, apakah yang tak lagi sendirian benar-benar menemukan hakikat kebahagiaan? Tak jarang, kebersamaan bukan lagi perkara kehangatan, namun memunculkan konflik alias pertikaian-pertikaian. Kebersamaan adalah peleburan ego individu-individu dengan isi kepala yang berbeda.

Kebahagiaan bisa saja hadir dalam kesendirian, namun juga selalu hadir dalam kebersamaan. Kesedihan dan kegembiraan sesungguhnya berada di neraca yang sama, begitu ujar Kahlil Gibran. Kita tak bisa selamanya mengatakan kesendirian rawan akan kesedihan, namun juga tak bijak menghakimi kebersamaan selalu dihiasi pertikaian-pertikaian. Ada masanya kita mendamba kebersamaan ketika sedang sendirian. Ada masanya kita ingin mengasingkan diri sejenak dari keramaian. Ada kalanya kita melihat pasangan-pasangan yang selalu harmonis dan bahagia, genap-menggenapkan, sehingga kita merasa tak utuh dengan kesendirian. Ada kalanya ketika telah bersama kita merasa tak sebebas ketika masih berstatus sendirian.

Apapun alasannya, apapun keadaannya, kita pada hakikatnya tak ingin selamanya berkelumun hening dengan menapakkan kaki sendirian di setapak jalur kehidupan. Kita membutuhkan—setidaknya satu saja—teman dalam perjalanan, yang akan membantu menguatkan langkah, menyemangati, memberi arti bagi episode-episode di lembar-lembar selanjutnya, demi mengayun langkah ke satu tujuan. 

Namun, selama waktu tunggu, selama belum menemukan teman dalam perjalanan, semoga kesendirian semakin mengajarkan kepada kita tentang sebijak-bijaknya pemahaman. Bahwa kesabaran adalah juga sebaik-baiknya perjuangan. Bahwa doa selalu didengar oleh Sang Penguasa Alam. Bahwa kesendirian berbanding lurus dengan upaya penjagaan diri dari segala hal yang mungkin bisa menjauhkanmu dari tuhan. Bahwa kesendirian adalah menjaga cintamu utuh sepanjang jalan. Bahwa dengan kesendirian, kau masih mampu mengerjakan kebajikan-kebajikan dan mencetak karya-karya luar biasa.

Kita tak ingin selamanya sendiri. Tetapi, berkawan akrab dengan sepi membantumu mengerti, kesendirian tetap membuatmu mengulum senyum, tak mengurangi kadar bahagiamu barang sesenti pun. Lalu kau ingin berteriak lantang kepada dunia: mari bahagia apapun keadaannya.

Rabu, 25 Januari 2017

Jawaban Sebilah Doa




“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai tuhanku.”

(Quran Surah Maryam: 4)

Pertengahan tahun 2015, dengan malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan proposal penelitian untuk tesis.

Saya sudah lupa berapa persisnya jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu. Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?

Daftar doa selanjutnya tentu saja berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia 27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula. Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan, malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya, Buk.”

Tidak ada ibu yang alpa mendoakan kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter, perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan panutan pula.

Ruang kosong yang seharusnya diisi perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’ dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di mana pun kampusnya.

Hari itu mungkin ia tengah terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air. Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?

Selang beberapa bulan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa? Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib. Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya. 

Kemudian, adakah satu demi satu pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan sejuk dan menenteramkan.

Selang beberapa bulan setelah doa itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.


“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”


Bahkan saya sudah melupakan itu ada di daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati, namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau yang lain. ^_^

Pengerjaan tesis berjalan lancar, bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.

Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat semuanya tertunda dan tertunda.

Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus, dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah. Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.

Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’ itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan terbata-bata.

Maka jelas sudah, Dia belum memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya, untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain, dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan hingga saat ini.

Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya sendiri).

Saya masih ingat doa-doa yang didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar, tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap. Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin surut, justru bertambah-tambah.


“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.


Saya menjadi paham, dan keyakinan saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang didoakan.

Entah berapa kali doa Mbak Dita yang diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk pintu-Nya.

Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.

Ketika itulah kau mulai paham mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap permasalahan.

Kita memang tak pernah tahu kapan setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban. Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.

Kita hanya harus selalu percaya, bahwa di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia dalam bentangan takdir kehidupan kita.