Tampilkan postingan dengan label katarsis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label katarsis. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Oktober 2017

Menjeda: Tentang Jarak yang Merentang



Nyaris dua tahun lalu, saya tertarik dengan salah satu postingan di blog Mbak Cindi Riyanika yang diberi judul besar-besar: Commuter Marriage, Siapa Takut? Ketika itu, saya baru tahu kalau beliau yang masih di Jogja menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan suaminya yang bekerja di Ibukota. "LDM itu mudah diucapkan, namun susah untuk dijalani." Tentu saja.

Ketakutan akan kehidupan pasca pernikahan kemudian datang menghantui saya. Bagaimana pula dengan saya kelak? Waktu itu, kandidat yang tengah berproses dengan saya qadarullah adalah seorang yang bekerja nun jauh di sana, di luar Jawa. Sementara saya masih awang-awangen jika diajak jauh ke sana, selain saya memang ingin mencari kerja di Jakarta saja. Kalaupun jadi, maka LDM adalah satu-satunya cara, sambil berdoa semoga si calon kelak bisa pindah lagi ke Jawa. Akan tetapi, jika akan terjadi seperti itu, betahkah saya hidup berjauhan dengan suami? Padahal semenjak dulu, saya tanamkan tekad kuat-kuat, bahwa saya tak akan meniru pola rumah tangga kedua orang tua yang menjalani LDM pula.

Kisah selesai begitu saja. Tidak jadi berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya berharap, semoga usai wisuda, cepat atau lambat saya bisa mendapat pekerjaan di Ibukota, lalu bertemu entah siapa yang dihadirkan Allah untuk saya, yang juga berdomisili di kota yang sama, tentu saja.

Namun, ternyata, Allah menurunkan jawaban yang tak terduga...

Saya tidak jadi kembali ke Ibukota, malah mendapat amanah mengajar di kota kelahiran. Di saat yang nyaris sama, datang tawaran taaruf lagi. Namun, lagi-lagi sang kandidat berjarak lumayan jauh dengan saya, sebab ia bekerja nun di sana. Sekelebat kekhawatiran membayang lagi di benak. Jika saya terima lalu sampai ke nikah, kemungkinan saya akan menjalani LDM dulu dengannya. Entahlah. Tak mau berkutat dengan tanya "bagaimana ini semua bisa terjadi?", kami jalani saja setiap prosesnya, yang atas izin-Nya, restu turun begitu mudahnya, hingga hanya 7 bulan berselang semenjak perkenalan, pernikahan itu dilangsungkan.

Kami sepakat tidak akan berlama-lama berjauhan hanya karena alasan pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja saya yang harus mengalah dan ikut suami. Namun, rupa-rupanya memang butuh kesabaran berlimpah selama waktu tunggu tersebut. Lalu, kalimat "Ah, ada yang LDM-nya jauh lebih jauh daripada kita" tidak serta-merta bisa dijadikan pelipur lara. Sewajarnya pengantin baru yang setiap hari ingin berdekatan, tinggal bersama, menjalani hari-hari berdua, ada yang selama ini selalu tertahan dan ingin dicurahkan, namun di saat rindu yang menyesak belum habis, tiba-tiba harus ditimbun lagi dengan rindu baru. Kami yang sebelumnya sudah berjarak, kini harus berjarak lagi.

Ingin mencoba bersikap biasa saja dan happy, nggak usah sok mellow, nangis bawang atau apalah. Bisa, bisa! Lantas, tanpa diundang, muncul sekerat bayangan tentang ucapan salah satu sahabat saya yang LDM sebulan dengan suaminya: "Kamu jangan LDM ya, Li. Amat sangat tidak disarankan bagi umat." Tapi, saya yang agak songong ini mencoba mengusir kata-kata itu dengan bisikan, "Kebaperan nggak usah dituruti, nanti malah makan ati sendiri."

Waktu berputar cepat, dan yaah... saya mengalaminya sendiri. Welcome to the jungle, Sist! Jatah cuti suami sudah habis, harus segera kembali bekerja, dan saya juga belum bisa ikut pindah, jadilah ucapan semacam ini dilontarkannya, "Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?" tanyanya sebelum berpisah di stasiun.

"Enggak," sambil memasang senyum yang dibikin-bikin (lalu cium tangan). Maka, jawaban "enggak" itu hanyalah dusta. Setelah itu inginnya ambil langkah seribu tanpa menengok lagi, "Ah, udah ah, gue mau buru-buru pulang, nanti makin diliatin, makin kenapa-kenapa ini perasaan." Akting sok tegar berhasil!

Esoknya, barulah perasaan ‘kehilangan’ itu menjalar di seluruh urat nadi. Ada yang menyekat di kerongkongan. Rinai yang tak setitik pun jatuh ketika janji suci itu usai diucapkan, kini justru turun pelan-pelan, lalu menderas. Saya rindu, acapkali mengingat kebersamaan kami yang baru beberapa hari. Saya rindu campur haru, setiap kali mengingat kebaikan-kebaikannya selama ini.

Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi, drama baru dimulai. Karena pagi hingga sore mayoritas adalah jam kerja, maka waktu longgar kami untuk intens berkomunikasi adalah malam hari. Namun, saya yang seringkali mengantuk duluan membuat malah nggak jadi video-call atau terlupa membalas chat-nya. Terkadang pula, kehabisan tiket kereta menjadi kendala untuk bertemu kembali. Selanjutnya, ada kekhawatiran-kekhawatiran yang menyergap tiba-tiba: apakah belahan jiwaku di sana baik-baik saja? Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu menjaganya, menjaga hati kami berdua agar dikuatkan ikatannya dan dikekalkan cintanya. Sebab ini juga adalah ujian cinta, sejauh mana kami mampu menjaga setia hanya kepada yang berhak saja.

Terkadang, cinta memang harus dididik dengan jarak. Karena jarak yang merentang memberi kesempatan bagi bertumbuhnya tunas-tunas rindu. Sebagaimana bumi akan bosan, jika selalu turun hujan, maka cinta—saya rasa juga memerlukan jeda, untuk mengambil napas dan menyegarkan bibit-bibitnya kembali. Agar ketika tak ada lagi jarak merentang panjang, kami semakin bersemangat untuk merawatnya setiap hari, hingga mekar dan ranum sampai nanti.

Rabu, 25 Januari 2017

Jawaban Sebilah Doa




“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai tuhanku.”

(Quran Surah Maryam: 4)

Pertengahan tahun 2015, dengan malu-malu saya titipkan secarik kertas di dalam amplop yang saya juduli Doa kepada ibu saya yang malam itu berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci. Susah payah saya sembunyikan air mata dan rasa sesak yang menyeruak. Pertama, was-was akan keselamatan beliau sejak berangkat hingga pulang kembali. Kedua, agak sedih karena harus meninggalkan adik laki-laki saya sendirian di rumah karena saya harus segera kembali ke Depok demi menyelesaikan kuliah semester tiga dan proposal penelitian untuk tesis.

Saya sudah lupa berapa persisnya jumlah daftar keinginan yang saya tuliskan di secarik kertas itu. Lumayan panjang. Sudah bisa ditebak, hal-hal apa saja yang ingin saya raih ketika itu. Sebagai mahasiswi magister yang sudah semester tiga, tentu saja saya galau tentang proposal penelitian untuk tesis. Sempat muram berhari-hari ketika ide yang saya lontarkan tak disukai dosen. Ketika tema sudah disetujui pun, sempat khawatir, jangan-jangan saya disuruh ke Jepang untuk melakukan penelitian lapangan, sementara dananya tidak ada dan jatah pengerjaan tesis itu sendiri tidak lama. Ada resah yang timbul-tenggelam, apa saya sanggup menyelesaikan tesis tepat waktu dan memakai toga untuk kedua kalinya pada Februari 2016?

Daftar doa selanjutnya tentu saja berkaitan dengan hal-hal selain kelulusan; pekerjaan, menikah sebelum berusia 27 (saya begitu random menulis angka ini, padahal hanya Allah yang tahu waktu yang tepat), dan kemudahan untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci pula. Ah, rasa-rasanya, kebanyakan doa saya terlalu duniawi. Terlalu standar. Bahkan, malu saya mengakui jika di daftar doa itu ada pula saya selipkan bahwa saya ingin segera menghirup udara Negeri Sakura. Mengapa saya tidak meminta doa supaya diri ini istikamah, lebih salehah, pandai menjaga diri dan kehormatan sebagai muslimah, diteguhkan dalam beragama, dikuatkan dalam setiap usaha, bersabar di setiap ujian, semakin mencintai surat cinta-Nya, dan tetap berlaku adil terhadap segala ketentuan yang tuhan tetapkan? Dalam perjalanan kembali ke Depok, saya terngiang aneka macam keinginan yang saya titipkan. Ada sesal yang menyelinap diam-diam. Tapi secarik kertas itu sudah terlanjur mengembara ke Saudi Arabia. Pesan saya, “Jangan dibuka sebelum benar-benar sampai di sana ya, Buk.”

Tidak ada ibu yang alpa mendoakan kebaikan untuk anaknya, tentu saja. Namun, saya tahu, prioritas ibu berangkat ke Mekah ketika itu adalah mendoakan adik saya. Terlalu rumit menjabarkan mengapa ia bisa membuat ibu saya seringkali bersedih. Sebagai seorang single fighter, perempuan sepertinya, meskipun serba bisa, tentu tak akan pernah bisa memberikan sosok keteladanan selayaknya seorang ayah. Sedangkan anak laki-laki sudah barang tentu membutuhkan identifikasi ke laki-laki yang bisa ia jadikan panutan pula.

Ruang kosong yang seharusnya diisi perhatian dan kasih sayang itu kemudian menciptakan semacam ‘pemberontakan terpendam’ dan sampah emosi yang semakin menumpuk. Studinya kerap berantakan, jarang belajar, dan aktivitasnya hanya main-main belaka. Setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan, semua tes masuk universitas yang dia jalani semuanya berujung kegagalan. Sempat mogok tak mau daftar kuliah lagi. Padahal ia laki-laki yang kelak harus mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ada perasaan minder pula sebab sejak kecil kerap dibandingkan dengan kakaknya. Maka, ibu mendoakan supaya ia mau bersemangat menuntut ilmu lagi, di mana pun kampusnya.

Hari itu mungkin ia tengah terisak-isak di tengah doanya di tepi Kakbah, atau ketika di Raudhah, atau ketika di Jabal Rahmah. Memohonkan satu demi satu pinta, juga serentetan daftar doa yang saya titipkan dalam selembar kertas itu ketika masih di Tanah Air. Benaknya lantas memunculnya sebentuk bayangan kampus nun jauh di sana, padahal ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Bukan UGM, bukan pula UI—dua kampus besar negeri ini, tempat anak perempuannya melanglang mengais ilmu. Aneh. Apakah itu pertanda?

Selang beberapa bulan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, sebuah kabar membuatnya haru. Bagaimana bisa? Anak lelakinya yang dilihatnya nyaris tak pernah belajar, diterima di kampus itu, yang bayangannya terlintas dalam benak ketika ia kusyuk melantunkan doa di tepi Kakbah—padahal belum sekalipun kakinya pernah singgah ke sana. Ajaib. Apalagi doa seorang ibu, mustajab. Lantas, bagaimanalah ia tidak rindu tempat itu lagi? Tempat segala doa terlantun, berpusar, bercampur dengan doa dari segala penjuru, kemudian membumbung ke arasy-Nya. 

Kemudian, adakah satu demi satu pintanya mulai terjawab? Mungkin juga sederetan doa di kertas lusuh yang dititipkan putrinya ketika itu. Doa-doa yang telah ia langitkan, berjatuhan ke bumi laiknya keajaiban demi keajaiban yang menjelma tetesan-tetesan hujan nan sejuk dan menenteramkan.

Selang beberapa bulan setelah doa itu dilantunkan di Raudhah pula, usai mengantar adik saya registrasi di kampus barunya, pesan dari seseorang yang datang di senja itu mengejutkan saya.


“Kamu bersedia taaruf (untuk menikah) sama dia?”


Bahkan saya sudah melupakan itu ada di daftar doa saya urutan nomor berapa. Prioritas saya saat itu adalah fokus mengerjakan tesis, kemudian wisuda. Namun seiring dengan kontemplasi-kontemplasi dalam diri, tawaran itu saya sambut jua. Apa jangan-jangan ini jawaban dari doa ibu saya ketika masih di negeri cahaya? Sangat mungkin. Saya kumpulkan sedompol keyakinan seraya membuang seribu ragu yang masih menyelinap acapkali pikiran saya terbang kepadanya. Belum lama patah hati, namun pesan dari seseorang itu membuat saya bertanya-tanya tentang jawaban dari doa ibu saya. Jika ya, alangkah cepat Allah memberikan penawarnya. Allah Maha Baik. Di tengah galau mengerjakan tesis magister, Ia menghadiahi saya galau yang lain. ^_^

Pengerjaan tesis berjalan lancar, bahkan saya sangat menikmati prosesnya. Sebab saya suka dengan tema yang saya angkat. Apalagi saya kebagian dosen pembimbing yang luar biasa baiknya. Makin bertambah syukur dan yakin saya bahwa Allah senantiasa menjawab doa-doa.

Dua-tiga bulan berlalu. Naskah tesis sudah saya serahkan ke jurusan, tinggal menunggu jadwal sidang. Di sisi lain, ada jadwal yang belum purna, rencana silaturahim keluarga antara saya dengan calon yang belum tahu entah kapan. Jarak yang terentang sedemikian jauhnya membuat semuanya tertunda dan tertunda.

Qadarullah, ujian datang. Ada satu dosen penguji yang tidak setuju tesis saya diluluskan saat itu. Berkat negosiasi dari dosen pembimbing saya, beliau memperkenankan saya merevisi tesis dalam waktu empat hari untuk disidangkan ulang. Lumayan menguras energi pikiran dan perasaan. Selesai. Sidang ulang. Lulus, dengan nilai A minus. Pujian dilontarkan, satu persatu dosen menyalami saya. Alhamdulillah. Jika saya tidak sidang ulang, mungkin nilai saya kurang layak, padahal topik penelitian saya menarik. Setelah purna masa studi dan wisuda pun, Allah masih memberi kesempatan saya untuk tampil di dua simposium internasional.

Qadarullah lagi, tersebab tidak kunjung ada titik temu, proses ‘perkenalan’ itu pun disudahi. Bukan karena kami tak bisa memangkas jarak dan waktu dengan usaha, namun Allah jualah membuktikan keraguan yang sejak dulu berdentang-dentang dalam labirin hati saya. Ragu yang entah kenapa sulit untuk ditepis meski telah berulang kali saya memohon dalam istikharah yang didirikan terbata-bata.

Maka jelas sudah, Dia belum memberikan jawaban itu. Orang tersebut bukanlah jawaban dari doa ibu, maupun doa-doa saya. Seseorang hadir dalam hidup kita tentu juga atas seizin-Nya, untuk menguji keteguhan kita, memberikan hikmah dan pelajaran yang kadang tak bisa kita terka. Oleh karena itu, nilainya tak bisa ditukar dengan berapapun nominal uang yang setara dengan biaya kuliah kita. Sekali lagi, Allah Maha Baik. Tentu saja, sangat mungkin, ada sesuatu yang kurang baik jika saya jadi bersamanya. Selain itu, sangat mungkin, Allah masih menggenggam doa-doa lain, dari seseorang lain yang lebih baik menurut versi-Nya, yang meminta supaya saya masih disendirikan hingga saat ini.

Jarum jam berputar. Waktu berlalu. Undangan yang saya terima di permulaan Ramadan itu, jujur, membuat saya setengah tak percaya, sekaligus takjub. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelumnya, ketika pertemuan terakhir saya dengan Mbak Dita, senpai saya, curhat mengenai jodoh yang masih gelap itu tak pelak diutarakan juga. Mbak Dita malah menggoda saya yang ketika itu tengah “berproses”, namun belum juga menemui titik temu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya (dan kemudian menemui titik kegagalannya sendiri).

Saya masih ingat doa-doa yang didiktekan Bang Ippho Santosa di antara riuhnya jemaah Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok ketika kami disuruh saling peluk dan mendoakan, doa-doa yang dilafalkan Mbak Dita kepada adiknya ini dengan yakinnya: semoga dimudahkan kelulusannya, Dek. Dimudahkan jodohnya, pekerjaannya... Doa yang standar, tentu saja, bagi mahasiswi dengan usia dua puluh sekian, apalagi yang digalaukan jika bukan lulus, kerja dan jodoh? Begitu pun Mbak Dita, lulus sudah, kerja sudah, tinggal menikah, yang sayangnya, waktu itu masih gelap. Sementara ujian seorang lajang di atas seperempat abad sepertinya tak semakin surut, justru bertambah-tambah.


“Iya, Dek. Proses pernikahanku ini semakin menguatkan keyakinanku akan maha kuasanya Allah dalam menjawab doa-doa. Kita, manusia, tak bisa meneropong masa depan karena masa depan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tugas kita hanya mengetuk pintu. Bila satu pintu tak terbuka, maka kita coba terus mengetuk pintu lainnya. Adalah hak Allah untuk membuka pintu yang mana. Bisa jadi, justru pintu yang tidak kita ketuklah yang terbuka. Maka, semoga kita tidak lelah untuk mengetuk pintu-pintu itu, kemudian terus berdoa sembari memahatkan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat,” ujarnya.


Saya menjadi paham, dan keyakinan saya semakin dalam. Bahwa malaikat sepenuhnya mengamini doa-doa baik dari hamba Allah yang mukmin kepada saudaranya, kemudian malaikat mendoakannya. Siapa sangka, doa yang terijabat itu dikabulkan cepat bagi si pendoa, daripada yang didoakan.

Entah berapa kali doa Mbak Dita yang diaminkan malaikat, mungkin tak cuma satu. Tapi saya pun percaya, doa Mbak Dita untuk saya di masjid itu adalah salah satunya yang naik ke langit dan mengetuk pintu-Nya.

Maka, usai doa-doa, usai kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, saat kau tak tahu lagi harus berbuat apa dan lari ke mana, usai ingin mengikhlaskan segala sesuatu di belakang, terkadang saat itulah keajaiban demi keajaiban bermunculan tanpa bisa diduga. Bagi siapa saja yang percaya, tentu saja bukan kebetulan.

Ketika itulah kau mulai paham mekanisme kerja sebuah doa; satu momen yang membuat hatimu terhubung ke Sang Maha Segala. Sebab, Ia selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya yang menghiba, Ia—Sang Penggenggam Takdir, pemegang kunci yang mengurai setiap permasalahan.

Kita memang tak pernah tahu kapan setiap penggal pinta yang kita lantunkan diam-diam akan turun menjelma jawaban. Entah cepat, entah harus melalui rentang waktu lama yang menyuruh kita untuk tetap memanjangkan sabar. Sebab cepat belum tentu bermakna tepat. Kita juga tak pernah tahu, apakah permohonan itu benar-benar sampai ke singgasana-Nya, atau hanya terantuk dan berhenti di langit-langit rumah kita.

Kita hanya harus selalu percaya, bahwa di setiap udara yang kita temukan, di sana akan kita jumpai Allah yang senantiasa mendengar doa-doa. Kita hanya harus selalu percaya, bahwa doa merupakan bahasa cinta paling puitis dan romantis yang pernah ada. Alangkah menyenangkannya waktu tunggu kita jika selalu diiringi yakin, bahwa Allah tak akan pernah sekali-kali mengecewakan kita dengan tiada memberi jawaban atas segala rahasia dalam bentangan takdir kehidupan kita.

Jumat, 15 Juli 2016

Menyoal Akun Instagram Khusus Perempuan





Postingan ini sekadar pemberitahuan atau klarifikasi. Per tanggal 9 Desember 2015 saya memutuskan untuk memblokir semua pengikut laki-laki di akun instagram (IG) saya, tanpa kecuali—kenal atau tidak kenal. Di profil pun sudah saya beri peringatan: WOMEN ONLY PLEASE. Kendati demikian, masih tetap saja ada laki-laki yang request (karena akun saya digembok)—yang kemudian tentu saja langsung saya reject, tak peduli siapa yang request. Berprasangka positif saja, mungkin mereka tidak membaca profil terlebih dahulu, namun langsung menyentuh follow. Jadi, maaf teruntuk semua lelaki yang tadinya berteman dengan saya di media sosial yang satu itu, juga kepada siapa saja yang request namun saya silang tanpa basa-basi. Hai, bagi yang memang kenal saya, silakan silaturahmi di sarana lain yang lebih privasi jika memang ada keperluan. Tak terlalu penting bukan berteman di IG, jika fungsinya hanya untuk cuci mata secara virtual. Lebih-lebih jika hanya sebagai sarana ampuh buat ngepoin atau malah ngodein lawan jenis yang ditaksir #eh. Itu nggak banget.

Ya nggak segitunya juga kali, Li! Hapus saja semua fotomu, bukan lantas memblokir banyak orang. Atau nggak usah punya media sosial aja sekalian.

Begini, Saudaraku... sebagai perempuan masa kini, ada goda yang belum bisa saya hapus sepenuhnya: keinginan untuk seringkali memajang foto-foto diri yang cantik dan menarik. Sementara, diri ini tak pernah betul-betul paham bagaimana otak lelaki menerjemahkannya kemudian. Sangat mungkin, apa yang menurut kita—perempuan, biasa-biasa saja, bagi lelaki itu sungguh cantik nan menggoda. Sebab, konon katanya, perempuan diciptakan indah oleh Yang Maha Kuasa. Terlebih, jika setan ikut andil dalam berusaha merias-rias dari segala sisi supaya perempuan selalu tampak menarik di mata laki-laki. Apapun. Bahkan gambar siluetnya saja yang diinterpetasikan ‘cantik’, bisa menjadi bahan imajinasi bagi yang memandang. Sebagai wanita akhir zaman, yang saya yakin, dalam jaringan-jaringan dunia maya, ada jaring-jaring setan pula yang turut menggoda. Adalah sebuah kezaliman di dua sisi jika hal itu terus dipupuk: saya berdosa, mata mereka pun berdosa. Kejahatan dan pelecehan terhadap perempuan sekarang ini tidak hanya marak terjadi di dunia nyata. Jika di Jepang era modern ini, kereta-kereta berbagai jalur sudah mulai dilengkapi dengan fasilitas gerbong khusus wanita lantaran maraknya kasus chikan (groper) di sela ramainya rush hours, maka sudah selaiknya di dunia maya kita juga lebih berhati-hati.

Diri ini dulu sekali sudah pernah menulis catatan perihal menjaga pandangan. Apa yang selaiknya hawa lakukan di tengah kubangan arus informasi dunia digital, dan kemudahan mengaktualisasikan diri di dunia maya seperti sekarang. Catatan itu sebenarnya saya tulis sebagai pengingat untuk diri sendiri, namun apesnya, saya langgar juga berulang kali. Tetap bergonta-ganti foto diri di media sosial lainnya. Astaghfirullah. Sungguh, konsisten atau istikamah itu sama sekali tidak mudah. Akibatnya, kena batunya juga. Dapat peringatan dari Allah. Tak dinyana, ada salah seorang teman lelaki yang ternyata mengunduh beberapa foto profil saya, dan disimpan di gallery ponselnya. Apa motifnya, saya juga tak paham. Ada pula cerita yang dituturkan oleh seorang teman perempuan berhijab, yang foto siluetnya di dunia maya diambil seorang pria, kemudian dia unggah di akun media sosial pribadinya. Yang lebih ekstrim, sampai ada yang membuat akun palsu dengan foto close-up teman perempuan saya. Well, dia memang cantik jelita.

Silakan saja bagi teman-teman perempuan yang memang bisa konsisten menjaga pandangan kaum adam, dengan tidak pernah sekalipun mengunggah foto diri. Saya salut kepada para perempuan tak kasatmata semacam itu. Namun, lagi-lagi, diri ini belum sanggup mencapai derajat upaya menjaga seperti demikian. Maka sebagai gantinya, para followers laki-laki yang saya singkirkan.

Untuk tidak usah memiliki akun media sosial, ini agak impossible, meski sebenarnya ya sangat possible #lho. Saya hidup di tengah masyarakat modern, bukan di hutan atau desa terpencil dari peradaban. Banyak informasi atau kemudahan yang ditawarkan (seperti belanja daring. Duh, jadi ketahuan doyan beli-beli. Haha)

Sekarang sok menjaga. Ntar kalo udah nikah, paling juga khilaf lagi. Pamer foto bersama pasangan di sana-sini, mentang-mentang udah ada yang memiliki.


Sebenarnya itu juga yang saya khawatirkan. Mentang-mentang udah nikah, terus serasa ingin bilang kepada seisi dunia: ini loh, gue udah ada yang punya. Elu-elu pade, cowok-cowok lain kagak usah ganggu-ganggu gue lagi. Mengingat fenomena banyak teman-teman perempuan saya yang berhijab dan alim juga, yang dulu sebelum menikah sungguh-sungguh pemalu dan anti pajang foto diri di media sosial, jadi aneh ketika melihat mereka upload foto narsis ketika sudah menikah (tapi ya sama pasangan) di sana-sini dan tak cuma sekali. Kan kalau cuma ingin memberi tahu kalo gue udah taken sama orang ini, ya sekali saja, selesai. Nah, tapi kalau jumlahnya nambah dan nambah jadi banyak banget? Hm, saya tak berani mencap ‘euforia’ atau ‘kenorakan’ pasca-nikah, meski mungkin itu bisa saja menjadi gejala yang mengarah ke sana. Jangan pula tergesa melabeli kami yang komen seperti ini dengan ‘kaum lajang fakir asmara yang iri hati’. Media sosial memang ujian. Semoga kita semua dilapangkan hatinya, dan mampu belajar lebih bijak lagi.

Tapi mari sedikit kita ubah paradigma berpikirnya. Bukankah ketika sudah ada yang memiliki, justru kita harus lebih menjaga diri dari mata para lelaki ajnabi (asing), yang bukan pasangan sah kita? Elo cantik, itu rezeki buat suami lo aja. Emang dia rela bagi-bagi, membiarkan kecantikan istrinya dinikmati banyak orang? Enggak dong. Perempuan aja kagak pernah ikhlas kalau dipoligami, ya kan? Apalagi jika di masa lalu ada seseorang yang pernah naksir berat sama kamu, kemudian hatinya sempat berantakan karena menerima kenyataan bahwa kamu bukan jodohnya. Lalu, kamu dengan selo-nya pajang foto di sana-sini sama suami. Tolong dong, jaga perasaan mereka juga. Balik lagi, kalau cuma mau menunjukkan bahwa gue udah bersuami, sekali aja kan udah. Kalau berkali-kali, mungkin itu sebangsa dengan vamer #eh #maap.

Teruntuk para perempuan, tentunya kita juga ingin menjadi mawar tercantik hanya bagi ia yang berhak, yang telah memberanikan diri mengucap perjanjian berat supaya mampu meraih tangkai mawar berharga itu. Jadi, jagalah sepenuh hati.

‘Afwan sekali lagi. Istikamah tidak mudah, namun semoga kita senantiasa mampu saling mengingatkan dalam kebaikan. Pun dalam perkara-perkara yang tampaknya remeh-temeh, namun sejatinya tak baik. Ingin saya haturkan terima kasih bagi siapa saja yang pernah menampar dan mengingatkan diri ini.




yang fakir nan masih tertatih menggenggam istikamah:

@liawibyaninggar

Gambar diambil dari sini

Jumat, 26 Februari 2016

Annisa



Ada berjuta-juta, bahkan mungkin miliaran orang bernama Annisa di muka bumi ini. Nama yang sangat jamak, pasaran, namun indah. Karena itulah banyak orang memakainya. Nama yang diambil dari bahasa Arab, perempuan. Ia juga abadi menjadi salah satu nama surah istimewa dalam Alquran. Ya, perempuan. Nama yang sangat Islami.
 
Ada banyak Annisa yang saya kenal sepanjang saya bersekolah dan kuliah. Kesatuan nama mereka umumnya senada: bahasa Arab atau bernada Islami semua. Namun, hanya satu Annisa yang saya kenal dengan perpaduan nama yang berbeda. Nama belakangnya Sigma Exacta. Mendengar kosakata ini, tentu saja saya (dan mungkin kalian semua) akan langsung membayangkan istilah-istilah dalam ilmu fisika atau matematika. Namun, ujaran apalah artinya sebuah nama (yang sebenarnya mampu disangkal, karena setiap nama sesungguhnya memiliki maksud) itu terlintas juga. Apakah seseorang tidak boleh menjadi presiden hanya karena namanya terdengar ndeso—Soeharto, Soekarno atau Jokowi? Apakah seseorang tidak bisa menjadi selebriti atau model papan atas lantaran namanya yang cuma Soimah atau Jono? Begitulah adanya, Annisa yang saya kenal dengan nama belakang Exacta bukanlah sarjana sains, teknik atau matematika. Ia sarjana humaniora. Alih-alih menyukai hitungan, sejak SMA ia sudah berada di kelas Bahasa, kuliah pun mengambil jurusan Sastra.

Jika dulu takdir menghendaki saya lolos seleksi masuk Sastra Jepang Universitas Indonesia, mungkin hari ini genap sudah sekitar enam tahun saya berkawan dengannya. Begitu pula sebaliknya, jika dulu takdir menghendaki ia lolos seleksi masuk Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, mungkin hari ini juga genap sudah sekitar enam tahun dia berkawan dengan saya. Namun, takdir kami berbeda. Ia menerima nasibnya sebagai mahasiswi Sastra Jepang UI, sedangkan saya, qanaah dengan ketentuan-Nya yang menggariskan saya sebagai mahasiswi Sastra Inggris UGM. Siapa sangka, Februari 2014 kami dipertemukan di satu ruang kelas sebagai teman satu angkatan, satu jurusan Pascasarjana Japanese Area Studies UI. Siapa sangka, saya yang “menyeberang”, dia yang “bertahan”. Jika kami sama-sama menyeberang atau sama-sama bertahan, mungkin pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Saya yang sejak semester awal kuliah S-1 merasa “salah jalur” dan tidak passion sudah merencanakan “alih jalur” sejak semester enam. Saya tulis di buku harian: setelah ini saya S-2 di sini, jurusan ini. Qadarullah, hal itu mewujud nyata. Meskipun tidak linier. Tapi, namanya juga ilmu. Belajar tentang Jepang sudah menjadi cita-cita saya semenjak SMP.

Namun tidak dengan Annisa, ia lebih memilih manut orang tua yang mengharapkan ia jadi dosen, padahal sebelumnya ingin “alih jalur” juga. Ketika beberapa orang memandang keputusan saya nyeleneh, saya rasa tidak dengan bagaimana ia memandang saya. Ahai, saya memang ‘si ungu’ yang cenderung memandang dunia dengan caranya sendiri dan terkadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Tidak pernah terbayang pula sebelumnya, kami akan dekat. Awal semester saya lalui dengan sakit-sakitan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sering absen dan seringkali jadi mahasiswi kupu-kupu. Tugas kelompoklah yang mengakrabkan kami di semester berikutnya. Hampir selalu satu kelompok, akrab perlahan, cerita-cerita pun mengalir dan bertukar satu sama lain. Ditambah lagi, sama-sama orang Jawa yang cenderung memiliki kesamaan dialek bahasa. Laksana menemukan oase, bisa bercakap-cakap menggunakan mother tongue kami di lingkungan heterogen seperti Depok dan Jakarta merupakan satu hal sederhana yang kami syukuri.

Begitulah, kami diakrabkan oleh waktu. Ada banyak cerita yang saya tumpahkan kepadanya dengan “semena-mena”, sementara ia dengan senang hati menyimak cerita saya dengan sabar dan seksama. Jika saya memang seratus persen plegmatis, seharusnya saya yang menjadi “tempat sampah”, bukan “tukang cerita”. Namun nyatanya, saya yang memang senang bercerita—baik melalui tulisan maupun lisan tak pernah tahan jika menyimpan segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang yang dianugerahi Allah kepribadian sanguinis—yang ibaratnya nggak ada lo nggak rame, Annisa tak banyak melimpahkan curhatan-curhatan panjang seperti saya. Hidupnya adalah ceria, bahagia dan penuh tawa, sepahit apapun duka yang dialami sebenarnya. Sehingga, tak heranlah ketika kisah-kisah saya yang menye-menye kadang ditimpalinya dengan candaan yang berakhir dengan tawa. Ah, saya tidak jadi menangis kalau sudah demikian. Seolah-olah saya begitu gloomy, sendu dan mudah sekali menitikkan air mata, sedangkan ia seolah matahari yang bersinar ceria mengusir mendung, sehingga hujan pun batal turun. Itulah gunanya sebuah beda.

Semester terakhir, saya memutuskan untuk pindah kos. Ujung-ujungnya, saya satu kos dengannya. Tak usah ditanya, sudah pastilah hampir tiap hari haha-hehe bersama. Makan bareng, ngampus bareng, nonton bareng, ke perpustakaan dan mengerjakan tesis bareng. Segala rupa peristiwa dan suka-duka semester terakhir kami lalui bersama. Saya, masih saja kerapkali melimpahkan curhatan-curhatan kepadanya. Seiring usia yang beranjak, seiring waktu yang menobatkan kami lulus magister, seiring hari-hari di depan yang menuntut banyak tanggung jawab, obrolan itu lantas tak pernah jauh-jauh dari bab masa depan. Masa depan yang masih misterius, abu-abu, random, susah diterka, namun tetap wajib diperjuangkan dengan kesungguhan.

Ibarat cerita di novel, ada suspense yang tejadi di chapter akhir masa saya di jenjang S-2. Ada ganjalan di salah satu dosen penguji yang tidak menyetujui tesis saya untuk diluluskan ketika itu. Terancam tidak lulus semester itu membuat saya lumayan terpukul. Berkat bantuan Allah Yang Maha Kuasa melalui dosen pembimbing tercinta, saya diperbolehkan merevisi tesis secara signifikan dalam waktu empat hari saja. Ah, ini sungguh masih mending daripada saya harus menambah semester. Namun tetap saja kalut, cemas, stres, hingga tidak doyan makan, berpadu menjadi satu. Berkat dukungan, motivasi dan doa dari semuanya (terutama doa ibunda), halang-rintang itu terlalui juga. Sebagai yang sudah berhasil lulus duluan, Annisa merasa segan menghubungi saya yang masih dirundung stres. Ia hanya menitipkan sebatang cokelat dengan disertai secarik pesan di atas kertas: percayalah bahwa semua ini akan berakhir esok hari. Ada perasaan haru sekaligus bersalah yang tiba-tiba menelusup, mereka semua tentu berharap kami bisa wisuda bersama-sama, dan kasus yang saya alami membuat mereka sedikit-banyak khawatir juga.

Akhirnya, 6 Februari 2016, kami resmi diwisuda. Ada bahagia yang meruap, tentu saja. Ada sejuta syukur yang mengendap. Namun, ada kesedihan yang ikut hadir, mengapa semua ini harus berlalu sedemikian cepatnya. Ada momen bernama “pisah” yang niscaya terjadi cepat atau lambat. Bagi orang-orang masa depan maupun masa kini, akan ada rindu yang “tak biasa”. Rindu kepada masa lalu. Pun kami nanti, akan rindu kebersamaan-kebersamaan sederhana yang sejatinya penuh makna. Rindu pulang berkereta sembari memperbincangkan hidup dan kehidupan, rindu makan bareng di warung pinggir jalan yang murah meriah, rindu mengerjakan tugas kuliah bersama, merindukan apa saja asalkan itu momen bersama.

“Mbak, beasiswa AAS lagi bukaan nih. Aku pengen nyoba. Kamu mau juga nggak?” tanyanya suatu hari. “Aku masih ingin mengejar mimpiku sekolah di negara yang berbahasa Inggris,” lanjutnya. “Aku salah tujuan. Hahaha.” Masih saja bisa bercanda. Saya menghela nafas, saya masih merasa bodoh, memang. Jika dituruti terus, ilmu tidak akan ada habisnya. Namun, impian saya tetaplah sekolah di Jepang, bukan Aussie. Masih saja, kami seolah memiliki ingin yang berbeda, dan itu ditukar pula dengan takdir yang tidak sama. Namun, tidak ada tujuan yang salah, sepanjang kita percaya bahwa Allah pasti memberikan segala sesuatu sesuai ikhtiar kita. Takdir-Nya pun kita tak bisa menerka.

 “Yang penting yakin, Sist,” itu yang akhir-akhir ini selalu dia katakan. Seolah memahami bahwa orang yang mudah ragu macam saya rawan terjatuh dalam kepesimisan. Ya, yakin. Bukankah sebagai seorang Muslim kita harus berprasangka baik kepada Sang Pencipta? Yakin bahwa Ia selalu mendengar doa-doa baik. Sementara keraguan yang seringkali saya pelihara bukankah dekat dengan prasangka buruk kepada-Nya? Astaghfirullah. Terima kasih telah mengingatkan saya. Ada banyak kepingan hikmah yang bisa kami ambil dari cerita-cerita yang saling kami lontarkan, dari perkara remeh-temeh hingga kegalauan yang memuncak.

Allah, terima kasih telah menghadiahi orang-orang baik dan luar biasa di sekitar saya.


“Wherever we’ll go after this, doesn’t matter how different the path that we’ll choose after this and whatsover, let’s be friend forever.”