Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Januari 2013

Membaca di Perpustakaan Kehidupan

Fragmen 1:

Saya tergesa mencari buku terkenal karya Eugene A. Nida di deretan buku-buku linguistik di perpustakaan fakultas saya. Buku tentang Syntax, Pragmatic, Semantic, Speech Act Theory, blablabla... dan nihil! Saya tak menemukan buku karya pakar translation itu. Seingat saya, dulu buku itu masih ada, dengan sampul merah fotocopyan yang sudah jelek, jadul, kusam, dan sobek-sobek. Buku satu-satunya karya Eugene A. Nida. Dan sekarang tidak ada? Entah hilang atau masih dipegang orang yang tak bertanggung jawab. Padahal saya jelas-jelas butuh buku itu untuk melengkapi theoretical framework di Chapter 2 graduating paper saya. Boro-boro bukunya Newmark, Catford, Basnett... aahh! Baiklah, akhirnya saya ngeluyur ke perpustakaan universitas tetangga.

Fragmen 2:

Perpus universitas S di kota Y. Tenang, lengang, sepi, plus AC-nya menggigilkan kulit ari. Perpustakaan pusat ini didesain cukup elegan. Rapi, bersih, nyaman. Beberapa buku incaran saya, akhirnya saya temukan di sana. Tapi ini terlalu sepi untuk ukuran perpustakaan universitas. Ke mana civitas akademikanya? Entahlah. Mungkin sedang kuliah. Orang-orang yang bertandang ke sana pun biasanya sambil mengetik sesuatu alias mengerjakan laporan, atau ada kepentingan dengan skripsinya. Kalau cuma iseng baca-baca doang ya jarang-jarang, padahal buku-buku perpustakaan universitas itu terbilang masih bagus dibanding kondisi buku-buku perpus fakultas saya yang sudah jadul dan jelek--membikin pengunjung malas melirik, kecuali satu: sedang ada kepentingan dengan tugas, paper, skripsi, tesis, atau disertasi.

Fragmen 3:

Sebenarnya saya tidak memiliki kepentingan ke perpustakaan fakultas P, hanya berniat menemani seorang kawan dari universitas lain yang sedang mencari referensi untuk skripsinya nanti. Setelah berputar-putar mencari letak perpustakaan fakultas P di lantai 3--olala! Jalan menuju ke sana tersembunyi sekali--menyodorkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) ke penjaga perpus, ditagih iuran sekian ribu, tapi apa? "Kalau skripsi tidak boleh dibaca sama orang luar, Mbak." Hening sejenak. Huaaa, kecewa pangkat sejuta. Justru tujuan saya ke sini ingin mencari contoh skripsi. Wah, lantas apa guna skripsi jika tidak boleh dipublikasikan ke khalayak? Boro-boro hasil penelitian mahasiswa yang sudah dibuat dengan jerih payah dan keringat berdarah-darah itu sampai dipublikasikan ke jurnal nasional atau internasional sebagai bahan telaah, dipinjam saja tidak boleh.

Fragmen 4:

Perpustakaan sebuah STKIP di kota P. Saya kenal baik dengan penjaganya karena beliau adalah rekan ibu saya sendiri, sesama dosen di sana. Dulu ketika masih SMP, saya sering 'menyusup' ke sana demi membaca buku-buku sastra karya Dewi Lestari 'Supernova' atau Seno Gumira Ajidarma--hingga saya yang dulu masih seimut itu dikira mahasiswa juga. Beliau tampak nelangsa. Di usia yang sudah beranjak tua masih harus setia menjaga perpus yang minim pengunjung. Beliau tampak berkawan akrab dengan koran harian, bertugas sambil menyimak koran, jika memang tak ada teman berbincang.

Fragmen 5:

Perpustakaan SMA saya di kota M. Sama saja, sepi. Baru ramai ketika guru menyuruh mencari referensi. Biasanya, mata pelajaran Bahasa Indonesia-lah yang sering membuat kami 'lari' ke perpus. Namun terkadang ingin terbahak jika ingat masa lalu, di sekolah bertaraf internasional itu--guru yang masih gagu ber-Inggris-ria, bahkan mengajarkan bahasa Indonesia menggunakan bahasa Inggris! Oh my God! Perpus sepi, ditambah penjaganya yang jutek, bikin siswa jadi malas berurusan dengannya dan segala tetek-bengek perihal perpustakaan. Toh jika kami memang butuh referensi untuk mengerjakan tugas, kami tidak akan bersusah-payah minggat ke perpus, cukup lari ke warnet dengan bekal uang lima ribu rupiah, browsing di sana selama dua jam, dan tugas pun beres.
Ah ya, meski perpus sekolah saya sepi dan penjaganya tidak cukup ramah menurut orang berkarakter plegmatis macam saya, terkadang saya menikmati berlama-lama membaca majalah-majalah di sana, Horison majalah sastra, atau Japan--majalah tentang Jepang yang berbahasa Inggris.

------
Ironis. Selain kondisi gudang ilmu yang tidak sip itu, minat baca masyarakat negeri ini juga masih terbilang rendah. Seperti yang termuat dalam Kompas.com (29 Februari 2012), bahwa angka produksi buku di Indonesia masih rendah. Tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul. Dari sisi oplah, Indonesia memang lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia. Untuk penerbit besar, umumnya satu buku dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Adapun di Malaysia sekitar 1.500 eksemplar per buku, atau hampir sama dengan penerbit kecil di Indonesia.Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta, tentu angka-angka produksi buku di Indonesia masih belum masuk akal. Kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/29/21400769/Minat.Baca.Indonesia.Masih.Rendah). Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia disinyalir sebagai negara yang minat bacanya paling rendah se-ASEAN menurut survei yang dilakukan UNESCO. (http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/26/20183631/Indonesia.Terendah.Minat.Bacanya.)

Di era internet dan gadget seperti sekarang ini, masyarakatnya mungkin lebih sering membaca facebook daripada book itu sendiri, menyimak update status rekan-rekan, dan mengabaikan hamparan ilmu di perpustakaan. Membaca SMS, membaca kicauan di twitter, dsb. Faktanya, penduduk Indonesia lebih banyak mencari informasi dari televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. (http://sahabatguru.wordpress.com/2012/08/29/fakta-minat-baca-di-indonesia/). Membaca televisi. Sementara kebanyakan tayangan televisi memuat program-program tak mencerdaskan seperti gosip, sinetron, dagelan, musik, mistik, dll yang disetel pagi, siang, sore, malam, hingga larut.

Apatah lagi tradisi menulis yang erat kaitannya dengan budaya membaca. Jika minat bacanya saja sudah rendah, sudah bisa diprediksi tentang minat menulis masyarakat yang malah lebih rendah. Padahal ilmu diikat dengan menuliskannya.

Coba bandingkan dengan Jepang (kejam banget perbandingannya. Hehe :p) yang seantero dunia juga sudah tahu perihal kemajuannya di bidang teknologi. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku (Karinda, 2009). Semenjak Restorasi Meiji, Jepang berupaya mengejar ketertinggalannya dari Barat. Ribuan buku-buku dari Eropa maupun Amerika diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Membaca di mana saja bukan hal yang tabu bagi mereka. Di bus, kereta, stasiun, bahkan toilet. Tak usah jauh-jauh deh, Malaysia juga berupaya menumbuhkan minat baca anak melalui orang tua. 

Sebenarnya negeri ini juga tengah berupaya menumbuhkan minat baca. Lihat saja, setahun berapa belas kali event pameran buku digelar di banyak kota? Toko buku pun menjamur di mana-mana. Namun, tidak semua orang di negeri ini mampu membeli buku. [Jangankan membeli buku, kaum pengamen dan peminta-minta berserakan memenuhi jalan hanya demi sekeping-dua keping recehan untuk sesuap nasi.] Setidaknya, eksistensi perpustakaan mampu mengatasi itu dengan asupan buku-buku bermutu, tanpa harus berpayah membelinya. Di sisi lain, melihat kondisi perpustakaan yang pelayanannya masih jauh dari kata memuaskan, salahkah menggantungkan harapan bahwa suatu saat nanti minat baca masyarakat Indonesia akan bergerak meningkat secara signifikan? Faktanya lagi, di negeri Zamrud Khatulistiwa ini masih banyak kelompok-kelompok yang belum tersentuh peradaban modern. Mereka cukup adem-ayem dan sejahtera berbaur dengan alam. Berburu, makan, tidur, berkeluarga, tanpa sekolah, tanpa baca-tulis--meskipun mereka juga berbahasa.

Ah ya, tak usah jauh-jauh melayangkan pikiran ke pelosok atau pedalaman negeri ini yang bahkan orang-orangnya berpakaian pun masih enggan, di lingkungan akademisi yang orang-orangnya terpelajar dan sanggup membaca banyak bahasa di dunia saja akses menuju gudang ilmu sungguh limited sekali. Maka jadilah orang-orang yang mengaku terpelajar, namun tak tahu sejarah, hingga berani berkoar tanpa dasar. Mengaku terpelajar, namun hanya berani hanyut dalam arus media tanpa mengkaji lagi faktanya. Mengaku terpelajar namun tak santun dalam pendapatnya. Ada aksi ya ikut-ikutan aksi, ada gerakan mengecam televisi ya ikut-ikutan mengecam televisi, teman-teman di kampus pakai jilbab ya ikut-ikutan pakai jilbab--kalau nggak ngampus auratnya kelihatan lagi. Tuh kan, belum baca redaksi dari Allah di Alquran surah Al-Ahzab:59. Maka, tak ada salahnya jika Ustaz Felix Siauw menyematkan julukan "Negeri Bebek", sebab masyarakatnya lebih suka membebek, hanya terperangkap dalam konsep what & how, tapi tidak mau belajar tentang why. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana caranya melakukan ini? Tetapi tidak, mengapa saya melakukan ini?

Di lain waktu, seorang kawan yang bertandang ke kamar saya mengomentari, "Bukumu banyak sekali. Suka baca ya?" Saya mengiyakan. "Memangnya kamu nggak suka baca?" balas saya. "Aku nggak suka baca buku kecuali kalau ada tugas yang mengharuskanku membaca." Padahal sudah sebesar ini, mahasiswa jurusan bergengsi di universitas nomor wahid pula, dan tidak suka membaca. Apa kata dunia? Bagaimana dengan membaca Alquran? Apa tidak dilakukan juga? Sedangkan kita sudah sama-sama mengerti, negeri dengan kapasitas penduduk Muslim terbesar di dunia ini harusnya faham perintah Tuhan: "Bacalah!"

Sekarang, di puncak keprihatinan, bolehlah kita berharap, suatu saat di negeri ini bertabur perpustakaan macam Handeligen Kamer di Belanda, Strahov Monastery Library di Ceko, Bibliotheca Alexandrina di Mesir, atau Trinity College Library di Dublin, Irlandia. Perpustakaan-perpustakaan dengan desain menakjubkan, yang membuat kita tertawan--tak hanya karena koleksi buku-bukunya, namun juga kenyamanan dan arsitekturnya. Dilengkapi dengan kecanggihan virtual book atau bahkan ada teknologi yang terinspirasi mantera sihir Hogwarts, di mana buku yang kita cari akan keluar dengan sendirinya seiring kita mengucap mantera? Tak ada lagi citra perpustakaan dengan rak-rak tua, buku-buku jadul yang kusam berdebu karena jarang dibuka, bau kapur barus yang menyengat indera penciuman, penjaga yang jutek ampun-ampunan, atau bahkan akan ada perpustakaan yang buka 24 jam (warnet saja 24 jam lho!).

Kapan? Suatu hari nanti. Insya Allah. :D

Perpustakaan Universitas Teknologi Delft Belanda memiliki bangunan yang tidak biasa. Hampir seluruh atapnya ditutupi dengan rumput. Malah, para pengunjung dan mahasiswa bisa duduk santai di atap rumputnya saat matahari sedang bersinar cerah.

Rabu, 07 November 2012

Parameter Sekufu





“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (An-Nuur:26)


Dalam sebuah proses pernikahan, apalagi ketika ta’aruf, dikenal adanya istilah “sekufu” atau “setara”, atau “selevel”, atau bisa juga kita artikan sebagai “kesepadanan”. Hal satu ini merupakan salah satu kriteria yang umumnya dicantumkan dalam memilih pasangan hidup. Ah ya, “setara” itu bisa diartikan macam-macam sebenarnya. Lantas, “setara” seperti apa yang harus dipertimbangkan ketika ta’aruf?
Mengutip firman Allah dalam surat An-Nuur ayat ke-26, bahwa wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Begitu pun sebaliknya, lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Yang buruk hanya tertakdir untuk yang buruk pula. Benarkah selalu seperti itu? Jika kita runut sejarahnya, nyatanya Fir’aun yang lalim malah beristrikan Asiyah yang shalihah—sang penghulu wanita-wanita di surga. Wallahu’alam. Artinya apa? Allah salah memberi janji? Oh, tentu tidak. Dengan ayat itu Allah memperingatkan kepada umat Islam agar memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, bukan manusia yang buruk. Sebab pasangan (suami-istri) adalah layaknya pakaian, yang saling melengkapi. Bagi yang belum menikah, mungkin bisa diibaratkan masih “telanjang”. Saling melengkapi, karena satu sama lain masing-masing memiliki kekurangan yang harus dilengkapi, memiliki kelebihan untuk melengkapi. Alangkah naif jika ada pasangan yang bercerai hanya karena dalih “tidak cocok lagi”. Analogi sepasang sepatu, jika kanan dan kiri sama persis, apakah bisa dipakai untuk berjalan? Tentu tidak. Sepatu kiri dan kanan berbeda, biar bisa dipakai oleh kaki kiri dan kanan sehingga ia bisa berfungsi dengan baik.
Jika perbedaan adalah sebuah keniscayaan, lalu bagaimana kaidah “kesepadanan” atau “kesetaraan” dalam memilih pasangan hidup ini dimaknai?
Suatu ketika, ada seorang akhwat yang curhat bahwa terkadang ia memiliki perasaan tidak pantas untuk mendapatkan lelaki shalih, sebab ia sendiri merasa belum shalihah. Apakah itu artinya mereka tidak sekufu? Belum tentu.
Kata Rasulullah saw, seperti halnya kaidah menikahi wanita, lelaki pun dinikahi karena empat hal; karena ketampanan, keturunan, harta, dan agamanya. Tentu saja yang diutamakan adalah yang terakhir. Ada hadis yang mengatakan, “Bila datang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang), maka nikahilah ia. Bila tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.” Maka, bukan tidak pantas mendapatkan yang shalih, namun belum pantas. Caranya, ya memantaskan diri, menjadi semakin shalihah dari hari ke hari. Jika ingin mendapatkan jodoh yang hafiz, pantaskanlah diri terlebih dahulu dengan berusaha menjadi hafizah.
Bagaimana dengan pendidikan? Pendidikan pun bisa berarti macam-macam. Pendidikan formal, pendidikan agama, pendidikan non-formal? Tak jarang, banyak yang menaruh kriteria, jika sang istri sarjana, sang suami juga harus (minimal) sarjana. Takutnya nanti jika tingkat pendidikan sang suami lebih rendah levelnya daripada istrinya, ada gap tersendiri, ada dampak psikologis yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya. Misalnya, suami yang lulusan S1 intelektualitas dan wawasannya sekian persen, sementara istrinya yang cuma tamatan SMP kadar intelektualitasnya jauh di bawah itu. Kadang ketika mereka membicarakan sesuatu, nggak nyambung! Itu mungkin terjadi, meskipun tidak mutlak. Nyatanya, banyak lulusan S1 namun cupu-nya minta ampun. Relatif. Artinya, level pendidikan formal bukanlah sebuah parameter dalam memilih pasangan, meskipun boleh dimasukkan dalam kriteria karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Usia. Sudah jelas bukan. Suami berusia lebih muda daripada istri sah-sah saja. Sebagaimana Rasulullah saw pun lebih muda daripada istri beliau yang pertama, Khadijah radhiyallahu’anha. Sebab, usia yang lebih tua bukan berarti sudah lebih dewasa dan matang secara psikologis.
Fikrah alias pemikiran. Misalnya, bagaimana menikah dengan orang berbeda harakah? Jawaban yang pernah saya dapat dari beberapa ustaz, sebenarnya boleh-boleh saja, asalkan tidak beda akidah. Harus jelas dulu, fikrah yang berbeda itu di sisi yang mana? Namun, disarankan mencari pasangan yang fikrahnya sama, sebab itu berkaitan erat dengan visi dan misi pernikahan yang akan dibangun dalam kehidupannya. Jika akhwat X yang dulunya aktif dalam siyasiy alias perpolitikan menikah dengan ikhwan Y yang menganut pergerakan khilafah, bisa jadi akan terjadi benturan pemikiran sebab keduanya tidak senada. Namun, ada juga ustaz yang berpendapat, justru perbedaan harakah itulah yang diperlukan. Sebab, menikah adalah perintah li diiniha, bukan li harakaha.
Nah, bagaimana dengan muslimah yang menikah dengan laki-laki muallaf? Jelas nantinya malah sang istri yang mengarahkan suaminya untuk menjadi muslim yang baik. Atau sebaliknya, lelaki muslim yang menikahi perempuan muallaf. Tentu mereka belum sekufu dalam hal agama, sebab yang satu sudah berjalan jauh, yang satunya lagi masih belajar merangkak.
Apa pun itu, kaidah memilih pasangan berdasarkan agamanya adalah yang paling utama dalam Islam. Bukan berdasarkan nasabnya seperti tradisi orang Quraisy jahiliah, berdasarkan paras seperti orang Nasrani, atau berdasarkan harta laiknya orang Yahudi. Yang dimaksud sekufu dalam agama bukan lantas berarti yang setara dalam hal keluasan ilmu agamanya. (jika demikian, siapa pula yang sekufu dengan Rasulullah?) Namun, sekufu--sama-sama khusyuk, memiliki visi-misi dan cita-cita yang sama dalam membangun peradaban Islam melalui pernikahan.
Suatu hari datang tawaran kepada saya, seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sedang mencari calon istri. Kriterianya mengagumkan, guru bahasa Arab, hafalan Quran dan hadisnya mantap, dan pastinya pengetahuan agamanya luas. DEG! Sekufu-kah dengan saya yang bahkan belum bisa bahasa Arab? Saya lempar itu kepada kakak tingkat saya di kampus jurusan Sastra Arab (*ini agak menggelikan). Apa jawaban beliau? Kalau ada yang kriterianya bagus, shalih, dan ditawarkan kepadaku, ya sudah itu buatku saja. Kenapa harus orang lain? Memangnya kalau kamu bisa bahasa Jepang, apa suamimu nanti juga harus orang yang bisa bahasa Jepang? Nah!
“Permasalahannya bukan hanya pada tataran sekufu saja, namun saya belum siaaaappp.” Hm, lame excuse. Padahal upaya untuk selalu mengikhtiarkannya adalah bagian dari mujahadah.
Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii
fiddini waddunya wal akhirah.

Selasa, 27 Desember 2011

Menulis (Harus) Butuh Alasan

"Woy! Diriku, sebenarnya apa sih alasanmu menulis?"
Pernah suatu ketika, kutatap cermin dan berlagak bertanya galak seperti itu kepada diri sendiri. Ya, sebenarnya apa alasanku menulis? Teringat catatan seorang kawan tentang dalih menulis, dia mendaftar sekian alasan untuk itu. Lantas aku? Memang benar, alasan menulis tak cukup satu.

Hobi. Hobi muncul karena terbiasa, dan ada hal lain yang mendorongnya. Bermula dari kebiasaan membaca, kemudian tergerak untuk membikin hal yang serupa. Mulailah merangkai kata. Imitate what we have read. Meniru apa yang telah dibaca. Aku mulai menulis cerita jaman SD dulu. Kelas 4. Tokoh-tokoh fiktif yang kuciptakan adalah tokoh-tokoh binatang--terinspirasi cerita anak-anak di TV dan buku-buku dongeng. Kemudian perlahan mulai berkembang, dengan variasi bahasa yang bertambah-tambah seiring bertambahnya bacaan yang kulahap. Bukan hanya cerita fiksi, tapi aku yang masih SD mencoba membikin puisi, setelah mendapat pelajaran Bahasa Indonesia tentang puisi. Lambat-laun, puisi-puisi terserak itu menumpuk menjadi banyak. Unexpected aku bisa membikin puisi sebanyak itu. Puisi anak SD. Dunia ABG macam SMP menawarkan atmosfer yang berbeda tentunya. Gejolak. Jatuh cinta. Pencarian jati diri. Kesemuanya mengumpul jadi satu di benak, mendesak-desak, dan mungkin akan meledak, jika aku tak menuliskannya. Tong sampah, begitu istilahnya. Maka, mulailah aku menulis diary. Meniru judul salah satu novel Mira W., diary-ku pun kuberi judul "Dari Jendela SMP". Menjadi arsip rahasiaku yang orang lain tak boleh tahu. SMP mengenalkanku dengan jurnalistik. Menulis bermacam-macam tulisan. Dari puisi hingga membangun fiksi, dari artikel atau opini, feature, hingga resensi. Guruku seorang sastrawan lokal yang 'nyentrik', meski rada-rada killer. Namun, darinya lah aku belajar style bahasa yang lebih nyastra.

Lepas SMP, mantap kutuliskan mimpiku untuk masuk ke fakultas sastra di perguruan tinggi nanti. Ya, aku telah jatuh cinta pada sastra semenjak itu. Kemudian, cerpen-cerpen dan puisiku mengalir. Meski hanya untuk dibaca sendiri, kemudian disimpan dalam laci. Cerpen dan puisi yang notabene luapan perasaan. Masih sebatas tentang dunia ABG galau.

Titik balik. Aku memutuskan menutup aurat di tahun pertama SMA. Mulai aktif di rohis sekolah. Membuatku nyemplung dalam dunia yang sungguh berbeda daripada dulu. Mengenalkanku pada sebuah kebersamaan yang sungguh berbeda, memunculkan ghirah keislamanku yang dulu sempat terkikis. Rupa-rupanya ini mempengaruhi tulisan-tulisanku. Jika dulu masih seputar teenlit yang gaul-gaul, sekarang mulai mengandung muatan religi. Ada nilai islami yang nempel, meskipun tak mendominasi. Kegiatan menulis diary semakin kerap, seiring kegalauan yang semakin bertumpuk. Justru inilah yang mengasahku menulis. Biarpun jelek, toh yang baca diri sendiri. Aku meyakini, menulis diary adalah bagian dari psychotherapy, upaya kita untuk berdialog dengan diri sendiri, menyemangati, memotivasi. Bacaanku, tentu saja semakin luas, dan buku-buku Islami semakin memenuhi lemari bukuku.

Alasan menulisku yang tadinya hanya untuk "nyampah", kemudian perlahan bergeser. Meniatkan segala sesuatu karena Allah. Begitu pun, menulis harus karena Allah. Menulis adalah ibadah. Menyampaikan kebermanfaatan kepada orang lain. Sebagaimana Rasulullah bersabda, manusia yang bermanfaat adalah manusia yang memberi manfaat kepada manusia lain. Memberi menfaat bisa dengan banyak cara. Coretan di kertas buram bisa menjadi suatu yang sangat berharga, karena kata-kata di sana.

Pernahkah meniatkan menulis untuk popularitas? Aku mau nulis novel ah, diterbitkan, kemudian namaku akan dikenal. Bahaya! Tak perlu repot-repot menulis untuk jadi terkenal, pikirku. Bakar saja sekolahmu, pasti kau akan diuber reporter, masuk koran, headline news, dan namamu akan dikenal banyak orang. Mengerikan!

Bagaimana menulis dengan niatan untuk laku dijual? Boleh-boleh saja, namun selama kita masih berproses menjadi penulis, hapus dulu alasan ini dalam benak. Kembalikan saja ke alasan terdahulu, menulis dalam kerangka ibadah kepada Allah. Ikhlas. Kalau pun tulisan kita ditolak media, tak laku, dan semacamnya, niat kita menulis untuk mendapat ridha-Nya akan tetap berbuah pahala.

Maka, jika Pak Taufiq Ismail punya empat alasan kenapa beliau harus menulis puisi, maka aku cukup satu alasan penting yang mendasari segalanya; "lillah!"

Cintailah kata, sebagaimana engkau mencintai kebenaran. Cintalah pada sastra, sebagaimana engkau mencintai dakwah. Sebab sejatinya, sejarah Islam ditulis dengan merah darah para syuhada dan hitamnya tinta para ulama.

Setiap kita adalah penulis (minimal penulis SMS--kata Pak Ahmad Fuadi). Maka, tak ada cara lain untuk memulainya; tuliskan!





Rabbi, jangan biarkan diri ini "futur" menulis (dan mengetik).
Yogyakarta, 16 Desember 2011. Di sela rintik hujan.