Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Juni 2017

Alasan







“Rum... Rummana.”

Angin malam yang berembus perlahan membelai ujung kerudung panjangnya. Sudah malam ke sekian ia menghabiskan waktu sendirian di beranda usai sembahyang isya, setidaknya sebelum matanya mulai berat tanda mengantuk. Segenggam aroma kenanga di pekarangan yang terbawa angin menyentil saraf olfaktorinya. Kelakar ibunya, “Hati-hati, pertanda jin datang, mulai tertarik padamu yang sendirian.”

“Rummana, apakah kau pernah bertanya, apa alasan Robby memilihmu menjadi istrinya?”

Suara-suara itu lagi. Muncul begitu saja menggedor-gedor bilik jiwanya. Pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini ramai nan gaduh di ruang batinnya. Lalu, dengan segenap kesadaran, ia akan mulai memikirkan jawabannya, mencerna letak rasionalitas jawaban lelaki itu. Sayangnya, masih selalu berujung jawaban yang sama.

“Sudah. Jawabnya, firasat yang dititipkan semesta.”

“Tidak bisa begitu, Rummana. Ada asap pastilah ada api. Tak mungkin sebuah akibat terjadi tanpa adanya sebab yang mendasarinya. Kau sudah pernah bertanya berapa kali?”

“Berkali-kali.”

“Ayolah, Rummana, perempuan buah delima yang diidamkan banyak adam, kau tidak sebodoh itu, bukan? Coba susun ulang kalimat tanyamu menjadi: ‘Apa yang bisa meyakinkanku untuk menerimamu?’ Jika Robby kelimpungan menjawabnya, kau bisa mempertimbangkan untuk menutup pintu saja.”

“Alasannya sesungguhnya sederhana. Aku cantik hati dan menenteramkan jika dipandang, ucapnya.”

“Itu alasan standar. Semua laki-laki yang berniat meminangmu juga bisa beralasan hal yang serupa. Bisa jadi jika ia melamar perempuan lain, alasan yang dimilikinya juga sama. Hati-hati, Rum. Hari ini yang terlihat baik belum tentu baik. Cantik dan salehah? Kukira, banyak sekali yang jauh lebih cantik dan salehah daripada kamu, perempuan asing yang dahulu hanya ia kenal lewat nama, selain rentang jarak yang demikian jauhnya. Lagipula, ah, banyak sekali kekuranganmu. Apakah ia bersungguh-sungguh mau menerima? Apakah kamu berani menjamin bahwa nanti dia tidak kecewa?”

“Dengan sepenuh kesadaran, apalah artinya seorang Rummana, selain seorang hamba yang ditutupi aib-aibnya oleh Yang Maha Kuasa. Namun, suatu hari Robby mengulang cerita itu, kisah yang sudah tak asing di telingaku. Seseorang yang tengah berjalan di hutan mencari bunga idaman. Setiap kali langkahnya berjalan ke depan, ia selalu menemukan bunga yang lebih cantik daripada sebelumnya. Ia berekspektasi, bunga-bunga di depan sana pasti akan lebih cantik. Ia meneruskan langkah hingga tak sadar bahwa ia telah keluar dari hutan tanpa membawa satu pun bunga.

Robby tak ingin mencari sempurna, pun aku. Ia hanya yakin pada hatinya, usai meminta petunjuk kepada Sang Pemilik Hati. Sementara aku, yang masih saja terjebak pada segudang tanya, hanya meyakini bahwa seseorang datang bukanlah suatu kebetulan tanpa rencana, melainkan digerakkan oleh Yang Maha Memiliki Hati. Bahwa takdir akan menemukan jalannya dengan cara yang tak pernah kita terka. Bahwa frekuensi-frekuensi yang sama akan dipertemukan semesta dengan caranya masing-masing.

Ada kalanya, kita memang harus berhenti mempertanyakan sesuatu yang mungkin tak bisa dijelaskan, susah dijabarkan, dan di luar jangkauan daya nalar kita yang serba terbatas ini. Ada kalanya, suatu hal memang begitu rumit, abstrak, absurd, tak berpola, tak diketahui rumusnya, dan tak akan bisa dicerna menggunakan logika. Ada kalanya kita memang harus berhenti mencoba menguraikan segala sesuatu yang tak terjemahkan, sulit terejawantahkan, lalu membiarkannya hadir begitu saja sebagai ayat-ayat semesta. Ada kalanya kita harus mengistirahatkan pikir, memperpanjang zikir, lalu tabah menerima ketentuan yang digariskan Sang Pengatur Takdir.”

“Jadi, kamu sudah menyerah dan membungkam mulutmu untuk tidak bertanya mengapa pilihanmu jatuh kepadaku lagi?”

“Sesungguhnya, selalu tersedia jawaban atas ‘mengapa’ yang kita lontarkan. Selalu ada alasan atas pertanyaan-pertanyaan di balik setiap kejadian. Bahwa untuk sebuah ketentuan yang paling teka-teki alias misteri, Allah pastilah tidak menentukan takdir seseorang layaknya mengocok lotre bak bermain undian dalam arisan, bukan? Hanya saja, seringkali alasan itu tersembunyi di balik langit, menjadi rahasia-Nya sepenuhnya. Terkadang, aku sudah tak lagi memerlukan alasan itu.”

“Mengapa?”

“Haruskah ada alasan bagi badan, untuk mencintai rusuk yang menjadi bagiannya?”

Suara-suara gaduh di bilik hatinya berhenti bertengkar. Rummana merapatkan baju panjangnya. Dingin hawa malam yang kian larut mulai menyentuh jemarinya, namun ia masih mengetik. Teh melati di cangkir keramiknya telah tandas sedari tadi, mengundang semut-semut yang selalu peka aroma gula.

Tiba-tiba ponselnya berdenting. Seseorang mengirim pesan malam-malam.

“Rum... Rummana, perempuan buah delima, esok aku akan datang. Ada titipan dari ibu, delima matang-matang dari kebun belakang.”

Perempuan berkerudung panjang itu tersenyum. “Ah, Robby...”






Baiti jannati, 4 Juni 2017

Sabtu, 29 April 2017

Jalan Pulang




Two roads diverged in a yellow wood
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth

-Robert Frost-

Jika setiap jalan lurus tanpa kelokan dan tanjakan, jika setiap kisah selalu bermuara pada ekspektasi sebelumnya, jika semua cerita selalu berakhir bahagia tanpa kegagalan-kegagalan yang menjadi konfliknya, bisa jadi akan sulit sekali syukur terucap dari bibir kita. Bisa jadi pula kita yang lemah ini tak akan kunjung menarik pelajaran demi pelajaran yang dihidangkan semesta.

Setiap jalan adalah rawan, mengandung bahayanya masing-masing. Dan kita sepenuhnya berhak menentukan jalan mana yang paling aman, meski itu semua menghajatkan hati yang lapang, kesabaran tiada berbatas, serta sepasang kaki yang kuat untuk terus melangkah.

Mungkin jalan itu terjal mendaki. Mungkin ruas jalan yang kita tempuh tak pernah luput dari semak belukar maupun duri-duri yang menajam. Mungkin bentangan jalur yang harus dilalui itu menikung-nikung, naik turun, dan berkelak-kelok. Namun, untuk sebuah tempat pulang paling lapang yang kelak akan kita temukan setelahnya, tak ada perasaan paling melegakan selain bahagia, tak ada ungkapan paling merdu selain kesyukuran yang tak terungkapkan oleh kata-kata.

Untuk segala ujian sepanjang perjalanan, semoga tak ada sesal yang hinggap, tak ada sedih yang turun, tak ada dendam yang mengendap bertahun-tahun. Kita tak akan menyesali pilihan yang telah kita ambil, walaupun mungkin pilihan itu pada akhirnya menemui titik gagal yang membuat kita tak bisa meneruskan perjalanan. Kita hanya perlu memutar arah, kemudian mengusahakan jalan-jalan lain yang disediakan oleh tuhan. Seraya berprasangka baik bahwa kemudahan-kemudahan akan selalu dihadirkan, seiring kuatnya munajat dan ikhtiar yang benar.

Kita percaya, suatu saat kita akan pulang ke tempat terbaik, kita juga percaya cepat atau lambat segala cerita ini akan mencapai ujung pangkal alias ending-nya. Meski lamanya waktu dan kerasnya upaya menjadi syarat yang harus ditunaikan sebelumnya. Meski konflik demi konflik menjadi penghias alurnya. Meski kita tidak benar-benar tahu ujung pangkal segala cerita ini akan seperti apa, itu rahasia-Nya. Lambat laun kita akan memahami, betapa baiknya Allah ta’ala yang selalu menghadirkan tanda-tanda bagi setiap pengelana. Kita semakin yakin bahwa setiap yang istimewa tak akan diraih dengan mudahnya. Semoga kuat melangkah seraya menguntai kesabaran yang tiada berbatas, esok dan seterusnya.

Senin, 12 Desember 2016

Cinta Laki-Laki Biasa: Haruskah Ada Batas Bagi Cinta?


Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang sebagai manusia. Di mana iman, di mana tawakal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Saya menemukan kalimat itu di sebuah buku berjudul Emak Ingin Naik Haji, buku kumpulan cerpen karya Asma Nadia yang terbit tahun 2009. Hampir semua cerita pendek dalam buku itu mengharukan, dan Cinta Laki-Laki Biasa adalah salah satunya. Emak Ingin Naik Haji, cerpen pertama di buku tersebut telah dilayarlebarkan pada 2009. Tak dinyana, Cinta Laki-Laki Biasa, cerpen pamungkas di buku itu menyusul beralih wujud menjadi film dan tayang pada 1 Desember 2016. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah karya yang rampung ditulis tahun 2005.

Nania dan Rafli—dua tokoh sentral dalam cerita ini digambarkan sebagai dua orang yang sangat berbeda. Muhammad Rafli Imani dideskripsikan sebagai seorang laki-laki yang serba biasa. Berasal dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa (hanya tamatan D3), berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Sementara, Nania sebaliknya. Nania Dinda Wirawan adalah bungsu dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan. Seperti kakak-kakaknya, Nania cantik, berwajah indo, berasal dari keluarga kaya-raya, berprestasi, sarjana Teknik Arsitektur yang sukses dalam kariernya

Pertemuan Nania dan Rafli berawal dari kerja praktek Nania di sebuah proyek perumahan yang dimandori oleh Rafli. Benih kekaguman mulai hadir sejak pertama kali Nania mengenal Rafli, apalagi ketika dijumpainya lelaki itu tengah mendirikan salat dengan kusyuknya di tempat proyek, di atas tanah merah, di antara truk-truk besar pengangkut bahan bangunan

Usai beberapa kebersamaan yang mereka lalui, Nania tanpa sungkan meminta Rafli hadir di wisudanya. Namun, Rafli tahu diri. Pada hari ketika Nania memakai toga, Rafli mengurungkan niat menemui Nania. Disimpannya kembali bunga mawar putih dan plakat bertuliskan ucapan selamat. Apalagi setelah ia tahu tentang keluarga Nania yang perlente, juga kehadiran sosok Dokter Tyo, pria yang digadang-gadang keluarga besar Nania sebagai calon suaminya.

Dua tahun berlalu dan Rafli menghilang begitu saja dari kehidupan Nania. Ia mempersiapkan rumah masa depan bagi keluarga kecilnya kelak. Rumah sederhana yang serambinya ia penuhi dengan pot-pot bunga mawar putih. Juga sebuah ruangan khusus yang ia persiapkan bagi pendamping hidup, meski belum tahu siapa. Ia harap perempuan itu adalah Nania, sang arsitek hebat.

Rafli kemudian memutuskan untuk menemui Nania di tempat kerjanya. Dibawanya mawar putih dan plakat bertuliskan ucapan selamat yang dulu urung ia serahkan. Di scene itu pula, Rafli memberanikan diri mengajak Nania taaruf. Meski awalnya ada beberapa tanya yang ia lontarkan, namun akhirnya Nania setuju.

“Lelaki yang berani mengajak seorang perempuan untuk taaruf, itu artinya dia yakin bahwa perempuan itu akan cocok untuknya,” ucap Rafli.

Maka, suatu hari diajaknya Rafli menemui keluarga besar Nania untuk meminta izin menikahi Nania. 

“Kenapa? Kenapa harus dengan laki-laki itu?”

Pertanyaan itu mengudara di sela shock yang sudah lebih dulu menyerang keluarga Nania yang kaya. Sebab Rafli hanya laki-laki biasa. Pendidikan biasa, penampilan biasa, pekerjaan dan gaji yang juga biasa. Berbeda dengan putri bungsu mereka. Sama sekali tak imbang!

Namun akhirnya mereka menikah, meski ibunda Nania masih berat hati. Restu yang setengah-setengah menjadi ganjalan dalam kehidupan pernikahan mereka kemudian. Intervensi ibu dan kakak-kakak Nania yang terlalu khawatir dan skeptis terhadap suaminya, Rafli yang sering dipojokkan dan direndahkan di hadapan orang tua dan kakak-kakak Nania.

Cobaan berat datang saat buah hati mereka sudah dua. Nania kecelakaan dan menderita amnesia. Ia bahkan tak ingat siapa suami dan anak-anaknya, membenci Rafli yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya.

Rafli tabah menerima segalanya. Ia menjadi ibu sekaligus ayah, menggantikan Nania mengurus Yasmin dan Yusuf, dua bocah buah hati mereka, selama Nania dirawat di rumah sakit.

Meskipun terkesan begitu fiktif di beberapa bagian dalam film ini, kisah cinta beda “strata” seperti Rafli dan Nania sebenarnya merupakan hal yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata. Kisah Rafli dan Nania merupakan sebuah otokritik terhadap klaim bibit-bebet-bobot pada calon pasangan, yang umumnya dikatakan bahwa laki-laki harus mapan, rupawan, dan berasal dari keluarga terhormat (dalam pandangan manusia). 

Telah banyak kisah cinta serupa yang digoreskan. Saya teringat cerita yang saya tulis sendiri, judulnya Aku Mencintaimu dalam Gulita. Tentang Layla dan Yusuf, sepasang suami-istri tunanetra. Saya teringat pula akan karya fenomenal Asma Nadia lainnya yang juga telah difilmkan, Assalamualaikum Beijing. Tentang Zhong Wen yang mencintai Asmara setulus-tulisnya, meski perempuan itu sudah tidak sempurna lagi secara fisik. 

Zhong Wen berujar kepada Asmara, “Tidak butuh fisik yang sempurna untuk memiliki kisah cinta yang sempurna.” 

Ah, maafkan saya, mungkin memang terlalu naif membandingkan cerpen garapan saya yang ala kadarnya dengan novel laris Asma Nadia. Namun intinya serupa, ketika cinta telah menyentuh titik terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Begitu pun dengan Bidadari Senja (2005), cerpen yang ditulis Sakti Wibowo itu berkisah tentang seorang perempuan yang memilih suami karena akhlak dan agamanya, meski suaminya tersebut cacat. Ketika cinta telah menyentuh titik terdalam di palung nurani, sekat-sekat duniawi tak lagi berarti. Sebab yang menjadi tolok ukur adalah seberapa besar cinta dan ketaatan kepada Sang Maha Pemilik Cinta itu sendiri.

Sebagai pemirsa, lagi-lagi saya mendapatkan pesan bahwa kebahagiaan selalu bertaut mesra dengan kesederhanaan. Nania menolak barang-barang mewah pemberian ibu dan kakak-kakaknya, ia sepenuhnya rida dan bahagia hidup dengan nafkah suaminya yang tidak seberapa. 

“Untuk apa ranjang yang mewah dan mahal, jika seorang anak tidak mendapatkan kehangatan kasih sayang kedua orang tuanya?”

Layaknya film-film yang diadaptasi dari buku lainnya, cerita dalam film ini pun mengalami modifikasi. Di cerpen diceritakan bahwa Nania koma, kritis setelah berjuang melahirkan bayinya, sementara di film Nania kecelakaan lantas amnesia. Meski berbeda, namun esensinya tetap sama, tentang kesabaran dan keteguhan hati seorang suami sekaligus ayah mempertahankan setianya kepada perempuan yang harus ia jaga. Juga tentang hakikat sebuah penerimaan dari setulus-tulusnya hati. Tentang cinta luar biasa dari laki-laki yang sangat biasa.

Bagi saya, film ini pantas disaksikan beragam kalangan. Meski terselip nilai-nilai relijius, itu tidak serta-serta membuat film ini distempel dengan kategori film Islami, yang bisa jadi justru menciptakan batas tertentu dan penontonnya tidak bisa meluas. Saya tertarik dengan terminologi taaruf yang diselipkan di film ini, sementara di sisi lain, tokoh sentralnya sendiri—Nania, perempuan yang bahkan belum berhijab. Tokoh Nania tidak serta-merta diciptakan dengan atribut “suci” yang melekat padanya, berhijab lebar, baju longgar, lengkap dengan kaos kaki misalnya. Tokoh-tokohnya dihadirkan apa adanya. Natural. Saya kira, inilah kelebihan Asma Nadia sendiri sebagai penulisnya. Mampu mengangkat hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang terbentang megah dan sarat akan pelajaran.

Cinta Laki-Laki Biasa meninggalkan pesan yang tidak sederhana di hati pemirsanya. Lantas, sudahkah kita jatuh cinta melalui mata hati?

Sabtu, 22 Maret 2014

Syair Keadaan & #ASEANLitFest

Well, readers, berhubung sudah dekat dengan momen pemilihan umum, tiba-tiba saya ingin memposting puisi penyair Wiji Thukul yang bebaitnya saya comot dari galeri puisi Tribute to Wiji Thukul di Asean Literary Festival, Sabtu 22 Maret 2014.



 
Doc. +Lia Wibyaninggar 


Syair Keadaan - Wiji Thukul

Kalimat-kalimat kotor
menghambur dalam gelap
membawa bau minuman
keringat tengik
dan kesumpekan

Ibu-ibu megap-megap
mengurus dapur suami dan anaknya
harga barang-barang kebutuhan makin tinggi
kaum penganggur sambung-menyambung
berbaris setiap hari
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Leleran keringat dan kacaunya pikiran
keputusasaan dan harapan yang dipaparkan iklan-iklan
siang malam membikin tegang

Dan di sana kaum tani
dipaksakan menyerahkan tanahnya
dan di sana pabrik-pabrik memecat buruhnya, memanggil tentara
karena ada aksi mogok di depan kantornya
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Hujan turun
got-got meluap
banjir datang
bingunglah rakyat

Gunung-gunung digunduli
hutan-hutan dibabati
cukong-cukong kongkalikong
para birokrat mengantongi uang komisi
karena memberi lisensi
dan para pemilik modal besar
terus mengaduk-aduk
menguras mengisap isi bumi
dan parpol-parpol

halo!
selamat pagi!

hujan turun
got-got meluap banjir datang
menenggelamkan rumah-rumah rakyat
dan parpol-parpol

halo!
kita nanti ketemu dalam pemilu lima tahun lagi!



Solo, Jagalan
Kalangan, 02-02, 1989


Maka lihatlah, syair itu telah berumur tua sekali, ditulis pada 1989. Ketika di era sekarang puisi itu dibaca lagi, persoalan lama tetap terasa hingga kini. Dan parpol-parpol sibuk sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu ramai. Hingar bingar. Milyaran rupiah dihabiskan demi kampanye, mengiklankan diri, meminta dipilih, disertai milayaran janji untuk rakyat dan negeri, ah.. pesta demokrasi. Tak ayal korupsi masih selalu menggejala dalam tubuh bangsa ini, melesap ke sendi dan urat nadi. Dari akar rumput hingga puncak menara gading. Bagai budaya yang seakan menjadi tabiat orang-orangnya. Yang di atas menyuap, yang di bawah mau disuap. Ahai, saya jadi ragu apakah kita benar-benar merindukan figur seorang pemimpin sejati. Atau enyah sajalah, pemimpin sejati yang bersih dari korupsi hanya ada dalam mimpi utopis yang tak berkesudahan sampai entah kapan. Kemudian keinginan membebaskan tanah air dari penjajahan masa kini mungkin hanya sekadar simulakra belaka.

Lantas? Ketika puisi itu dibaca lagi lima tahun kemudian, bisa jadi persoalan dan temanya tak akan pernah basi. Berulang dan berulang lagi. Dan parpol-parpol sibuk sendiri-sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu hingar bingar. Sementara penyair, menulis dalam sepi, mengobati luka hatinya dengan puisi.

"Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara." (Seno Gumira Ajidarma)


Here are some pictures captured by my Fujifilm:




Lendabook.co stand @Publishers Corner

Literary Zone: a space for literary discussion w/ some writers
A big red capital letters "Sastra" at the front gate, symbolizing bravery, the power of literature