Tampilkan postingan dengan label sahabat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Oktober 2016

Terbaik: Obrolan Sepintas Lalu





A: Pernah ingin suatu hari dilamar oleh sarjana Teknik Kampus Perjuangan. Tapi nggak maksa kok. Hehe. Maunya juga anak ITB atau IPB. Ya Allah... banyak maunya gue ini.

B: Bagusan anak ITB, Kak. Lebih teryakini. Wkwk. Yang punya Bukalap*k kan anak Teknik, siapa tahu dapat yang punya.

A: Ckckck.

B: Tapi jangan salahin deh kalau ternyata yang punya udah punya istri.

A: Udaaaah punya istriii diaaa, Dek.

B: Kayaknya udah punya anak deh, Kak. Tapi kan dia ada timnya juga, siapa tahu ada salah satu. Siapa tahu dapat yang keren, saleh, lulusan ITB, gundul. Gak papalah.

A: GUNDUL??? GAK!

B: Semakin gundul semakin pintar, Kak.

C: Kenapa sih orang-orang menganggap Teknik itu keren? Kalau nggak gitu ya Kedokteran. Kenapa nggak ingin dapat suami tuh anak Sastra gitu. Apa karena mostly anak Sastra gak necis dan berantakan? Sebel gue, keren kok dilihat dari latar belakang keilmuan.

B: Setuju sama Ummi. Jurusan gak mutlak memengaruhi bagaimana seseorang. Intinya tergantung orangnya.

A: Sabar... Aku sih lebih ke karakter orangnya. Nah, jurusan biasanya (biasanya loh ya) bisa memengaruhi karakter sehariannya, Umm. Misal, seperti diriku, walau aku puitis, aku gak suka laki-laki yang puitis. Aku lebih suka dia yang cuek (cuek perhatian) biar gak bikin gue mual.

B: Kakak puitis ya? Hahaha.

C: Memang. Tapi Ummi agak trauma sama anak Teknik. Kaku gak jelas gimana gitu. Beda banget sama Ummi yang dikit-dikit ketawa, dikit-dikit ngelawak. Kan gak lucu nanti Ummi hidup sama orang serba kaku dan jarang ketawa, nanti garing macam ngomong sama batu. Alur berpikirnya juga beda. Hahaha. Bubar ajalah.

A: Nah, iya, kembali ke orangnya, tapi sejauh ini, sekian tahun di kelas sastra, tetap saja tak pernah membuatku merasa tertarik dengan kepribadian satu pun di antara mereka. Berdasarkan teori yang kupelajari di kelas tadi, itu namanya reality as experience. Ada faktor pengalaman individu di dalamnya sehingga membuat satu konsep dalam dirinya akibat pengalaman pribadi, terutama trauma itu.

B: Haha. Mungkin karena dia berteman sama orang-orang kaku juga, Umm. Lingkungannya juga keras, tegas, iya ya iya, enggak ya enggak, sekali ketawa dibentak sama bos #eh. Plus saat itu mungkin yang bersangkutan sedang stres pangkat 100.

A: Senangnya dengan Adek ini ialah prasangka baiknya tinggi. Tapiiii, semua tetap bisa disimpulkan bahwa jodoh sudah ditakdirkan oleh Allah. Siapa pun dia, dialah cerminan siapa kita, dialah yang TERBAIK bagi kita. Latar jurusan apa pun itu. Dialah yang terbaik. Terbaik. Terbaik. Entah itu Kedokteran, Teknik, Sastra, Tata Boga atau apa pun. Banyak juga kasusnya anak-anak Teknik tapi gak terstruktur ngurus diri. Sebaliknya, anak Sastra ada yang terstruktur.

B: Di kuliah pun dosenku ngajarinnya gitu, Umm. Biasanya dosen itu bilang, “Kalian itu Teknik, harus jelas, tegas, jangan loyo, buat apa banyak ketawa tapi hasil nihil. Jangan kalian ngasih A, tapi orang nangkapnya B. Kalian harus bersaing dengan teknologi dan engineer luar apalagi MEA, kalau nggak mau ya sudah, keluar dari Teknik.” Sampai pusing dengerin dosen ngomong begini, ya Allah... Intinya sih gitu. Jadi emang dididik keras dan to the point. Lingkungan menuntut kita untuk begitu. Apalagi yang Teknik dengan kemampuan matematika, analisa, dan software yang expert, itu ketawanya kapan.. NB: bukan ngebelain anak Teknik.

A: Tapi gak suka aja dengan anak Teknik yang ngomong, “Maklumlah, kan anak Teknik,” ketika ditanya mereka belum lulus. Huhu. Seolah-olah kami yang Sastra ini skripsinya hanya remah-remah. Padahaaaaaal kan analisis pakai otak yang gak perlu ke lapangan itu gak sesederhana yang mereka pikirkan. Helloooww!

C:  Benar kata-katamu, Dek. Analisis Ummi juga begitu. Karakternya bisa jadi dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan plus lingkungan kerja yang juga keras. Sebaliknya, orang-orang sosial dan cultural sciences cenderung dibesarkan dengan pola pikir serba relatif. Makanya, agak kurang nyambung kalau disandingkan dengan orang Teknik atau Eksak yang pola pikirnya sudah seperti yang Adek bilang. Tapi, balik lagi, kita tak boleh menggeneralisir.

B: Ummi sama Kakak lagi project bikin novel ya? Jadi pengen nulis buku juga, tapi ilmunya masih belum siap. Karena nulis harus banyak baca. Semoga suatu saat bisa nulis buku. Aamiin.

C: Ah, sudahlah. Quote for tonight: “Mengapa dia pergi? Karena kau berdoa pada Allah agar diberikan yang TERBAIK, dan dia bukanlah orangnya.”

A: Setiap yang datang dan pergi dari hidup kita akan memberi pelajaran berharga bahwa Allah-lah satu-satunya tempat pengharapan yang tak mengecewakan.

B: Trueee!

Jumat, 26 Februari 2016

Annisa



Ada berjuta-juta, bahkan mungkin miliaran orang bernama Annisa di muka bumi ini. Nama yang sangat jamak, pasaran, namun indah. Karena itulah banyak orang memakainya. Nama yang diambil dari bahasa Arab, perempuan. Ia juga abadi menjadi salah satu nama surah istimewa dalam Alquran. Ya, perempuan. Nama yang sangat Islami.
 
Ada banyak Annisa yang saya kenal sepanjang saya bersekolah dan kuliah. Kesatuan nama mereka umumnya senada: bahasa Arab atau bernada Islami semua. Namun, hanya satu Annisa yang saya kenal dengan perpaduan nama yang berbeda. Nama belakangnya Sigma Exacta. Mendengar kosakata ini, tentu saja saya (dan mungkin kalian semua) akan langsung membayangkan istilah-istilah dalam ilmu fisika atau matematika. Namun, ujaran apalah artinya sebuah nama (yang sebenarnya mampu disangkal, karena setiap nama sesungguhnya memiliki maksud) itu terlintas juga. Apakah seseorang tidak boleh menjadi presiden hanya karena namanya terdengar ndeso—Soeharto, Soekarno atau Jokowi? Apakah seseorang tidak bisa menjadi selebriti atau model papan atas lantaran namanya yang cuma Soimah atau Jono? Begitulah adanya, Annisa yang saya kenal dengan nama belakang Exacta bukanlah sarjana sains, teknik atau matematika. Ia sarjana humaniora. Alih-alih menyukai hitungan, sejak SMA ia sudah berada di kelas Bahasa, kuliah pun mengambil jurusan Sastra.

Jika dulu takdir menghendaki saya lolos seleksi masuk Sastra Jepang Universitas Indonesia, mungkin hari ini genap sudah sekitar enam tahun saya berkawan dengannya. Begitu pula sebaliknya, jika dulu takdir menghendaki ia lolos seleksi masuk Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, mungkin hari ini juga genap sudah sekitar enam tahun dia berkawan dengan saya. Namun, takdir kami berbeda. Ia menerima nasibnya sebagai mahasiswi Sastra Jepang UI, sedangkan saya, qanaah dengan ketentuan-Nya yang menggariskan saya sebagai mahasiswi Sastra Inggris UGM. Siapa sangka, Februari 2014 kami dipertemukan di satu ruang kelas sebagai teman satu angkatan, satu jurusan Pascasarjana Japanese Area Studies UI. Siapa sangka, saya yang “menyeberang”, dia yang “bertahan”. Jika kami sama-sama menyeberang atau sama-sama bertahan, mungkin pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Saya yang sejak semester awal kuliah S-1 merasa “salah jalur” dan tidak passion sudah merencanakan “alih jalur” sejak semester enam. Saya tulis di buku harian: setelah ini saya S-2 di sini, jurusan ini. Qadarullah, hal itu mewujud nyata. Meskipun tidak linier. Tapi, namanya juga ilmu. Belajar tentang Jepang sudah menjadi cita-cita saya semenjak SMP.

Namun tidak dengan Annisa, ia lebih memilih manut orang tua yang mengharapkan ia jadi dosen, padahal sebelumnya ingin “alih jalur” juga. Ketika beberapa orang memandang keputusan saya nyeleneh, saya rasa tidak dengan bagaimana ia memandang saya. Ahai, saya memang ‘si ungu’ yang cenderung memandang dunia dengan caranya sendiri dan terkadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Tidak pernah terbayang pula sebelumnya, kami akan dekat. Awal semester saya lalui dengan sakit-sakitan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sering absen dan seringkali jadi mahasiswi kupu-kupu. Tugas kelompoklah yang mengakrabkan kami di semester berikutnya. Hampir selalu satu kelompok, akrab perlahan, cerita-cerita pun mengalir dan bertukar satu sama lain. Ditambah lagi, sama-sama orang Jawa yang cenderung memiliki kesamaan dialek bahasa. Laksana menemukan oase, bisa bercakap-cakap menggunakan mother tongue kami di lingkungan heterogen seperti Depok dan Jakarta merupakan satu hal sederhana yang kami syukuri.

Begitulah, kami diakrabkan oleh waktu. Ada banyak cerita yang saya tumpahkan kepadanya dengan “semena-mena”, sementara ia dengan senang hati menyimak cerita saya dengan sabar dan seksama. Jika saya memang seratus persen plegmatis, seharusnya saya yang menjadi “tempat sampah”, bukan “tukang cerita”. Namun nyatanya, saya yang memang senang bercerita—baik melalui tulisan maupun lisan tak pernah tahan jika menyimpan segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang yang dianugerahi Allah kepribadian sanguinis—yang ibaratnya nggak ada lo nggak rame, Annisa tak banyak melimpahkan curhatan-curhatan panjang seperti saya. Hidupnya adalah ceria, bahagia dan penuh tawa, sepahit apapun duka yang dialami sebenarnya. Sehingga, tak heranlah ketika kisah-kisah saya yang menye-menye kadang ditimpalinya dengan candaan yang berakhir dengan tawa. Ah, saya tidak jadi menangis kalau sudah demikian. Seolah-olah saya begitu gloomy, sendu dan mudah sekali menitikkan air mata, sedangkan ia seolah matahari yang bersinar ceria mengusir mendung, sehingga hujan pun batal turun. Itulah gunanya sebuah beda.

Semester terakhir, saya memutuskan untuk pindah kos. Ujung-ujungnya, saya satu kos dengannya. Tak usah ditanya, sudah pastilah hampir tiap hari haha-hehe bersama. Makan bareng, ngampus bareng, nonton bareng, ke perpustakaan dan mengerjakan tesis bareng. Segala rupa peristiwa dan suka-duka semester terakhir kami lalui bersama. Saya, masih saja kerapkali melimpahkan curhatan-curhatan kepadanya. Seiring usia yang beranjak, seiring waktu yang menobatkan kami lulus magister, seiring hari-hari di depan yang menuntut banyak tanggung jawab, obrolan itu lantas tak pernah jauh-jauh dari bab masa depan. Masa depan yang masih misterius, abu-abu, random, susah diterka, namun tetap wajib diperjuangkan dengan kesungguhan.

Ibarat cerita di novel, ada suspense yang tejadi di chapter akhir masa saya di jenjang S-2. Ada ganjalan di salah satu dosen penguji yang tidak menyetujui tesis saya untuk diluluskan ketika itu. Terancam tidak lulus semester itu membuat saya lumayan terpukul. Berkat bantuan Allah Yang Maha Kuasa melalui dosen pembimbing tercinta, saya diperbolehkan merevisi tesis secara signifikan dalam waktu empat hari saja. Ah, ini sungguh masih mending daripada saya harus menambah semester. Namun tetap saja kalut, cemas, stres, hingga tidak doyan makan, berpadu menjadi satu. Berkat dukungan, motivasi dan doa dari semuanya (terutama doa ibunda), halang-rintang itu terlalui juga. Sebagai yang sudah berhasil lulus duluan, Annisa merasa segan menghubungi saya yang masih dirundung stres. Ia hanya menitipkan sebatang cokelat dengan disertai secarik pesan di atas kertas: percayalah bahwa semua ini akan berakhir esok hari. Ada perasaan haru sekaligus bersalah yang tiba-tiba menelusup, mereka semua tentu berharap kami bisa wisuda bersama-sama, dan kasus yang saya alami membuat mereka sedikit-banyak khawatir juga.

Akhirnya, 6 Februari 2016, kami resmi diwisuda. Ada bahagia yang meruap, tentu saja. Ada sejuta syukur yang mengendap. Namun, ada kesedihan yang ikut hadir, mengapa semua ini harus berlalu sedemikian cepatnya. Ada momen bernama “pisah” yang niscaya terjadi cepat atau lambat. Bagi orang-orang masa depan maupun masa kini, akan ada rindu yang “tak biasa”. Rindu kepada masa lalu. Pun kami nanti, akan rindu kebersamaan-kebersamaan sederhana yang sejatinya penuh makna. Rindu pulang berkereta sembari memperbincangkan hidup dan kehidupan, rindu makan bareng di warung pinggir jalan yang murah meriah, rindu mengerjakan tugas kuliah bersama, merindukan apa saja asalkan itu momen bersama.

“Mbak, beasiswa AAS lagi bukaan nih. Aku pengen nyoba. Kamu mau juga nggak?” tanyanya suatu hari. “Aku masih ingin mengejar mimpiku sekolah di negara yang berbahasa Inggris,” lanjutnya. “Aku salah tujuan. Hahaha.” Masih saja bisa bercanda. Saya menghela nafas, saya masih merasa bodoh, memang. Jika dituruti terus, ilmu tidak akan ada habisnya. Namun, impian saya tetaplah sekolah di Jepang, bukan Aussie. Masih saja, kami seolah memiliki ingin yang berbeda, dan itu ditukar pula dengan takdir yang tidak sama. Namun, tidak ada tujuan yang salah, sepanjang kita percaya bahwa Allah pasti memberikan segala sesuatu sesuai ikhtiar kita. Takdir-Nya pun kita tak bisa menerka.

 “Yang penting yakin, Sist,” itu yang akhir-akhir ini selalu dia katakan. Seolah memahami bahwa orang yang mudah ragu macam saya rawan terjatuh dalam kepesimisan. Ya, yakin. Bukankah sebagai seorang Muslim kita harus berprasangka baik kepada Sang Pencipta? Yakin bahwa Ia selalu mendengar doa-doa baik. Sementara keraguan yang seringkali saya pelihara bukankah dekat dengan prasangka buruk kepada-Nya? Astaghfirullah. Terima kasih telah mengingatkan saya. Ada banyak kepingan hikmah yang bisa kami ambil dari cerita-cerita yang saling kami lontarkan, dari perkara remeh-temeh hingga kegalauan yang memuncak.

Allah, terima kasih telah menghadiahi orang-orang baik dan luar biasa di sekitar saya.


“Wherever we’ll go after this, doesn’t matter how different the path that we’ll choose after this and whatsover, let’s be friend forever.”





Senin, 03 Agustus 2015

Rizuka




Nama lengkapnya Rizka Purnamasari. Secara harfiah, saya tidak tahu apa makna yang tersembunyi di balik nama itu. Namun, kulit putih dan mata sipitnya membuatnya sepintas seperti perempuan keturunan Jepang. Maka, saya suka memanggilnya Rizuka リズカ」—namanya kalau di-Jepang-kan.

Perjumpaan kami dimulai ketika pagi itu—bertahun-tahun silam, ia datang menjadi anggota baru ke kelompok halaqah kami yang baru berumur beberapa pekan. Ketika itu, kami semua tidak satu jurusan, namun bernaung di atap fakultas yang sama. Saya satu-satunya mahasiswi Sastra Inggris di forum itu. Begitu pun Rizka, ia jurusan Arkeologi. Di mata saya saat itu, ia dan Salsabilla sungguh teman dekat yang kemana-mana selalu bersama. Selain karena mereka satu jurusan di Arkeologi, potongan mereka pun nyaris sama: baju setelan dan kerudung gelap, sandal gunung, serta ransel di punggung. Berbeda dengan saya yang didominasi warna pink dan warna-warna cerah lainnya. Namun, siapa sangka, jika di kemudian hari, saya yang berbeda malah lebih nyaman sering menggeje bertiga dengan mereka.

Ah, sebenarnya, berada satu lingkaran tiap pekan itu bukanlah faktor utama kedekatan kami selanjutnya. Meski tidak tinggal satu atap, rumah kos kami lumayan berdekatan. Tidak terlalu jauh. Jadilah kami sering janjian makan bareng atau belanja bareng ke swalayan terdekat. Terkadang, saya main ke kamarnya, atau ia yang main ke kamar saya. Entah kenapa, kamar kos saya yang begitu sempit selalu terasa lapang justru ketika ada teman yang berkunjung. Ada kehangatan yang tercipta di sela-sela obrolan ngalor-ngidul dan canda-tawa penghapus penat karena kuliah. Aih, jadi kangen kos saya di Jogjaaaa >_<.

Hingga kemudian kami sama-sama berada di jajaran pengurus organisasi yang sama di fakultas. Ia sekretaris umum, dan saya ketua bidang keputrian. Tahun selanjutnya masih di organisasi yang sama, sama-sama sebagai Dewan Pertimbangan. Seringnya rapat bersama menambah kadar kedekatan itu. Saya yang cenderung manja dan “tukang nyampah” ini tidak lantas membuatnya jengah. Sepanjang ini, ia bisa menjadi sahabat saya “kapan saja”, yang bersedia menampung banyak gulana, meski tentu saja tidak semua curhatan-tak-penting saya bermuara kepadanya. Pun ketika jarak memberi jeda antara kami ketika itu, seolah ada benang maya yang menautkan hati-hati kami untuk tetap saling merengkuh dalam pesan-pesan via socmed dan doa-doa. Pun kini, ketika setahun lebih sekian bulan perjumpaan itu tiada lagi, berterimakasihlah kepada jasa teknologi canggih masa kini, kami masih bertemu di antara teks-teks dunia maya, dan terkadang saya masih suka “nyampah”, sementara ia masih selalu sabar menjadi pendengar dengan sekian kalimat penghiburan.

“Oh iya-ya, besok kamu udah pakai toga ya, Li,” ucapnya di SMS sehari sebelum saya wisuda. Ada rasa senang campur sedih yang tiba-tiba menyergap, susah didefinisi. Esok hari bahagia saya, tentu saja, menerima ijazah dari universitas terbaik di negeri ini, namun itu pula yang membuat saya berpisah dengan Yogyakarta dan segala isinya—Kota Cinta, Kota Cita kami selama kurang-lebih empat tahun. “Nanti kalau aku wisuda, masih ada yang datang nggak ya?” Ia pesimis. Satu-persatu dari kami memang telah lulus dan meninggalkan kampus, bahkan meninggalkan Yogyakarta, kota rantauan kami tercinta—seperti halnya saya. “Insya Allah masih ada-lah. Asal kamu segera menyelesaikan skripsi, sidang, kemudian wisuda November esok,” hibur saya. Namun, November itu saya tidak jadi menghadiahinya bunga ucapan selamat wisuda. Ia masih berproses, mungkin kadang tersengal. Saya tidak berhak menghakimi mengapa ia tidak seperti kami yang bisa wisuda tepat waktu dalam kurun waktu empat tahun masa studi. Everyone has their own problems. Hingga keterpisahan kami November itu ditandai dengan sepucuk surat dari saya untuknya. Surat itu sebenarnya surat balasan dari suratnya yang ‘ala kadarnya’ untuk saya ketika itu—sesaat sebelum saya pulang usai wisuda bulan Agustus. Surat dengan tulisan tangannya yang ‘agak berantakan’ :p, namun ditulis dengan ketulusan. Lantas, saya malah membalasnya dengan empat halaman ketikan dengan dalih tulisan tangan saya lumayan ‘nyentrik’, jadi mungkin susah dibaca orang lain. Hahaha. Itu surat kedua dari saya untuknya, setelah dulu saya pernah menyuratinya sebelum saya berangkat KKN ke luar Jawa—sementara ia masih stay di kampus, mengurus agenda besar fakultas: penyambutan mahasiswa baru.

November 2013 yang mendung, saat terakhir kami bertemu di acara wisuda beberapa kawan, ketika saya sudah menyandang status sarjana dua bulan sebelumnya, sementara ia sendiri masih berproses dengan skripsinya.

Memutar ulang memori tiga tahun sebelumnya, tentu saja meruapkan rindu untuk kembali ke masa itu. Atap kosan tempat jemuran baju bagi kami adalah tempat yang istimewa. Usai menuntaskan makan malam di spot tertentu (kadang di warung burjo, kadang di warung bakmi, kadang di rumah makan Padang, dan sebagainya), duduk di sana malam-malam ketika langit sedang bersih adalah momen yang tepat untuk memperbincangkan apa saja. Memperbincangkan kehidupan, masa depan, serta hal-hal remeh-temeh yang kami buat sekadar untuk lucu-lucuan.

Sekali lagi, bukankah bahagia itu perkara sederhana? Kami menyulam canda-tawa melalui kebersamaan-kebersamaan sederhana, dari obrolan-obrolan biasa yang sesungguhnya tak pernah ‘berat’. Bahagia memang tak pernah jauh, ia dekat, ia muncul dari perkara dan hal-hal sederhana. Bahkan, bahagia dan sedih jaraknya setipis benang saja. Seperti ketika sore berhujan itu, langkah kami menuju Masjid Kampus dengan harapan janji yang telah dibuat terpenuhi, pupus seiring seseorang itu yang tak kunjung datang hingga bumi menggelap. Hujan deras dan berangin kencang. Saya terduduk lesu di atas lantai marmer masjid yang dingin. Pulang, itu kata-kata yang terucap selanjutnya. Menanti hujan reda yang entah kapan serasa membuang waktu sia-sia. Maka, kami beranikan menerjang sisa hujan yang masih mendera. Berjalan kaki dengan payung yang tak mampu melindungi kami sepenuhnya dari air hujan, tersebab angin yang masih berhembus. Kuyup sudah, dari kerudung hingga rok. Namun, semangkuk sup di tempat makan pinggir kampus itu menawarkan kehangatan, membuang kekesalan yang sebelumnya menggumpal di hati, aromanya yang meruap menerbitkan selera makan. Ya, kebahagiaan kami sore itu memang sederhana: menikmati sup hangat usai basah kuyup kedinginan karena hujan. Kesederhanaan yang menenteramkan.

Bagi saya, dia juga adalah sosok yang sederhana dan apa adanya. Bukankah sebuah jalinan persahabatan seharusnya juga atas dasar alasan yang sederhana: saudara seiman?

Dia yang saya kenal memang sederhana, sesederhana tiap canda yang dulu kami punya. Dulu, yang saya ingat, ia sering ke kampus memakai sepeda, dengan tas kain yang ia selempangkan di bahunya.


"Hidup ini lucu, kadang manusia tak tahu apa yang sebenarnya ia cari."
-Rizka Purnamasari, Kisah dalam Seribu Rupiah (antologi cerpen Angkasa Rindu, 2014)-




Selasa, 18 November 2014

Seberkas Cahaya Sederhana


Prambanan, Klaten. Februari 2013

"So hasten towards all that is good" (Quran, 2:148)

 
Gadis berkerudung cokelat gelap itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku—si kerudung merah muda, raut wajahnya sepertinya gembira sekali, hanya karena aku baru saja bilang, “Ingin ke Jepang.” Ya, sama sepertinya. Dia tadi juga bilang, “Ingin ke Jepang.” Dia mahasiswi Sastra Jepang? Entahlah. Yang jelas, ada setitik cemburu, ada dendam yang menggumpal, ada kecewa yang belum meluruh dari gumpalan emosi dalam diriku, usai mbak-mbak berkerudung lebar sekali—yang aku lupa namanya—itu memutarkan video berjudul Jejak-Jejak Mimpi, kisah si bapak dari Indonesia yang berjuang kuliah di Jepang.
“Sastra Jepang?” tanyaku kemudian kepadanya. Ia menggeleng. “Sastra Arab.” Aku ber-oh pendek. “Kamu jurusan apa?” dia balik bertanya. “Inggris,” jawabku pendek. “Tapi aku sebenarnya lebih ingin di Sastra Jepang,” lanjutku. “Sama,” katanya. Sialan video tadi, membuat keinginanku ke Jepang semakin memuncak ketika kenyataannya... Ah, sudahlah, lupakan perkara itu. Kami duduk bersebelahan di ruang kelas itu, C201. Ngobrol ngalor-ngidul. Dua kali aku bertanya namanya hanya gara-gara aku selalu susah mengingat nama orang di awal mula perkenalan. Ruangan itu tidak penuh, namun semua perempuannya berkerudung lebar. Aku bertemu lagi dengan mbak-mbak berkerudung lebar sekali itu, yang tempo hari menemukan tersasar di Koperasi Mahasiswa. Maklum, mahasiswi baru masih ingusan yang belum terlalu hafal kampusnya sendiri. Sudah bisa ditebak selanjutnya, kami berada di forum apa. Kerohanian Islam fakultas.
Dari obrolanku dengannya sesiangan itu, setidaknya ada empat fakta yang mendekatkan kami: merasa salah jurusan, ingin ke Jepang, ingin bergabung di rohis fakultas, kota kelahirannya bersebelahan dengan kota kelahiranku, dan sama-sama suka menulis. Di ujung jalan Sosio-Humaniora kami berpisah setelah saling bertukar nomor handphone, berjanji akan saling menghubungi esok hari, kemudian bertemu lagi di tempat kami berpisah hari ini. Esoknya, di tengah riuh suasana pasar minggu pagi alias Sunday Morning ia menghampiriku lagi. Sambil menelusuri sepanjang area sunmor, selalu ada cerita tentang apa saja. Ah, ini masihlah awal mula. Kenal juga baru kemarin. Ia orang baru bagiku. Namun entah, rasanya bagai de javu, seperti kami sudah saling mengenal sejak lama.
Di kamar kosnya yang sempit dan sederhana kami kembali bertukar cerita mengenai apa saja. Ia sekamar berdua dengan temannya, namun tak terlalu akrab. Ia seolah kesepian. Lagi-lagi sama, aku pun kesepian di rumah kosku. Lalu, ia menunjukkan buku lusuh berisi tulisan-tulisan tangannya. Ia mengarang cerita di situ. “Kenapa nggak pakai laptop saja?” aku tergugu. Ia tak punya benda canggih itu. Kali ini berbeda denganku, aku telah dibekali laptop sejak kelas dua SMA, tulisan-tulisan rapiku telah banyak yang menumpuk di sana. Lantas, bagaimana cara ia mengerjakan tugas? Sementara ini, ia masih mengandalkan pinjaman dari teman-temannya. Jika aku, si sulung yang manja ini bertukar nasib dengannya, tentu aku tak tahan untuk tak merajuk kepada orang tua dengan berbagai alasan supaya dibelikan.
Di bus antarkota yang kami tumpangi dari Yogyakarta menuju kampung halaman, barulah aku tahu bahwa ibu tercintanya telah pulang ke haribaan Yang Maha Kuasa. Ayahnya menikah lagi dengan janda yang memiliki putri seusia dengannya, sementara kakak lelakinya semata wayang telah berkeluarga. Aku tidak berani menanyakan sebab ibundanya berpulang, tak ingin ada air mata yang bisa jadi tiba-tiba turun karena tanyaku yang frontal. Sudah pasti aku tidak akan mampu jika harus bertukar nasib dengannya. Ada sejuta syukur yang ketika itu harus kugumamkan dalam hati.
Hari-hari selanjutnya, sungguh, ia menjadi teman yang cocok bagiku, meski dipisahkan oleh tempat tinggal dan jurusan yang berbeda. Ialah yang kemudian mengenalkanku pada “lingkaran cinta” dan murabbi kami yang pertama. Bersama mereka ada segenggam ruapan aroma surga setelah penat dan dahaga melanda hari-hari kuliah. Ah, tentu aku selalu rindu tempat syahdu itu, lantai marmernya yang dingin, gemericik air mancur di halamannya, serta raut wajah bahagia para perindu surga... Bersama mereka aku—si naif ini, mulai bermetamorfosa.
Ketika itu kami memiliki cita-cita yang sama: bergabung di organisasi kepenulisan. Namun, aku gagal pada akhirnya, dan dia lulus. Tak penting membahas rasa kecewa, sebab aku berjanji dalam hati untuk tetap menulis, bagaimanapun caranya. Toh bergabung di organisasi semacam itu tak akan menjamin aku akan jadi penulis betulan. Ah, lupakan. Yang pasti, kami tetap masih sering hang out bersama, makan bersama, pinjam-pinjaman buku bacaan, bahkan ia rela berjalan kaki lumayan jauh dari kosnya ke kosku waktu itu demi menemaniku dua malam. Ya, jalan kaki. Alasannya sederhana, karena tak memiliki kendaraan pribadi, kami kemudian terlatih menjadi “pejalan tangguh”. Bahkan, di akhir-akhir masanya di Jogja, ia masihlah seorang muslimah tangguh. Mengayuh sepeda jauh sekali ke tempat yang menjadi amanahnya usai lulus.
2011. Kami masih sama-sama menjadi pengurus harian di lembaga dakwah fakultas. “Lia ikut ya...” Meski tak ada emoticon di teks yang dia kirim padaku saat itu, aku bisa menebak ekspresinya yang menghiba. Aku bimbang. Antara kasihan dan tidak berani menghadapi risiko. Rasanya ada tangis yang ingin luruh. Terharu akan keberanian dua sahabatku seperjuangan itu, sekaligus sedih akan diriku yang lembek, tidak bernyali besar seperti mereka. “Mereka mengancam... kita disuruh bawa teman,” lanjutnya. Ya Rabbi, Ramadan itu mereka rela pulang dari kampus menjelang sahur, tak peduli ada air mata yang jatuh satu-persatu setelahnya. Jika dakwah itu cinta, maka sudah selayaknya cinta menuntut pengorbanan dari masing-masing kita. Ah, sungguh, aku masih belum mampu mencinta seperti mereka. Kubalas pesannya dengan sejuta keraguan, “Maaf, aku nggak bisa...” Namun, alhamdulillah, perjuangan itu pada akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
Di masa-masa akhir kuliah, kami sudah tidak serekat awal masa di kampus dulu. Memiliki kesibukan masing-masing yang tak lagi di organisasi yang sama. Menyibukkan diri dengan skripsi, mengejar target wisuda. Agustus 2013, aku wisuda terlebih dahulu, sementara ia masih berproses dengan skripsinya. Setangkai mawar putih dihadiahkannya untukku. Bahkan hingga masa perpisahan aku sama sekali belum memberi sesuatu yang berarti baginya. Ia telah memberiku gantungan berinisial L yang malangnya hilang begitu saja ketika aku Kuliah Kerja Nyata di luar Jawa. Satu yang masih tidak berubah darinya: sederhana dan apa adanya. Tak ada polesan make-up, aksesoris, baju modis, apalagi kesan glamour. She’s so simple and humble. Juga bukan idola dan populer di dunia nyata maupun maya.
Aku masih selalu ingat catatannya yang jujur untukku di lingkaran cinta kami episode sekian: “Lia, kan udah gede, porsi manjanya dikurangi ya...” Ahai, aku juga masih belum berubah: si sulung yang manja. Menurutnya aku pengingat baginya, dia juga pengingat bagiku. Kami adalah cermin satu sama lain. Seperti pesan yang kuterima di hari jadiku: ukhuwah adalah cermin untuk saling mematut diri dalam rangka memperbaiki diri untuk meraih rida Ilahi.
Belakangan baru kuketahui ia penyuka hijau meski barang-barangnya tak selalu identik dengan hijau, berbeda denganku yang hampir segala barangku berwarna merah muda. Ia hijau yang sederhana, namun tidak dengan pengetahuan dan cara berpikirnya. Ia sederhana, seperti Jogja yang sederhana pula. Namun nyaman bersahaja dan dirindukan semua yang mengenalnya. Akhir 2014 kuterima kabar "mengejutkan" bahwa ia baru saja memenangi sebuah kompetisi menulis novel inspiratif. Jauh-jauh hari sebelum deadline lomba, aku sudah seenaknya saja memesan soft copy-nya, namun ia tak keberatan dengan pintaku dan dengan entengnya mengirimkannya melalui surel. Di ujung pembicaraan, aku menjanjikan editan jika di novelnya masih banyak yang salah atau typo. Namun, atas nama kesibukan dengan kuliah aku menyalahi janjiku sendiri. Atas nama kesibukan dengan kuliah pula aku menolak anjurannya untuk juga mengikuti lomba menulis itu. Maka, inilah aku, yang telah kalah sebelum bertanding. Sementara ia, tetap berjuang semampunya, tak menyerah hanya karena malas yang mendera. Kurasa, itu hadiah dari Tuhan untuknya, untuk setiap peluhnya dalam menulis--menyampaikan kebaikan. Tidak, ia tidak menulis cerita cinta-roman-yang berkutat dengan masalah perasaan nan menye-menye seperti yang biasa aku lakukan. Ia menulis tema yang sama sekali berbeda, sesungguhnya sederhana, namun tidak banyak orang yang mengangkatnya untuk dijadikan novel. Itulah mungkin, mengapa sang juri memilihnya menjadi juara.
 7 Maret 2015. Hari itu kami bertemu kembali di Istora Senayan, Jakarta. Ia berbicara di depan sebagai pemateri acara bincang-bincang kepenulisan, sekaligus peluncuran buku perdananya. Sungguh, aku iri. Aku hanya memajang mimpiku rapi di lemari buku. Sesekali kubuka jika keinginanku bangkit lagi, dan kututup jika aku sedang merasa itu tak perlu, kemudian sibuk dengan dunia yang lain.
"Jadilah cahaya di manapun kamu berada." Sebenarnya kalimat yang ia tulis di bukunya untukku (sekaligus dibubuhi tanda tangan) itu bukan untukku seorang, untuk yang lain juga. Namun, sepulangnya aku dari berjumpa dengannya, kalimat itu utuh membekas. Menjadi cahaya? Sejak beberapa tahun silam--semenjak hijrah, aku seolah hidup di lingkungan yang membuatku terlihat berbeda, hingga kini. Banyak dari mereka yang enggan melaksanakan perintah Tuhan, meski hanya sembahyang lima menit saja, dan lebih memilih sibuk dengan dunia sepanjang waktu. Di titik ini, jika ajakan sudah tak mempan, aku hanya bisa diam dan menggumamkan doa saja. Di titik ini, aku hanya punya satu pilihan: bertahan. Bertahan untuk tetap menjadi hamba-Nya yang patuh. Meski sendirian. Meski arus kehidupan tak selamanya tenang, namun menghanyutkan. Meski hanya menjadi seberkas lilin--yang tak lebih terang dibandingkan lampu neon, ia akan tetap menyala selama batangnya belum habis meleleh. Begitu pun seharusnya kita yang menginginkan berlomba dalam kebaikan. "Fastabiqul khairat, Li. Berlomba-lomba dalam kebaikan." Aku ingat dulu ia sering berkata seperti itu, sekarang pun masih. Bukankah itu juga perintah Sang Maha Pemilik Cahaya? Maka, begitu pun seharusnya aku, kamu, kita semua.
Menjadi cahaya di manapun kita berada.





Aku memang harus belajar banyak darimu