Tampilkan postingan dengan label #LetterfromHeart. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #LetterfromHeart. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 November 2018

Kepada Anakku, Yasmina: Ini Hidupmu, Jalanilah




Matamu yang bundar itu mengerjap-kerjap, sesekali kau tersenyum bahkan tergelak—entah apa yang kau tertawakan. Apapun itu, Nak, kau berhak untuk selalu menyunggingkan senyum kebahagiaan, senyum keceriaan, selayaknya anak-anak pada umumnya yang masih bersih dari lumuran dosa. Bunda pun tersenyum. Terima kasih ya, Nak. Bolehkah Bunda menyebutmu Peri Kecil saja? Sebab sedih dan luka yang datang seketika hilang karena memandang senyum lesung pipitmu.

Sayangku, tahukah kamu, terkadang Bunda berpikir, apakah hadirmu kini adalah ujian? Apakah hadirmu adalah beban? Ataukah hadirmu merupakan ujian dan berkah sekaligus dari tuhan? Semuanya repot dan mendadak sibuk karena ada kamu di tengah-tengah kami. Semuanya seolah ikut lelah karena ada kamu di tengah-tengah kami. Nak, patutkah kamu dipersalahkan? Tidak sama sekali. Hadirmu adalah kesyukuran tiada tara. Berapa banyak perempuan yang telah menikah bertahun-tahun, namun belum ada tanda-tanda diberi keturunan? Sedangkan hanya tiga bulan berselang sejak akad terucap, engkau sudah hadir mengisi hari-hari kami sebagai calon orang tua. Bahkan kehadiranmu sudah Bunda rindukan semenjak dulu, jauh sebelum Bunda tahu siapa abimu. Maafkan atas berlapis-lapis kesedihan yang menumpuk semenjak dulu, sejak waktumu masih benih di dalam rahim. Jika kelak kamu menjumpai Bunda menangis, jangan takut ya. Itu air mata yang keluar karena Bunda sangat mencintaimu. Jangan kau tiru air mata Bunda, sebab—sekali lagi, kau berhak untuk selalu tersenyum bahagia. Meski demikian, lewat beragam luka, Bunda belajar banyak hal. Semoga menjadi hikmah dan pelajaran bagi kami, orang tuamu, untuk mendidikmu dengan cinta.

Nak, kamu terlahir perempuan. Adalah tugas berat bagi Bunda (dan juga Abi) untuk mendidikmu kelak menjadi wanita salehah sesuai koridor agama kita. Mendidikmu sesuai fitrahmu sebagai perempuan. Dengar, Sayang, kemuliaanmu nanti tidak ditentukan oleh beragam prestasi duniawi, sekolah tinggi hingga bergelar master ataupun doktor, atau menjadi wanita karier yang sibuk di luar rumah. Kemuliaanmu kelak ditentukan oleh seberapa taatnya kamu kepada Rabb Semesta Alam yang menciptakan kita, seberapa pandai kamu menjaga diri sebagai seorang muslimah, serta bagaimana taatmu kelak kepada suamimu setelah menikah. Bunda harap, kamu mau patuh kepada orang tuamu jika menyuruhmu untuk patuh jua kepada aturan agama. Kebahagiaan terbesar Bunda bukan ketika kelak kamu sukses mendapatkan serenteng gelar akademik, lalu menjadi wanita karier. Kebahagiaan terbesar Bunda nanti ada pada doa-doa tulusmu untuk kami, sebab itulah amalan anak Adam yang tak terputus jika telah tiada, Nak. Bunda tak akan memaksamu kau harus jadi apa. Ini hidupmu, jalanilah. Jangan sampai kau seperti Bunda, tersandera oleh obsesi orang tua. Namun, kau harus ingat, segala keputusan yang kau ambil harus tetap berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Yasmin cantik, saat ini mungkin ada ratusan bahkan ribuan perempuan seperti Bunda. Meninggalnya egonya sebagai perempuan bekerja di rumah. Lebih memilih memakai daster lusuh di rumah dan berpeluh karena asap dapur, daripada berdandan rapi dan wangi sedari pagi, berkejaran dengan waktu dan rutinitas jalanan. Kalau kamu sudah sekolah nanti, lalu ada temanmu yang bertanya apa pekerjaan bundamu, janganlah kau sedih dan malu. Bunda mungkin tidak seperti ibu teman-temanmu yang guru, perawat, dokter, PNS, dan pekerja kantoran lainnya. Namun, Bunda bisa menemanimu sepanjang waktu, tidak harus menitipkanmu di daycare atau meninggalkanmu bersama baby sitter. Doakan kami bisa membersamaimu (dan adik-adikmu kelak) hingga kalian dewasa ya, Sayang. 

Tidak ada yang salah dengan para ibu yang bekerja di luar sana, Nak. Mereka memilih berkorban meninggalkan anak-anaknya di rumah tentu bukan tanpa alasan. Ada yang memang harus diperjuangkan di sela rasa bersalahnya karena tak bisa selalu membersamai buah hatinya. Tidak ada salahnya pula dengan para ibu yang memilih ‘bekerja’ di rumah, tersebab bakti dan cintanya pada sang suami dan anaknya. Tapi, Nak, kata nenek, Bunda tak berguna, hina, dan menyedihkan. Hanya karena Bunda tidak bekerja di luar rumah, memilih mengikuti abimu dan mengasuhmu. Karena Bunda mengecewakannya, orang yang telah menyekolahkan Bunda hingga perguruan tinggi. Nak, dari sini Bunda belajar, Sayang. Bahwa tak semua harapan harus selalu dipaksakan untuk mewujud dalam kenyataan. Bahwa memiliki anak perempuan, suatu saat akan menjadi istri orang. Ketika telah menikah, rida suamimulah yang lebih utama. Jangan sekali-kali kau menggugat takdir, sebab ia adalah ketentuan Yang Maha Kuasa.

Anakku, bundamu hanyalah manusia biasa. Teramat sangat biasa. Bunda bisa marah, kesal, jengkel, dan juga mengomel. Untuk itu, ingatkan Bunda agar selalu berlemah-lembut kepadamu. Bunda selalu berdoa, supaya Allah menjaga lisan Bunda dari kata-kata yang tak seharusnya dikeluarkan mulut ini. Sebab omongan orang tua itu doa, Nak. Kita mungkin sanggup bertahan dari omongan orang lain yang tak mengenakkan. Namun, akan sangat pedih jika kalimat-kalimat pahit itu terucap dari bibir orang terdekat. Orang yang menghujani kita cinta, namun juga hujatan sekaligus. Semoga Allah menjaga telinga mungilmu dari kata-kata kotor yang—sengaja atau tidak—terucap oleh orang tuamu atau bahkan nenekmu.

Sayang, surat ini akan sangat panjang kalau diteruskan. Sementara kau sudah terlelap dipeluk mimpi. Jalan masih panjang, Nak. Tak sependek mimpimu semalam. Terpenting, ini hidupmu. Kau berhak untuk bahagia. 


Lots of Love,
Bunda

Rabu, 22 Juli 2015

Epitaf






Kepada lelaki yang pernah mendiami salah satu relung tersembunyi di hati adindaku, Rinai.

Elang, perkenalkan, aku Mentari. Surat ini datang kepadamu atas dorongan dari hatiku sendiri. Kutulis dengan sejumput doa semoga engkau sudi menelusuri setiap jengkal kata-kata di beberapa helai kertas lusuh ini, tidak lantas mencampakkannya ke tempat sampah. Namun jika surat ini telah usai kau baca, itu terserahmu, kau membuangnya juga aku tak mengapa. Semoga pesanku tetap sampai ke hatimu.

Kau tentu terkejut dengan kalimat pembuka yang kutulis. Kau tidak pernah menyangka sebelumnya, bukan? Bagaimana mungkin? Selama beberapa tahun ini kalian bersahabat. Sahabat dalam kebaikan, bukan? Sebagai orang yang sama-sama bertekad untuk teguh dalam beragama, kalian tetap berusaha saling menjaga. Kalian sepenuhnya menyadari jika apapun statusnya, kalian tetap bukan mahram. Tidak ada hubungan apapun yang bisa menghalalkan kedekatan kalian lebih dari sepasang teman—kecuali… pernikahan. Namun frasa ‘sahabat baik’ tetap tidak mampu hilang atau musnah begitu saja. Kalian tetap bersahabat apa adanya. Ya, mungkin bagimu itu biasa.

Akan tetapi Lang, kuberi tahu satu rahasia besar yang harus kau camkan baik-baik. Bagi Rinai, kau lelaki yang berbeda daripada umumnya—betapapun kalian berbeda dalam banyak hal. Kau istimewa di matanya. Aku tidak mengerti sejak kapan ia memiliki kesimpulan seperti ini. Namun, tahukah kau, kebaikan-kebaikan kecil yang pernah kau berikan kepadanya itu tidak akan hilang selamanya dari ingatan Rinai. Mungkin kau sudah lupa, mungkin bagimu itu hal sepele nan remeh-temeh. Bagi perempuan—makhluk dengan sejuta kelembutan yang diciptakan Allah—itu bagaikan sebuah sentilan halus yang sedang menyapa hatinya. Ada lawan jenis yang sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu hatinya. Yang kutahu, tidak ada perempuan yang tidak tertawan dengan perhatian. Tidak ada, Lang. Maka, begitulah cara rasa bernama ‘suka’ dan ‘cinta’ bekerja. Ia bermula dari setitik noktah berjudul perhatian, interaksi dan kebersamaan yang mungkin tak kasat mata. Rinai tidak pernah mengatakan bahwa ia menaruh hati terhadapmu, namun diam-diam hatinya bersedih ketika kau sakit—tapi kau malah bungkam tentang sakitmu. Ia gelisah dalam doanya, bertanya-tanya dalam hening, apakah engkau baik-baik saja.

Mungkin kau juga tidak pernah menyadari gelagat Rinai yang tak jarang cuek terhadapmu. Ia bukannya sebal, jutek, atau marah kepadamu. Ia hanya sibuk menyembunyikan rona parasnya yang bersemu malu-malu, sembari menenangkan degub yang perlahan berdetak dan desir aneh yang tiba-tiba hadir acapkali kalian bertemu. Ia pun bingung, bagaimana agar rasa yang mendiami kalbunya mampu cepat-cepat ia usir. Ia sadar sepenuhnya, kau bak ksatria yang diidamkan banyak hawa. Ia tak ingin turut serta dalam deretan perempuan yang menyukaimu. Ia hanya perempuan sederhana yang ingin dicintai dengan sederhana pula. Lantas, ketika rasa yang selama ini ia hindari datang tanpa diminta, ia ingin mematahkan interaksinya denganmu, namun tentu saja ia tidak bisa menjauhimu begitu saja tanpa alasan. Sementara, tahun berlalu dan kalian tetaplah sahabat dalam kebaikan. Maka, hening adalah jalan cinta yang ia tempuh kemudian.

Usai jeda jarak membentang yang memisahkan kalian, senyum itu masih setia melengkung di bibir tipisnya. Doa-doa dan harapan masa depan yang ia gumamkan dalam hati tersimpan dalam diam yang menjadi bahasanya. Sungguh, aku tak tahu apa-apa tentang semuanya. Hingga ia bercerita tentang pinangan yang ia tolak. Tidak ada yang salah. Lelaki itu saleh nan sederhana, pandai dan sudah bekerja. Namun, usai istikharah, Rinai justru bermimpi bertemu denganmu. Ah, entah itu isyarat tuhan atau malah bunga tidur yang ditiupkan setan. Meski kau tidak pernah menjanjikan apapun, ia yakin, akan ada pertemuan berharga lagi di masa depan. Denganmu, Lang.

Semuanya baik-baik saja hingga hari itu, hari suratmu yang bersampul merah marun sampai di depan pintu rumah kami. Aku masih ingat betul isinya, kau bercerita, “Rinai, aku dijodohkan oleh orang tuaku. Namun, selama ini aku mencintai perempuan lain. Kau tidak mengenalnya, namun ia anggun dan  salehah sepertimu. Ia bernama…”

Sampai pada kalimat itu, semua alinea seakan mengapung, lantas kabur, buram. Wajah adindaku tertekuk. Tak butuh waktu lama setelahnya, tulisan tanganmu telah kabur oleh luh yang berderai-derai dari manik matanya.

…Laras.”

Cukup sudah. Nama itu bukan Rinai. Jelas sudah, sejak saat itu, merpati kecilku itu memendam luka. Cukup sudah untuk semuanya, mungkin namamu memang harus dihapusnya dari lembaran kisah. Mengambil langkah seribu, menghilang tanpa jejak, dan kau tak perlu tahu. Jahatkah Rinai, Lang? Kau tentu menantikan balasan darinya atas suratmu yang sendu. Sungguh, maafkan dia. Bagaimana mungkin ia menasihatimu untuk mengikhlaskan segalanya dan menyandarkan segala harap kepada Yang Kuasa ketika ia tidak bisa mengingkari hatinya yang masih jauh dari ikhlas? Kabura maqtan ‘indallahi antaquulu ma laa taf’aluun. Tentu saja ia tak ingin menyalahi aturan itu.

Kuyakinkan ia untuk melepaskan semuanya. Cinta, rindu, marah, dendam atau apapun rasa dalam hatinya yang masih berkaitan denganmu. Kuyakinkan dia tentang rumus sederhana, bahwa cinta adalah pemberian yang tulus, tanpa mengharapkan balasan apapun. Di sisi lain, cinta juga adalah sebuah penerimaan. Ikhlas menerima apapun keadaannya. Maka, tak bisa kusebut itu cinta selama ia masih terikat oleh perasaan ingin memiliki dan membersamai, ketika takdir kalian justru tak sama. Tidak mudah baginya menelan segala kalimatku yang mungkin sok bijak. Sama sulitnya dengan menghapus semua kenangan yang sudah terlanjur menetap di memorinya. Namun, Rinai belajar. Ya, Rinai belajar untuk melepaskan. Cinta adalah memberi tanpa mengharap balas. Ia melepaskan semuanya, tanpa dibebani ingin agar kau membalasnya. Maka, ia lepaskan doa-doa menuju langit setiap ia bersimpuh di atas sajadah. Sungguh, ada sejumput rasa bersalah yang menyesaki hatinya usai ia memutuskan pergi menghilangkan jejak tanpa membalas suratmu ketika itu. Namun, lidahnya sudah terlanjur kelu, apatah lagi untuk berjumpa denganmu kembali. Sepertinya lebih baik tidak usah saja. Sebagai gantinya, doa-doa itulah yang ia gumamkan setiap malam. Ia berdoa, semoga engkau dikaruniai pasangan yang terbaik menurut pandangan-Nya. Siapapun itu. Baik engkau telah lama mengenalnya maupun belum. Baik engkau telah memiliki rasa cinta terhadapnya atau belum.   

Untuk doa-doa yang selama ini ia utarakan diam-diam untukmu, sebenarnya aku ingin meminta satu hal darimu. Aku ingin meminta doa yang tulus darimu untuk Rinai. Jika orang itu memang benar-benar bukan kamu, doakan ia mendapatkan kekasih yang terbaik menurut-Nya, yang mampu menggenapinya dengan kasih sayang yang tulus, selayaknya bening cinta dari Yang Maha Kuasa. Doakan Rinai mampu mencintainya dengan sepenuh jiwa.

Namun, sayangnya itu semua tidak akan terjadi.

Dari mana aku tahu semua ini? Lisan adindaku tidak pernah berkisah secara lengkap, Lang. Buku hariannyalah yang bercerita. Kupungut buku kumal itu dari almari kamarnya yang kini tak berpenghuni. Usianya dua puluh empat ketika ia divonis mengidap meningitis. Rupa-rupanya itu jawaban atas sakit kepala luar biasa yang beberapa tahun terakhir menderanya. Rinai optimis ia akan sembuh. Cerita-cerita pendeknya berserakan di banyak surat kabar. Naluri menulisnya tidak pernah menyusut barang sesenti pun. Secara tidak langsung, inspirasi-inspirasinya datang darimu, dari pertemuan kalian yang dulu-dulu itu. Secara tidak langsung, kaulah salah satu alasan yang menguatkan jiwanya untuk tetap menapak menuju kesembuhan. Ah, terima kasih banyak, Lang. Namun, ternyata tidak butuh waktu sampai satu tahun untukku menerima kenyataan pahit itu. Kukira ia yang layu akan bersemi kembali. Tapi tidak, mau tak mau, aku harus selalu memercayai nasihat sederhana ini: Allah menyayanginya lebih dari apapun, lebih dari ayah-ibunya, lebih dari sahabat-sahabatnya, lebih dari kita semua yang mengenalnya.

Tanah merah pusaranya masih basah ketika nuraniku meminta tangan ini untuk menulis surat kepadamu, biar segala kisah dan cinta yang pernah ia simpan tidak selamanya ikut tertimbun dalam liang lahat menjadi rahasia.

Kisah kalian mungkin hanya sepersekian dari beribu-juta bahkan selaksa kisah yang ada di muka bumi ini, kisah yang sudah jamak terjadi. Kisah yang menjadi andalan para pengarang, pujangga dan sastrawan. Kisah yang tidak pernah habis untuk dikisahkan lagi dan lagi. Namun apalah gunanya kita mencintai mati-matian segala sesuatu yang fana, yang sejatinya bukan milik kita?

Maafkan dan ikhlaskan dia. Terima kasih telah memberi warna tersendiri dalam hidupnya yang tidak lama. Jika suatu saat kau ingin menjenguknya, carilah pusara adindaku, namanya tertera di epitaf itu.



Selasa, 21 April 2015

Rinai




Assalamualaikum. Ketika kutulis baris-baris pesan ini, hujan sedang tercurah menderas di Kota Kenangan, Adinda. Rintiknya yang syahdu membuatku teringat padamu. Kau sering bilang jika kau rindu menjejakkan kaki lagi kemari. Ada gugusan rindu teramat pekat yang kau tahan dalam hati. Namun, nikmatilah rindumu, Sayang. Ada rasa pedih namun indah dalam merindu. Sulit mengungkapkannya dalam kosakata bahasa manapun. Percayalah, sejauh apapun jarak terentang, kita akan selalu bertaut dalam doa-doa yang membumbung ke angkasa. 

Ah, hujan membuatku teringat padamu. Dulu, hujan yang meninggalkan genangan di tiap ruas jalan tak pernah menghalangi langkahmu menuju kampus, bukan? Kau mengajakku berpayung berdua di hari-hari penuh rinai. Ada satu rahasia yang tak pernah kau ceritakan di balik setiap lengkung senyum dan semangatmu ketika itu. Bahwa ada seseorang yang membuatmu bahagia, acap kali kau menjumpainya. Aku urung bertanya siapa. Jika ia lelaki, aku paham, menjatuhkan cinta adalah hal yang wajar bagi perempuan seusiamu. Sebagaimana dulu aku juga berkali-kali dilanda rasa aneh yang menggejala itu, sebelum Ar-Rahmaan memperjumpakanku dengan ia yang kini menjadi pemimpinku. Ia yang suatu malam kutemukan dalam munajat di ujung sajadah. Ia yang sebelumnya tak kukenal, dan ia tak mengenalku. Bahkan, ketika kami telah bersanding di pelaminan usai ikrar mitsaqan ghalizaa yang ia ucapkan, rasa bernama cinta itu belum menyapa hatiku, pun mungkin hatinya. Hambar. Namun, cinta bertumbuh seiring waktu, seiring kebersamaan sederhana kami setiap hari. Sungguh, cinta bukanlah perkara seberapa lama kau mengenal seseorang itu sebelumnya. Cinta adalah batu-bata yang pondasinya harus disusun bersama-sama dengan telaten dari hari ke hari, hingga kita bisa menyaksikan bangunan rumah tangga yang utuh dan indah. Sejak itu aku mengalami jatuh cinta yang beda, yang lain dari jatuh cinta sebelum menikah. Demikianlah, aku hanya ingin kau tahu, Adinda.

Belum bisa kulupakan paras sayumu beberapa bulan yang lalu. Kau datang dengan selaksa cerita bernada duka. Sambil mulutmu terbata bercerita, rinai mulai terbit dari kedua pelupuk matamu, kemudian jatuh pelan-pelan membentuk aliran sungai kecil di pipimu yang merah jambu. Kau cengeng? Tidak. Kau hanya ingin aku tahu sepenggal kisah yang sudah bertahun-tahun kau timbun sendirian. Bagimu, ini semua terlalu menyakitkan. Mengapa cinta membuatmu mencintainya, ketika dia justru mencintai orang yang bukan kamu? Rasa itu punya muasal, tentu. Namun bagaimana ia menghampiri kalbumu yang sedang labil, aku tak ingin membahas itu. Bukan hal yang bijak pula untuk menggugat takdir. Mengapa kau tertakdir menjadi perempuan. Ya, kau bilang kau hanya perempuan biasa—yang memenuhi kodratnya selayaknya perempuan pada umumnya: diam dan menunggu. Hening sehening-heningnya. Menutup celah serapat-rapatnya. Perasaan tak perlu diumbar-umbar, ia bukanlah barang murahan. Sebagai perempuan. Ya, sebagai perempuan, kau diam, menyembunyikan semuanya di jurang hati yang paling dalam. Ada sepucuk doa berisikan harapan yang setiap selesai salat kau gumamkan. Ia seolah ketidakmungkinan yang akan selalu kamu semogakan. Ya, kau hanya perempuan. Alangkah tidak mudahnya untuk mengungkap, berkata, berterus-terang. Tidak seperti dia—lelaki yang dengan mudahnya bisa memilih, berterus terang, dan memutuskan. Kau hanya perempuan biasa. Hanya!

Tetapi, hidup kita bukanlah kisah cinta romantis seperti novel-novel besutan penulis ternama yang seringkali kau baca—di mana ending-nya selalu bermuara pada bahagia. Terlalu musykil pula untuk mendambakan kisah seperti Fathimah dan Ali, saling mencintai dalam diam hingga akhirnya takdir menyatukan mereka. Kenyataan terkadang memang menyakitkan, Sayang. Kita tidak bisa menerka guratan takdir yang ditulis Sang Maha Kuasa. Namun, kita harus memiliki keyakinan utuh bahwa guratan yang telah ditulis-Nya untuk kita itulah yang terbaik, meski itu semua tak pernah kita prediksi, tak terlintas dalam harapan-harapan masa depan yang pernah kita tulis. Bisa saja Dia memiliki rencana yang lebih indah untuk-Mu dari yang sekarang kau dambakan. Maka, pasrah—bukan berarti kalah. Pasrah dalam bingkai keikhlasan atau kerelaan, atas segala putusan dari Yang Maha Memutuskan. Jawaban itu bisa jadi dia—nama yang selama ini kau sembunyikan, bisa jadi bukan dia. Tidak ada di antara kita yang bisa menerka, sebab hari depan adalah misteri tak berkesudahan. Namun, siapa pun itu kelak, bukankah kau pernah berujar, mana mungkin engkau menolak nama yang telah diguratkan indah oleh-Nya dalam kitab takdirmu yang terjaga, bahkan sebelum engkau menarik nafas pertamamu di dunia? Ya, siapa pun itu kelak, bukan masalah bagimu sebenarnya, bukan? Kau hanya perlu waktu yang tidak lama untuk melepaskan segalanya, berdamai dengan hatimu sendiri, mengubur pelan-pelan kenangan, dan nama itu; nama yang kau sebut dalam doa, namun mungkin ia malah tak pernah menyebut namamu dalam doanya.

Cinta-Nya adalah yang paling utama, Dinda. Maka, mendekatlah meski sejengkal demi sejengkal. Meski tertatih dan terjatuh. Sungguh, cintamu akan selalu dibalas oleh cinta-Nya yang tak bisa diukur dengan dunia dan seisinya.

Sudah ya, Adinda. Waktumu terlalu berharga untuk kau habiskan berkubang dalam kesedihan tanpa muara. Kau sendiri paham, orang yang membuatmu bersedih tidak akan tahu tentang sedihmu. Lantas, untuk apa? Jikalau doamu kepadanya tetap terlantun, berdoalah yang terbaik untuknya, untukmu juga.

Biarkan semuanya lenyap mengabu. Biarkan rinai yang tercurah menderas menghapus jejak-jejak kenanganmu dengannya di masa lalu. 

Sungguh, rinai di luar sana yang meninggalkan titik-titik air di kaca jendela mengingatkanku akan rinai yang luruh dari kedua keping matamu ketika itu. Tentu saja, ia juga mengingatkanku akan namamu: Rinai. Kau mencintai hujan sebagaimana keping matamu begitu mudahnya meluruhkan luh bening itu. Mungkin itulah mengapa kau tumbuh sebagai perempuan sendu. Karenanya, aku datang untuk menghangatkan hatimu. Esok, atau lusa, jika cahaya matahari yang beradu dengan titik-titik gerimis kau jumpai, tersenyumlah. Allah telah menghadiahimu warna-warni pelangi.

Kuharap, ketika surat ini sampai di hadapanmu, rinai telah kering dari pelupuk matamu.




Kota Kenangan, musim penghujan 2015

Ayundamu, Mentari