Tampilkan postingan dengan label ukhuwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ukhuwah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Oktober 2016

Sepotong Cinta dari Langit




“Ini sekadar tentangnya, gadis manis, ayu, cerdas dan lemah lembut. Senyumnya tak pernah lekang di wajahnya, membuat mata syahdunya selalu menenteramkan jiwa. Laki-laki mana yang tak menyukainya? Ah, jujur, aku sebagai perempuan sangat menyukainya.
Apabila aku memiliki seorang adik laki-laki, akan kusuruh giat turut serta ke majelis ilmu apa pun, mengaji dan mengkaji ilmu dakwah, Islam, iman, fikih, akidah dan lain hal agar mampu menyeimbangi ketaatannya.
Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya selalu tampak dari sikapnya. Dia yang selalu menjadi makmumku di kamar kosan dulu. Ia yang tidak pernah bersungut ketika aku membangunkannya di kala sepertiga malam dan di waktu subuh. Tahajud, puasa sunah, dan rawatib serta duha tak pernah pupus dalam agenda rutinnya.
Dia sungguh sempurna dalam penilaian mataku dan hatiku. Terkadang aku malu dengannya, ketika selepas magrib aku langsung berkutat dengan laptop karena urusan dunia, ia masih menyempatkan duduk membaca kitab suci, surat cinta dari Sang Penciptanya untuk urusan akhiratnya.
Adinda, aku masih ingat mimpi-mimpimu, bahkan hasratmu untuk studi ke Jepang tak pernah kuragukan. Kau cerdas, cerdas dalam segala hal.
Terkadang kau masih menyempatkan menabung untuk membeli buku, infak, sedekah, dan lain sebagainya, padahal aku tahu keuanganmu. Kau selalu menjadi alarm pengingatku seputar Islamic Book Fair atau tentang kajian ilmu di Masjid Kampus.
Kau adalah salah satu kecintaanku yang tiada tara di antara yang lainnya. Aku bangga menjadi kakakmu beberapa waktu di rumah kosan kita dulu. Aku bangga membaca buku karanganmu, kau memang berbakat dalam menulis.
Ingat, Sayang, ingat nasihatku: dakwah terbaik adalah dakwah perbuatan, dakwah tersulit adalah dakwah keluarga, dakwah terindah adalah dakwah dalam dekapan ukhuwah.
Aku mencintai Allah atas segala karunia yang Ia berikan. Aku mencintaimu karena kecintaanku pada Allah, dan aku mencintai keluargamu karena kecintaanku padamu.”


Tulisannya kali ini cukup panjang untuk ukuran sebuah status media sosial. Tak ada tag atau mention yang seolah menyuruh saya membacanya. Mungkin ia membiarkan saya tahu sendiri tanpa ditandai. Rabu petang, 6 Januari 2016, usai saya meminta doa untuk kelancaran sidang tesis keesokan harinya, tulisan panjang itu muncul di beranda akun line saya. Ada lima foto saya yang ia lampirkan, namun foto yang tak tampak muka. Foto yang ia unduh begitu saja dari beberapa akun media sosial saya. 

Ada letupan haru yang meruah dalam dada, sekaligus pahit karena miris tak terkira. Miris, karena tentu saya tak sepenuhnya seperti yang ia tulis, bahkan mungkin jauh dari itu. Terlalu berlebihan memuji. Terngiang kembali ucapan Tuan Guru Haji Dr. M. Zainul Majdi, Lc., M.A., Gubernur Nusa Tenggara Barat suatu kali ketika beliau hadir memberi materi di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI Depok, bahwa Rasulullah saw berpesan, ‘Jika engkau menjumpai ada orang lain yang memujimu, maka sumpal mulutnya dengan tanah.’ Ah, sesungguhnya betapa pahit dan berbahayanya seonggok pujian. Namun, betapa tak sedikit pula yang haus akan pujian dan senang mengumpulkan ratusan tepuk tangan. Tak sadar jika itu semua sangat bisa bermuara pada bangga diri dan ketagihan untuk riya’.

Saya juga jadi teringat tulisan Mbak Dita di blognya yang ia beri judul Selubung Tak Tembus Pandang.
 
"Apa jadinya jika semua aib kita ini Allah izinkan tersingkap dan nampak jelas di depan banyak orang? Tentu kita perlu bersyukur selama Allah masih berkehendak menutupi aib kita sehingga yang nampak dari kita adalah yang baik-baik. Jika Allah mau menutupi aib kita, tapi kenapa kita terkadang justru mengumbar aib saudara-saudara kita?"

Sungguh sebenarnya Allah masih mendekap diri ini dalam sebuah selubung tak tembus pandang yang menjaga aib-aib saya di hadapan manusia-manusia lain. Apa jadinya jika segala aib itu terlihat nyalang nan kasatmata? Masihkah kita mampu dengan percaya diri berdiri tegak menatap dunia? Dia, Yang Maha Kuasa tentulah sangat mencintai kita, betapapun kita telah berbuat begitu banyak dosa. Malam itu sepenggal cinta-Nya turun melalui perempuan di seberang yang diam-diam mengirim doa, yang diam-diam menulis teks-teks panjang di media sosial untuk adindanya ini. Semoga Allah juga selalu menjaganya.

"Ya Allah, jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka, dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."
-Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.- 



-Untuk Kak Ella

Sabtu, 02 April 2016

Mawar yang Terenggut dari Tangkainya




Lelaki tak pernah usai menebar bunga, namun menyayatkan luka pada akhirnya. Sementara perempuan berlebihan menimang harapan dan mimpi-mimpi tak pasti.

“Apakah selalu seperti itu, Yunda? Kenapa harus selalu perempuan yang menerima luka?”

Aku menggeleng perlahan. Tidak, Dinda. Tidak semua laki-laki berengsek, pun tak semua perempuan rapuh pula.

“Lantas?” Gadis berkerudung biru toska di sampingku membenarkan letak duduknya. Ada nada keresahan dalam sebilah tanya yang ia lontarkan.

“Kita hanya sedang tertatih belajar,” ucapku kemudian.

“Maksud Yunda?” Aku bergeming, sebelum kemudian ia melanjutkan kisahnya.

“Aih, tentu aku masih belum bisa lupa. Lelaki itu telah mengincarku sejak lama. Namun, sejak awal aku telah menegaskan kepadanya untuk menjaga hijab komunikasi di antara kami, kecuali dia memang telah benar-benar serius dan siap untuk melamarku. Kupegang janjinya untuk itu dan kulihat pula bagaimana ia konsisten dengan ucapannya. Setahun berlalu dan ia memegang janjinya untuk tetap menjaga. Hingga aku menamatkan kuliahku dan diwisuda, ketika itulah ia mulai mendekatiku lagi, mengatakan bahwa ia serius dan siap untuk melamarku. Orang tuaku memang mengharapkanku segera menikah usai wisuda, Yunda. Lantas, orang tua mana yang tidak berbunga hatinya mengetahui pria yang datang berniat meminang putrinya adalah seorang hafiz Quran? Aku maupun ayah-ibu tidak sedikit pun meragukan keluasan pengetahuan agamanya. Insya Allah dia mampu menjadi imam yang baik kelak dalam rumah tangga. Baiklah, akhirnya ia berencana melamarku dua bulan kemudian, dengan konsep akhir tahun akad nikah kemudian resepsi digelar di awal tahun berikutnya.”

Ada jeda sebelum ia melanjutkan kisahnya. Aku bersiap mendengarkan kembali dengan seksama.

“Namun, itulah kuasa Allah, Yunda. Adindamu ini benar-benar tidak ingin memiliki sejarah kotor dalam mencapai mahligai rumah tangga. Lelaki itu ternyata tidak sabaran. Dia terus saja menghubungiku dengan gaya bahasa yang tak ubahnya seperti lelaki kebanyakan. Padahal, dulu-dulu aku menjauhinya sebab ia juga tak bisa menjaga hijab komunikasi. Awalnya ia memang berubah, namun muncul lagi dengan gaya yang seolah tak ada wujud perubahan itu, Ayunda.

Ketika itu aku sempat yakin bahwa dia berubah karena sudah setahun lebih dia bagai orang hilang dan sukses menjaga batasan komunikasi denganku. Maka, ketika ayah berkata usai wisuda sebaiknya aku menikah, saat itu pulalah ia muncul kembali memberanikan diri menghubungi keluargaku untuk melamar. Tentu niatan baiknya itu disambut baik oleh keluargaku, sebab ia lelaki baik, juga hafiz 30 juz. Awalnya, aku agak ragu karena pernah tak suka dengan caranya. Namun, karena dia telah membuktikan setahun lebih tidak menggangguku dengan niat hanya akan menghubungi lagi kalaulah tiba masa siap untuk melamar, maka aku memberinya kesempatan.

Ternyata, kau tahu apa yang kemudian terjadi, Yunda? Sebulan sebelum tanggal lamaran itu, dia malah parah menggodaku. Bukan terpesona, namun aku semakin muak dengan caranya. Entah bagaimana, langsung dengan cepat hasil istikharah lagi dan diskusi dengan guru ngaji, aku mantap membatalkan rencana lamaran itu. Aku menangis tersedu di telepon ketika menghubungi ayah dan ibu, aku bilang terus terang bahwa aku tidak siap menikah, sebab ada keraguan dengan sifatnya yang kebablasan melanggar hijab komunikasi.”

Ada kekecewaan berwujud kaca-kaca air mata di pelupuk matanya yang kemudian tumpah jua.

“Ikhlas ya, Sayang. Aku tidak bisa membantu apa-apa, selain turut mendoakan semoga adindaku yang salehah ini segera dipertemukan dengan yang jauh lebih baik daripada lelaki terdahulu. Kau tahu? Seringkali, kita terjebak pada label atau tampilan luar. Kita memandang ia adalah ikhwan aktivis dakwah, atau lulusan pesantren, atau hafiz Quran. Siapa sangka, perilakunya justru berbeda dengan simbol-simbol yang melekat pada dirinya, bisa saja. Kita memang sesama manusia, tidak berhak menghakimi iman dan takwa seseorang, karena itu semata urusan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Namun, bukankah beratus tahun silam Baginda Rasulullah saw telah bersabda, bahwa mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, bahwa simbol-simbol relijius yang melekat pada seorang hamba belum tentu menjamin kesalehannya? Lagipula, menikah bukan hanya urusan di dunia saja kan, Adinda?” ujarku.

“Iya, Yunda. Kini, aku tak peduli lagi dengan ucapan-ucapan sumbang di kanan-kiri. Ada yang mengatakan aku perempuan yang terlalu pemilih dan angkuh. Ada yang berlagak mengingatkan bahwa tiada manusia sempurna di dunia ini, begitu pun dia. Ada yang berkoar bahwa aku tidak bersyukur, di luar sana banyak perempuan yang masih lajang karena belum ada yang meminang, sedangkan aku malah menolak lelaki yang hendak meminang. Sakit memang. Ah, sungguh mereka tak tahu apa-apa, Yunda. Ini urusanku dengan Allah, hasil istikharahku yang terakhir mengatakan ‘tidak’.

Lantas, bagaimana denganmu, Ayunda? Tidakkah semua peristiwa yang lalu itu begitu perih untuk masih kau simpan di dalam ingatan?”

Aku menghela nafas. Sungguh, ingatan itu masih sering berkelindan di ruang benak, namun perih itu berangsur hilang berkat doa-doa penyembuh yang kupanjatkan.

“Sebagai perempuan yang telah menjejak di usia dewasa pula, ayundamu ini tidak mau sembarangan membuka pintu. Dulu-dulu itu, kau tahu, memang ada yang mendekat. Telah berteman cukup lama, dan ia dulu juga seorang aktivis di lembaga dakwah kampus yang sama. Namun, aku tidak menyangka ia seenaknya mendekat dengan cara yang tidak sopan, seolah melecehkan. Ayunda tidak ingin terjebak pada label atau simbol belaka, Dinda. Maka ketika seseorang yang baru itu datang setahun kemudian, ketika aku tahu ia memang masih berusaha belajar dalam hijrahnya—yang mungkin baru beberapa tahun belakangan, aku mempertimbangkan untuk menerimanya.

Awal-awalnya ia memang datang dengan cara yang baik. Pria yang hanif, begitu informasi yang kudapat tentangnya. Kami dijaga oleh sebuah proses yang memakai perantara. Ada hijab komunikasi yang menyekat di antara kami, selain terkendala jarak. Bagaimanapun, aku masih ingin menjaga batasan-batasan, karena belum tentu segala proses itu akan berujung pada hari akad, sangat mungkin untuk kandas begitu saja di tengah jalan. Kami tetaplah bukan siapa-siapa, meski niatan untuk melangkah ke tahap yang lebih serius itu telah menjadi kesepakatan bersama.”

“Sebab, proses menjadi baik itu memang sepanjang hayat, setiap orang berhak menjadi baik. Setiap orang memiliki jalan cinta yang tidak sama untuk mendekat kepada Rabb-nya, tidak bisa dipukul rata. Siapa tahu setelah bersamamu kelak ia memang benar-benar berubah menjadi semakin hanif. Jika ia memang bukan lelaki baik, tentu ia tidak akan mencari perempuan salehah sepertimu, Yunda. Ia akan mendekat dengan cara-cara tak baik dan mengajak pacaran seperti lelaki kebanyakan. Lantas, bagaimana kelanjutannya?”

“Setelah mempertimbangkan, kuyakinkan diri ini bahwa ialah orang yang tepat, usai ia mengatakan telah mantap dan mampu menerimaku ketika itu. Ia juga mengutarakan akan kesanggupan bersabar menunggu ayundamu yang masih belum selesai dengan urusan studi dan belum memiliki pekerjaan ini. Kutolak tawaran demi tawaran lain mengenai pinangan yang datang silih berganti, demi seorang yang tengah berproses denganku ketika itu. Lantas, ada benih harapan yang perlahan tumbuh. Ya, perempuan mana yang tidak memiliki harapan?

Adinda, doaku di tiap penghujung salat memang tak pernah sekalipun menyebut namanya, tak pernah meminta agar Allah melapangkan jalan kami hingga sampai hari perjanjian kuat itu dibuat. Namun, doaku adalah, jika memang ia tertakdir untukku, semoga Allah segera turun tangan, melancarkan segalanya dan menguatkan langkah-langkah kami. Namun, jika tidak, semoga Allah segera menunjukkan tanda-tanda-Nya, mohon dijauhkan dan digantikan dengan yang lebih baik menurut versi-Nya.

Benarlah, urusan semakin pelik dan rumit hingga rencana-rencana yang kami buat sebelumnya tertunda dan tertunda. Jarak semakin merentang jauh. Dan ternyata, ia memang tak mampu lebih bersabar lagi. Pun masih belum bisa meluruhkan ego dan emosi. Ah, jangan-jangan juga belum bisa membedakan antara bersegera dengan tergesa-tergesa. Bukankah tergesa-gesa itu muasalnya juga dari setan? Sedangkan setiap pencapaian tentu menghajatkan kesabaran soal waktu dan keadaan, aku menganggapnya sebagai sebentuk ujian yang memang harus dilalui. Namun, kalimat tanyanya yang kuterima kemudian nyaris membuatku tersedak: mau dilanjutkan atau tidak? Sementara aku memang tidak ingin menjilat ludah sendiri dengan mundur begitu saja tanpa alasan yang pasti.

Ia beralasan begini dan begitu mengapa kemudian jadi ragu terhadapku. Alasan yang menurutku hanya sekadar dibikin-bikin untuk berkelit saja demi menghentikan segala kerumitan ini. Yaa, semoga prasangkaku salah. Namun, seiring keraguannya, semakin muncul pula keraguanku. Tanya yang dulu hanya mendekam, belum menemukan jawaban yang terang, lantas hadir lagi: apakah dengan perilaku yang sekarang ia tunjukkan mengindikasikan bahwa ia memang seorang yang agamanya baik? Jika sekarang saja ia berani menatapku seperti itu, apakah menjamin ia mampu menjaga pandangannya dari  perempuan lain setelah menikah nanti? Jika sekarang saja ia bisa berucap seperti itu, apakah menjamin kelak ia mampu menjagaku untuk tetap berbakti kepada pintu surgaku yang sebelumnya? Ah, aku tak ingin main-main dalam memilih nakhoda, sebelum terlanjur berlayar di tengah samudra.

Usai keraguan demi keraguan, usai mengadukan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, usai memohon supaya hati ini dilapangkan dan dikuatkan, meski sesak, kuputuskan untuk mengakhiri proses itu saja. Melanjutkan hidup masing-masing, menjalani takdir masing-masing. Bahwa mungkin Allah menghendaki masing-masing kami untuk lebih mempersiapkan diri untuk siapapun nanti, selain seonggok niat yang mungkin memang harus diluruskan dan diperbaiki. Bahwa cepat belum tentu bermakna tepat.

Tetap bersyukur dan berterima kasih atas apa yang telah terjadi, atas segenap pelajaran berharga yang telah diberikan. Bahwa usai episode bernama ujian, usai ikhlas yang harus senantiasa disemaikan, kita memiliki jiwa yang lebih lapang dalam menapaki kehidupan, juga hati yang lebih kuat dan tabah menerima setiap ketentuan. Berkali-kali jatuh bukan untuk melemahkan, namun menguatkan.

Ya, kita hanya sedang belajar, Adinda. Belajar memunguti bermacam-macam hikmah yang tersembunyi di tiap potongan kejadian.

Cinta itu menjaga, tergesa-gesa itu nafsu belaka. Sedangkan cinta dan kehormatanmu sebagai seorang perempuan terlalu mulia untuk dinodai dengan ketergesaan dalam melangkah, meski langkah-langkah lelah itu pun tak lain adalah demi pemenuhan ibadah kepada Sang Khalik. Tidakkah setan turut menjadi penyeling, jika kau memperturutkan ketergesaan?

Cinta adalah menjaga apa yang memang seharusnya dijaga, termasuk menjaga nyala ruh niat itu lurus kepada-Nya. Cinta adalah menjaga kesabaran, sebab di dalamnya ada kebaikan-kebaikan, ada pertolongan tuhan yang mungkin tak akan pernah engkau sangka-sangka. Allah bersama siapa saja yang sabar, bukankah juga tak ada jalan pintas dan gampang menuju surga-Nya?

Cinta adalah menjaga, pun merawat apa atau siapa yang dicinta dengan kesungguhan. Ibarat mawar, menyiraminya dengan ketulusan saban hari. Memberinya kehangatan cahaya namun juga memberikan keteduhan. Memetik tangkai bunganya yang telah mekar mewangi dengan hati-hati. Bahwa sang mawar memang terlampau berharga untuk dicerabut paksa, sebab hanya akan melukai tangan pemetiknya.
Baik kau maupun dia sama-sama tidak ada yang ingin terluka, bukan?

Jika kau ingin dipertemukan dengan yang mampu menjagamu, jagalah apapun yang memang sepatutnya dijaga, meski itu bukan perkara yang mudah dan sederhana.”

Ia tersenyum tipis. Membenarkan lipatan kerudungnya, mengusap sisa-sisa linang yang mengaburkan rona pipi merah jambunya. Air mata haru, lebih baik kusebut demikian.

“Kita adalah mawar-mawar mekar yang tengah menunggu tangan terbaik untuk memetik dengan cara terbaik. Tentunya, bukan sembarang tangan.”

Aku tersenyum, mengiyakan.  

Jumat, 26 Februari 2016

Annisa



Ada berjuta-juta, bahkan mungkin miliaran orang bernama Annisa di muka bumi ini. Nama yang sangat jamak, pasaran, namun indah. Karena itulah banyak orang memakainya. Nama yang diambil dari bahasa Arab, perempuan. Ia juga abadi menjadi salah satu nama surah istimewa dalam Alquran. Ya, perempuan. Nama yang sangat Islami.
 
Ada banyak Annisa yang saya kenal sepanjang saya bersekolah dan kuliah. Kesatuan nama mereka umumnya senada: bahasa Arab atau bernada Islami semua. Namun, hanya satu Annisa yang saya kenal dengan perpaduan nama yang berbeda. Nama belakangnya Sigma Exacta. Mendengar kosakata ini, tentu saja saya (dan mungkin kalian semua) akan langsung membayangkan istilah-istilah dalam ilmu fisika atau matematika. Namun, ujaran apalah artinya sebuah nama (yang sebenarnya mampu disangkal, karena setiap nama sesungguhnya memiliki maksud) itu terlintas juga. Apakah seseorang tidak boleh menjadi presiden hanya karena namanya terdengar ndeso—Soeharto, Soekarno atau Jokowi? Apakah seseorang tidak bisa menjadi selebriti atau model papan atas lantaran namanya yang cuma Soimah atau Jono? Begitulah adanya, Annisa yang saya kenal dengan nama belakang Exacta bukanlah sarjana sains, teknik atau matematika. Ia sarjana humaniora. Alih-alih menyukai hitungan, sejak SMA ia sudah berada di kelas Bahasa, kuliah pun mengambil jurusan Sastra.

Jika dulu takdir menghendaki saya lolos seleksi masuk Sastra Jepang Universitas Indonesia, mungkin hari ini genap sudah sekitar enam tahun saya berkawan dengannya. Begitu pula sebaliknya, jika dulu takdir menghendaki ia lolos seleksi masuk Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, mungkin hari ini juga genap sudah sekitar enam tahun dia berkawan dengan saya. Namun, takdir kami berbeda. Ia menerima nasibnya sebagai mahasiswi Sastra Jepang UI, sedangkan saya, qanaah dengan ketentuan-Nya yang menggariskan saya sebagai mahasiswi Sastra Inggris UGM. Siapa sangka, Februari 2014 kami dipertemukan di satu ruang kelas sebagai teman satu angkatan, satu jurusan Pascasarjana Japanese Area Studies UI. Siapa sangka, saya yang “menyeberang”, dia yang “bertahan”. Jika kami sama-sama menyeberang atau sama-sama bertahan, mungkin pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Saya yang sejak semester awal kuliah S-1 merasa “salah jalur” dan tidak passion sudah merencanakan “alih jalur” sejak semester enam. Saya tulis di buku harian: setelah ini saya S-2 di sini, jurusan ini. Qadarullah, hal itu mewujud nyata. Meskipun tidak linier. Tapi, namanya juga ilmu. Belajar tentang Jepang sudah menjadi cita-cita saya semenjak SMP.

Namun tidak dengan Annisa, ia lebih memilih manut orang tua yang mengharapkan ia jadi dosen, padahal sebelumnya ingin “alih jalur” juga. Ketika beberapa orang memandang keputusan saya nyeleneh, saya rasa tidak dengan bagaimana ia memandang saya. Ahai, saya memang ‘si ungu’ yang cenderung memandang dunia dengan caranya sendiri dan terkadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Tidak pernah terbayang pula sebelumnya, kami akan dekat. Awal semester saya lalui dengan sakit-sakitan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sering absen dan seringkali jadi mahasiswi kupu-kupu. Tugas kelompoklah yang mengakrabkan kami di semester berikutnya. Hampir selalu satu kelompok, akrab perlahan, cerita-cerita pun mengalir dan bertukar satu sama lain. Ditambah lagi, sama-sama orang Jawa yang cenderung memiliki kesamaan dialek bahasa. Laksana menemukan oase, bisa bercakap-cakap menggunakan mother tongue kami di lingkungan heterogen seperti Depok dan Jakarta merupakan satu hal sederhana yang kami syukuri.

Begitulah, kami diakrabkan oleh waktu. Ada banyak cerita yang saya tumpahkan kepadanya dengan “semena-mena”, sementara ia dengan senang hati menyimak cerita saya dengan sabar dan seksama. Jika saya memang seratus persen plegmatis, seharusnya saya yang menjadi “tempat sampah”, bukan “tukang cerita”. Namun nyatanya, saya yang memang senang bercerita—baik melalui tulisan maupun lisan tak pernah tahan jika menyimpan segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang yang dianugerahi Allah kepribadian sanguinis—yang ibaratnya nggak ada lo nggak rame, Annisa tak banyak melimpahkan curhatan-curhatan panjang seperti saya. Hidupnya adalah ceria, bahagia dan penuh tawa, sepahit apapun duka yang dialami sebenarnya. Sehingga, tak heranlah ketika kisah-kisah saya yang menye-menye kadang ditimpalinya dengan candaan yang berakhir dengan tawa. Ah, saya tidak jadi menangis kalau sudah demikian. Seolah-olah saya begitu gloomy, sendu dan mudah sekali menitikkan air mata, sedangkan ia seolah matahari yang bersinar ceria mengusir mendung, sehingga hujan pun batal turun. Itulah gunanya sebuah beda.

Semester terakhir, saya memutuskan untuk pindah kos. Ujung-ujungnya, saya satu kos dengannya. Tak usah ditanya, sudah pastilah hampir tiap hari haha-hehe bersama. Makan bareng, ngampus bareng, nonton bareng, ke perpustakaan dan mengerjakan tesis bareng. Segala rupa peristiwa dan suka-duka semester terakhir kami lalui bersama. Saya, masih saja kerapkali melimpahkan curhatan-curhatan kepadanya. Seiring usia yang beranjak, seiring waktu yang menobatkan kami lulus magister, seiring hari-hari di depan yang menuntut banyak tanggung jawab, obrolan itu lantas tak pernah jauh-jauh dari bab masa depan. Masa depan yang masih misterius, abu-abu, random, susah diterka, namun tetap wajib diperjuangkan dengan kesungguhan.

Ibarat cerita di novel, ada suspense yang tejadi di chapter akhir masa saya di jenjang S-2. Ada ganjalan di salah satu dosen penguji yang tidak menyetujui tesis saya untuk diluluskan ketika itu. Terancam tidak lulus semester itu membuat saya lumayan terpukul. Berkat bantuan Allah Yang Maha Kuasa melalui dosen pembimbing tercinta, saya diperbolehkan merevisi tesis secara signifikan dalam waktu empat hari saja. Ah, ini sungguh masih mending daripada saya harus menambah semester. Namun tetap saja kalut, cemas, stres, hingga tidak doyan makan, berpadu menjadi satu. Berkat dukungan, motivasi dan doa dari semuanya (terutama doa ibunda), halang-rintang itu terlalui juga. Sebagai yang sudah berhasil lulus duluan, Annisa merasa segan menghubungi saya yang masih dirundung stres. Ia hanya menitipkan sebatang cokelat dengan disertai secarik pesan di atas kertas: percayalah bahwa semua ini akan berakhir esok hari. Ada perasaan haru sekaligus bersalah yang tiba-tiba menelusup, mereka semua tentu berharap kami bisa wisuda bersama-sama, dan kasus yang saya alami membuat mereka sedikit-banyak khawatir juga.

Akhirnya, 6 Februari 2016, kami resmi diwisuda. Ada bahagia yang meruap, tentu saja. Ada sejuta syukur yang mengendap. Namun, ada kesedihan yang ikut hadir, mengapa semua ini harus berlalu sedemikian cepatnya. Ada momen bernama “pisah” yang niscaya terjadi cepat atau lambat. Bagi orang-orang masa depan maupun masa kini, akan ada rindu yang “tak biasa”. Rindu kepada masa lalu. Pun kami nanti, akan rindu kebersamaan-kebersamaan sederhana yang sejatinya penuh makna. Rindu pulang berkereta sembari memperbincangkan hidup dan kehidupan, rindu makan bareng di warung pinggir jalan yang murah meriah, rindu mengerjakan tugas kuliah bersama, merindukan apa saja asalkan itu momen bersama.

“Mbak, beasiswa AAS lagi bukaan nih. Aku pengen nyoba. Kamu mau juga nggak?” tanyanya suatu hari. “Aku masih ingin mengejar mimpiku sekolah di negara yang berbahasa Inggris,” lanjutnya. “Aku salah tujuan. Hahaha.” Masih saja bisa bercanda. Saya menghela nafas, saya masih merasa bodoh, memang. Jika dituruti terus, ilmu tidak akan ada habisnya. Namun, impian saya tetaplah sekolah di Jepang, bukan Aussie. Masih saja, kami seolah memiliki ingin yang berbeda, dan itu ditukar pula dengan takdir yang tidak sama. Namun, tidak ada tujuan yang salah, sepanjang kita percaya bahwa Allah pasti memberikan segala sesuatu sesuai ikhtiar kita. Takdir-Nya pun kita tak bisa menerka.

 “Yang penting yakin, Sist,” itu yang akhir-akhir ini selalu dia katakan. Seolah memahami bahwa orang yang mudah ragu macam saya rawan terjatuh dalam kepesimisan. Ya, yakin. Bukankah sebagai seorang Muslim kita harus berprasangka baik kepada Sang Pencipta? Yakin bahwa Ia selalu mendengar doa-doa baik. Sementara keraguan yang seringkali saya pelihara bukankah dekat dengan prasangka buruk kepada-Nya? Astaghfirullah. Terima kasih telah mengingatkan saya. Ada banyak kepingan hikmah yang bisa kami ambil dari cerita-cerita yang saling kami lontarkan, dari perkara remeh-temeh hingga kegalauan yang memuncak.

Allah, terima kasih telah menghadiahi orang-orang baik dan luar biasa di sekitar saya.


“Wherever we’ll go after this, doesn’t matter how different the path that we’ll choose after this and whatsover, let’s be friend forever.”