Tampilkan postingan dengan label sketsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sketsa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Juni 2017

Doa yang Berhimpun





Apakah kau pikir selama ini kau berjuang mengetuk pintu langit sendirian?

Ramadan tahun ini telah memasuki lebih dari separuh bulan. Betapa cepatnya sang waktu yang berlari tanpa memedulikan nasib kita hari ini. Sebagian orang santai sambil tetap mengerjakan rutinitasnya setiap hari; memikirkan akan memasak apa untuk buka dan sahur, ke mana akan pergi ngabuburit, menu apa yang harus dibuat untuk anaknya yang masih balita, kapan ia harus mencuci, mengepel, dan mengerjakan urusan rumah lainnya. Sebagian orang sudah sibuk memikirkan Tunjangan Hari Raya dan daftar belanja, berkali-kali melongok almari yang ia rasa harus segera diisi dengan pakaian baru, mukena baru, atau sajadah baru. Sibuk memerhatikan penampilan baru di hari lebaran, namun melupakan apakah jiwanya telah bersalin pula menjadi lebih baik ataukah tidak.  

Sebagian orang yang lain memendam gelisah akan tanggal yang kian tua, resah dengan waktu yang demikian cepat berlari tanpa memedulikan nasibnya hari ini. Merisaukan kedatangan hari raya yang selalu berujung tanya dari sanak saudara: kapan? Entah kapan lulus, kapan bekerja, kapan menikah, kapan memiliki anak, atau kapan-kapan lainnya yang ujungnya membuat kita seolah sok merasa tersakiti. Tanya itu ibarat pisau belati yang digoreskan tepat di ulu hati. Kita tiba-tiba merasa menjadi makhluk kurang beruntung, terlambat mencapai hal ini dan itu dalam arena kehidupan, ketika di petak bumi lain orang-orang lain telah mencapainya. Kita tak jarang merasa tanya mereka tak ubahnya kalimat sindiran, bagai dipermalukan di tengah keramaian. Padahal mungkin tiada maksud lain selain basa-basi dan mencairkan suasana untuk menghangatkan keakraban. Namun, kita yang tak pernah kebas rasa selalu menerjemahkan itu menjadi sebuah kezaliman: bagaimana menjawab tanya yang kita sendiri tidak tahu jawabannya? Kita merasa dijebak agar buntu menjawab, kita merasa dunia tak adil, pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah kompensasi sok peduli namun tanpa solusi, serta segudang prasangka negatif lain yang mengiringi.


Bisakah sederet pertanyaan “kapan” itu kita maknai dengan hati yang lebih bening dan lapang?


Bahwa tanya mereka sesungguhnya berujung harapan dan doa, jika kita pun menyambut baik tanya itu dengan “Mohon doanya.” Bahwa tanya mereka sesungguhnya tak bermaksud sejengkal pun melukai perasaan kita yang terlanjur kelewat sensitif. Bisa jadi, melalui pertanyaan basa-basi, ada doa yang kemudian diselipkan, digumamkan, dilantunkan, tanpa telinga kita mendengarnya. Bisa jadi, kumpulan tanya itu beralih wujud menjadi kumpulan doa. Doa untuk kita yang ditanya.

Kita tidak pernah tahu doa kita yang mana yang akan diijabah oleh-Nya. Kita tidak pernah tahu doa dari mulut siapa yang terucap untuk kita yang akhirnya menurunkan perpanjangan tangan-Nya. Mungkin doa dari orang-orang yang pernah kita bantu dan mendapatkan kebaikan dari kita, mungkin juga tulus-ikhlasnya doa orang tua, mungkin juga doa saudara dan kawan-kawan kita. Seringkali kita tidak menyadari, kita tidaklah berusaha dan berdoa seorang diri. Ada doa dan harapan-harapan dari orang lain yang turut dipanjatkan, seiring kita juga tulus menanggapinya dengan sikap santun dan senyuman.

Lebaran nanti—atau kapan pun jua, semoga semakin bijak menghadapi lontaran pertanyaan-pertanyaan. Bukankah lebih manis meminta senantiasa didoakan, sebab kita tak pernah berjuang mengetuk pintu langit sendirian, bukan?





#CatatanRamadanHarike18

Senin, 05 Juni 2017

Kisah untuk Suatu Hari Nanti






Kelak, entah tahun berapa, entah berapa puluh bulan, berapa ratus minggu, berapa ribu hari, berapa miliar detik kemudian setelah hari ini, aku ingin duduk tenang di tepian jendela kamar kita. Ada kursi empuk dan bantal bundar bertuliskan “Everyone has a story to tell”, serta meja kayu yang dipelitur cokelat tua. Tentu meja itu tidak pernah hampa. Ada komputer jinjing, tablet, atau bahkan buku-buku catatan tempat aku menggoreskan pena. Ada jambangan keramik oval dengan kuntum-kuntum edelweiss yang semakin menua di sana—kau hadiahkan itu untukku beberapa tahun lalu usai kau pulang mendaki entah puncak gunung mana lagi. 

Selalu ada secangkir capuccino, cokelat panas, atau sekadar teh manis hangat yang turut menemaniku duduk menghadap jendela besar kamar kita. Rumah kita tak perlu pengharum ruangan, sebab di luar jendela kita yang selalu kubuka telah kutanam rumpun-rumpun mawar dan melati yang jika mekar wanginya akan menguar, merasuk-menyentil saraf-saraf olfaktori. Aku juga merasa tak butuh musik-musik instrumental yang katanya mampu membangkitkan inspirasi. Bukankah gemericik air hujan yang mendenting-denting di atap rumah sudah cukup merdu untuk didengar. Hujan yang menderas tak lain adalah simfoni terindah, melodi paling harmoni, ketika alam bersenandung dengan bahasanya. Lantas, pohon-pohon yang takzim menunduk mengeja syukur, ia nikmati basahnya daun-daun dan bebungaan, bertasbih dengan cara mereka.

Pun aku dan kamu, mengeja syukur dengan cara yang telah kita sepakati jauh-jauh hari, bahkan sebelum kita berteduh dan tinggal di bawah atap yang sama. Kita bersyukur atas cara Allah mempertemukan dan mengatur jalan cerita, dengan tetap bergenggaman tangan meski ada kerikil-kerikil tajam dan hujan badai yang mulai mendera. Kita bersyukur atas karunia limpahan rezeki dengan tetap beramal dan menyederhanakan bahagia. Sebab, cukuplah setia dari masing-masing kita menjadi harta paling berharga. Sebab, mengepak dengan satu sayap tak cukup kuat untuk mengantarkan kita kepada surga-Nya.

Aku berterima kasih, bahwa adamu yang tak pernah kusangka sebelumnya ternyata membuatku semakin lihai menulis beragam kisah dengan penggal-penggal hikmah. Adamu adalah penyulut candu agar aku mampu menuang bahasa-bahasa indah nan santun-bersahaja. Sosok yang tak pernah sekalipun memprotes mengapa aku gemar berlama-lama duduk menyendiri bertemankan sepi, bahkan urung rindu ketika kau seharian pergi bekerja. Karena kita tahu, merawat rindu dalam jarak cukuplah dengan doa-doa yang berpeluk di hening munajat kepada-Nya. 

Kelak, di tepi jendela itu, aku akan menuliskan kisah bagaimana kita berjumpa.





Tulisan lama yang teronggok di folder laptop, dan waktu itu batal diposting



Sabtu, 29 April 2017

Jalan Pulang




Two roads diverged in a yellow wood
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth

-Robert Frost-

Jika setiap jalan lurus tanpa kelokan dan tanjakan, jika setiap kisah selalu bermuara pada ekspektasi sebelumnya, jika semua cerita selalu berakhir bahagia tanpa kegagalan-kegagalan yang menjadi konfliknya, bisa jadi akan sulit sekali syukur terucap dari bibir kita. Bisa jadi pula kita yang lemah ini tak akan kunjung menarik pelajaran demi pelajaran yang dihidangkan semesta.

Setiap jalan adalah rawan, mengandung bahayanya masing-masing. Dan kita sepenuhnya berhak menentukan jalan mana yang paling aman, meski itu semua menghajatkan hati yang lapang, kesabaran tiada berbatas, serta sepasang kaki yang kuat untuk terus melangkah.

Mungkin jalan itu terjal mendaki. Mungkin ruas jalan yang kita tempuh tak pernah luput dari semak belukar maupun duri-duri yang menajam. Mungkin bentangan jalur yang harus dilalui itu menikung-nikung, naik turun, dan berkelak-kelok. Namun, untuk sebuah tempat pulang paling lapang yang kelak akan kita temukan setelahnya, tak ada perasaan paling melegakan selain bahagia, tak ada ungkapan paling merdu selain kesyukuran yang tak terungkapkan oleh kata-kata.

Untuk segala ujian sepanjang perjalanan, semoga tak ada sesal yang hinggap, tak ada sedih yang turun, tak ada dendam yang mengendap bertahun-tahun. Kita tak akan menyesali pilihan yang telah kita ambil, walaupun mungkin pilihan itu pada akhirnya menemui titik gagal yang membuat kita tak bisa meneruskan perjalanan. Kita hanya perlu memutar arah, kemudian mengusahakan jalan-jalan lain yang disediakan oleh tuhan. Seraya berprasangka baik bahwa kemudahan-kemudahan akan selalu dihadirkan, seiring kuatnya munajat dan ikhtiar yang benar.

Kita percaya, suatu saat kita akan pulang ke tempat terbaik, kita juga percaya cepat atau lambat segala cerita ini akan mencapai ujung pangkal alias ending-nya. Meski lamanya waktu dan kerasnya upaya menjadi syarat yang harus ditunaikan sebelumnya. Meski konflik demi konflik menjadi penghias alurnya. Meski kita tidak benar-benar tahu ujung pangkal segala cerita ini akan seperti apa, itu rahasia-Nya. Lambat laun kita akan memahami, betapa baiknya Allah ta’ala yang selalu menghadirkan tanda-tanda bagi setiap pengelana. Kita semakin yakin bahwa setiap yang istimewa tak akan diraih dengan mudahnya. Semoga kuat melangkah seraya menguntai kesabaran yang tiada berbatas, esok dan seterusnya.

Selasa, 07 Maret 2017

Renjana #3



Kita tertatih mengurai takdir, meski tangan kita terlalu rapuh untuk memunguti keping-keping hikmah sepanjang jalan. Kita mencoba menerka jawaban, atas mengapa kegagalan-kegagalan nan menyakitkan harus menjadi penyeling dalam setapak perjalanan. Kita mencoba belajar menerima segala kemungkinan dan ketentuan, seraya masih terus memanjangkan sabar dan memperkuat ikhtiar. Kita mematut diri di depan cermin, mencoba untuk mencerna pemahaman bahwa pantulan seperti itulah nanti yang akan kita dapatkan sebagai teman. 

Kita berupaya menahan rasa yang mulai menggejala. Tak boleh sekali-kali kuncup dan mekar sebelum waktunya. Kita mengadu di atas sajadah, memperbanyak jumlah doa dalam sehening-heningnya munajat di malam-Nya yang sepertiga. Kita tetap belajar melabuhkan harapan tinggi jauh ke langit sana. Sebab membangun harap kepada sesama tak ubahnya bersiap jatuh ke jurang kecewa. Kita berupaya memperbaiki niatan, supaya tak berbelok, lantas malah mematahkan keinginan. Kita berusaha menjadi apa adanya, sebab kita sadar kita jauh sekali dari sempurna.

Kita bergerak pasrah seperti daun-daun luruh. Entah di mana kita akan jatuh. Sekecil apapun kemungkinan untuk jatuh di tempat yang sama, kita percaya itu sangat mudah bagi-Nya.




(Disalin dari caption di instagram)

Mengeja Kesendirian




Sesungguhnya, apa yang tengah dipikirkan orang-orang tentang kesendirian? Adakah kebanyakan manusia berasumsi bahwa sendiri selalu berkawan akrab dengan kesunyian? Sesungguhnya, apa yang selalu dipikirkan orang-orang kebanyakan tentang kesendirian? Adakah mereka selalu menganggap bahwa sendiri berarti hampa, sepi, dan penuh kesedihan nan tak berkesudahan?

Orang-orang yang merasa kesepian selalu mencari tempat-tempat ramai. Orang-orang yang jemu akan kesendirian memupus kehampaan melalui berjumpa dengan banyak manusia-manusia lainnya, menyibukkan diri dengan aneka kegiatan, berbincang, berdiskusi, bertukar cerita, atau sekadar menciptakan senda gurau tak penting sambil menyeruput kopi. Namun, ada pula orang-orang yang memberantas kesepian cukup melalui menenggelamkan diri sendiri pada musik yang sibuk ia dengarkan, atau membenamkan dunianya pada buku cerita yang tekun ia telusuri kisahnya. Di sisi lain, ada masanya kesendirian begitu mengasyikkan. Ia tak lagi dimaknai sebagai wujud kesepian atau keterasingan, namun lebih sebagai kebebasan yang membahagiakan.

Kau menikmati sebuah perjalanan tanpa teman dan hanya bisu sepanjang kereta itu mengantarmu ke tempat tujuan. Kau menikmati melemparkan pandang ke luar jendela sembari merenungkan banyak hal atau membuat kontemplasi demi kontemplasi tanpa ada yang mengusikmu hanya untuk sebuah pertanyaan basa-basi. Kau pun menikmati kesendirian di sepertiga malam, di mana kau bebas mengadu, menumpahkan air mata, mengutarakan segerombolan sesak dan keinginan kepada tuhan. Bagaimana mungkin kau akan sebebas itu menumpahkan tangis dan sedu-sedan di tengah keramaian? Kau tentu malu. Bahkan dalam kesendirian pun jiwamu tetaplah ramai, riuh mempertengkarkan banyak persoalan dan pertanyaan. Lalu, kau juga menikmati kesendirian sebagai waktu terbaikmu untuk menulis berbagai hal yang melesak di benak. Kesendirian mengajakmu memikirkan ulang kejadian-kejadian, mengurai hikmah dan pelajaran-pelajaran yang berserakan. Tak jarang, kesendirian menciptakan ruang pula bagi perbaikan demi perbaikan. Ada kalanya, sendiri terdengar jauh lebih merdu diucapkan daripada berdua, bertiga, berempat dan seterusnya.

Kemudian orang-orang yang mencintai kesendirian bertanya, apakah yang tak lagi sendirian benar-benar menemukan hakikat kebahagiaan? Tak jarang, kebersamaan bukan lagi perkara kehangatan, namun memunculkan konflik alias pertikaian-pertikaian. Kebersamaan adalah peleburan ego individu-individu dengan isi kepala yang berbeda.

Kebahagiaan bisa saja hadir dalam kesendirian, namun juga selalu hadir dalam kebersamaan. Kesedihan dan kegembiraan sesungguhnya berada di neraca yang sama, begitu ujar Kahlil Gibran. Kita tak bisa selamanya mengatakan kesendirian rawan akan kesedihan, namun juga tak bijak menghakimi kebersamaan selalu dihiasi pertikaian-pertikaian. Ada masanya kita mendamba kebersamaan ketika sedang sendirian. Ada masanya kita ingin mengasingkan diri sejenak dari keramaian. Ada kalanya kita melihat pasangan-pasangan yang selalu harmonis dan bahagia, genap-menggenapkan, sehingga kita merasa tak utuh dengan kesendirian. Ada kalanya ketika telah bersama kita merasa tak sebebas ketika masih berstatus sendirian.

Apapun alasannya, apapun keadaannya, kita pada hakikatnya tak ingin selamanya berkelumun hening dengan menapakkan kaki sendirian di setapak jalur kehidupan. Kita membutuhkan—setidaknya satu saja—teman dalam perjalanan, yang akan membantu menguatkan langkah, menyemangati, memberi arti bagi episode-episode di lembar-lembar selanjutnya, demi mengayun langkah ke satu tujuan. 

Namun, selama waktu tunggu, selama belum menemukan teman dalam perjalanan, semoga kesendirian semakin mengajarkan kepada kita tentang sebijak-bijaknya pemahaman. Bahwa kesabaran adalah juga sebaik-baiknya perjuangan. Bahwa doa selalu didengar oleh Sang Penguasa Alam. Bahwa kesendirian berbanding lurus dengan upaya penjagaan diri dari segala hal yang mungkin bisa menjauhkanmu dari tuhan. Bahwa kesendirian adalah menjaga cintamu utuh sepanjang jalan. Bahwa dengan kesendirian, kau masih mampu mengerjakan kebajikan-kebajikan dan mencetak karya-karya luar biasa.

Kita tak ingin selamanya sendiri. Tetapi, berkawan akrab dengan sepi membantumu mengerti, kesendirian tetap membuatmu mengulum senyum, tak mengurangi kadar bahagiamu barang sesenti pun. Lalu kau ingin berteriak lantang kepada dunia: mari bahagia apapun keadaannya.