“Assalamualaikum,
Ukhti. Sedang apa?”
Sapaan
di suatu malam bertahun-tahun silam yang seringkali mampir di kotak pesan
ponsel saya. Sialnya, hal itu membuat siswi putih abu-abu macam saya jadi addicted. Merasa kurang ketika sehari
saja tak ada sapaannya, merasa kurang ketika tak ada kalimat sederhana darinya meskipun sekadar
menanyakan “sudah tidur atau belum” atau “sudah bangun dan salat subuh atau
belum”. Kemudian dari sapaan
sederhana, obrolan kemudian mengular ke mana-mana, meskipun dunia kami berbeda.
Saya masih SMA, dia sudah mahasiswa. Lantas, dia menjanjikan
sesuatu. Tak dapat dipungkiri, tentu saja saya berbunga-bunga. Sel abu-abu di
benak saya meresponnya dengan sigap. Berlembar-lembar sajak, cerpen, dan
muntahan di buku diari menjadi saksi mati betapa virus jambu merah tengah
mendera saya ketika itu. Anak ingusan dan masih belum lulus SMA, galau. Dimotivasi,
diperhatikan, disanjung oleh lelaki yang jauh lebih dewasa, sopan, alim. Apalagi?
“Syukron
bukunya ya, Ukh. ‘Afwan pinjamnya
lama. Anti nggak pa-pa, kan?”
(bermula dari pinjam-meminjam buku,
bertukar syair, lama-lama pinjam-meminjam hati. Astaghfirullahal’adziim..)
**
Apa
bedanya sama pacaran?
Saya terantuk pada pertanyaan itu. Ya, apa
bedanya kami dengan orang-orang lain yang berpacaran dengan saling memanggil “Sayang”?
Saya memang belum pernah berpacaran, dan tidak ingin kecuali setelah menikah.
Dan dia tentu juga sudah paham batasan-batasan. But why? Nafsu mengaburkan logika. Ada seribu satu macam alasan untuk membenarkan
nafsu.
Lantas
waktu memisahkan saya dengan interaksi tak sehat itu. Saya sudah cukup matang
untuk memahami arti sebuah silaturahmi. Saya sudah cukup bisa untuk melakukan
tindakan tegas; putuskan atau nikahi (ya sudah, karena saya masih imut-imut dan
belum waktunya untuk dinikahi, good bye
aja dah). Saya sudah cukup dewasa untuk bisa ditipu oleh ikhwan jadi-jadian
yang mengatasnamakan silaturahmi demi menjalin khalwat dengan akhwat, dibubuhi
dengan konten Islami, potongan-potongan kosakata Arabic khas anak Rohis yang membuat perbincangan jadi manis, and the bla and the bla… tetapi mengajak
ke bibir neraka dengan SMS-SMS mesra, ucapan-ucapan hangat dengan kata-kata
nyastra. Aih-aih…
Mentertawakan
kejaliahan diri sendiri di masa lampau seolah menjadi stimulan untuk
bermetamorfosa lebih indah dari hari ke hari. Ibarat kupu-kupu yang harus
bertapa sebelum lahir ke dunia dengan sayap indahnya, mutiara pun ditempa dalam
cangkang kerang yang tersembunyi di dasar lautan, mawar menjaga keindahan
kuntum-kuntumnya dengan duri yang menajam, maka membuat bidadari surgawi
cemburu pun tak serta-merta. Ayolah, bisa! Sama SMS-SMS gitu aja cemen.
Bolehlah membuat puisi yang serupa, namun disimpan dulu saja buat seorang yang
nanti sudah jelas keabsahannya sebagai pendamping hidupmu. #uhuukk!
Kemudian saya jadi sangat anti sekali
dengan kata satu itu: pacaran. Heran dan tak habis pikir dengan muda-mudi yang
sangat enjoy tanpa rasa bersalah
melakoninya sebelum dihalalkan. Lebih heran lagi ketika curhatan-curhatan tentang
pacar dan lika-liku hubungan itu mengalir di depan saya. Pacarku jalan sama
cewek lain, apa dia tidak memikirkan perasaanku? Ya Rabbi, ingin tertawa,
tetapi kasihan juga. Lagipula, siapa yang suruh pacaran, Mbak? Nggak nurut
aturan Allah sih. Jadinya situ sendiri yang repot. Aneh.
Paling aneh lagi ketika kalimat satu ini
dilontarkan, “Pacarku itu agamanya lebih bagus daripada aku. Dia saleh, rajin
salat.” #tepokjidat. Kalau dia agamanya bagus, nggak mungkin dia ngajak kamu
pacaran sebelum dihalalkan. Kalau dia memang menyayangi kamu, dia tidak
akan menyeretmu ke jurang maksiat. Dia akan dengan tegas meninggalkan kamu,
tidak akan sok memberi harapan palsu, dan jika memang serius dia akan datang
nanti di suatu waktu yang sudah pasti kepada orang tuamu untuk melamarmu.
“Li,
aku ingin putus dengan pacarku,” keluh-kesahnya kepada saya ketika itu berujung
pada kalimat tersebut. Saya mengucap
syukur diam-diam. “Ya sudah, tunggu apa lagi,” jawab saya. Saya pinjamkan
buku-buku Islam yang memuat tentang cinta dan pernak-perniknya kepadanya.
Semoga ia semakin mantap untuk berhijrah. Saya sangat yakin dia akan paham
dengan isi buku itu. Dia tipikal mahasiswi cerdas yang aktif di kelas. Tak
perlulah saya mengobrol panjang-lebar lagi tentang pacaran dalam Islam dan
lain-lainnya.
Ah ya, beberapa waktu kemudian ia menunjukkan
sebuah kalung berbandul huruf hijaiah “Allah”, kemilau, luxury. “Ini dari cowokku,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Ponselnya sibuk berdenyut, padahal jam kuliah
masih belum habis. Tentu saja, pacarnya yang merecoki.
Miris
dan ingin menangis. Saya kecewa pangkat sekian juta. Kemarin-kemarin harapan
bahwa ia akan sepenuhnya berubah mekar begitu saja. Namun, di mana letak malu
itu ketika ia jujur mengatakan masih bersama sang pacar, padahal dulu ingin
memutuskan? Ada
seribu satu alasan untuk membenarkan nafsu.
**
“Li,
ingatkan aku jika kau lihat aku mulai menyimpang ya,” pintanya menghiba. Dia sahabat saya yang lain lagi. Saya mengangguk.
Berjanji. Dia miris dengan teman dekatnya yang mulai terlibat pacaran, padahal
di sisi lain si teman ini juga menjadi mentor bagi adik-adik angkatan. Serasa langsung
tertampar QS As-Shaff di permulaan surah: kabura
maqtan ‘indallahi antaqulu ma laa taf’aluun.
Selang beberapa waktu, tak dinyana ia
mulai berubah. Intensitas pertemuannya dengan sang murrabiyah juga semakin
jarang, hingga tak pernah lagi. Dan saya harus menemui segepok kenyataan pahit:
dia pacaran. Rasa bersalah yang berlipat-lipat melingkupi saya, ke mana
saya ketika dia futur dan butuh teman
sharing? Sesibuk apakah saya hingga
saya alpa akan keadaannya, masih istiqomah atau mulai goyah? Dia paham. Tentu saja dia paham batasan-batasan.
Rabbi, lagi-lagi di balik itu ada seribu
satu alasan untuk membenarkan nafsu.
**
“Mbak, bagaimana menurut Mbak, jika ada
seorang hafiz Quran yang tak diragukan lagi pengetahuan agamanya, namun berani mengirimkan
harapan-harapan kepada akhwat yang bukan sesiapanya. Masihkah dia bisa disebut
saleh, Mbak?”
Duhai, kasus apa lagi ini? Ingatan saya
lantas menerawang ke masa silam, ketika diri ini masih jahiliyah dan terbius
oleh interaksi tak penting. Saya ucapkan kepadanya, “Bukankah kita sudah
sama-sama tahu, Adinda. Orang saleh yang paham agama, berikrar mencintai Allah
dan rasul-Nya tak akan berani berbuat sesuatu yang menyalahi aturan-Nya.” Ah,
jangan-jangan hafalannya cuma nyangkut di tenggorokan saja, tidak meresap
sampai ke hati... Duhai hati, masih Allah yang nomor satu kan?
Perempuan mana yang tidak mendambakan lelaki saleh sebagai imamnya kelak? Tidak ada. Bahkan perempuan awam belum berjilbab, atau jilbabnya masih belum syar’i pun bercita-cita sama dengan kita, yang sudah tercitrakan sebagai akhwat salehah berjilbab lebar, Adinda. Nah, apa yang bisa kita pelajari dari lelaki ‘saleh’ yang masih takut dan pengecut mengkhitbahmu hingga ia berikan perhatian demi perhatian dan harapan-harapan palsu untuk masa depan kalian. Tidak malukah kita, jari-jemari kita senantiasa memegang mushaf Alquran, namun dengannya juga kita ber-SMS dengan lelaki bukan mahram tentang perkara yang sia-sia.
Perempuan mana yang tidak mendambakan lelaki saleh sebagai imamnya kelak? Tidak ada. Bahkan perempuan awam belum berjilbab, atau jilbabnya masih belum syar’i pun bercita-cita sama dengan kita, yang sudah tercitrakan sebagai akhwat salehah berjilbab lebar, Adinda. Nah, apa yang bisa kita pelajari dari lelaki ‘saleh’ yang masih takut dan pengecut mengkhitbahmu hingga ia berikan perhatian demi perhatian dan harapan-harapan palsu untuk masa depan kalian. Tidak malukah kita, jari-jemari kita senantiasa memegang mushaf Alquran, namun dengannya juga kita ber-SMS dengan lelaki bukan mahram tentang perkara yang sia-sia.
Perempuan mana yang tidak mengharapkan
lelaki saleh sebagai pendampingnya kelak? Tidak ada. Bahkan yang sekarang
menjalin pacaran pun menginginkan hal yang serupa. Namun apa yang bisa kita
tuai dari hubungan mudharat semacam
itu selain dosa dan sakit hati? Ya Muqallibal Quluub, tsabbit qalbi 'ala diinik... Jika dia memang saleh, tentu dia tidak salah untukmu. UDAH, PUTUSIN (NIKAHIN) AJAH! ^_^
[di tengah alunan Tashiru--Maaf untuk Berpisah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar