Tampilkan postingan dengan label cermin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cermin. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Agustus 2017

Perkara Memaafkan




Saya pernah berada dalam fase susah sekali memaafkan seseorang. Saya pernah berada pada tahap membenci dan mendendam dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya menyesali pertemuan dan perkenalan dengan orang-orang yang hanya mampir menggoreskan luka saja. Sebenarnya, bensin yang disiramkan tidaklah seberapa, namun sungguh itu berpotensi mengobarkan api besar yang menyala-nyala. Terlalu sulit melupakan kejadian-kejadian lampau, sebab segalanya sudah terlanjur melekat di dalam ingatan. Saya mengingat dengan baik setiap kata dan sikapnya yang menyinggung perasaan. Setiap teringat, kebencian saya rasanya merebak lagi. Saya menjadi sensitif terhadap segala sesuatu atau siapa pun yang ada kaitannya dengan seseorang itu. Meski demikian, tetap saja saya penasaran dan berusaha menyelidiki kehidupannya melalui social media, walau acapkali membuka akun dia, selalu ada rasa benci yang belum padam sama sekali. Sungguh, saya belum terlalu paham bahaya penyakit ‘ain yang bisa saja muncul dari rasa dengki campur benci yang saya lontarkan ketika melihat akun dia.

Proses memulihkan batin ini tidaklah sebentar. Lalu, suatu hari saya mengetahui kalau seseorang itu terkena sakit. Tapi, hati saya masih saja keras: gitu aja diunggah, jelek bangetlah, norak. Cukup lama berselang, baru saya merenung tentang dendam yang masih belum padam. Apa jangan-jangan musibah yang dia alami salah satunya akibat ‘ain yang datang dari saya? Meski pembahasan tentang penyakit ‘ain ini telah ada di mana-mana dan berulang-berulang, materi ini memang rumit, tetapi nyata dan ada. Setan menunggangi rasa benci dan dendam saya terhadapnya, sehingga ia mengalami keburukan dalam hidupnya. Wallahua’lam. Saya tidak tahu apakah benar hal buruk yang menimpanya ada kaitannya dengan kebencian saya. Ah ya, mohon koreksinya jikalau ada kesalahan dalam pemahaman saya yang masih sangat dangkal.

Segala tausiyah, hadis, dan ayat tentang betapa mulianya memaafkan coba saya telan. Pelan-pelan, saya memohon kepada Allah supaya disembuhkan dari rasa sakit hati yang jika terus dipelihara akan semakin bertumpuk-tumpuk bagai sampah busuk. 

Fase pembersihan hati dari rasa tak suka ini belumlah usai, ketika suatu hari saya mengetahui kenyataan lain yang tidak menyenangkan melalui cerita seorang sahabat. Saya dan dia memang sudah agak lama “perang dingin”. Ia memang masih ada kaitannya dengan seseorang yang saya benci di atas. Kejadian di masa lalu dan ketidakterbukaan antara saya dan dia tak hanya membuat pertemanan kami renggang, namun juga seolah bagai bara di dalam sekam yang membakar diam-diam. Setahun lebih berlalu, namun ganjalan yang ditimbun dalam hati belum jua terungkapkan. Hingga suatu hari, akhirnya saya dan dia saling bercerita tentang apa yang sesungguhnya dirasakan dan dialami oleh masing-masing kami selama ini.

“Sebenarnya, aku ingin menjelaskan semuanya dari dulu, supaya tidak ada yang mengganjal di antara kita. Tapi, dulu ada yang ‘mengompori’ aku untuk mendiamkan kamu. Nggak usah menghubungi kamu lagi, nggak usah komen atau nge-like setiap postingan kamu di socmed. Andai aku tidak mendengarkan semua omongannya. Perempuan itu bilang kamu begini dan begitu. Menurutku, yang bikin seseorang itu menjadi ragu dan bersikap nggak enak kepadamu ya dia itu juga, kali.”

Saya tertegun. Siapa gerangan perempuan-di-balik-batu ini? Kenapa di belakang seolah meniupkan aroma adu domba antara saya dan teman baik saya pasca kami bermasalah? Saya lalu menceritakan apa yang sesungguhnya saya alami dan rasakan, karena saya paham, selama ini persoalan kami hanyalah perbedaan persepsi.

“Kenapa berbeda dengan apa yang kuterima ya? Sepertinya ada yang miss. Menurut sumber ceritanya nggak gitu lho.”

Sumber cerita yang ia maksud tak lain adalah orang yang sama, si perempuan-di-balik-batu. Ah, saya semakin tak paham, sekaligus tak menyangka. Rasa-rasanya, hati saya kembali terbakar. Dia bilang saya begini dan begitu? Mungkin kata-kata dia memang ada benarnya. Tapi bisa jadi itu hanya penilaian subjektifnya belaka. Namun, pantaskah itu dia lontarkan kepada orang lain? Lagipula, tahu apa sih dia soal hidup saya, sehingga berani memberikan judgement yang semena-mena? Tahu apa dia soal cerita yang sesungguhnya? Meski ia mengenal saya, mengapa sepanjang ini tak pernah ia beriktikad baik mencoba melakukan tabayyun atau klarifikasi yang selayaknya? Lalu, malah bertingkah bagai bara dalam sekam, bak duri dalam daging. Apa salah saya terhadapnya? Mengapa seolah-olah ia menyimpan rasa dengki kepada saya? Pertanyaan bercabang-cabang, mau tak mau menyemai prasangka negatif.

“Maafkan saja beliaunya. Anggap tidak ada apa-apa. Aku tahu itu berat. Aku tahu kamu pasti sakit hati. Tapi ya gimana?”

Bagaimanalah caranya mengikhlaskan begitu saja? Saya sudah terlanjur tahu cerita itu. Mungkin jika saya tidak tahu, perasaan sebal saya tidak akan pernah ada. Lalu, memaafkan itu sendiri juga proses, terkadang memakan waktu yang tidak sebentar.

Ah, sia-sia. Memikirkan kesalahan orang lain kepada kita hanya akan membuat gelisah dalam jiwa. Alangkah ruginya jika waktu kita dihabiskan dengan menggenggam dendam terus-terusan, padahal ia, ingat kita saja mungkin tidak. Ia hidup bahagia tertawa-tawa, piknik dan makan enak bersama kekasihnya. Kita tentu tak ingin merugi, sakit hati seorang diri. Kita ingin hati ini lapang, terbebas dari segala macam perasaan buruk yang menyelimuti.

“Doa, minta sama Allah supaya dilembutkan hatinya.”

Memaafkan juga merupakan proses belajar. Kejadian menyakitkan adalah ujian. Acapkali menemui kejadian tak mengenakkan hadir, kita sedang diuji. Namun, bukanlah pelajaran susah jika tidak tinggi nilainya di hadapan-Nya. Memaafkan perlu dilatih. Di depan, bentangan ujian itu akan selalu hadir. Kita tidak akan bersedia memelihara luka hanya karena sulit memaafkan setiap peristiwa menyakitkan, bukan?

Jumat, 10 April 2015

Cermin Retak



 
homes-kid.com


“Si A sama si B ini pacaran ya? Benarkah?” Matanya menatap tak percaya pada foto profil seseorang di sebuah media sosial. Foto itu menampilkan sepasang lelaki-perempuan yang tengah berpose dengan senyum luar biasa sumringah.

“Bukan sekali ini lho, aku lihat foto mereka berdua. Berkali-kali,” lanjutnya.

“Atau, jangan-jangan mereka sudah menikah?” tanyaku lugu.

“Belumlah. Kalau iya, pasti ada kabar.” Gadis itu mengerutkan keningnya. Ada gurat keheranan di parasnya yang sendu.

“Lantas?” Aku semakin bingung menghadapi kebingungannya.

“Yang membuat keningku berkerut adalah, sepemahamanku selama ini, si laki-laki itu alim. Dulu, ia sering mengimami teman-temannya salat berjamaah. Bahkan, anti sekali ia duduk berdekatan dengan perempuan yang bukan mahram. Kalau sedang berbincang denganku—misalnya, matanya berlabuh entah ke mana. Kuhargai itu. Dia berusaha ghadhul bashar dengan tidak menatap perempuan jelita di hadapannya (eh?). Tapi sekarang... mereka berfoto berdua, dekat sekali, dan belum ada ikatan yang sah menurut agama kita. Apa namanya kalau bukan pacaran? Atau... aku saja yang dulu salah menginterpretasikan perilakunya? Ternyata dia juga laki-laki biasa pada umumnya. Dulu sok menjaga, sekarang berubah. Oh, betapa ajaibnya dunia!”

People change. And we do change,” ujarku. Terlihat sekali ia kecewa dan hilang kepercayaan. Mungkin kalimat ini ingin dimuntahkannya juga tadi: jangan lekas percaya lelaki yang alim hari ini, bisa jadi ia brengsek esok hari. Begitu pula sebaliknya.

“Namun, apa gunanya konsistensi? Apakah ia hanya sebatas teori yang kita pahami, mengapung-apung di otak kita yang rumit, kemudian hati yang serapuh kertas mencoba menerjemahkannya menjadi seutas niat untuk dilakukan. Namun, apa daya? Betapa banyak bisikan halus tak kasat mata yang menolaknya. Iya, betapa tidak mudahnya mendekap cahaya. Cahaya yang dulu dicari tertatih-tatih, dari orang-orang sesama perindu cahaya, dari kajian-kajian di rumah Allah, majelis-majelis taklim, dari bacaan Quran yang setiap hari tidak pernah terlewat. Mungkinkah cahaya itu tercerabut begitu saja, karena dosa setitik yang setiap hari dipupuk? Ironis. Jika ia berwujud benda, mungkin istikamah menjadi salah satu barang paling mahal di dunia.” Parasnya semakin terlihat miris.

“Ah, bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanyaku kemudian.

“Sungguh, ingin kujaga diriku untuk satu-satunya lelaki yang berhak atasku kelak. Meskipun aku belum tahu siapa gerangan ia, dan di mana ia sekarang.”

“Oya? Lantas bagaimana dengan sebuah inisial yang tiga tahun terakhir ini membuatmu berbunga, berharap, menitipkan nama itu dalam doa-doamu yang penuh air mata, hingga akhirnya, nama yang rajin kau gumamkan dalam doa itu pulalah yang membuatmu terjerembab, jatuh, dan patah begitu saja? Kau bungkam dalam kondisi hati yang serba terluka, sebagaimana perempuan sewajarnya yang pandai mengunci mati rahasia batinnya di sudut hati. Namun, jatuh itu belum membuatmu patah arang, bukan? Sebab kemungkinan selalu ada. Tetap kau gumamkan doa dalam sujud-sujudmu, tanpa sebuah nama itu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cinta mengajarimu dusta. Kau bersikap seolah baik-baik saja di hadapannya, meski tiap candamu tak lebih dari luka yang digarami. Perih. Itukah cinta yang sesungguhnya? Kau naif memaknai cinta dalam diam. Ikhlasmu palsu. Belum kau pasrahkan segalanya kepada Sang Pemilik Takdir. Kau tidak siap jika lelaki yang berhak atasmu kelak bukan ia—sang nama rahasia.”

Kini, kutemukan air bening bergulir dari mata sipitnya. Mukanya tertunduk. Ia mengiyakan ucapanku. Sepenuhnya.

“Bercerminlah kepada dirimu sendiri. Menghakimi kesalahan orang lain, namun alpa mengoreksi jika dosa-dosa diri yang melekat masih bercokol di sana-sini. Bukankah dosa bukan semata-mata yang tampak secara kasat mata, namun juga yang tersembunyi dalam hati?”

Ia mengangguk lagi. “Cerminku mungkin telah retak, hingga aku sendiri kesulitan berkaca,” katanya. Aku terdiam. Ingin kupungut kepingan-kepingan hatinya yang tengah jatuh dalam cinta yang entah. Kurasa, itulah mengapa ia kesulitan berkaca. 



-Dialog dua sisi hati yang suatu hari berisik menggangguku yang sedang belajar-
April 2015
Ketika sakura bermekaran meramaikan musim semi
sedangkan di sini, musim hujan belum pergi

Sabtu, 15 Juni 2013

Cermin



Jika diibaratkan, hati kita seperti cermin. Bening. Jika ia bermaksiat, maka ada noda padanya. Jika ia sering bermaksiat, maka cermin itu tak bening lagi seperti sedia kala. Kemudian hati tak peka lagi pada maksiat. Noda pada cermin mengeras dan sulit dibersihkan. Begitulah membersihkan hati. Ada rasa tak menyenangkan ketika "mengerik" lapisan noda, lantaran telah menumpuk dan mengeras. Namun justru melewati fase itulah insya Allah hati dapat kembali bersih dan tidak mudah bermaksiat.
 (Kutipan dari buku Supermuslimah karya Ratna Nataliani. Buku kado milad ke-21 saya dari entah-siapa)