“Sudah
mulai daurahnya, Li?”
Sebaris pesan
singkat dari salah satu rekan saya di kampus, ikhwan.
“Aku belum berangkat malahan. Kenapa?”
“Aku ingin meramaikan, sepertinya forumnya
agak sepi.”
Saya menghela
nafas sejenak. Ia terbentur pada dua pilihan agenda: ikut daurah pemandu AAI
(Asistensi Agama Islam) atau menjalankan amanahnya sebagai panitia MTQ di Masjid
Kampus.
“Tafadhal saja.
Prioritaskan amanahmu.” balas
saya kemudian.
“Yang di Maskam insya Allah sudah terkondisikan,
bisa kutinggal lah.”
Baiklah.
Walhasil dia datang sekitar setengah jam kemudian. Jam yang tertera di undangan adalah pukul 08.00,
sedangkan acara baru dimulai pukul 09.00. Ngaret satu jam. Biasa, kultur negara
saya (excuse basi).
Ahad pagi yang
sendu, jika tak boleh disebut muram. Mendung kelabu menghias langit pagi itu. Saya dan sahabat saya—Asa, menelusuri
teras Fakultas Ekonomika dan Bisnis seraya berbincang ngalor-ngidul. FEB tak bisa disebut sepi di hari libur
seperti itu. Apalagi Sunday Morning, apalagi Masjid Kampus. Meski mungkin ramai
luar biasa, namun saya sama sekali tak berminat menengok ke sana. Daurahnya di lantai tiga, lumayan pagi-pagi olahraga mendaki anak-anak
tangga.
Rabbi, masih sepi. Padahal saya sudah telat hampir
satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Oh ya, paham. Sebagian besar perhatian
tersedot di MTQ hari itu. Banyak pula teman-teman pemandu AAI yang ikut sebagai
peserta maupun panitia. Mereka juga berjuang, mari turut mendoakan mereka. ^^
Selesai melaksanakan salat duha di musola
Al-Banna, barulah saya memasuki ruangan itu, U303. Benar sekali dugaan teman
saya tadi, yang hadir jauh lebih sedikit daripada Gathering Pemandu di
Auditorium Fakultas Kedokteran Umum beberapa pekan lalu. Ikhwan dua baris, akhwat tiga baris. Atau
mungkin masih banyak manusia-manusia telat lain yang belum datang? Wallahu’alam.
Di depan, Mas Fajrur Rosyadi—ketua PKP (Pusat Koordinasi Pengelola) AAI tahun
ini sudah cuap-cuap memberikan sambutan.
Jumlah peserta
nggak banyak, problem? Sudah nglothok
kan, kualitas lebih prioritas daripada kuantitas.
Sambil menunggu pembicara yang belum datang (masih
on the way, entah dari mana dan naik
apa, husnuzan saja), MC mulai menanyai teman-teman pemandu mengenai kondisi AAI
di fakultasnya masing-masing. Ow-ow, pejuang Fakultas Ilmu Budaya cuma dua yang
hadir? Only dua makhluk manis
berjilbab yang senyumnya seindah bunga sakura ini—saya dan Asa (hasyeeehh).
Koordinator pemandu fakultas saya pun tak bisa hadir. Sebab beliau harus
pulang, birrul walidain. (Ma’assalamah, Lu’lu. Peluk-peluk! ^_^)
“AAI FIB begini lho, Mas. Blablabla.” cerita dari mulut saya mengalir
saja. Berbagi cerita. Generally,
permasalahan yang dialami tiap fakultas senada. Masing-masing memiliki
kekurangan dan kelebihan pula. Namun tetap saja, tantangan dakwah yang dialami
tiap fakultas berbeda-beda.
Tahun ini saya diamanahi dua kelompok. Duapuluh
orang lebih. Uwaaa, adikku banyak sekaliii... Mahadaya (mahasiswa-baru-Ilmu-Budaya)
2012 jumlahnya segambreng-gambreng, di sisi lain kuantitas pemandu terbatas. Jadilah
satu orang mengampu dua kelompok. Tak
apa lah, ada sensasi tersendiri ketika amanah itu lebih besar dari sebelumnya. Inilah
proses, awalnya sepuluh orang, kemudian empatbelas, sekarang duapuluhan. Bismillahirrahmanirrahiim…
Rasanya bahagiaaa ketika mendapati salah satu atau salah dua dari adik-adikku
itu kemudian menutup aurat, meski belum tentu ia dapat hidayah karena ikut AAI.
Alhamdulillah,
akhirnya pematerinya datang. Tersenyumlah, dan jangan gaduh. (soalnya saya sama
Asa dari tadi ngakak-ngikik di belakang ^_^). Pak Fathan Fantastik, sosok yang
sudah cukup familiar bagi saya dan orang-orang di ruangan itu, mungkin.
“Apa alasan anda datang kemari?” beliau kemudian
mencoret-coret papan tulis, membuat skema motivasi-alasan-hasil.
“Motivasi anda datang ke sini adalah yang
mendasari alasan anda, dan itulah yang menentukan hasilnya. Apa motivasinya?
Terpaksa karena diundang, karena ada snack-nya,
atau karena apa? Insya Allah, alasan itu nanti yang menentukan sikap anda duduk
di ruangan ini. Bahasa tubuh itu kelihatan kok.”
Beliau
lulusan Psikologi. Oh ya pantesan.
Di tengah-tengah materi, ternyata benar dugaan saya, masih banyak manusia-manusia telat lain yang berdatangan.
Di tengah-tengah materi, ternyata benar dugaan saya, masih banyak manusia-manusia telat lain yang berdatangan.
Ustaz Fathan mengajak kami untuk bermuhasabah, bahwa kematian itu dekat, maka harus kita persiapkan sebaik-baiknya. Sudah cukupkah amal kebaikan kita untuk dibawa mati? (agaknya setiap hati di ruangan itu menggumamkan "belum". Maka, bersegeralah. ^_^)
Kata Pak Cahyadi Takariawan, ada tiga tipe orang
di jalan dakwah:
- Ia bersedia, tapi suka mengeluh. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “bersabarlah, saudaraku.”
- Masih suka mempertimbangkan baik-buruknya. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “istiqomahlah, saudaraku.”
- Orang yang sudah bisa menikmati, seberat apapun yang ia jalani. Ia berpedoman, seorang mukmin tidak memiliki waktu rehat kecuali saat kakinya telah melangkah di pelataran surga. Kepada orang-orang seperti ini, katakan “berbahagialah, saudaraku.”
Kita termasuk tipe berapa hayooo?
Saya lantas teringat curhatan seseorang. “Aku
entah kenapa, ada rasa malas yang sangat menggelayut hari ini. Tapi aku pasti
datang liqo kok. Namun aku tak tahu apa sebab keengganan itu.”
“Segala sesuatu itu pasti ada sebabnya. Telusuri
dulu sebabnya. Kalau nggak tahu sebabnya, mana bisa dicari solusinya, Ukh.
Sebab dari rasa enggan itu hanya kau yang tahu sepenuhnya. Bukan aku, apalagi
murobbi.” Saya jadi ingin menepuk pundaknya seraya berujar, “Istiqomahlah,
saudariku.”
Ada tiga cara memotivasi seseorang ketika proses pembinaan. Pertama, obrolkan tentang kebesaran Allah, tadabbur alam, atau bahkan tadabbur ayat. Yang kedua, beritahukan kabar akhirat. Tentang kematian, surga-neraka, alam kubur, dan sebagainya. Ini mengajak kita untuk bermuhasabah, setidaknya untuk bersegera melakukan amal kebaikan dan men-deadline hidup kita. Terakhir, obrolkan tentang fadhilah amal. Bagaimana keutamaan puasa, keutamaan menuntut ilmu, dsb.
Ada tiga cara memotivasi seseorang ketika proses pembinaan. Pertama, obrolkan tentang kebesaran Allah, tadabbur alam, atau bahkan tadabbur ayat. Yang kedua, beritahukan kabar akhirat. Tentang kematian, surga-neraka, alam kubur, dan sebagainya. Ini mengajak kita untuk bermuhasabah, setidaknya untuk bersegera melakukan amal kebaikan dan men-deadline hidup kita. Terakhir, obrolkan tentang fadhilah amal. Bagaimana keutamaan puasa, keutamaan menuntut ilmu, dsb.
Asa yang gelisah karena punya uneg-uneg yang ingin dia muntahkan, akhirnya mengangkat tangan.
“Begini Ustaz, ada adik binaan saya yang seorang
ammah. Rambutnya disemir, dia pacaran, keluarganya pun broken home. Suatu kali dia tanya ke saya, ‘Mbak, ada dua orang
yang suka sama aku. Yang satunya non-muslim, tapi dia baiiiikk banget, Mbak.
Yang satunya muslim, tapi ya biasa saja. Aku harus milih yang mana, Mbak?’ Nah,
terkadang saya bingung untuk menjelaskannya, Ustaz. Saya bilang saja, ‘Ya, kamu harus memprioritaskan
yang seiman denganmu, Dek.’ Tapi bukan berarti saya setuju kalau dia pacaran,
apalagi dengan non-muslim. Apakah tindakan saya ini benar, Ustaz? Saya hanya
tidak ingin dia ngeri jika saya langsung jelaskan bahwa pacaran itu tidak
boleh, sebab dia benar-benar seorang yang masih awam.”
Ya, memang benar. Berproses menuju kebaikan itu
tidak serta-merta, tidak instan atau simsalabim.
Menyampaikan kebaikan pun tidak bisa simsalabim.
Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Itulah proses, Allah pun menyukai
sebuah proses. Kalau Allah mau, kun
fayakuun, alam semesta ini bisa tercipta dalam sehari atau beberapa detik
saja. Namun, Allah menciptakannya dalam waktu enam hari.
Tidak mungkin agama ini menang tanpa adanya pembinaan. Bisa jadi, yang sekarang kita ajak menuju kebaikan memang belum membaik seperti harapan kita, namun mungkin nanti ia akan menjadi baik—bahkan mungkin lebih baik dari kita, entah kapan. Wallahu’alam.
Tidak mungkin agama ini menang tanpa adanya pembinaan. Bisa jadi, yang sekarang kita ajak menuju kebaikan memang belum membaik seperti harapan kita, namun mungkin nanti ia akan menjadi baik—bahkan mungkin lebih baik dari kita, entah kapan. Wallahu’alam.
Berkaca kepada insan yang kepadanya, Rasulullah menyebutkan bahwa iman beliau jauh lebih berat takarannya daripada iman semua umat jika dikumpulkan: Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Abu Bakar adalah orang yang selalu bersegera memenuhi panggilan Allah dan rasul-Nya. Sebagai orang yang pertama-tama beriman di permulaan risalah, beliau mengajak orang-orang kepada Islam. Maka, baginya lah pahala orang-orang yang diajak menuju kebaikan tersebut. Subhanallah...
Berbahagialah orang-orang yang memilih jalan dakwah ini, dengan dilandasi keyakinan iman yang teguh, argumentasi fikriyah yang mencerahkan, kebersamaan persaudaraan yang saling melengkapi dan kesabaran yang selalu menyemangati.
Yogyakarta--kota penuh cinta, 4 November 2012
*Terima kasih untuk Ukh Asa Gupita Lizadi yang
hari itu membersamai saya dari pagi hingga sore hari, meski ucapan “arigatou” dari
saya mungkin kau jawab dengan segumpal tanya: “bahasa Jepangnya ‘wa iyyaki’
apa, Li?” ^_^
1 komentar:
Kyaaaa, baru tau ada namaku di sini kyaaaa *guling-guling* hahaha :D :D :D
*Peluk Lia terharu* :'D
Posting Komentar