I heard a wise man say,
“Give crowns and pounds and guineas
But not your heart away;
Give pearls away and rubies
But keep your fancy free.”
But I was two-and-twenty,
No use to talk to me.
When I was two-and-twenty
I heard him say again,
“The heart out of the bosom
Was never given in vain;
’Tis paid with sighs a plenty
And sold for endless rue.”
And I am two-and-twenty,
And oh, ’tis true, ’tis true.
(Puisi karya A. E. Housman berjudul When I Was One-and-Twenty yang saya ubah angkanya ^_^)
(Puisi karya A. E. Housman berjudul When I Was One-and-Twenty yang saya ubah angkanya ^_^)
Saya menatap kalender masehi, sembari mengela
nafas. 16 September (lagi?). Aduhai, kenapa pula waktu berlari demikian cepatnya? Belum sempat saya
bernafas mengeja usia ke-duapuluh-satu saya, sekarang sudah dapat angka cantik:
dua-dua.
Alhamdulillah, saya masih dikaruniai umur, masih eksis di dunia hingga saat ini, meski sejatinya penambahan umur adalah berkurangnya jatah hidup saya. Ya, siapa tahu esok atau lusa deadline saya untuk menghadap-Nya. Wallahua'lam. Kematian sama sekali bukanlah hal tabu untuk dibicarakan. Katanya ingin masuk surga. Mau masuk surga? Ya mati dulu dong. Dengan banyak persiapan dan bekal tentunya.
Alhamdulillah,
berjuta syukur saya panjatkan kepada Sang Maha Penggenggam Kehidupan atas
nikmat yang tiada terhingga. Saya masih bisa tersenyum menatap biru langit dan
pelangi yang membias di horisonnya, saya masih bisa jalan-jalan ke mana-mana,
makan enak tak kuran suatu apa, kuliah di perguruan tinggi ternama, masih bisa
merasakan jatuh cinta, masih memiliki kesempatan untuk berharap dan bermimpi
akan masa depan yang insya Allah cerah-ceria. Sementara beberapa teman semasa kecil saya dahulu sudah dipanggil-Nya
karena kecelakaan, sakit berat, dan lain sebagainya. Sementara
sahabat-sahabat saya yang lain ada yang tengah berjuang melawan penyakitnya.
Saya? Sehat wal afiat, hidup makmur-aman-sentosa. Sungguh, fabiayyi alaa-i rabbikuma tukadziban?
Tak ada sesi
potong kue atau tiup lilin seperti tahun lalu (surprise dari sahabat-sahabat saya), mungkin juga tak ada
kiriman-kiriman kado misterius dari entah siapa (tahun lalu dapat beberapa buku
dari “penggemar rahasia” saya yang hingga kini saya tak bisa melacak dia
siapa), saya juga tak mengharapkan itu semua dipersembahkan untuk saya di hari
milad ke dua puluh dua. Sungguh, saya
hanya ingin hari ini saya bersimbah air mata di atas sajadah. Menangis
sejadi-jadinya, mengadu kepada Allah, bercermin kepada hati saya sendiri. Saya
abaikan dulu pesan-pesan ucapan selamat ulang tahun yang datang bertubi-tubi via
SMS maupun jejaring sosial. Biarlah orang-orang mengucapkan selamat ulang tahun, saya anggap saja
saya didoakan supaya selamat dunia-akhirat.
Ah, apalah artinya ulang tahun? Setiap hari yang
saya tapaki adalah langkah mendekat kepada ajal. Apakah selama ini aku sudah
menunaikan cintaku kepada-Mu, Rabbi? Atau aku justru repot menyibukkan diri
dengan kecintaan-kecintaan semu yang lain? Bagaimanalah aku mendambakan
menjejakkan kaki di jannah-Mu sedangkan terkadang aku masih saja lancang
menduakan-Mu dengan berhala-berhala baru masa kini. Apa yang sudah
kupersembahkan selama ini? Untuk orang tua, keluarga, sahabat, agama, juga
untuk-Mu... Apa? Rasa-rasanya belum ada yang berarti sama sekali. Benar-benar
tidak sebanding dengan apa yang telah Engkau berikan selama ini. Apakah aku
selalu menghadirkan Engkau di setiap sembahyang sujudku? Atau ingatanku justru
melayang ke pelbagai persoalan dunia? Apakah sudah kutanamkan ayat-ayat-Mu yang
tiap hari kulantunkan itu di dalam hati dan kuresapi? Atau aku hanya
menjadikannya ritual harian, membacanya dengan suara yang diindah-indahkan,
tanpa adanya implikasi? Bagaimanalah dengan ibadah-ibadah yang lain? Sedangkan
tak jarang aku begitu enggan terbangun untuk berduaan dengan-Mu di sepertiga
malam nan syahdu.
Rabbi, aku hilang bentuk, remuk… Ingin
kurengkuh lagi cahaya-Mu dan kudekap dalam diam, hingga setiap aku bertaqqarub
kepada-Mu kurasakan lagi mahabbah itu kian bertambah.
Siang itu saya baru tiba di Jogja setelah pulang dari kampung halaman, tertegun mendapati dua bait puisi tertempel dengan manisnya di depan pintu kamar saya. Anonim. Dalam rangka apa puisi ini ditulis? Tak ada kata-kata ataupun ucapan selamat milad tertera di sana. Terlepas dari ini tak lain adalah ulah teman-teman satu kos yang berniat mengerjai saya terkait dengan hari ulang tahun saya, puisi ini sukses membuat saya terharu dan tertunduk malu.
Langit kelam subuh tadi
membuatku enggan beranjak
memindahkan ragaku untuk membasuh air wudhu
dan bersujud kepada-Nya
Sekilas terbayang sosok impianku
yang membuatku malu akan sikapku
Sosok lemah lembut
berbalut paras elok
dengan cerminan takwa seorang muslimah
seperti dirimu, Lia
Hadir bagai cahaya penebal iman
yang selalu menjadi semangat penerang
dalam perjalanan hidupku
Ah, sanjungan? Pujian? Atau bualan?
Sesungguhnya saya tak seperti yang dia tulis. Saya masih sangat jauh dari salehah. Ke mana saya ketika mereka masih terlelap di alam mimpi kala subuh menyapa hari? Ya, saya pergi ke masjid sendirian tanpa tergerak membangunkan mereka, mengetuk kamar mereka sembari berucap, "ashalatu khairu minnanaum..."
Ke mana saya ketika mereka butuh motivasi dan butuh teman seiman yang menguatkan mereka? Padahal mungkin mereka merindukan sosok teman seperti saya. Saya justru menyibukkan diri di luar, pergi pagi pulang petang hari setelah itu tak keluar kamar lagi.
Terkadang saya merasa lebih nyaman bersama teman-teman se-fikrah, hingga seperti ada hijab yang menyekat antara saya dan mereka, meski saya lebih banyak berada di lingkungan ammah. Padahal mereka saudari-saudari saya, seiman dan seagama, haram saya melukai jiwa-raga mereka. Padahal ini adalah kesempatan mahal yang bisa saya dapatkan. Mewarnai mereka. Ya, mewarnai mereka dengan warna Islam. Perkara hidayah, itu urusan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Apakah selama ini saya sudah mewarnai mereka? Pertanyaan itu mengusik relung hati saya, menikam saya dengan kenyataan bahwa saya belum berhasil menghadirkan warna itu di tengah-tengah mereka. Saya masih saja menjadi "alien" yang alienated, orang asing yang terasing.
Senja itu, Masjid Nurul Ashri Yogyakarta riuh akan kesibukan muslim dan muslimah yang merindu surga. Lantunan murattal bergema di sudut-sudut masjid, anak-anak menyetor hafalan Quran mereka ke ustaz mereka, kajian sore hari bersama Ustaz Syatori Abdurrauf akan segera dimulai. Saya singgah untuk menunaikan salat ashar, bersama salah seorang kawan saya, perempuan. Kami salat berjamaah berdua, sebelum ke Rumah Tahfidz yang terletak persis di samping masjid. Di lantai atas ada beberapa anak putra yang sedang menyetor hafalan Al-Quran kepada sang hafiz. Dan masya Allah, hafiz tersebut tunanetra!
Saya merasa kerdil, merasa bukan apa-apa, merasa hina-dina jika dibandingkan mereka. Lihatlah para akhwat yang teduh dengan jilbab lebarnya itu, mereka juga berikhtiar menghafal Quran. Seperti ada sejuta pesona surga terpancar dari wajah-wajah mereka, wajah-wajah perindu cahaya. Kelak, Alquran itu sendirilah yang akan menemani mereka di hari akhir.
Aula Humaira ramai oleh anak-anak putri yang menghafal bersama-sama. Di depan, para orangtua mengantar anak-anaknya sambil berbincang tentang entah apa. Ah, Rabbi, kemana saja saya ketika masih seusia mereka? Saya sibuk bermain, menonton TV, sekolah, mengerjakan PR selayaknya anak-anak pada umumnya. Tetapi mereka jauh lebih beruntung daripada saya.
Kelak, saya harus menjadi madrasah bagi anak-anak saya. Tak perlulah saya mengantarkan mereka pergi mengaji, memaksa mereka masuk pesantren sejak usia dini. Biarlah nanti saya dan suami saya menjadi yang pertama yang mengajari mereka dengan cinta, cinta karena Allah. Tetapi untuk itu semua, harus saya persiapkan dari sekarang. Tentu itu adalah salah satu dari sekian mimpi-mimpi besar saya.
Tentang mimpi dan asa, hingga kini saya masih merajutnya perlahan, seiring pertambahan usia dan berkurangnya sang waktu. Entah besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, saya tak pernah tahu, mungkin deadline hidup saya akan terhenti di suatu titik yang tak disangka-sangka. Apakah saya sudah bersiap untuk menjadi salah satu yang dirindu surga-Nya? Saya yang masih terbata mengeja ayat-Nya, saya yang masih tertatih menapak di jalan-Nya... Siap atau tak siap, saya harus siap.
Sesungguhnya saya tak seperti yang dia tulis. Saya masih sangat jauh dari salehah. Ke mana saya ketika mereka masih terlelap di alam mimpi kala subuh menyapa hari? Ya, saya pergi ke masjid sendirian tanpa tergerak membangunkan mereka, mengetuk kamar mereka sembari berucap, "ashalatu khairu minnanaum..."
Ke mana saya ketika mereka butuh motivasi dan butuh teman seiman yang menguatkan mereka? Padahal mungkin mereka merindukan sosok teman seperti saya. Saya justru menyibukkan diri di luar, pergi pagi pulang petang hari setelah itu tak keluar kamar lagi.
Terkadang saya merasa lebih nyaman bersama teman-teman se-fikrah, hingga seperti ada hijab yang menyekat antara saya dan mereka, meski saya lebih banyak berada di lingkungan ammah. Padahal mereka saudari-saudari saya, seiman dan seagama, haram saya melukai jiwa-raga mereka. Padahal ini adalah kesempatan mahal yang bisa saya dapatkan. Mewarnai mereka. Ya, mewarnai mereka dengan warna Islam. Perkara hidayah, itu urusan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Apakah selama ini saya sudah mewarnai mereka? Pertanyaan itu mengusik relung hati saya, menikam saya dengan kenyataan bahwa saya belum berhasil menghadirkan warna itu di tengah-tengah mereka. Saya masih saja menjadi "alien" yang alienated, orang asing yang terasing.
Senja itu, Masjid Nurul Ashri Yogyakarta riuh akan kesibukan muslim dan muslimah yang merindu surga. Lantunan murattal bergema di sudut-sudut masjid, anak-anak menyetor hafalan Quran mereka ke ustaz mereka, kajian sore hari bersama Ustaz Syatori Abdurrauf akan segera dimulai. Saya singgah untuk menunaikan salat ashar, bersama salah seorang kawan saya, perempuan. Kami salat berjamaah berdua, sebelum ke Rumah Tahfidz yang terletak persis di samping masjid. Di lantai atas ada beberapa anak putra yang sedang menyetor hafalan Al-Quran kepada sang hafiz. Dan masya Allah, hafiz tersebut tunanetra!
Saya merasa kerdil, merasa bukan apa-apa, merasa hina-dina jika dibandingkan mereka. Lihatlah para akhwat yang teduh dengan jilbab lebarnya itu, mereka juga berikhtiar menghafal Quran. Seperti ada sejuta pesona surga terpancar dari wajah-wajah mereka, wajah-wajah perindu cahaya. Kelak, Alquran itu sendirilah yang akan menemani mereka di hari akhir.
Aula Humaira ramai oleh anak-anak putri yang menghafal bersama-sama. Di depan, para orangtua mengantar anak-anaknya sambil berbincang tentang entah apa. Ah, Rabbi, kemana saja saya ketika masih seusia mereka? Saya sibuk bermain, menonton TV, sekolah, mengerjakan PR selayaknya anak-anak pada umumnya. Tetapi mereka jauh lebih beruntung daripada saya.
Kelak, saya harus menjadi madrasah bagi anak-anak saya. Tak perlulah saya mengantarkan mereka pergi mengaji, memaksa mereka masuk pesantren sejak usia dini. Biarlah nanti saya dan suami saya menjadi yang pertama yang mengajari mereka dengan cinta, cinta karena Allah. Tetapi untuk itu semua, harus saya persiapkan dari sekarang. Tentu itu adalah salah satu dari sekian mimpi-mimpi besar saya.
Tentang mimpi dan asa, hingga kini saya masih merajutnya perlahan, seiring pertambahan usia dan berkurangnya sang waktu. Entah besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, saya tak pernah tahu, mungkin deadline hidup saya akan terhenti di suatu titik yang tak disangka-sangka. Apakah saya sudah bersiap untuk menjadi salah satu yang dirindu surga-Nya? Saya yang masih terbata mengeja ayat-Nya, saya yang masih tertatih menapak di jalan-Nya... Siap atau tak siap, saya harus siap.
Tetapi alangkah malunya saya jika harus bertemu
Allah dalam keadaan belum menyempurnakan separuh agama...
Septalia Anugrah Wibyaninggar
:Tertatih meniti cinta dalam 22 tahun waktu yang Kau berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar