Oleh: Lia Wibyaninggar
Judul Buku: Koinobori
Genre: Fiksi (kumpulan cerpen)
Penulis: Herlino Soleman
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2001
Tebal: xi + 169 halaman
Cerpen dibaca bukan hanya
sebagai sarana penghiburan diri, memperluas imaji dan bendahara kata-kata, atau
pun menambah wawasan. Cerpen
bahkan bisa memperkaya batin kita dari perenungan masalah yang diangkat sebagai
tema cerpen tersebut.
Sesuai dengan judul salah
satu cerpen yang kemudian menjadi judul buku ini—Koinobori, pembaca seolah segera digiring untuk memasuki dunia
fiksi berlatar negeri matahari terbit. Lokalitas Jepang yang diusung oleh sang
pengarang—Herlino Soleman tentu bukan tanpa sebab. Secara sosiologis, pengarang
adalah makhluk sosial yang dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya.
Dalam hal ini, Herlino yang juga seorang pengajar di Sekolah Indonesia di
Tokyo, mengakumulasikan problem yang terjadi dalam komunitas budayanya (di
Jepang) ke dalam teks sastra. Dari sinilah kemudian pembaca diajak untuk
memahami kebudayaan yang dikenalkan oleh sang pengarang.
Di sini, lokalitas yang
dimaksud bukan sekadar latar an sich
yang hanya mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran tentang
masyarakat setempat, namun juga ruang kultural yang menyimpan sebuah potret
sosial, bahkan ideology yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya.
Menyitir pandangan Melani Budianta yang ditulis kembali oleh Maman S. Mahayana
(2012), “lokalitas adalah proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser,
berpindah, dan berubah.” Maka, tidak terhindarkan, makna teks jadinya akan
terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat
dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin
bakal terjadi. (2012:161)
Koinobori memuat enam belas cerpen yang
kesemuanya ditulis di Tokyo tahun 1997-2000. Itu pula sebabnya, cerpen-cerpen
di dalam buku ini sangat kental dengan lokalitas Jepang. Uniknya, masalah yang
diangkat dalam cerita tetaplah masalah-masalah manusia Indonesia. Tentu kita
tidak lupa bahwa penulisnya adalah sastrawan Indonesia yang paham
realita-realita di Indonesia. Dalam cerpen-cerpen di buku ini, lokalitas Jepang
yang dihadirkan sang pengarang menjadi menarik dengan adanya persinggungan dua
budaya: Jepang dan Indonesia.
Koinobori (鯉のぼり) adalah bendera berbentuk ikan koi yang dikibarkan di rumah-rumah
di Jepang oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki. Bendera ini memiliki
mulut bundar karena diberi watang
bambu sehingga membentuk mulut yang jika ditiup angin akan menggelembung seperti
ikan. Pengibaran koinobori dilakukan
untuk menyambut perayaan Tango no Sekku.
Menurut penanggalan Imlek,
Tango no Sekku jatuh pada tanggal 5
bulan 5 ketika Asia Timur sedang musim hujan. Orang tua yang memiliki anak
laki-laki mengibarkan koinobori
hingga hari Tango no Sekku untuk
mendoakan agar anak laki-lakinya menjadi orang dewasa yang sukses (orang Jepang
menyimbolkan ikan sebagai “keberanian” yang harus dimiliki setiap anak
laki-laki. Sesuai tabiat ikan yang berenang ke hulu, berani menantang arus,
bukan hanyut ke muara). Setelah Jepang memakai kalender Gregorian, koinobori dikibarkan hingga Hari
Anak-anak atau Kodomo no Hi pada
tanggal 5 Mei. Koinobori yang tertiup
angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Jika dulu koinobori berkibar di tengah musim
hujan, koinobori sekarang
mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.
Dalam kumpulan cerpen
karya Herlino Soleman ini, koinobori
dikisahkan menjadi persoalan utama antara sang ayah (Nakamura) dengan anak
laki-lakinya (Matsui). Tidak seperti anak Nippon lainnya, Matsui tidak pernah menyukai
koinobori—si bendera ikan simbol
keberanian. Ayahnya selalu beranggapan bahwa kelemahan Matsui adalah karena
darah yang turun dari ibunya, Kemuning—yang seorang Indonesia. Karena itulah,
sang ayah kemudian pasrah menerima kenyataan pahit bahwa Matsui bunuh diri
setelah di-PHK.
Ia banyak mengetahui, jika di negeri istrinya yang jadi korban adalah mereka yang berani dan punya otak, di negerinya yang pantas jadi korban yang tak memiliki keberanian dan tak punya otak. Nakamura Tua terlanjur yakin bahwa tidak seperti negeri istrinya yang banyak memiliki sumber daya alam, tidak peduli eksis atau tidak negeri itu di mata dunia, negerinya harus dihidupi oleh otak dan segala kreativitas penduduknya jika ingin tetap eksis di bawah matahari. (hal. 7)
Penggalan di atas jelas
menunjukkan persinggungan dua budaya berbeda, sekaligus kritik sosial yang
ingin disampaikan oleh sang pengarang.
Seusai Koinobori, cerpen-cerpen di belakangnya masih
kental dengan persinggungan dua budaya. Penulisnya tak segan-segan
membandingkan Indonesia dengan Jepang, seolah ingin menjadikannya bahan
perenungan untuk para pembacanya. Melalui Tanaka
Tua, pembaca seakan dibuat tergelitik oleh adanya tokoh seorang Jepang yang
menyanyikan lagu Indonesia dengan logat Jepangnya yang kental: “Bungawan… soroooo…., riwayatmu…. Iniiiii.
Sudari duru…jadi, purhatian insani…!” Kemudian ia juga meracau tentang pemerintahan
Indonesia yang disebutnya “maling teriak maling”.
Begitu pula dengan cerpen Memburu Semar, Tangis, Yumenoshima,
serta Edomura tak lain merupakan
potret yang terlahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural
pengarangnya. Karenanya, jika kemudian cerpen-cerpen dalam buku ini disebut
sebagai satire-satire, maka itu pun
juga tidak salah. Tudingan uraian kepiluan jelas tergambar pada cerpen Memburu Semar. Ia seolah memburu sosok
pemimpin yang sekaligus diberi dua jabatan dan nama dari dua keyakinan yang
saling bertolak belakang akan arti kepemimpinan itu sendiri. Yang pertama
menggariskan, pemimpin itu adalah pribadi yang memberikan pengetahuan, tenaga,
waktu, dan harta bendanya untuk mengangkat kehidupan umatnya, sedangkan yang
terakhir adalah sebaliknya.
Kumpulan cerpen ini pada
akhirnya, bukan hanya kemeriahan imajinasi pengarangnya semata, namun juga
menukilkan pengetahuan pembaca mengenai budaya masyarakat Jepang. Terlebih
lagi, satire-satire di dalamnya merupakan otokritik mengenai persoalan
manusia-manusia Indonesia yang disampaikan dalam bingkai tokoh-tokoh Jepang.
Hati siapa yang tidak tersulut seandainya ada orang asing yang mengkritik
negerinya? Namun, melalui kumpulan cerpen ini dapat diambil kesimpulan bahwa
sang pengarang berhasil menyalurkan protes maupun amarahnya dengan cara yang
elegan. Bukan lagi kisah cinta dua sejoli melankolik nan mainstream yang mendominasi, cinta dalam cerpen-cerpen ini
dihadirkan dalam warna yang berbeda. Sejatinya, otokritik yang ada mengajarkan
pembaca tanah air untuk lebih mencintai negerinya—si Zamrud Khatulistiwa.
Referensi:
Mahayana,
Maman S. Pengarang Tidak Mati: Peranan
dan Kiprah Pengarang Indonesia. 2012. Bandung: Penerbit Nuansa.
Soleman, Herlino. Koinobori. 2001. Jakarta: Grasindo.
http://id.wikipedia.org/wiki/Koinobori
(diakses 9 Okt. 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar