Nyaris dua tahun lalu, saya tertarik dengan
salah satu postingan di blog Mbak Cindi Riyanika yang diberi judul besar-besar:
Commuter Marriage, Siapa Takut? Ketika itu, saya baru tahu kalau beliau
yang masih di Jogja menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan
suaminya yang bekerja di Ibukota. "LDM itu mudah diucapkan, namun susah
untuk dijalani." Tentu saja.
Ketakutan akan kehidupan pasca pernikahan
kemudian datang menghantui saya. Bagaimana pula dengan saya kelak? Waktu itu,
kandidat yang tengah berproses dengan saya qadarullah adalah seorang
yang bekerja nun jauh di sana, di luar Jawa. Sementara saya masih awang-awangen
jika diajak jauh ke sana, selain saya memang ingin mencari kerja di Jakarta
saja. Kalaupun jadi, maka LDM adalah satu-satunya cara, sambil berdoa semoga si
calon kelak bisa pindah lagi ke Jawa. Akan tetapi, jika akan terjadi seperti
itu, betahkah saya hidup berjauhan dengan suami? Padahal semenjak dulu, saya
tanamkan tekad kuat-kuat, bahwa saya tak akan meniru pola rumah tangga kedua
orang tua yang menjalani LDM pula.
Kisah selesai begitu saja. Tidak jadi
berlanjut ke tahap selanjutnya. Saya berharap, semoga usai wisuda, cepat atau
lambat saya bisa mendapat pekerjaan di Ibukota, lalu bertemu entah siapa yang
dihadirkan Allah untuk saya, yang juga berdomisili di kota yang sama, tentu
saja.
Namun, ternyata, Allah menurunkan jawaban
yang tak terduga...
Saya tidak jadi kembali ke Ibukota, malah mendapat
amanah mengajar di kota kelahiran. Di saat yang nyaris sama, datang tawaran
taaruf lagi. Namun, lagi-lagi sang kandidat berjarak lumayan jauh dengan saya,
sebab ia bekerja nun di sana. Sekelebat kekhawatiran membayang lagi di benak.
Jika saya terima lalu sampai ke nikah, kemungkinan saya akan menjalani LDM dulu
dengannya. Entahlah. Tak mau berkutat dengan tanya "bagaimana ini semua bisa
terjadi?", kami jalani saja setiap prosesnya, yang atas izin-Nya, restu
turun begitu mudahnya, hingga hanya 7 bulan berselang semenjak perkenalan,
pernikahan itu dilangsungkan.
Kami sepakat tidak akan berlama-lama
berjauhan hanya karena alasan pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja saya yang
harus mengalah dan ikut suami. Namun, rupa-rupanya memang butuh kesabaran
berlimpah selama waktu tunggu tersebut. Lalu, kalimat "Ah, ada yang
LDM-nya jauh lebih jauh daripada kita" tidak serta-merta bisa
dijadikan pelipur lara. Sewajarnya pengantin baru yang setiap hari ingin
berdekatan, tinggal bersama, menjalani hari-hari berdua, ada yang selama ini
selalu tertahan dan ingin dicurahkan, namun di saat rindu yang menyesak belum
habis, tiba-tiba harus ditimbun lagi dengan rindu baru. Kami yang sebelumnya
sudah berjarak, kini harus berjarak lagi.
Ingin mencoba bersikap biasa saja dan happy,
nggak usah sok mellow, nangis bawang atau apalah. Bisa, bisa! Lantas,
tanpa diundang, muncul sekerat bayangan tentang ucapan salah satu sahabat saya
yang LDM sebulan dengan suaminya: "Kamu jangan LDM ya, Li. Amat sangat
tidak disarankan bagi umat." Tapi, saya yang agak songong ini mencoba
mengusir kata-kata itu dengan bisikan, "Kebaperan nggak usah dituruti,
nanti malah makan ati sendiri."
Waktu berputar cepat, dan yaah... saya
mengalaminya sendiri. Welcome to the jungle, Sist! Jatah cuti suami
sudah habis, harus segera kembali bekerja, dan saya juga belum bisa ikut
pindah, jadilah ucapan semacam ini dilontarkannya, "Kamu nggak apa-apa kan
aku tinggal?" tanyanya sebelum berpisah di stasiun.
"Enggak," sambil memasang senyum
yang dibikin-bikin (lalu cium tangan). Maka, jawaban "enggak" itu
hanyalah dusta. Setelah itu inginnya ambil langkah seribu tanpa menengok lagi,
"Ah, udah ah, gue mau buru-buru pulang, nanti makin diliatin, makin
kenapa-kenapa ini perasaan." Akting sok tegar berhasil!
Esoknya, barulah perasaan ‘kehilangan’ itu
menjalar di seluruh urat nadi. Ada yang menyekat di kerongkongan. Rinai yang
tak setitik pun jatuh ketika janji suci itu usai diucapkan, kini justru turun
pelan-pelan, lalu menderas. Saya rindu, acapkali mengingat kebersamaan kami
yang baru beberapa hari. Saya rindu campur haru, setiap kali mengingat
kebaikan-kebaikannya selama ini.
Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi, drama
baru dimulai. Karena pagi hingga sore mayoritas adalah jam kerja, maka waktu
longgar kami untuk intens berkomunikasi adalah malam hari. Namun, saya yang
seringkali mengantuk duluan membuat malah nggak jadi video-call atau
terlupa membalas chat-nya. Terkadang pula, kehabisan tiket kereta
menjadi kendala untuk bertemu kembali. Selanjutnya, ada
kekhawatiran-kekhawatiran yang menyergap tiba-tiba: apakah belahan jiwaku di
sana baik-baik saja? Kalau sudah begini, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah
selalu menjaganya, menjaga hati kami berdua agar dikuatkan ikatannya dan
dikekalkan cintanya. Sebab ini juga adalah ujian cinta, sejauh mana kami mampu
menjaga setia hanya kepada yang berhak saja.
Terkadang, cinta memang harus dididik dengan
jarak. Karena jarak yang merentang memberi kesempatan bagi bertumbuhnya
tunas-tunas rindu. Sebagaimana bumi akan bosan, jika selalu turun hujan, maka
cinta—saya rasa juga memerlukan jeda, untuk mengambil napas dan menyegarkan
bibit-bibitnya kembali. Agar ketika tak ada lagi jarak merentang panjang, kami
semakin bersemangat untuk merawatnya setiap hari, hingga mekar dan ranum sampai
nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar