Senin, 31 Mei 2010

Tiga Orang Pertama

Tiga Orang Pertama

K

ututup perlahan kedua kelopak mataku. Kubiarkan pandanganku mengembara sementara dalam gulita. Lantas, aku menemukan imajiku. Di mana panorama itu nyata tergambar dalam ruang benak. Sebuah sudut di mana aku duduk di sana. Sendiri berpagut sepi. Menulis belasan puisi tentang hidupku yang harmoni. Sembari mencari inspirasi di bawah naungan dahan-dahan ceri. Lalu, sesekali kelopak-kelopak ceri merah muda jatuh, luruh membelai pipiku. Kulayangkan pandang, dan tampaklah puncak bersalju fuji nan gagah mengangkangi birunya danau yang mengelilinginya. Gemericik aliran air dan petikan shamisen adalah paduan keindahan orkestra yang menyemai bahagia.

Pandanganku beredar ke sudut lain. Pintu rumah kayu yang di kanan kirinya dinaungi dedaunan jingga momiji itu lantas terbuka. Di sanalah wanita itu berdiri menatapku hiba. Matanya, sorot cahayanya meredup sendu-muram. Namun, tak bisa menyembunyikan telaga yang genangan airnya mendesak-desak tumpah ke sekujur kerut-merut pipinya.

Dia menghampiriku yang masih menulis. Menyejajarkan duduknya denganku. Sementara, diri ini masih terlibat sejuta tanya, tapi tetap diam seribu bahasa. Dengan tiba-tiba, direngkuhnya kepalaku ke dadanya. Hingga aku dapat merasakan geletar jantungnya yang membahana. Tubuhku dipeluknya erat, seperti kekasih yang merindu kekasih. Layaknya pecinta yang menemukan cintanya.

“Semoga engkau sukses, Nak. Semoga apa yang kau inginkan tercapai. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kehidupanmu...”

Dan waktu seakan berputar membuat ngilu kepalaku, membuatku terlempar dalam keheningan tak berbunyi, dalam kesunyian yang sepi. Lantas, aku tak menemui lagi imaji ini.. gunung fuji, juga dahan-dahan ceri, apalagi jingganya momiji. Benakku kini, dipenuhi adegan rol film yang digulung.. ah, justru membuatku tersekap dalam bingung tak berujung.

Dia begitu menyebalkan. Membuat amarahku berkobar. Membuat mulutku berkata-kata kasar. Ditudingnya aku berbuat yang bukan-bukan. Fitnah! Inilah masa-masa aku bersenang-senang, dia tak berhak mengurungku seperti monyet dalam kandang. Ingin kutendang dia dari kehidupanku yang sekarang, seandainya aku tak pernah terlahir dari rahimnya...

Sengaja tak kubalas salamnya. Malas sekali menanggapi orang yang telah merusak mimpi indahku tadi pagi. Kuambil paksa lembaran-lembaran itu dari tangannya, dan kuambil langkah seribu setelahnya.

Aku pulang dengan peluh yang membanjir. Sementara, dengan percaya dirinya yang terlampau melangit disuruhnya aku berbuat ini-itu seperti babu. Aku kebingungan sebab sudah tak punya tenaga untuk melakukan apa-apa. Kutolak mentah perintahnya yang seperti nyonya. Alih-alih dia yang menyajikan minuman di meja buatku yang kehausan..

Tak disangka, dia menghambur menutup pintu kamar. Sepertinya, diusirnya aku pelan-pelan. Ah, biarkan. Kalau perlu, aku akan pergi ke tempat di mana wajahnya tak pernah lagi kujumpai... Muak! Itulah mungkin yang pantas diucap.

Tak ada kata-kata dariku untuknya. Tak ada!

Gelap dan dingin yang menyayat tak bisa membuatku lelap.

Sayup-sayup suara itu berhasil mengikis mimpi malamku. Dan mataku nyalang melihatnya terpekur di sana...

Bersimpuh di atas tikar lusuh, dengan pakaian yang sama lusuh.

Isaknya membuatku sesak. Menyayat seperti jerit pintu yang berderak-derak.

Dipaksanya bibirnya, meski terbata berkata-kata. Hanya pinta. Hanya doa. Berulang-ulang disebutnya nama Sang Maha Kuasa. Bulir bening tiada henti berleleran di pipinya. Disebutnya namaku suatu waktu.

Salah anggapanku. Dia meratap, menghamba, memohon akan bahagiaku. Bukan lantas menjatuhkan kutuk biar aku membatu dalam kedurhakaan...

Kini, hatiku terisak pula. Alangkah berdosa... Alangkah nista... Alangkah hina... Alangkah pantas jika langit mengutuk diri ini menjadi batu, menjadi abu, menjadi sebiji dzarrah yang terlupakan, dilemparkan angin, disambar elang, dijatuhkan di lautan...

Dia berjuang ‘mempersembahkan’ aku kepada dunia. Hidup atau mati adalah dua pilihan yang nyata. Dia memilih hidup untukku, padahal wangi surga telah menghampirinya.

Dia memberiku ‘air kehidupan’ paling nikmat untuk kukecap, untuk kusesap.

Simbah peluhnya adalah cinta, kuntum-kuntum mawar yang mengiringiku tumbuh dewasa. Dan tiada kata ‘balas jasa’ sekali pun pernah terlontar dari mulutnya.

Telapak kakinya adalah surga, di mana baktiku seharusnya bermuara.

Ya ummi...

Ah, aku tak kuasa menyembunyikan isakku. Kerudung yang membingkai auratku basah sudah. Ya Rabb, apa yang telah hamba-Mu ini lakukan? Sungguh ya Rabb, jika Kau menghamparkan dosa-dosaku di depan mataku, aku takkan sanggup untuk melihatnya. Ya Rahman, ampuni diriku, ampuni orang tuaku. Luruskan diriku untuk kembali ke pangkuan din-Mu yang mulia...

Kubuka kedua kelopak mataku perlahan...

Kutatap layar di depanku, bersamaan dengan ratusan pasang mata lain yang menatap.

Lalu, aku kembali meratap.

Apakah itu yang Anda inginkan? Tanya orang di depan sana.

Aku buntu berkata-kata.

Siapkah jika esok, lusa, atau hari ini Dia menjemputku? Pulang ke rahmatullah? Ataukah Dia justru menjemput wanita tercintaku? Siapkah?

Aku takut, ya Rabb. Jika menjelang ajalku, aku tak lagi memegang teguh iman Islam dalam jiwaku. Aku meragu, ya Rabb. Jika bibir ini sulit berucap syahadat di penghujung nafas terakhirku. Aku berharap, ya Rabb. Kau akan mengundangku dengan kalimat suci-Mu: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Dan hatiku kembali mengharu-biru. Saat kudengar untaian kalam indah itu…

MATAHARI

1. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,

2. Dan bulan apabila mengiringinya,

3. Dan siang apabila menampakkannya,

4. Dan malam apabila menutupinya,

5. Dan langit serta pembinaannya,

6. Dan bumi serta penghamparannya,

7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

10. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Lia Wibyaninggar

Baiti Jannati, 27 Muharram 1430 H

Muhasabah di Wisma Haji. Ahad, 21 Muharram 1430 H

Tidak ada komentar: