Matahari masih belum bergeser dari petala langit ketika aku melintas di kota itu. Surakarta. Entah. Ada perasaan hangat menyelinap-merasuk ketika wajah ini menghadap jendela kaca bus kota, menyaksikan hiruk-pikuk nun di luar sana. Ada sejuta kerinduan membuncah tatkala rindang pepohonan yang melingkupi atmosfer kampus UNS itu kujelang. Taman Jurug. Bus bertingkat (yang sekarang hanya tinggal kenangan). Perasaan ‘entahlah’ melintas-lintas. Secuil kenangan yang aku punya cukuplah mewakili memoar kisah romantika Abi dan Ummi. Kota yang menyejarah, menjadi saksi pertemuan mereka di masa silam. Dua titik yang saling berjauhan. Terpisah gunung dan hutan. Kemudian menarik garis ke satu tujuan. Aih, indahnya tatkala pertemuan ‘tak terelakkan’ itu terjadi dalam bingkai thalabul ‘ilmi. Sebagai sesama penuntut ilmu. Melangkah demi Ia memudahkan jalan ke surga. Kemudian, disempurnakanlah dien itu dengan ikrar suci. Menikah. Maka, apalah yang lebih indah selain ibadah yang berkontinyu, serta romantika berbalut takwa?
Aih, sebenarnya aku tak hendak menceritakan kisah-kasih, mencinta-dicinta atau apalah engkau menyebutnya.
Beberapa belas menit sebelum mencapai terminal pemberhentian Tirtonadi-Surakarta. Mentari yang perlahan mulai bergeser dari puncaknya masih garang, menyilau. Merampas teduh pepohonan yang kokoh berbarisan menaungi jalan raya. Ke mana perginya awan kelabu yang menitikkan gerimisnya setiap kali aku singgah ke kota ini? Ia terusir oleh galaknya mentari yang bersinar menyilau sesiangan ini. Seperti halnya lamunanku terusir oleh suara yang tiba-tiba hadir, tak jauh dari tempatku duduk merepet jendela kaca.
Kupingku belum tamat memperdengarkan senandung Raihan melantunkan ‘Untukmu Palestin’. Buku di pangkuanku tergelar, konsentrasiku buyar. Kuteliti lagi baris-baris kalimat Ustadz Salim A. Fillah saat beliau bertutur indah tentang Ramadhan-bulan penuh berkah, setelah tadi aku sibuk memakan cemilan gula-kacang sambil ke luar kaca jendela melempar pandang.
Suara yang tiba-tiba hadir. Membuat perhatianku tertarik dari sekedar menyibak kelambu, mengintip keramaian di siang terik pojok Sala-Kutha Budaya.
Pengamen. Ya, pengamen.
Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaanku selain: bosan dan jengah. Sudah berapa kali pengamen naik sejak dari Madiun-kotaku tadi? Tak berbilang. Bermacam-macam model dan gaya, dengan alat bunyi yang berbeda-beda. Tembang yang tak selalu sama. Namun, gaya ‘meminta-minta’-nya nyaris selalu sama. “Nyuwun sak ikhlase nggih, Pak, Bu, Mbak, Mas. Lemah teles, Allah sing mbales.” Ucapnya sambil berjalan mengedarkan wadah plastik-bekas bungkus permen itu ke seisi bus. Dan ketika tiba giliranku, aku hanya berisyarat dengan tanganku: “tidak, sorry ya..” Hanya ‘cuek beybeh’ mengetahui ‘peminta’ itu berlalu menadahkan kantongnya ke orang lain. Apakah aku pelit sekali? Tidak, aku hanya malas sekali mengambil dompet yang kusembunyikan jauh di dasar tas-ransel-‘raksasa’-ku, bertimbun baju-baju dan barang bawaan yang lain. Aku selalu tak peduli dengan rupa-rupa mereka. Rambut gondrong, celana bolong-bolong, lagu asal-asalan, suara pekak, dan sejuta alasan untuk ‘tak mengacuhkan pengamen’ lainnya. Yang jelas, suara yang tiba-tiba hadir itu selalu sukses merampas kenikmatanku yang sedang menghayati suara merdu Raihan, Opick, Snada, Hijjaz, Sami Yusuf, atau pun lantunan ayat-ayat-Nya yang kusetel dari Mp3 tersayang.
Mendengking-dengking menyanyikan tembang-tembang Jawa yang bernuansa dangdut-koplo. Tak cuma itu, lagu-lagu dari band ternama pun ikut serta—meski tak sebagus aslinya. Asal bunyi saja. Yang penting nyanyi. Pernah suatu ketika, di perbatasan Sragen-Solo naiklah seorang ‘penyair’. Layaknya seniman pada umumnya, penampilannya ‘nyentrik punya’. Entah jebolan institut seni mana. Alih-alih puisi cinta penuh gombal khas anak muda, malah lantang ia berkoar-koar soal reformasi dan pernak-perniknya. Menggambarkan kondisi Jogja di tahun ’98 yang turut rusuh mendemo Soeharto. Entah itu puisi disadapnya dari mana. Atau justru ia menggubahnya sendiri saja. Tak tahu lah. Seingatku, begitu ia selesai bersyair, ia berujar dengan santainya, “Jangan dihiraukan, Pak, Bu. Ini hanya celotehan seniman jalanan tak waras. Mohon maaf jika mengganggu kenyamanan anda, saya hanya minta seikhlasnya saja…” Nah!
Bermacam-macam rupa pengamen. Mulai dari yang alat musiknya cuma ‘kecrekan’ terbuat dari bekas tutup botol, sampai yang benar-benar ‘seniman jalanan’—alat musiknya lengkap, ada gitar, ada kendang, bahkan biola! Yaa ini dia, konser singkat di dalam bus kota, siap menghibur anda! Dari yang penampilannya macam gelandangan--compang-camping, ibu-ibu menggendong anak—guna menarik simpati atau memang orisinil kehidupannya seperti itu, hingga sekawanan ‘bencong’ genit yang biasa mangkal di perempatan Prambanan. Semuanya bermuara pada satu kata: pengamen.
Betapa negeri ini dipenuhi dengan ‘kaum peminta-minta’. Tak adakah profesi yang jauh lebih ‘keren’ daripada mengemis dan mengamen? Mengapa mereka mengamen? Apa mereka orang-orang malas? Mereka tak berpendidikan, sehingga cari kerja kesulitan, begitu? Kenapa mereka tak berpendidikan? Seburuk apa dunia pendidikan di negeri ini sehingga rakyatnya kesulitan mengecap ilmu? Menjadi kaum pecundang yang hanya bisa ‘tergantung’, bukan berdiri tegak di atas kaki sendiri… Pertanyaan bercabang-cabang serupa dahan beranting, tak jua berhenti. Hanya berawal dari satu kata: pengamen.
Baiklah, rehat dari mengecam carut-marut tanah air. Terlepas dari kerasnya hidup yang mereka alami… Hari ini, salah satu lagu mereka berhasil membuatku menitikkan airmata. Lagu tentang ayah. Lagu tentang bunda. Beberapa menit sebelumnya, baru saja aku mencium tangan bunda, sebelum kaki ini melangkah naik ke dalam bus kota. Sebelum bus menderum akan berangkat pun, bunda masih memandangku di luar sana. Tersenyum penuh arti sambil melambaikan tangannya. Perpisahan yang tak biasa. Tak biasa karena aku jadi haru, lantas gerimislah wajahku. Tak biasanya seperti itu. Entah kenapa aku jadi takut meninggalkannya. Aku lalu ingat sebuah baris syair, “ mereka asyik berkumpul dan bercengkrama, padahal kematian lebih dekat dari tali terompahnya…” ahh…
Aku masih enggan berpisah dengan ummi, meski di sisi lain aku pun merindu suasana yang dikata Ustadz Salim sebagai ‘Getar Cahaya di Atmosfer Cinta’. Rindu jalinan ukhuwah. Rindu bertanya “Kaifaa khaaluk?” dan berpeluk-cium, rindu memandang belasan air mancur yang mengucur setiap senja dan palem-palem menghijau di pekarangan maskam, rindu mendengar celoteh riang teman-teman sejurusan. Ah, rindu. Kau perasaan tak tahu malu. Hinggap tiba-tiba , lantas membebatku pada perasaan ingin yang tak menentu.
Suara pengamen itu menyihirku dan membuatku terharu, hingga kurelakan keping uang logamku masuk ke kantong mereka. Apresiasi. Bisa dikata demikian. Keping uang satu-satunya yang kupunya, yang andai tak kuberikan nanti bisa kugunakan sebagai ongkos naik bis kota menuju kampus. Ah, sudahlah, lupakan. Bukankah aku tengah belajar meresapkan ‘ikhlas’ ke lubuk hati?
Usai kawanan pengamen yang gaduh nian itu, menggaunglah MP3 milik bus itu sendiri, melantunkan lagu-lagu band kenamaan. Lagu picisan. Cinta lagi, cinta lagi! Muak rasanya melihat pemandangan negeri ini dipenuhi ‘cendawan’ berwujud ‘band anak muda’ yang menyenandungkan lagu-lagu roman. Melankolis. Syair cinta picisan. Melenakan. Apa jadinya jika kaum mudanya hanya sibuk dengan hal-hal cinta-melankolis macam begitu? Maka jadilah ungkapan jelek itu menyublim jadi kenyataan: generasi NATO (No Action, Talk Only). Bisa jadi ayat-ayat Al-Quran mereka lupakan, sementara syair-syair lagu itu mereka justru hafalkan. Masih menggaung MP3 bus itu… “Yang, masih pantaskah kau kupanggil ‘Sayang’…” Masya Allah…
Belum mencapai terminal pemberhentian Tirtonadi-Surakarta, aku kembali dikejutkan oleh suara yang tiba-tiba hadir. Megoyak lamunan yang baru terangkai sejenak. Dan itulah, lagi-lagi. Pengamen!
Ia berdiri tepat di samping jok tempatku duduk merepet jendela. Hanya berbekal ‘kecrekan’. Dan hanya suara ‘kecrekan’ itu. Hanya! Aku tak mendengar dia menyanyi seperti pengamen lain pada umumnya. Pak tua itu. Aku hanya mendengar ia menggumam, tidak jelas. “Aaaa…ahh…uhhh..ngngshsh…uhm…aaaa…” Hanya suara itu yang keluar dari mulutnya—dengan bunyi ‘alat musiknya’ yang sama sekali tidak teratur.
Tak lama kemudian, selesai. Lantas menadahkan tangan ke seisi penumpang sambil tetap bergumam “ahh…ihhh…uhhh”. Pak tua itu. Bukannya ia tak mau menyanyi. Namun, ia memang tak bisa menyanyi. Bahkan, memang tak bisa bicara. Bisu. Pak tua itu bisu.
Seorang Mbak yang duduk di seberang sana terburu membuka dompetnya, memberikan keping-keping logam miliknya. Memberikannya dengan perasaan dilingkupi empati dan rasa kasihan.
Aku? Lagi-lagi hanya berisyarat dengan tanganku, menolak tangan yang menadah itu. Keping uangku tinggal satu. Sudah kuberikan kepada pengamen tadi yang membuatku terharu. Apa aku harus rela mengangsurkan uang seribu perak-ku?
Ah, benarkah pak tua itu benar-benar bisu? Jika ya, apa yang membuatku meragu? Di luar sana masih banyak anak-anak terlantar dan kurang gizi, ditingkahi oknum pengemis yang tega menipu. Sketsa wajah negeri ini yang kian buram mengkusam… Yang jujur, aku pun enggan melihatnya, karena perasaan miris yang mengiris.
Duhai, bukankah aku sedang belajar meresapkan ‘ikhlas’ ke lubuk hati? Mbak di seberang itu, dia tak pikir panjang merelakan uang recehnya masuk ke kantong pengamen-bisu. Sementara, aku tak pikir panjang merelakan uang kertasku dipertukar dengan gula-kacang. Padahal aku masih memiliki segepok jajan di dalam tas. Perut laparku masih bisa teratasi. Sementara ia? Belum tentu pak tua itu bisa makan sehari sekali.
Duhai, bukankah ‘ikhlas’ memang harus ditanamkan-disemai bijinya di lahan kalbu dengan penuh kehati-hatian? Biar ia tak menjelma jadi riya’ yang menghanguskan amal. Seperti halnya Mbak di seberang itu. Tak ada yang tahu nominalnya. Sudah, pokoknya berikan. Semoga uang itu bisa menambal kekurangan makan. Muraqabah. Cukup hanya Ia yang melihat. Ia yang menyaksikan. Tangan kiri tak perlu tahu. Ikhlas.
Beginilah aku, kemudian terpojok dalam malu kepada diriku, pun kepada-Mu. Mbak di seberang itu, hanya muslimah sekadarnya yang tak se-akhwat diriku. Jilbab pendek dan jins ketat. Hanya itu. Tak selengkap aku yang ‘riweuh’ memakai manset lengan, kaus kaki, jilbab dobel, segala macam…
Tak peduli pak tua itu penipu atau memang benar-benar bisu. Yang jelas, ikhlas itu laksana bening embun yang menggantung di pucuk-pucuk daun.
Aku terpojok dalam malu. Sekaligus iri hati. Iri sebab ada yang mengungguli aku dalam berkompetisi meraih amal hari ini, laiknya Umar yang cemburu berat pada Abu Bakar ketika mereka berlomba menyambut jihad di perang Tabuk.
“Tidak ada iri hati kecuali dalam dua perkara. (Yaitu) orang yang diberi harta oleh Allah lalu ia belanjakan pada sasaran yang benar. Dan orang yang dikaruniai ilmu dan kebijaksanaan lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya.” (HR Bukhari)
Aku merasa kecil, kecil sekali…
Yogyakarta, kota penuh cinta
10 Rajab 1431
Tidak ada komentar:
Posting Komentar