Ruang kelas sunyi. Hening. Para mahasiswa yang bersenda-gurau ditingkahi gelak-tawa yang membahana di lantai kelas mendadak pindah ke kursi masing-masing. Demikian pula dengan para mahasiswi yang asyik bergosip-ria, mendadak anteng tanpa suara. Lho? Ada apa gerangan? Mereka memandangku dengan pandangan yang susah diartikan. Sejenak kemudian, salah satu dari mereka tersenyum simpul.
“Aduh, Salsa. Tadi kami kira yang datang adalah bu asisten dosen. Eh, tidak tahunya kamu. Habis, dari belakang mirip, sih.” Maria menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepadaku. Aku pun tersenyum geli. Sedemikian mudahnya mereka terkecoh olehku. Jilbab panjang, pakai rok, plus menggendong ransel. Benar-benar mirip dengan Bu Rani, asisten dosen itu.
Ah, sedemikian khasnya aku di antara mereka. Sembilan puluh orang mahasiswa itu, teman seangkatanku di jurusan ini. Jurusan yang telah melahirkan sastrawan ternama almarhum W. S. Rendra. Jumlah ini terlalu banyak. Bahkan angkatan-angkatan sebelumnya tak sebanyak ini. Hanya berkisar antara empat puluh hingga lima puluh orang. Ya Rabb, dari jumlah sekian ini apakah hanya aku seorang yang…
Mendadak aku merasa terlempar ke negeri antah-berantah. Mereka semua asing!
*
Renny. Aku sudah mengenalnya lebih dulu sebelum kami bertemu untuk pertama kali. Lewat SMS. Betapa aku senang menemukan teman satu jurusan menjelang hari-hari OSPEK yang menyibukkan. Gadis berperawakan subur asal kota hujan itu tersenyum begitu melihatku. Kami sama-sama berjilbab. Bedanya, jilbabnya mini. Sedangkan aku sudah lumayan lebar.
Chacha. Namanya lucu. Mengingatkanku akan bola-bola permen coklat warna-warni yang lembut dikulum itu. Asal kota pahlawan. Tak heran, kadang gaya bicaranya slengekan. Kami senang berbincang dalam bahasa Jawa dengan istilah-istilah aneh dan agak-agak kacau. Membuat Renny yang notabene Sunda kebingungan.
Rahma. Ia tak pernah pulang semenjak tiga tahun yang lalu. Kampung halamannya nun jauh di Lampung sana. Ia membersamai bibinya di Ngawi ketika SMA, hingga kemudian kini ia hijrah ke Jogja untuk melanjutkan studinya.
Sarah. Aku bertemu dengan gadis Jakarta ini di salah satu organisasi fakultas: Lembaga Dakwah Kampus. Dia berjilbab. Anggun sekali.
Lulu. Gadis keturunan Arab kelahiran Banjarmasin ini sungguh menawan matanya. Berkerudung juga, meski rambutnya yang panjang terkadang keluar dari kain tipis yang menghias kepalanya. Membuat rambutnya yang dicat pirang kelihatan.
Dan aku. Salsabila.
Entah bagaimana awal mulanya, kami berenam selalu bersama. Meski terkadang terpisah kelas pada mata kuliah tertentu. Kami masih berstatus mahasiswi baru. Dan mereka membantuku beradaptasi di sini, kampus mahaluas ini. Menjelajahi setiap detil-detilnya. Mengelana menyusuri kota ini bersama. Aku seperti bernostalgia. Ya, aku pernah menetap di kota ini sepuluh tahun silam. Mengikuti Ummi yang kuliah pascasarjana di UNY. Hm, kota ini benar-benar menawarkan keramahan. Tak metropolis seperti Jakarta maupun Surabaya. Kami hang out ke mana-mana. Dari shopping mall hingga pasar tradisional. Dari toko buku mahsyur hingga tempat buku-buku bekas. Dari restoran berkelas di plaza hingga warung bubur kacang ijo di pinggir jalan. Pendek kata, kami ingin menjelajahi setiap senti sudut kota ini.
*
Gadis berjilbab cokelat tua itu Alifa. Ia mempelajari bahasa Al-Quran di fakultas ini. Kami dipertemukan Allah dalam sebuah forum di acara LDK fakultas. Mengenalnya aku serasa menemukan diriku di dalam dirinya. Kami memiliki begitu banyak persamaan. Kami menyimpan harapan yang sama: kelak bisa menginjakkan kaki di negeri sakura. Apalagi ia berasal dari kota yang tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Seperti halnya Jogja-Klaten. Dan sapaannya yang begitu hangat di telingaku setiap kali kami bertemu, “Assalamu’alaikum, Ukhti Salsa…” membuatku tak segan untuk segera membalas jabat erat tangannya, lantas menempelkan pipiku ke pipinya. “Wa’alaikumsalam, ukhti.” Jawabku, tak lupa menyunggingkan segaris senyuman.
Ternyata kami satu majelis halaqah. Sama-sama ikut LDK tingkat universitas, selain LDK fakultas. Bersama kami jelajahi dunia baru bernama “dakwah”.
Bagiku, tak ada hari yang lebih menyenangkan selain akhir minggu. Sabtu. Waktu perjumpaanku dengan para akhwat itu. Kami berasal dari beragam program studi, beragam suku dan asal-muasal. Namun, tetap bernaung di bawah fakultas yang sama. Sayangnya, tak ada di antara para akhwat itu yang satu jurusan denganku. Hanya aku seorang.
Tempat kami berkumpul indah bukan main. Aku selalu mengagumi arsitekturnya yang megah dan indah. Setiap sudutnya meruapkan hawa surga. Meski terkadang aku juga tak paham tentang kelompok-kelompok tertentu yang sering bermarkas di sini. Namun aku mengagumi pemandangannya. Hamparan rumput bak permadani hijau, pergola dengan bougenville warna-warni yang menghias koridornya, ornamen ayat-ayat Allah yang mengelilinginya, kubahnya yang kuning keemasan, belasan air mancur yang selalu mengucur setiap senja—membasahi patung bertuliskan “bismilllahirrahmanirrahim” di tengah-tengahnya. Hm, tempat ini tak pernah sepi, kendati hujan mendera. Aku selalu suka mengamati deretan buku-buku Islami yang dijual di emperannya. Bermacam-macam. Dari Al-Quran, buku-buku Islam, hingga thibbun nabawi—obat-obatan ala Nabi. Tak mahal, asal pandai menawar pasti dikasih diskonan.
Terlepas dari itu semua, aku lebih kagum dengan kebersamaan ini. Cara kami bertegur sapa, bertautan tangan, dan berpeluk-cium. Begitu hangat. Begitu akrab. Seperti ada sejuta pesona surga terpancar dari wajah-wajah mereka. Nuansa yang tak pernah kutemui ketika…
“Nih, buku ini cocok buat kamu nih!” Renny menyodorkan sebuah buku tebal bertajuk “Fiqih Wanita” kepadaku, ketika kami hang out ke Gramedia seusai jam kuliah.
“Kenapa harus aku? Memangnya kalian tidak butuh?” ucapku, tak hanya kepada Renny. Namun sekaligus kepada mereka berlima.
Mereka tidak menjawab, malah melenggang meninggalkanku menuju rak-rak berisi komik-komik teranyar.
Hanya aku seorang di antara mereka yang menggilai novel, sebagaimana mereka menggilai komik. Sayangnya, masih minim komik-komik islami di negeri ini. Mungkin, disebabkan kontroversi haram-tidaknya menggambar makhluk. Padahal menurutku, sepanjang tidak menyerupai bentuk yang sebenarnya, menggambar itu sah-sah saja. Justru komik-komik asing itu menyerbu dengan buasnya. Padahal kebanyakan isinya jauh dari syar’i. Aku miris menemui kenyataan ini.
Aku memandangi mereka yang tengah asyik memilah-milah komik dari kejauhan. Di antara kami berenam, hanya Chacha dan Rahma yang tak berjilbab. Namun, Renny, Sarah, dan Lulu pun hanya berjilbab sekadarnya. Kerudung gaul, begitu istilahnya. Di hadapanku, mereka bercerita dengan riang-gembira tentang pacar masing-masing. Tak terkecuali Sarah, temanku sesama anggota LDK fakultas. Kutahan keterkejutanku dengan ekspresi sebiasa mungkin. Lantas, apa yang harus aku ceritakan? Aku hanya bisa terdiam, meski hatiku meronta-ronta, “Ya Allah, apa yang sebaiknya hamba harus lakukan?”
*
Seseorang menghampiriku. Ilham, teman satu jurusan.
“Boleh tanya sesuatu nggak, Sa?”
“Boleh. Mau menanyakan apa?”
“Mm, kalau boleh tahu… Dulu Salsa dari pesantren mana?” tanyanya, disertai nada keragu-raguan.
Aku membeliak heran. Pesantren?
“Oh, nggak. Aku berasal dari sekolah biasa, bukan pesantren.”
“Oya? Maaf, Sa. Aku hanya penasaran tentang perbedaanmu dengan kami.”
Ilham memang jebolan pesantren. Tapi, itu tidak menjamin. Ia tak ubahnya seperti cowok-cowok yang lain. Penampilannya gaul dan merokok. Bukan ikhwan yang menjaga jarak, gadhul bashar, dan bercelana di atas mata kaki. Ilham jauh dari kesan itu. Ia malah menganggapku aneh. Jilbab lebar, gamis panjang, kaus kaki… Fenomena langka di antara mereka-mereka yang berkerudung gaul, celana pensil, bahkan rok mini. Ah, lantas bagaimana dengan para akhwat bercadar itu—yang juga tak jarang ditemui di kampus ini?
Aku seperti dihadapkan pada dua kutub yang berlawanan. Kutub yang berorientasi dunia, dan kutub yang berorientasi akhirat. Bisakah kelak kedua kutub itu disatukan, untuk kemudian menciptakan sinergi yang luar biasa? Sinergi yang memunculkan wangian surgawi di kampus ini…
*
Seusai menghadiri tarbiyah bersama para akhwat fillah di masjid kampus, kusempatkan berbelanja ke Beringharjo bersama Rahma dan Chacha. Kami bertiga saja kali ini. Ketika aku sibuk memilah-milah jilbab, mereka sibuk memilah-milah celana jins dan tank top. Lagi-lagi aku seorang diri. Mereka tak bisa kumintai saran perihal jilbab yang bagus dan pas untukku.
“Kalian kubeliin jus mau? Hari ini aku lagi bahagia, makanya aku traktir kalian.” Lontar Chacha.
“Ya mau lah! Siapa yang nggak mau barang gratisan?” Rahma berseloroh. Aku mengangguk saja.
“Eh, Salsa. Sini kubantu bawain belanjaanmu, biar nggak ribet.” Rahma menawarkan kepadaku. Kuterima tawarannya dengan sukacita.
Mereka begitu baik. Mereka sahabat-sahabatku. Tokoh-tokoh baru yang hadir mengisi kehidupan baruku.
Namun, aku tetap merasakan adanya jurang itu. Jurang pemisah antara aku dan mereka berlima. Tempat persinggahanku adalah masjid kampus dan mushala fakultas. Sedangkan mereka lebih memilih berkutat di rental komik dan toko-toko baju. Jika aku sibuk dengan kajian dan halaqah, mereka sibuk dengan mapala, teater, atau bahkan paduan suara. Sarah. Meski dia anggota LDK, bagiku dia masih kebingungan menentukan A dan B. Dia bukan akhwat seperti yang kukira sebelumnya. Dia masih cewek seperti pada umumnya. Ketika kuajak mereka menghadiri kajian, apa jawabannya? “Maaf, Sa. Aku tidak hobi mendengarkan pembicaraan yang ujung-ujungnya paling juga surga-neraka.” Aih, Ya Rabb…
Mendadak aku merasa terasing. Aku merasa seperti alien di tengah-tengah mereka. Tak ada yang se-fikrah denganku. Tak ada yang dengan hangat menyapaku, “Assalamu’alaikum, ukhti.” Tak ada yang kujabat erat tangannya seraya peluk-cium.
Sebuah suara berteriak lantang di salah satu sudut hatiku, “Jangan menjadi suci sendiri! Apa kau akan meniti jalan ke surga seorang diri?”
Tidak! Tentu tidak!!
Aku harus memupus keterasingan ini!
*
Dakwah ibarat sebuah pohon. Jika daun-daunnya berguguran, maka akan muncul kembali tunas-tunas muda yang menggantikannya. Gairahnya tak pernah habis. Terus dan terus memperbarui diri. Mati satu tumbuh seribu.
Aku adalah satu di antara sekian banyak tunas-tunas muda itu. Ingin kubagi indahnya rasa mencintai-Nya kepada mereka. Ingin kutularkan nikmatnya meneguhkan diri dalam dien-Nya yang mulia.
Kelas usai. Aku melirik jam tanganku. Pukul satu siang.
“Ke mushala dulu, yuk. Shalat dzuhur berjamaah.” Ujarku kepada mereka.
“Iya. Kamu yang jadi imamnya.” Renny menjawab.
“Beres!” ucapku sambil tersenyum. Asli, lebar.
Ah, dalam hati aku menyimpan satu harap: aku ingin memanggil kalian “ukhti”.
Mendadak aku merasakan wangian itu, terselip di antara hembusan angin yang menerabas kisi-kisi jendela kampus. Surga itu dekat…
Baiti Jannati, 8 Safar 1431 H
Ya Rabbi, ridhai kebersamaan ini.
2 komentar:
Aku suka karanganmu, aku yakin kamu akan bisa merubah dunia dengan tulisanmu. tetap semangat.... tunjukkan karya-karya islamimu Lia Wibyaninggar.
Terima kasih, Alvina. Follow me on twitter @liawibyaninggar, if u want. Thank you. :)
Posting Komentar