Kulempar pandanganku keluar, menerobos kaca-kaca jendela.
Kameraku membentur dinding-dinding itu. Hitam-putih. Putih-hitam. Muram.
Hening. Sunyi. Sepi.
Instrumental Sadness and Sorrow Toshiro Masuda mengalun. Syahdu. Khidmat. Romantik.
Serangkaian origami tsuru-ku menari-nari di tepi jendela, dipermainkan angin sepoi-sepoi senja hari.
Aku menerawang ke angkasa raya.
Senjaku bukan lagi jingga, merah, atau ungu. Senjaku kelabu. Mendung yang menggantung mengaburkan warna langit yang cerah biru. Melenyapkan gradasi warna senja jingga, merah, ungu.
Burung-burung gereja masih setia melanglang buana. Bercengkrama dari atap ke atap. Saling mengejek. Saling merayu. Kejar-kejaran ria.
Deretan Aglaonema di bawah jendela diam membisu. Daunnya yang bercorak hijau, merah, kuning melambai-lambai. Pun Zamia yang berdaun kaku.
Ada lagi sekawanan anggrek dengan spesies berbeda. Dendrobium, Cattleya, Vanda… Hadir di depan mataku, menawarkan warnanya yang beragam. Hijau, ungu, putih, merah muda… Sebuah keanggunan tersendiri.
Kameraku membentur kaca-kaca jendela. Sebuah tulisan tertempel di sana. Begitu lekatnya.
Jangan hanya tahu, tapi pahami
Jangan hanya melihat, tapi selami
Dengan begitu kau akan mengerti…
Islam always in my heart!
Tulisan yang kupasang setahun yang lalu, yang kuharap kalimatnya akan selalu lekat di hatiku, selekat dia tertempel di jendela itu.
Kameraku kembali membentur dinding-dinding beton yang kokoh bagai benteng Van Der Wijck. Menghalangi pandangan. Hijab kuat yang takkan pernah runtuh.
Dedaunan hijau nan lebar Musa Sp. selalu bergoyang gemulai di luarnya. Seakan lambaiannya mengajakku untuk ke sana. Juga serumpun mengkudu bau yang selalu dirubungi kupu-kupu. Seakan sekawanan kupu-kupu itu berkelakar mengajakku terbang menuju istana yang dibangunnya di luar Van Der Wijck-ku.
Aku memandangi serangkaian origami-tsuru yang juga masih menari-nari. Sayap-sayapnya lincah bergoyang, seperti akan terbang sungguhan. Mengingatkan aku akan penggalan puisi yang ditulis Sasaki Sadako;
“Aku akan menuliskan tentang perdamaian pada setiap kepak sayapmu, dan engkau harus terbang mengelilingi dunia agar anak-anak tak perlu lagi mati dengan cara ini…”
Sekarang, dengarkan, aku ingin menulis puisiku sendiri.
Aku ingin menuliskan cinta pada setiap kepak sayapmu
Dan engkau harus terbang menemui seorang pendamba surga
Entah siapa
Yang namanya telah diguratkan indah oleh-Nya
Dalam kitab takdirku yang terjaga
Melatiku yang menguar wanginya, serta mawarku yang diam-diam merekah di bawah jendela, anggrekku yang anggun tak pernah layu, semua semarak di depan mataku. Membuatku lupa akan rasa bernama luka, sedih, dan duka. Apa aku sedang ada di taman orang-orang jatuh cinta?
Bimbing aku menuju surga, wahai Sang Pendamba Surga. Jadikan aku bidadari yang setia menemanimu, tak lekang oleh waktu…
Aku mendesah resah, tak mungkin mengharap sosok Ali bin Abi Thalib jika aku tak menjadi sosok Fathimah Az-Zahra.
Aku masih terpaku di sudut jendela.
Hari semakin senja.
Hanami
Heya no naka,
23 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar