Bulan-bulan berlalu, tahun demi tahun berganti. Waktu telah mengantarkan aku berada di sini, menjumpai wajah-wajah baru, semangat-semangat baru, kehidupan yang baru. Aku ingin menapak sesuatu yang baru di sini. Tentu saja, kata ‘baru’ itu adalah sesuatu yang ‘lebih baik’ dari masa lalu. Aih, singkatnya perjalanan itu. Dunia remaja putih abu-abu, tak lama bagiku. Tak bisa kuhindari jika ingatanku terdampar kembali ke masa itu, tiga tahun yang lalu…
Risih aku memakainya, justru ketika ibu menyuruhku mengenakannya dengan sepenuh hati. Aih, tak sopannya aku ini. Aku masih kanak-kanak pada umumnya, bandel, meski ibu tak jua jera menyekolahkan aku di madrasah ketika aku mati-matian menolaknya. Nilai-nilai itu masih lekat di hati, selepasnya aku dari madrasah. Namun, aku tetap tidak suka ini: jilbab. Lagipula, madrasah juga tidak pernah menyuruh. Nilai-nilai itu masih lekat di hati, kendati aku tidak pernah menyelaminya. Pun ketika ‘tamu pertama’ itu datang, menobatkan aku menjadi ‘baligh’.
Penghujung masa putih-biru. Seorang sahabat menyadarkan aku tentang kewajiban itu. Mengenalkanku pada sebuah kata bernama ‘hijrah’. Duh, betapa malu diriku. Dia kurasa tak lebih banyak pengetahuan agamanya dibanding aku yang berasal dari madrasah. Ah, tak perlu pikir panjang lagi untuk menunaikannya. Aku malu kepadanya. Aku malu kepada-Mu. Kuutarakan kepada ibu keinginanku, meski harus menuai beberapa ganjalan. Keputusanku kurang disetujui. Alasan klise. Dulu, aku tak mau. Sekarang, ketika aku mau, kau justru tidak setuju. Ah, ibu…
Kompromiku tak sia-sia. Tentu saja, argumenku tak terpatahkan, setelah pelan-pelan kuterangkan perintah-Nya yang tak terbantahkan. Hari pertama di SMA, hari baru dengan seragam baru, penampilan baru, dan.. aku yang baru!
Kuikrarkan segumpal tekad di dalam hati saat itu: bismillahirrahmanirrahiim… Allah, izinkan aku mengibarkan bendera hijab dalam hatiku.
Bergumul dengan kata ‘konsekuensi’ memang tak mudah. Aku telah mengenakannya, maka aku tak berhak menodai citra sucinya dengan tingkahku yang tak indah. Aku ingin kaffah, aku tak ingin setengah-setengah. Ya Rabb, bantu aku untuk istiqamah…
Kini… telah bertahun-tahun berlalu. Namun, aku belum mau berhenti. Ikhtiarku tak hanya sampai di sini. Dunia baru ini mengenalkanku pada sebuah kata ‘ukhuwah’. Perjumpaanku dengan wajah-wajah baru, semangat-semangat baru, nuansa indah yang sama sekali lain dari yang dulu…
Aku mengagumi kebersamaan ini. Begitu hangat. Begitu akrab. Seperti ada sejuta pesona surga terpancar dari wajah-wajah mereka. Kuucapkan alhamdulillah atas pertemuan ini. Aku—terus terang saja—lebih menyukai kebersamaan ‘ini’, tentu saja. Daripada kebersamaan ‘itu’, yang membuatku terasing. Ah, andai mereka tahu, aku ingin membagi indahnya rasa mencintai-Nya kepada mereka. Ingin kutularkan nikmatnya meneguhkan diri dalam dien-Nya yang mulia.
Ah, diriku masih terlampau miskin. Masih terbata mengeja ayat-ayat-Nya. Masih tak fasih menguraikan firman-Nya. Namun, aku tak ingin melupakan sabda Baginda Nabi, “balighul anni walau ayyah!”
Ajari aku untuk berbagi.
Ajari aku untuk senantiasa istiqamah.
Ajari aku untuk menerapkan ini: hari ini lebih baik dari kemarin, besok lebih baik dari hari ini. Seperti halnya larva yang bermetamorfosa, kelak akan menjadi kupu-kupu cantik jelita.
Kemudian akan kita dapati, kita adalah hamba-hamba ‘beruntung’ yang dicintai-Nya. Bersama-sama meniti jalan ke surga, meski harus tertatih dan terjatuh dalam berjuang bersama.
Ya Rabbi, ridhai kebersamaan ini. Sampai nanti waktu memisahkan kami. Dan detik itu pula kami menjelma baru, hamba yang bermanfaat bagi umat-Mu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar