Selasa, 22 Februari 2011

Seribu Bangau Kertas Terbang Menggenggam Doa…


Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berikatan
dengannya Allah persatukan hati-hati berserakan
saling bersaudara, saling merendah lagi memahami,
saling mencintai, dan saling berlembut hati
-Sayyid Quthb-

Ada yang sedang bergemuruh. Ada yang sedang ricuh. Ada yang sedang bergolak dalam dadaku. Lama aku tak mendengar kabar tentangnya… Kini, kami telah terpisah jarak ribuan mil jauhnya. Menuntut ilmu, itu alasannya. Sejenak tergambar dalam benak memoar-memoar tentangnya yang berserak… Aku dan dia, dua remaja yang tengah jatuh cinta. Aku dan dia, sepasang sahabat yang berkarakter hampir sama. Kuingat kala itu, kami merangkai mimpi-mimpi, menyemai bait-bait asa yang tengah mekar menjadi bunga-bunga harapan. Kami saling bantu, saling menopang saat rapuh. Menebar canda ketika sukacita, menghapus airmata ketika duka. Sungguh, aku rindu akan itu semua… Seiring putaran roda sang waktu, perpisahan itu memangkas segalanya. Aku dan dia, berangkulan untuk terakhir kalinya. Berpeluk mesra sembari melantunkan sebilah janji; kita akan menutup aurat setelah ini. Istiqamah di jalan-Nya. Kaffah dalam din-Nya. Janji yang kupegang hingga saat ini.
Namun, tidak dengannya. Aku tak tahu-menahu tentangnya. Lama tak berkirim kabar dan saling sapa. Entah kenapa. Allah, aku merindukannya…
Hingga malam itu Kau kirimkan dia ke hadapanku… Namun, melihat kenyataan itu, aku ragu. Ada bisikan pilu dalam hatiku, “Maaf, aku tak bisa lagi mencintaimu karena-Nya...”
*
Isaknya menyeruak. Luhnya perlahan mengalir, menganak sungai di kedua pipi yang semakin menonjolkan tulang-tulangnya. Kurus. Mau tak mau itu membuat batinku terkoyak-moyak. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Serak. Aku pun tak kuasa berucap suatu kata apa. Hanya mencoba mengusir pedih dari jiwanya dengan mengelus rambut hitamnya yang perlahan merontok. Ah, maafkan aku, Sayang. Maafkan aku yang tadi memaksamu menceritakan deritamu, hingga kau tak sanggup lagi menahan sedih di hadapanku. Tak kusadari adanya bulir yang ikut mengalir dari kedua kelopak mataku… Tak kusangka, jarak dan waktu yang dulu memisahkan kita, kini membawamu kembali di hadapanku dalam keadaan seperti ini. Kurus-kering dengan tatapan mata yang sayu. Bahkan, untuk tersenyum saja kau merasa terpaksa.
Ah, telah raibkah engkau yang dulu? Yang selalu tersenyum dan membuatku tersenyum, yang selalu mencintai dan dicintai, yang pandai dan cantik, yang sehat dan lincah…
Telah empat tahun yang lalu. Ketika kita masih pada masa putih-biru. Melambungkan mimpi tentang kelopak-kelopak sakura yang merekah indah kala musim semi tiba. Serta janji untuk kaffah begitu kita berpisah di tahun berikutnya. Ke manakah mimpi itu kini, Sayang? Adakah kau telah membuangnya serta-merta? Sebab, percuma menggantungkan harap jika hidup kaurasa tak lama lagi… Tahukah engkau? Aku masih menyimpan mimpi besar itu, memupuk harapan itu tiap hari. Aku mendoa kelak Ia mengizinkan aku bisa menginjakkan kaki di tanah eksotis itu. Bukan hanya untuk menuntut ilmu, niatku. Namun, ingin kuajak mereka ke jalan cahaya—meninggalkan gelap-gulita yang penuh dewa-dewa, jalan kekasih kita, Rasulullah saw. Ah, mimpi itu kian kudekap. Aku tak pernah berpikir bahwa usiaku lebih panjang darimu. Tidak. Setiap hari yang kita lalui adalah langkah mendekat kepada ajal. Begitu pula engkau, jangan berpikir bahwa usiamu lebih pendek dariku. Jangan. Entah siapa di antara kita yang akan lebih dulu berpulang… Mungkin engkau, mungkin juga aku. Hanya saja, kurasa Dia Yang Maha Penyayang menurunkan tanda-tanda maut itu kepadamu lebih dulu…
Aku tahu kau telah menyadari itu. “Semoga sakit ini menjadi penebus dosa-dosaku di masa lalu,” ucapmu dengan berlinang. Ah, merpati kecilku yang malang, dosa-dosa apa saja yang kau lakukan, apa perintah-Nya yang engkau tentang—sungguh, aku tak tahu-menahu.
Hanya saja, aku pernah menahan getir melihat kenyataan jilbab yang dulunya pernah menutup mahkotamu itu kini tiada lagi… Dan engkau masih bertahan untuk bersamanya, kekasihmu sejak empat tahun lalu. Yang kau kira bisa begitu setia mencintaimu, bahkan ketika kini keadaanmu nyaris sakarataul maut. Ia masih bertahan dengan cinta yang abu-abu semu, yang engkau pun mempertanyakan, apakah kelak ia bersedia menikahimu jika kau masih hidup beberapa tahun mendatang. Kalian telah lama berasyik-masyuk merenda cinta tanpa ridha Illahi. Sementara aku… aku semakin berasyik-masyuk dengan sentuhan ukhrawi. Aku di sini berusaha keras menjaga hijabku, biar ia tak terkoyak seperti punyamu. Janji kaffah kita tetap kudekap erat hingga kini, bahkan kecintaan itu semakin memuncak dari hari ke hari. Kecintaan kepada din ini, kecintaan kepada-Nya… Adakah kau tak ingin sepertiku? Membawa cintamu kepada mahabbah yang jernih dan suci…
Bukankah seharusnya derita itu membawamu untuk kembali mendekat kepada-Nya? Bukankah seharusnya derita itu membuatmu mawas diri jikalau sewaktu-waktu Yang Maha Penggenggam Hidup mengambilmu begitu saja? Sebab waktumu untuk menambah pemberat timbangan kebaikan tak banyak lagi. Sebab Izrail telah mengintai setiap waktu di balik punggungmu. Sebab engkau telah terdesak oleh dua pilihan masa depan yang nyata; al-jannah ataukah api yang menyala-nyala.
Ah, kau telah lama menghilang dari hadapku. Pergi membawa segumpal rahasia yang orang lain tak boleh tahu…
Aku memang tak pernah mengantarmu ke rumah sakit, menungguimu check-up, melihat engkau terpaksa menelan puluhan pil memuakkan itu, menyaksikan kau tersiksa karena ulah terapi menyakitkan itu, atau bahkan membersihkan muntahanmu-menghapus darah yang keluar dari hidungmu. Aku tak pernah… Tetapi, engkau berkisah seperti itu di hadapanku, bagaimana aku tak sedih dan haru?
Kini, ketika kudapati kau terisak dengan air bah dari matamu yang sayu, ingin aku menghapusnya dengan tanganku. Meredakan gelisahmu yang membadai. Memelukmu dengan dekapan lembut seorang sahabat. Ingin aku bertutur kepadamu tentang keistiqamahan, tentang hakikat cobaan, tentang makna bersabar dalam ujian.. Namun, lidahku kelu. Tak ada kecuali sesak di dalam dadaku.
Masih ingatkah engkau dengan kisah tentang gadis kecil dengan binar-binar harap yang bersemayam di kedua manik matanya yang lugu itu? Ia juga mengidap derita yang sama sepertimu. Setiap bangau kertas yang ia buat adalah bak setetes embun harapan untuk ia bisa bertahan. Ia yakin, jika bangau kertas itu mencapai seribu, maka harapannya akan terkabulkan. Namun, apa daya, ia direnggut maut ketika bangau-bangau yang berserak di kamar opnamenya belum mencapai seribu. Sasaki Sadako, begitu sejarah mencatat nama gadis kecil itu.
Sekarang, bagaimana denganmu, Sayang? Kau memiliki-Nya, Dzat Maha Tinggi yang tak mungkin patut disandingkan dengan bangau kertas lemah yang pasrah bahkan ketika tangan-tangan manusia melipatnya. Seharusnyalah kadar harapan yang engkau punyai jauh lebih banyak dari gadis kecil itu. Percayalah, Allah mengabulkan harapan itu. Menakdirkanmu hidup berpuluh tahun lagi, membuat penyakit-penyakit itu musnah sama sekali dari tubuh ringkihmu, melalui kun-Nya.
Ah ya, kau tentu lebih interest dengan filosofi pohon ceri, yang bunganya serentak mekar saat musim semi. Namun, ia begitu rapuh, luruh hanya dengan satu sentuhan jemari. Hidupnya singkat sekali. Beberapa saat kemudian, ia akan digantikan musim gugur yang dingin. Aku tahu kau menginterpretasikan dirimu sendiri, oleh sebab itu kau sematkan kata ‘sakura’ dalam namamu baru-baru ini. Bunga indah yang rapuh.
Ya Allah-Ya Rabbi-Ya Rahmaan, bagaimana caranya aku harus berkata? Bahkan untuk menatap bola matanya saja aku tak kuasa.
Mengapa aku tak bisa mencintaimu karena-Nya lagi? Apakah karena kita sudah tak se-fikrah, sevisi, dan setujuan?
Terus terang aku berlinang ketika kubaca firman persaudaraan, kucermati bebaitnya di buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Ustadz Salim A. Fillah.
Ketika kubaca firman-Nya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan
tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman
Ya, seharusnya tak perlu kurisaukan. Karena kita; aku dan engkau, Sayang adalah saudara seiman.
Karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh
Saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan
Saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil
mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping
Betapa naifnya saudarimu ini, Sayang. Bagaimana aku bisa berucap tak lagi bisa mencintaimu karena-Nya, sedangkan tak hanya imanmu yang sakit, namun imanku yang juga mengerdil.
Kubaca firman persaudaraan Ukhti sayang
dan aku makin tahu, mengapa di kala lain diancamkan;
“para kekasih pada hari itu, sebagian menjadi musuh sebagian yang lain
kecuali orang-orang yang bertaqwa”
Apakah kau menginginkan hal itu terjadi, duhai saudariku? Jika pertanyaan itu tersodor untukku, tentu aku akan menjawab “tidak”.
Kemudian, sang ustadz berlanjut dengan berjuta kekata sarat hikmah lainnya yang beliau tuturkan dalam buku itu. Di antaranya, bebaris kalimat ini, membuatku terpaku, tertegun, sejenak merenung, terharu, hingga bisikan nurani itu nyata terdengar; aku harus tetap merangkulmu, apa pun keadaanmu….
Dalam dekapan ukhuwah, alangkah rindunya kita mencintai saudara-saudara kita dengan cinta Allah. Alangkah inginnya kita memperlakukan mereka dengan perlakuan Allah. Alangkah harapnya kita bisa bergaul pada mereka dengan akhlak Allah. Kita ingin menatap mereka dengan tatapan rahmat-Nya. Kita ingin mendengar mereka dengan telinga istijabah-Nya. Kita ingin menggandeng mereka dengan tangan hidayah-Nya. Kita ingin menjajari langkah mereka dengan tapak ridha-Nya.
Di situlah mahabbah. Di situlah cinta langit yang kita peluk, lalu kita semaikan kembali ke bumi.
Maka, seperti itu pulalah aku. Merindu ukhuwah dan mahabbah yang nyaris terpangkas. Maka, diam-diam kukirimkan doa untuknya…
Kembalilah, Sayang… ke pangkuan din-Nya. Raihlah mahabbah itu dengan sisa-sisa kekuatanmu. Aku menantimu untuk bersatu kembali dalam dekapan ukhuwah. Aku ingin melihatmu kembali tersentuh hidayah. Syafakillah, saudariku… jika nanti waktumu terhenti, semoga surga-Nya menanti…
*
Kepada yang membaca tulisan ini, saya mengharap doa anda semua, khusus teruntuk dia—sahabat yang saya cintai. Jika doa-doa itu diibaratkan bangau-bangau origami, maka semoga ia akan terbang mengangkasa tinggi, bertemu di langit dan berpilin, kemudian ia akan menjelma selaksa pinta yang mengetuk pintu Arsy-Nya. Semoga.


Sepenggal kisah hidup seorang sahabat

Septalia A.Wibyaninggar
Baity jannaty
Ketika rinai tiada henti di penghabisan Ramadan 1431 H.

Tidak ada komentar: