“Selalu Salahkah Salah Jurusan?”
Judul artikel yang pernah kubaca empat tahun lalu di sebuah majalah remaja Islami kenamaan itu mengoyak memoriku. Ketika itu, aku meyakini bahwa di masa depan tidak akan mengalami hal konyol seperti itu. Kenapa harus masuk ke pintu yang salah jika sebelumnya kita sudah memilih dan memilahnya dengan cermat, sesuai dengan bakat dan minat? Selaksa asa aku simpan dalam hati. Kelak aku akan begini, kelak aku akan berjalan ke arah sini, kelak aku akan meraih yang aku ingini… Begitu doaku setiap hari.
Tahun berganti dan keadaan menghadapkanku pada berbagai macam pilihan. Tahun ketiga di SMA. Aku kebingungan menentukan ke mana aku harus melangkah setelah ini. Kuraih buku mimpiku, kucermati daftar harapan yang aku tuliskan. Lantas, aku mengingat kembali hasil tes psikologi tempo hari. Seratus persen untuk Literary, sementara limapuluh persen saja untuk Social. Ini menyedihkan. Mommy menaruh harapan besar kepadaku untuk jadi psychologist. Menangani mereka-mereka yang terkena gangguan jiwa. Hm, prospeknya di masa depan akan bagus. Kerja kerasku akan dihargai mahal. Tak pelak, terbit sebuah ingin. Sepertinya bidang ini menarik. Ah, ada cita-cita baru yang mulai detik itu tertanam dalam hati…
Kubaca buku-buku Hurlock koleksi Mommy, hingga Sigmund Freud. Namun, lama-kelamaan hanya mengendap di dasar pikiran. Teori-teori itu terlalu memuakkan. Aku jauh lebih senang berkutat dengan fiksi, kata-kata, dan bahasa. Ada keindahan tersendiri, yang lain daripada yang lain…
Ideku jelas bertentangan dengan Mommy. Apalagi ketika kuutarakan keputusanku untuk memasuki Sastra Jepang di perguruan tinggi nanti. Sungguh nekat! Aku tak memiliki dasar apa pun, hanya otodidak. Sungguh minim pengetahuanku di bidang itu. Lalu? “Mau jadi apa masuk ke sana? Hanya berdasarkan obsesimu saja? Jangan memikirkan minat saja, pikirkan masa depan itu jauh lebih penting!”
Lantas, bagaimana aku akan memiliki masa depan yang gemilang jika kelak aku akan menjalaninya dengan setengah hati? Kalau begitu lebih baik nggak usah kuliah saja. Sudah mahal, membuat hati tertekan karena salah jurusan, juga belum tentu nanti setelah lulus dapat job yang menjanjikan. Sudah, nggak usah kuliah. Langsung kerja saja atau… (kau anak perempuan kan?) dinikahkan biar ada yang mengurusmu! (idih, hari gini!) Weeeiiittt…
Pupus harapanku tentang mimpi yang satu itu. Apa boleh buat? Mommy tidak mengizinkannya. Bagi orang yang terkonsep dengan teori birrul walidain sepertiku, tidak menurut orangtua sama dengan berbuah petaka.
Kuutarakan harapanku yang lain lagi. “Bagaimana dengan Sastra Indonesia, Mommy?”
Dan ajaib! Beliau mengiyakan tanpa pertimbangan apa-apa. Aku teringat akan guru BK SMA yang pernah menanyai tentang rencanaku ke depan setelah lulus. Beliau membaca daftar pilihan jurusan yang aku tuliskan di selembar angket. Hmm, aku menulis: Psikologi dan Sastra Indonesia.
“Kenapa anda memilih Sastra Indonesia? Sungguh, saya salut. Jarang sekali yang memilih jurusan ini. Anda nasionalis sekali. Saya benar-benar salut. Di saat orang berlomba-lomba mempelajari bahasa asing, Anda mencintai bahasa sendiri. Hebat.”
Aku tergelak dalam hati. Terima kasih banyak atas pujiannya yang berlebihan, Pak. Semoga saya tidak besar kepala. Tapi, ini bukan prioritas saya. Ini pintu darurat, setelah pintu yang ingin saya masuki tidak direstui.
Try Out masuk PTN aku ikuti. Selalu. Aku tidak lulus Psikologi. Hanya Sastra Indonesia. Aku memberengut kesal. Mau jadi apa aku di jurusan itu? Jadi penulis? Itu sih setiap orang dari semua jurusan juga bisa, tergantung kemauan. “Jadi penyair, Li. Eits, jangan salah, penyair adalah orang paling romantis sedunia…” lontar seorang sahabat suatu kali. Aku hanya terkikik geli. Ada-ada saja! Jika menelisik prospeknya, Sastra Jepang justru lebih prospektif, dilihat dari grade-nya yang lebih tinggi dari Sastra Indonesia. Tapi Mommy…
Ah Ya Tuhan… Sungguh membingungkan…
“Istikharah saja dulu, Dik…” saran seorang kakak. Lah? Memangnya, aku sedang ta’aruf sama siapa?!
“Kamu sedang ta’aruf dengan dirimu sendiri, dengan hatimu sendiri, kamu tahu apa yang terbaik bagi diri kamu… Kalau bisa, yakinkan Mommy dulu lah. Jangan mandeg pada keinginan membahagiakan orangtua, tapi kamu sendiri tidak bahagia.”
“Sudah. Aku sudah istikharah. Tiga kali, malah…”
“Lalu, jawabannya?”
“Entahlah. Aku masih gamang. Mungkin, Allah belum memberikan jawaban..”
“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu.” (HR. Muslim)
Aku bertanya kepada hati. Aku menginterogasi nuraniku sendiri. Dan semenjak dulu jawabannya selalu sama: Nihongo, nihongo, nihongo.
Entahlah. Tiada angin apalagi hujan, dukungan akan pilihanku justru datang pertama kali dari paman. Beliau meyakinkan Mommy, tanpa aku memintanya. Lantas, keajaiban datang menghampiri: Mommy menyetujui. Dengan entengnya berkata, “Ya sudahlah, terserah kamu. Asal kamu bisa sukses di jalan yang kamu pilih, tentu Mom juga akan ikut bangga.”
What a surprise! Alhamdulillah ya Allah… Inikah jawaban atas istikharahku yang keempat malam tadi? Aku bersorak dalam hati. Bahagia tak terkira. Allah, Engkau telah ridha… Kumantapkan hati memilih jurusan ini. Kumantapkan langkahku berangkat di hari pertempuran awal Maret itu: SIMAK UI. Bahkan, Dad yang semula juga menentang pilihanku berpesan, “Selamat berjuang, anakku. Semoga berhasil!”
Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus bisa menembusnya. Ya Allah, mudahkanlah ikhtiarku…
Sebulan berlalu, dan pengumuman itu menghancur-luluhkan harapan yang semula telah kubangun. Aku tidak lolos dari penyeleksian yang ketat itu. Apa yang telah terjadi di balik ini semua? Ternyata… Mommy tidak sampai hati membiarkanku hijrah menuntut ilmu hingga ke Jakarta. Beliau tidak rela, bagaimana Allah bisa rela?
Namun, tetap saja… Harapan itu masih ada! Aku buru-buru mendaftarkan diri sebagai peserta UTUL UGM. Tiga pilihan cukup membingungkan, tidak seperti UI yang cuma menyodorkan dua pilihan prodi untuk diisi. Aku memutuskan: Sastra Inggris, Sastra Jepang, dan Sastra Indonesia. Kali ini aku berserah, diterima di pilihan ketiga pun tak apa. Mommy ridha seratus persen jika aku hijrah ke Jogja. Lagipula, aku sepertinya takkan bisa menggapai pilihan pertama. Sasaranku tetaplah pilihan kedua: Nihongo, nihongo, nihongo. Sastra Inggris tak lain dan tak bukan adalah kemauan Dad. “Sastra Inggris keren, Li! Sastra Jepang? Hm, apanya yang menarik dari bahasa mantan penjajah?” ujar Dad sambil menjungkirkan jempolnya ke bawah. Wah, menghina! Lah? Apanya yang keren dari bahasa Inggris? Aku justru terbayang-bayang wajah angker nenek guru Bahasa Inggris SMA yang bunyi sepatunya membuat semua penghuni sekolah merasa was-was akan kemunculannya. Kluk-kluk-kluk! Lantas…. “Glory… Viva and glory…. SMA…”
Ah, ya sudahlah. Kupenuhi permintaanmu, Dad. Mampukah aku, Dad? Kupenuhi permintaanmu, dengan harapan tidak tercapai. Maaf, Dad. Aku lebih menginginkan pilihanku sendiri. Terpaksa aku harus egois kali ini. Aku ingin menggenggam harapanku sendiri, bukan harapan orang lain.
Bismillahirrahmanirrahiim… Aku melangkah ke area pertempuran jilid dua: menembus kampus biru. Jangan! Jangan sampai aku tidak lolos…
19 hari berlalu. Hari ini pengumuman yang mendebarkan itu. Jantungku berdetak kencang. Sebelum bangun pagi tadi aku sempat bermimpi: aku adalah salah satu peserta yang lolos. Mimpi itu mengacaukan tidurku karena gelisah akan alurnya, hingga aku terbangun. Mengambil air wudhu, lantas sembahyang subuh dan tilawah. Aku tidak tenang. Isyarat apakah? Di saat tidak tenang seperti ini, aku selalu membaca surah Ar-Rahman. Lantas, kubaca ayat demi ayat perlahan-lahan. Aku tergetar setiap kali bibir ini mengucapkan, “Faabi ayyi ala’i rabbikuma tukadziban?”
Kuberanikan membuka situs penerimaan mahasiswa baru. Kutekan sandi-sandinya. Namun, aku terlalu khawatir. Ku-minimize sejenak untuk membuka situs lain. Tak tahunya, Mommy sudah duduk di sampingku. Ikut-ikutan menatap layar monitor. Aduh, aku malu. Bagaimana jika aku ditolak lagi? Rasanya, aku ingin mengusir Mommy. Nanti saja aku beri tahu hasilnya, jangan melihat test result-nya secara langsung.
Mataku terbelalak. Benarkah?! Aku mengucek-ucek mataku layaknya orang yang baru bangun tidur dengan penglihatan yang masih kabur. “Selamat. Anda diterima di Fakultas Ilmu Budaya, program studi Sastra Inggris.” Begitu bunyi test result-nya. Mommy tak henti mengucap syukur, sambil berkali-kali memelukku. Mata tuanya berkaca-kaca. Lantas bergegas mengambil HP, menelepon Dad: Good news, Daddy!
Tadi bukan mimpi belaka, tadi isyarat Allah…
Aku hanya bisa tergugu. Sas-tra Ing-gris? Hm, jurusan dengan grade paling tinggi di fakultas itu, dari universitas terbaik di negeri ini. Aku serasa kerdil, merasa tidak pantas. Allah menghadiahi aku anugerah terlalu mewah. Maka, apakah yang membuatku tidak bersyukur? Kalimat itu terngiang kembali di gendang telingaku: “Faabi ayyi ala’i rabbikuma tukadziban?” Nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kau dustakan? Sungguh, kalimat sangat indah yang membuat setiap insan terpikat. Allahu akbar! Aku tersungkur dalam sujud syukur.
Sama sekali tidak pernah terpikir dalam benakku akan memasuki jurusan ini. Meski kecewa sejenak menggelayut di dada, tidak jadi mempelajari nihongo. Bukankah English lebih prospektif? Akan tetapi, aku merasa kurang berpotensi di bidang itu. Speaking-ku terbata-bata. Grammar acak-acakan. Listening, apalagi. TOEFL tidak pernah mencapai 500. Apa namanya kalau bukan tersesat di jurusan yang salah? Aku sudah terlalu jenuh dengan bahasa yang telah kupelajari sejak enam tahun yang lalu itu. Namun, tegakah aku melenyapkan senyum bahagia yang kini tersungging di bibir mereka? Ucapan selamat datang bertubi-tubi dari segala penjuru. Semua orang berbangga dan berbahagia mendengar berita ini. Kenapa aku justru tidak?
Di ujung malam aku hanya bisa terpekur lesu. Aku menggunggat Allah, “Kenapa sepertinya Engkau selalu tidak pernah ridha dengan keinginanku?” Aku protes kepada Allah, tanpa teringat akan sang ibunda yang tiap malam bertahajjud sambil menengadah penuh harap dan damba: “Ya Allah, berilah yang terbaik untuk anak hamba…”
Dan doamu menjelma nyata, Bunda… Ah, tiada doa yang lebih mujarab daripada doamu, surgaku…
Ya, aku tahu, Bunda. Memang, keputusan-Nya tak pernah salah. Kusimak Al-Quraanul Kariim dan serta-merta aku menemukan jawabannya. Inilah potongan ayat maha-dahsyat itu: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:216)
“Ya Rabb-ya Rahmaan, jika ini memang jalan terbaik yang telah Kau pilihkan untukku, mantapkan langkahku untuk menapak. Jika ini memang yang terbaik untuk diriku, keluarga, negara, serta agamaku, teguhkan hatiku untuk ikhlas menerimanya.”
¯Horaa, mae wo mitegoran, are ga anata no mirai…
“Tuh kan, masih terobsesi dengan segala sesuatu yang jejepangan…” sindir Dad ketika aku menyenandungkan lagu Jepang favoritku itu.
“Lha memangnya nggak boleh?” lontarku.
“Western music dong, asah keterampilanmu berbahasa inggris. Memangnya nggak pengen ke Europe?” balas Dad dengan gaya sok-english yang membuatku geli.
“Enggak. Aku pengennya ke Jepaaang!” jawabku mantap.
“Jepang lagi!”
“Sudahlah, memangnya nggak bangga kalau suatu saat anaknya bisa ke Jepang?” Mom tiba-tiba menengahi. Dalam hati aku mengamini. Ya Rabb, jika ternyata nanti aku bisa menjejakkan kaki di sana, izinkan aku mengajak salah satu dari mereka (syukur kalau bisa banyak) untuk meniti jalan-Mu, di tanah yang bahkan kaumnya menuhankan ciptaan-Mu.. Doaku diam-diam.
Ah… Aku hanya ingin berbagi. Denganmu, siapa saja—yang merasa memiliki nasib sama sepertiku. Aku ingin kita bersama-sama menyikapi dengan husnudzan—berprasangka baik kepada-Nya. Sebab, setiap penggal kisah kehidupan kita adalah perca-perca hikmah dan ibrah yang sungguh amat berharga untuk dilewatkan. Sebab, kehidupan adalah pelajaran itu sendiri.
Yogyakarta, Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar