Jumat, 22 April 2011

"Semoga Allah Meneguhkan Hatimu, Ukhti"


Sudah berapa tahun engkau menjadi seorang muslimah, Ukhti? Duapuluh tahun lebih, memang iya. Kau kini telah bertumbuh dewasa, jauh lebih cantik daripada sebelumnya. Engkau bagai permata mutu manikam yang akan tetap menjadi permata, meski bergulat dengan kotornya lumpur hitam. Engkau seumpama mawar putih yang suci lagi anggun, serta semerbak harumnya menguar mempesona. Engkau laiknya bidadari bersayap sepasang iman yang kelepaknya mengantarmu kelak ke syurga.
Namun, tahukah engkau, ukhti? Kau baru beberapa hari menapaki jalan ini. Belum lama. Kendati sejak keluar dari garba ibumu, adzan telah didengungkan di telinga mungilmu. Kau baru beberapa saat yang lalu berbenah. Belajar memakai kerudung yang kainnya setipis kulit bawang, dan lengan panjang yang kau singsingkan karena kau kegerahan. Terkadang, kau keluar rumah hanya memakai celana pendek dan rambut ala Dora-mu memperlihatkan bahwa kau sungguh masih bocah. Ya, engkau memang belum lama menjadi muslimah… Kau tak lantas menutup aurat begitu tamu pertama itu menghampirimu. Engkau tak tahu. Bagaimana bisa engkau tak tahu? Sejak umur tujuh kau telah bergumul dengan materi-materi susah tentang agama. Kau diajari ini-itu. Bahkan tajwid kau hapal di luar kepala. Jelas, kau didikte untuk menyimak kalam cinta itu tiap hari, bukan? Hmm, kau masih terlalu polos untuk memahaminya waktu itu. Bagimu, menyimak firman-Nya itu hanya tugas dari sang guru, tak lebih.
Kau masih pongah dengan rok pendek dan keinginan mencari pacar ketika itu. Sungguh, jika Allah tak sayang kepadamu, takkan ia sandingan seorang sahabat baik bagimu. Sahabat sekaligus kakak, yang menuntunmu membaca kalam cinta-Nya kepada wanita. Kau tertegun. Kau susah payah menenangkan pertentangan dalam batinmu sendiri. Antara perintah-Nya dengan bujukan syaithan. Kau susah payah beradu dengan orangtuamu sendiri, bahwa keputusanmu untuk kaffah kurang disetujui. Namun, engkau bersikukuh untuk menaati-Nya. Birrul walidain ada batasnya, kau sudah paham tentang itu.
Wahai ukhti yang hatinya disesaki rindu dan cinta kepada Sang Maha Cinta, aku tahu engkau terus ingin memperbaiki diri dari hari ke hari. Engkau tak lagi mendamba hubungan mudharat dengan lelaki. Engkau tak lagi senang berpakaian ketat apalagi rok mini. Engkau sekarang benci dengan segala sesuatu yang menjauhkanmu dari-Nya. Engkau ingin memupuk ghirah Islammu supaya kau suatu hari tak terhempas ke jalan yang lain lagi.
Aku senang melihatmu merasa miris, ukh. Betapa mirisnya engkau terhadap fenomena yang terjadi di sekelilingmu. Engkau miris terhadap teman-temanmu yang tak istiqamah. Berani menanggalkan jilbabnya demi kepentingan duniawi. Engkau miris, ukh. Terhadap sahabat-sahabatmu yang menutup aurat namun berani melakoni hubungan tak halal. Engkau geram dengan semua itu.
Engkau pun pernah miris dengan dirimu sendiri, yang pernah merangkai cinta dan rindu bukan untuk-Nya, yang begitu naif tertambat pada angan lalu menyeketsa rupa seseorang itu tiap harinya. Kemudian kau dapati dirimu adalah seorang yang kecewa, terluka melihat kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Namun, aku salut kepadamu yang masih meletakkan malumu di singgasana mulianya. Siapa nama seseorang itu dunia tak pernah tahu. Biarlah menjadi rahasia alam, tersimpan di balik langit. Selamanya!
Dan sekarang… engkau kembali miris dengan keadaanmu sendiri.
Dengan airmata yang perlahan melesak, kau mengadu. Aku mendengar ceritamu dengan kesungguhan. Kau bergumam, ingin segera kembali ke tanah yang sedang bergejolak itu. Ya, aku tahu kau telah jatuh cinta kepadanya meski tengah diliputi bencana. Ia tetaplah tempat yang nyaman untukmu. Tempatmu menimba bermacam ilmu. Ada ruang-ruang khusus untuk dunia, ada ruang-ruang khusus untuk akhirat. Engkau ingin keduanya seiring-sejalan, bersinergi. Tawazun.
Apa yang terjadi denganmu setahun belakangan ini, ukhti yang lembut hati? Jilbabmu turut bermetamofosa. Tentu bukan karena doa indah dari seseorang itu, kan? Doa yang menghendaki kau menjadi muslimah sejati… Lantas, kini kau berusaha meraih predikat itu—meski tak gampang, tentu. Lihatlah, kau sungguh berbeda dari mereka. Pakaianmu itu tentu menarik perhatian. Ada yang merasa heran, ada yang terpana, ada yang menganggapmu aneh, bahkan ada pula yang merasa teduh melihat jilbab putihmu berkibar. Kau tetap bertahan seperti itu. Semakin mempesona karena keshalihanmu, bagiku.
Airmatamu kali ini bukan tanpa alasan, ucapmu kelu. Sedih aku membayangkan perih yang kau rasakan, ukh. Hujatan itu tiba-tiba, dan tak dinyana. Kau telah merasa hal itu bakal terjadi, tak dapat dipungkiri. Kau ingat, bahkan hujatan itu telah kau dapat begitu kau mengutarakan niatanmu untuk menutup aurat. Mengapa ini harus terjadi, bahkan engkau sendiri benar-benar tak mengerti. Engkau hanya ingin melaksanakan apa yang Tuhanmu titahkan, mengapa dilarang? Aih, alangkah sulit mendekap keyakinan dalam situasi seperti yang kau hadapi. Sejauh ini kau tak memiliki abi dan ummi, kau hanya memiliki bapak dan ibu, yang membimbingmu ala kadarnya. Tanpa terpikir tentang kau adalah salah satu investasi syurga mereka. Namun, kau bertekad dengan segenap niat di dalam dada… kau akan tetap menjadi pemilik kesempatan itu. Meski mereka tak mendorongmu untuk itu. Meski mereka tak mengharapkanmu. Meski kini.. mereka bahkan membujuk agar istiqamahmu goyah..
“Karena kau telah teracuni oleh doktrin-doktrin menyesatkan itu, kau mungkin tak sadar!” ucapan itu masih membekas, terngiang di telingamu.
“Sudah kubilang jangan pakai jilbab dulu. Orang macam kau mudah dipengaruhi sama mereka.”
Kau telah terbiasa dimaki-maki, namun entah kenapa jauh lebih perih saat ini, detik ini…
Astaghfirullah, ukhti…jika kau punya daya, sungguh kau ingin mencerca perkataan mereka. Kau hanya ingin menjaga hijabmu, tak lebih. Namun, engkau dipandang lebih aneh daripada wanita-wanita berpakaian tapi telanjang di luar sana.
Duhai ukhti yang berwajah sendu bagai puisi, teramat sayangnya Allah kepadamu hingga ujian ini mampir merintangi langkahmu. Ia uji seberapa besar cintamu terhadap-Nya. Seberapa tinggi setiamu untuk-Nya. Aku benar-benar yakin, Ia Yang Maha Lembut takkan menakdirkan cobaan di luar dayamu memikulnya. Hadapilah ujian itu hingga Ia tak lagi merasa cemburu, sebab Ia-lah satu-satunya cinta bagimu.
Bagaimana kau akan menangisi lukamu lantas menyerah begitu saja, sedangkan panutanmu, Lelaki Termulia Sepanjang Zaman yang kau idolakan itu menanggung ribuan luka yang jauh lebih perih daripada yang kau dapat. Sungguhpun, jika engkau diusir, ia pun begitu. Jika engkau dimaki, ia pun juga. Jika engkau tak diakui, seorang sahabat pun seperti itu. Tidakkah engkau ingin mewarisi ketabahan serta keteguhan mereka?
Apalah arti sebuah jari yang berdarah, tanpa luka lain di jalan Allah? Kalimat yang Walid—sahabat kekasihmu syairkan ketika ia terluka dan maut merenggutnya.
Ya, apalah arti sebuah jari yang berdarah? Apalah arti caci-maki dan hinaan serta tuduhan? Tak menutup kemungkinan kau kelak akan berjibaku dengan ujian yang lebih berat, ukhti… dan keyakinan yang terpatri dalam hatimu itu akan tetap diuji. Mungkin kini keyakinan itu masih kaupupuk sedemikian rupa, hingga kelak kuncupnya akan mekar di taman hatimu…
Semoga Allah meneguhkan hatimu, ukhti—saudariku, di mana aku hidup dalam ruang di sudut hatimu, yang selalu membisikimu kebaikan, malaikat kecilmu. Sampai kapan engkau akan seperti ini?


Tentu saja… sampai kau temui Rabb-mu di surga nanti.


Kutulis ketika senja menyelimut kota, dan warna jingga-nya tumpah ke langit dan mega.
Segenap tutur yang menghibur untuk saudariku, aku akan tetap membersamaimu hingga akhir perjalanan yang dijanjikan-Nya. There’s no endless sadness in this life!

Tidak ada komentar: