Sabtu, 28 Mei 2011

Sakura Ga Hitori Ja Nai

Dia menarik buku gambar ukuran A3 dari tanganku, memandang karyaku dengan seksama, lantas tanpa kuminta memolesnya dengan pensil 2B. Mempertegas garis-garis yang kubikin, memberinya efek shadow. Gambar hitam-putih bagiku lebih artistik. Entahlah. Atau, mungkin aku saja yang tak bisa mewarnai dengan baik?

Beberapa pekan ini aku dan dia keranjingan menggambar. Hingga tak ketinggalan kertas-kertas kosong selalu kuselipkan di antara buku-buku pelajaran sebelum berangkat ke sekolah. Dia tak mengambil kelas seni rupa layaknya aku. Namun, ia masih selalu suka menggambar, masih suka meraih buku gambarku tanpa basa-basi, lantas memoles gambarku dengan pensilnya.

“Himpunan bunga-bunga cantik ini harusnya diberi warna. Merah muda, bukan hitam-putih.” Ia menatap sketsa lukisan di atas kanvasku. Aku mengerutkan kening, manyun. Kuas berbagai ukuran, cat minyak berbagai warna, palette, dan minyak tanah sama sekali belum kujamah sedari tadi. Merah muda, ya, aku tahu itu warna yang harus kutorehkan di sketsaku. Aku hanya takut salah menuang warna. Aku tak pandai menimbang seberapa banyak cat putih dan cat merah yang harus kutuangkan dan kuaduk untuk mencipta pink yang bagus.

“Ahh, sini-sini!” diambilnya palette biru berbentuk barefoot anjing yang masih kosong, menuang cat putih dan merah, memberinya beberapa tetes minyak tanah, mengaduknya perlahan dengan sebatang lidi. Yeahh, jadilah adonan warna pink! Ia mencelupkan kuasku ke adonan itu, lantas mengacungkannya kepadaku sembari berujar, “Sapukan kuasnya,”

Ragu kuambil kuas itu dari tangannya.

“Apa jadinya kalau hidupmu hitam-putih, Hana? Kalau kau sendiri tak mau mewarnai hidupmu, bagaimana orang lain tergerak untuk memberi warna lain pada hidupmu?” aku hanya tertegun mendengar kalimatnya. Senyumnya mengembang, membuat gigi depannya terlihat seperti kelinci. Angin sore mempermainkan anak-anak rambutnya. Sekolah sudah lengang, namun aku dan dia masih berkutat dengan lukisan. Lukisanku, dan ia seperti biasa mau membantu tanpa diminta.

“Kenapa kamu nggak ikut seni rupa aja kayak aku? Kalau begitu kan kamu gak perlu repot-repot merecoki gambarku…” protesku.

“Sebab aku tak ingin menjadi penyaingmu. Biarlah engkau yang menjadi pelukis hebat, kelak. Aku mendukungmu saja dari belakang. Aku jadi jurnalis saja, menyuarakan kebenaran lewat pena.” Ujarnya sembari menatap sketsaku. Objek yang kubuat saat ini, objek favorit kami berdua: bunga sakura. Bukan hanya setangkai-dua tangkai. Namun, kami biasa menggambarnya sepohon. Bunganya bergerombol menutupi dahan, hingga terlihat tanpa daun. Gerombolan bunga-bunga dengan lima mahkota itu adalah gambaran mimpi-mimpi kami. Impian kami yang tersusun sedemikian rupa, hingga kami tak jua jemu memandang sketsa bunga sakura itu. Impian itu… menginjakkan kaki di tanah sakura. Bola mata Sei berbinar memandang lukisanku yang sudah setengah jadi. “Juallah di pameran besok, 80 ribu!” kami terbahak berbarengan.


“Yeeey, aku dapat juara tiga!” sorakku penuh kemenangan. Sei terdiam melihat tingkahku. Ia kalah. Rambutnya yang dikepang dua seperti karakter Ranma tersampir di pundak. Berbeda dengan rambutku yang tak pernah beralih dari kuncir kuda-nya. Ia manis hari ini. Kami duduk berdampingan ketika lomba melukis bertema ‘tsunami’ itu. Saling bertukar crayon. Saling mengejek gambar. “Apaan tuh, bentuk ombaknya aneh. Ahaha..” sindirku. “Kau juga, Masjid Baiturrahman-nya ngasal sekali bentuknya.” Ia tak mau kalah. Aku merengut mendengar kritiknya, meski kemudian aku tertawa penuh kemenangan.

“Lumayan-lumayan. Dapat 50 ribu, aku traktir makan siang aja ya.” Tawarku.

“Tak usah. Itu kan hakmu. Mending kau tabung, Han. Katanya kau mau beli buku. Dasar kutu buku!”

“Kau tak apa-apa?” raut mukanya khawatir melihatku kesakitan. Aku hanya bisa mengaduh sambil memegangi kaki yang berdarah. Aku sudah tak kuat lagi jalan kaki. Teman-teman sudah pada pulang, namun ia masih menungguiku yang tak bisa jalan. “Coba perbannya dilepas,” ujarnya. Aku melarang. Aku tak ingin ia melihat jari kakiku yang sudah hampir mirip daging busuk. “Lalu bagaimana?” tanyanya kemudian. “Antar aku turun saja, ya.” Ia mengangguk. Kelas kami di lantai dua. Itu menyulitkan buatku yang sedang didera sakit di kaki.
*
Sakura… she’s beautiful, but fragile. Ia cantik, namun rapuh. Mudah luruh, bahkan hanya dengan satu sentuhan jemari. Ia indah jika hanya satu, namun ia akan lebih indah jika bersama-sama yang lain. Takkan pernah kau dapati hanami dengan satu sakura dan yang lain tinggal ranting yang meranggas.
*
Aku menangkap adanya gumpalan awan hitam yang menggelayuti sepasang kejora miliknya. Angin senja bertiup lembut, menggerak-gerakkan ujung jilbabku. Di salah satu sudut Masjid Kampus, aku kembali duduk berdua dengannya. Rambut potongan Ranma itu kini tiada, ia memangkas begitu pendek rambutnya. Nyaris seperti potongan laki-laki. Telah tiga tahun berselang. Begitu kontraskah aku denganmu sekarang? Kerudung itu, kenapa kau berani memutuskan untuk menanggalkannya, Sei? Aku tercekat, tak mampu memuntahkan pertanyaan ini di hadapannya.

“Aku… memang layaknya bunga indah yang pernah kita gambar semasa SMP dulu, Hana. Ia takkan bertahan lama. Ia akan gugur seiring musim semi berlalu. Aku teramat rapuh. Lupakan mimpi-mimpi kita untuk pergi ke sana, toh sebentar lagi aku akan pergi ke tempat yang lebih jauh dari itu.”

Ada selaksa putus asa yang membias di wajahnya yang kuyu. Bening menetes dari kedua mata coklatnya. Ragu aku mengulurkan tanganku untuk menghapusnya sambil menahan jangan sampai kedua mataku menitikkan bening yang sama.

“Aku sudah lelah dengan obat-obatan, rumah sakit, opname, selang infus... Adilkah Allah, Han? Kenapa Ia tak cepat-cepat mencabut nyawaku saja, malah memperpanjang penderitaanku dengan penyakit-penyakit ini?”

“Istighfar, Sayang… Memang susah menerka makna di balik takdir-Nya. Kita pun tak bisa menganggapnya musibah atau bahkan berkah. Tugas kita hanya berhusnuzdan, berprasangka baik kepada-Nya. Bahwa pasti ada rencana indah yang tersembunyi di balik setiap musibah. Teramat sayang Allah terhadapmu, Sei. Hingga ujian ini muncul di kehidupan remajamu.”

“Karena kau tak pernah merasakan apa yang aku rasakan, Han.”

“Pernah. Mungkin kau diuji dengan keadaan fisik seperti itu. Sedang aku, ujian psikis juga sakit luar biasa. Well, manusia itu psikosomatis—memiliki kaitan yang erat antara jasmani dan ruhani. Sekarang, ke mana cita-citamu menjadi jurnalis?” aku turut senang mengetahui kenyataan ia berhasil menembus salah satu PTN ternama.

“Raib. Buat apa aku punya berderet-deret impian jika semuanya tak mungkin terealisasi?”

“Lantas? Sekarang apa cita-citamu?” Ia menggeleng lemah. Tak tahu lah.

“Dulu waktu kita masih SMP, aku sudah gemar membaca fiksi. Terutama fiksi islami. Aku kagum dengan sosok salah seorang penulis. Dia dulu juga alumni fakultasku, Ilmu Budaya. Sejak kecil ia hidup dengan katup jantung buatan sebab adanya kelainan jantung yang ia derita, hingga diharuskan minum obat pengencer darah sepanjang hidupnya. Bukan itu saja, ia juga mengidap tuberkulosis yang mengakibatkan paru-parunya mengeras. Di sisi lain, ia sosok seorang ummahat yang luar biasa sabar. Menjadi single parent dan mengasuh dua buah hatinya di sela penyakit yang dideritanya. Sungguh tak kusangka, Sei. Wanita produktif dengan puluhan karya yang ditulisnya ternyata memiliki kisah hidup sedemikian rupa. Terkadang aku malu dengan diriku sendiri. Aku sehat wal afiat, namun belum berprestasi apa-apa. Perempuan luar biasa itu sudah menghadap-Nya, Sei. Namun, untaian-untaian kata berhikmah yang ia rangkai dalam buku-bukunya akan tetap hidup di hati pembacanya.”

Aku memegang kedua pundaknya, “Berkaryalah! Kalau toh hidupmu cuma sebentar, kau telah mengisinya dengan hal-hal bermakna yang memberi manfaat kepada yang lain.”

Seuntai senyum melengkung di bibirnya yang pucat pasi. Kecut.

“Siapa yang paham akan kesendirianku, Hana? Meraih kebahagiaan layaknya mendekap bayang-bayang. Mustahil” Ia masih tetap bersikukuh dengan keputus-asaannya. Ahh, Rabbi.. kuatkan aku menghadapinya biar kesedihan ini tak melesak lagi.

“Engkau masih punya Allah, Sayang… Kau tetap cantik bak sakura mekar musim semi. Kau indah ketika sendiri, namun kau akan lebih indah ketika bersama-sama dengan yang lain. Aku ada untukmu. Kau masih memiliki ayah-ibu, ratusan kenalan dan shohib yang selalu menguatkanmu. Dan tentu saja, kau selalu punya Allah—Sang Maha Penggenggam Kehidupan. Sungguh.. kau takkan pernah sendiri. Sakura ga hitori ja nai desu.”

Ah, sepasang kejoramu itu sudah cukup berkata-kata. Aku tahu ada bilur luka yang tersayat di sana. Ada jiwa yang tercabik dan meronta. Ia memelukku dengan luh yang membanjir. Senja memerahkan cakrawala. Menumpahkan cat merah-jingga.
*

(And the years passed away)

Dari jauh kukirimkan salam persahabatan, rindu, dan cinta yang mendalam untukmu, Saudariku. Ketika kutulis surat ini, musim semi tengah merekahkan kuntum-kuntum sakura dan plum, menebarkan aroma hangat nan bersahabat. Kulantunkan selaksa doa buat kalian berdua yang berbahagia. Barakallah, semoga Allah memberkahi kalian dan menyatukan kalian dalam ikatan suci yang Ia ridhai. Sungguh aku ingin melihat betapa cantiknya engkau dalam gaun pengantin bersunting melati yang wangi. Aku belum bisa menghadiahimu sesuatu yang bekesan, maka ijinkan aku menulis puisi.


Spring brings fragrance of the cherry blossoms
I tucked up in the midst of my longing to you
Their petals falling on the prairie:
mirroring a mortal life
But they give their charm to the world
before completely fall



-Raihana-






Yogyakarta, 23 Mei 2011
-Untuk Sakura Ryuseiki-

Tidak ada komentar: