Kamis, 28 April 2011

Jerejak Mimpi di Kampus Budaya

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu, berhimpun dalam naungan cinta-Mu. Bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan, menegakkan syariat dalam kehidupan…

Agustus 2009
Langkahku ringan menapaki anak-anak tangga menuju lantai 2 gedung Poerbatjaraka Fakultas Ilmu Budaya. Dipenuhi buncahan ghirah, niatku ke sini pagi ini hanya satu: datang ke Open House Keluarga Muslim Ilmu Budaya, salah satu rangkaian acara Ramadan di Fakultas yang juga bertepatan dengan momen PMB. Aku masihlah maba yang ingin menjajal sesuatu yang baru. Dan tak ada yang ingin kucoba terlebih dahulu selain kerohanian Islam, melanjutkan apa yang pernah kuikuti dulu di SMA.

Akhwat bergamis biru yang lamat-lamat kukenal bernama Mbak Annisa tersenyum begitu melihat kedatanganku. Atmosfer di lantai 2 masih sepi, acara belum dimulai. Akulah akhwat yang datang pertama kali. Kemudian aku bertemu dengan akhwat-akhwat yang lain; baik kakak-kakak penyelenggara, maupun sesama maba. Aku sudah tak asing dengan Mbak Noni yang ketika itu menemukanku luntang-lantung sendirian di antara hiruk-pikuk orang di Koperasi Mahasiswa.

Ustaz Salim A. Fillah yang bakal mengisi acara belum datang, jadilah kami taarufan dan menonton video inspiratif bertajuk “Jejak-Jejak Mimpi”. Sebuah statement yang begitu memberkas dalam ingatanku adalah, “Tuliskan impian anda secara nyata, jangan ditulis dalam ingatan saja.” Maka, sepulangnya dari sana, kutuliskan harapanku nomor sekian dengan font besar-besar di buku harian: KULIAH DI JEPANG.

Awal Tahun 2010
Fakultas Ilmu Budaya. Tempat yang empat tahun silam kuharapan sebagai tempatku menuntut ilmu. Harapan itu tercapai, Allah memang menakdirkan aku berada di sana. Meski pada awal aku menjejakkan kaki di sana, ada sekelumit rasa ketidaksukaan. Banyak mahasiswa yang berpenampilan ala seniman, sama sekali tidak syar’i, asap rokok mengepul di mana-mana. Aih, jika mengatasnamakan budaya—budaya macam apa yang mereka junjung sedemikian rupa?

Apalagi cerita-cerita dari dosen yang pernah kuterima bukan isapan jempol semata, namun fakta yang pernah terjadi. “Pernah lho, saluran di FIB mampet. Pas disedot, ternyata penyebabnya adalah banyak kondom di sana.”

Suatu ketika, alumni SMA-ku berkumpul dalam kepanitiaan Try Out UM-UGM. Ketika itu, isu yang sedang merebak adalah NII (Negara Islam Indonesia), terkait masalah teman sejurusanku yang menjadi korban perekrutan—lantas ia mencari korban lain, tak dinyana calon korbannya adalah teman SMA-ku, mahasiswi FKU. Teman-temanku dari fakultas lain itu meracau tentang FIB yang rawan, kampus yang ‘menakutkan’. “Apalagi LEM-nya begitu…” ucap seorang kawan. Ah, sudah menjadi open secret jika kampusku agaknya memang susah dikondisikan.

Di sebuah forum akhwat, ketika sesi curhat, lagi-lagi kutemukan komentar, “Di FIB kasihan ya, dakwahnya berdarah-darah…” Ada rasa perih yang menyergap tiba-tiba. Ya, berdarah-darah itu sudah pasti perih.
Aku di KMIB sebagai staf Media Opini. Meski ini cocok dengan minat menulisku, namun aku merasa pasif,. Tak ada gerakan masif terkait divisi ini. Lesu.
*
Kuatkanlah ikatannnya, kekalkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya. Terangilah dengan cahaya-Mu, yang tiada pernah padam. Ya Rabbi, bimbinglah kami…

Menjelang Ramadan 1431 H
Aku diamanahi menjadi Panitia Konseptor acara Ramadan di Fakultas. Ada ribuan buncahan rasa gembira menyambut datangnya bulan suci ini, terlebih ketika membingkainya dalam nikmat ukhuwah. Ada banyak program yang kami persiapkan waktu itu. Di antaranya adalah Open House KMIB dan Sinema Ramadan. Dua acara yang sepi, menurutku. OH-Talk Show mengusung tema yang ‘wah’: “Menjadi Mahasiswa Muslim yang Aktif dan Berprestasi”, ternyata masih menyisakan begitu banyak ruang di Auditorium. Ya, tak banyak yang datang. Terlebih Sinema Ramadan yang bahkan aku saja tak tahu menahu tentang publikasinya. Hanya panitia yang datang menonton. Itu pun tak semuanya.

Momen Ramadan kali ini juga masih bertepatan dengan momen PPSMB, OSPEK mahasiswa baru yang kulturnya sedikit-banyak masih mengadopsi nilai-nilai lama. Saat itu aku sudah mengenal istilah ‘anak-anak belakang’, mereka yang lebih mengedepankan seni, senang hura-hura, dan sebagainya. Ah, bahkan bulan suci harus dinodai dengan pesta alkohol dan musik-musik berisik yang sama sekali tidak syar’i

Astaghfirullahal’adziim.
Kadang ketika masih ada di kampus sore hari, menanti maghrib, aku tak mendengar kumandang adzan dari musala. Malah suara genjrang-genjreng band fakultas yang masih saja bergaung dari ruang berjudul Sekretariat Bersama.

Pentas, pesta, dan hura-hura adalah sesuatu yang lazim di sana, meski jujur aku tak suka.

Penghujung tahun 2010-Awal 2011
Di antara gemuruh ombak pantai yang menghempas daratan, aku dan beberapa akhwat lainnya sedang menyusun strategi. Strategi perang kami menghadapi lawan yang berdiri di seberang garis. Ya, memang hanya dibatasi garis. Namun kami harus tetap atur strategi biar tak terkena timpukan plastik berisi air gula. Ini memang cuma mini games. Sudah terlalu sering mengalaminya, ditanyai tentang ibrah yang terkandung di dalamnya, dan kami lancar tanpa hambatan ketika menjawabnya. Aih, menjawab tanpa ada kemampuan untuk merealisasikannya ya sama saja!

Dengan gejenya dan over confidence, untuk yel-yel kami mengadopsi sebuah lagu pop yang kemudian liriknya diganti menjadi: “Mau dibawa ke mana KMIB ini?” Ironis. Namun, siapa mau menyangkal?

Aku lantas teringat sebuah komen di buku pesan KMIB, entah siapa yang begitu ‘tega’ menuliskannya dengan huruf kapital besar-besar: “KMIB YANG MALANG, KURANG MASIF, GAK ADA GREGETNYA SAMA SEKALI!”

Memang, kepengurusan di tahun kemarin terasa lengang. Jarang ada agenda-agenda dakwah rutin di fakultas. Buku-buku perpustakaan Al-Adab banyak yang menghilang sebab kurangnya manajerial. Kajian juga jarang diadakan. Di sisi lain, minimnya kader menjadi penyebab yang sering diisukan. Akhwat lumayan banyak, sedangkan ikhwan? Hingga tak pelak muncul anekdot KMIB-Keluarga Muslimah Ilmu Budaya.
Sebuah event (maaf) geje sempat terjadi. Mengadakan acara tanpa susunan kepanitiaan yang pasti. Jadilah yang datang ke forum hanya 4 orang. Miris sekali. Esoknya, seorang ustaz dari UI sempat berkelakar dalam forum diskusi yang beliau bawakan, “Kalau sekarang ada film Alangkah Lucunya Negeri Ini, jangan-jangan nanti ada film berjudul Alangkah Lucunya Dakwah Ini.”

Ah, tidak-tidak! Jangan sampai ada film berjudul demikian, meski sempat terbersit dalam pemikiranku tentang potongan adegan-adegannya.
*
Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman dan indahnya tawakal pada-Mu. Hidupkan dengan makrifat-Mu, matikan dalam syahid di jalan-Mu. Engkaulah pelindung dan pembela…

Ya Rabbi, kami yang sedikit ini adalah manusia-manusia yang Engkau pilih… Semakin berat medan yang dihadapi, maka kekuatan dan daya tahan yang dimiliki juga seharusnya kian meninggi. Kami yang sedikit ini sedang berada di lahan dakwah bernama FIB, dengan sejumlah tantangan yang tak bisa dibilang gampang. Kami paham mengapa Engkau menempatkan kami di lahan itu, karena kami ‘mampu’ berjuang di sana. Jika hari ini masih gelap, dan nanti akan bertambah pekat, maka sesungguhnya itu akan semakin dekat dengan fajar (mengutip bahasa Ustaz Salim A. Fillah).

Kini aku kembali memutar video motivasi yang sudah berulang kali kutonton. “Tuliskan impian anda secara nyata, jangan ditulis dalam ingatan saja.” Ya, sekarang aku akan menuliskannya. Di sini. Bahwa Islam yang membumi di FIB bukanlah sebuah idealita tanpa realita. Ia akan menjelma nyata, mengakar dan menjadi denyut nadi dalam keseharian kampus kita. Kampus islami, kampus madani, kampus impian yang kita dambakan; Fakultas Islami Banget Universitas Gemar Mengaji.

Maka, mulailah mengukir jejak, jejak-jejak mimpi kita tentang dakwah ini.


Septalia A. Wibyaninggar

Tidak ada komentar: