Sabtu, 10 September 2011

Seragam Putih-Hijau (Memoar Masa Kanak)



“Pokoknya, aku nggak mau sekolah di sana! Jauuhh…”

Aku menggelesot di lantai, ngambek, jengkel, sebal sama ibu. Aku cuma anak TK yang nggak tahu dan nggak mau tahu urgensinya aku disekolahkan di sana. Yang aku tahu hanya aku akan berpisah dengan Bintang, teman sekaligus tetangga yang selalu wara-wiri bersama denganku. Bintang cuma mau daftar di SD seberang, nggak jauh dari rumahku. Sementara aku? Bakal menempuh perjalanan berkilo-kilo jika aku beneran sekolah di tempat itu. Ibu terus membujukku sepanjang hari, mengiming-imingi aku sepeda mini kalau aku mau mendaftar di sana. Bukan hanya sepeda mini, tapi juga sepatu yang ada lampunya (jaman aku kecil, masih populer sepatu macam ini, yang ketika diinjak, bisa berkedip-kedip menyala). Aku hobi banget nari, tradisional maupun modern dance, waktu itu ibu gak tanggung-tanggung membikinkanku gaun buat nari di karnaval, didukung dengan sepatu berkelip itu, sempurnalah penampilanku sebagai bocah penari. Haha..

Entah karena tergiur dengan tawaran-tawaran ‘menggiurkan’ itu atau bagaimana, akhirnya aku mau diajak mendaftar ke sekolah itu. Bukan Sekolah Dasar dengan seragam putih-merah, sebab seumur-umur aku tak akan pernah memakai seragam itu. Seragam kebangsaan sekolah ini adalah putih-hijau untuk senin-selasa, dan putih-biru untuk rabu-kamis. Susah sekali ketika itu mengeja kepanjangannya, MI alias Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah Dasar Islam yang terkenal cukup memiliki prestis di daerahku, lantaran armada Drum Band-nya yang selalu juara pas karnaval tujuh belasan. Yah, aku setuju ibu menyekolahkanku di sana, meski kemudian menyadari satu hal; sekolah itu tidak berlatar dari golongan orang Muhammadiyah sebagaimana background keluargaku. Jika mau menyoal fanatisme dalam organisasi, bisa saja ibu mendaftarkanku di madrasah Muhammadiyah, namun nyata-nyata aku disuruh sekolah di sana, dan tak mungkin pertimbangannya hanya prestis saja.

“Adik, ayo ambil buahnya.” Bapak guru di seberang meja menawariku potongan-potongan hijau segar di atas meja. Aku terdiam malu-malu. Ogah ah, aku nggak suka melon. Gadis sebayaku yang duduk di sebelahku perlahan mencomot sepotong. Ia diantar ibunya juga. Ibuku dan ibunya saling bertegur sapa. Saling menyuruh anaknya untuk kenalan. Yah, aku bakal sekelas dengannya. Nggak afdhol kalau ketemu di sini, nggak kenalan dulu. Akhirnya kutahu namanya: Azka. Ternyata kami nggak hanya sekelas, namun semobil langganan abonemen antar-jemput ke sekolah. Ahh, senangnya... ^__^

Bukan seperti madrasah pada umumnya yang mewajibkan siswinya berjilbab, namun 90 persen siswinya justru berpakaian pendek layaknya sekolah biasa, bedanya cuma warna. Aku tidak pernah mengkritisi ‘keanehan’ itu. Justru kemudian ini yang membentuk karakterku untuk... nggak mau pake jilbab!! Geraaahhh! Jadilah kami hanya menutup aurat ketika event-event tertentu seperti peringatan Maulid Nabi dan Pondok Romadhon. Meski tidak berjilbab, bukan berarti penanaman nilai-nilai agama di sekolah ini tidak intensif. Aku baru mengalami hal-hal ‘berat’ itu di tahun-tahun terakhir. Masuk jam setengah tujuh. Kalau hari biasa membahas tajwid pagi-pagi, hari jumat baca Yaasiin, hari sabtu khusus bahasa Arab.

Di tengah-tengah sekolah ada masjid besar. Kalau tak salah, namanya Masjid Ibadurrahman. Masjid ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, tak jarang para murid menggunakannya sebagai tempat ngaso bakda shalat dhuha, atau bahkan belajar bersama sebelum ujian.

Sebagai sebuah sekolah Islam yang nyata-nyata berbeda dari sekolah dasar pada umumnya, mata pelajaran yang kuterima jauh lebih banyak. Kalau di SD paling cuma terangkum dalam satu mapel: PAI thok, sementara di tempatku tidak. Sejak kelas 1 sampai kelas 6 aku sudah mabok pelajaran Fiqih, Aqidah, Sejarah Islam, Quran-Hadis, juga Bahasa Arab. Dari semua itu yang paling kurasa susah adalah Sejarah Islam, hafalannya bejibun. Dan (lagi-lagi) anak kecil macam aku belum terlampau paham urgensi belajar shirah nabawy selain memenuhi nilai di rapor. Meski begitu, pelajaran agama bagiku bukanlah suatu masalah besar. Satu-satunya masalah besar bagiku sejak dahulu adalah menghitung! Ya, aku benci bukan main kepada Matematika. Sungguh, aku tak berniat membencinya sejak pertama kali aku kenalan dengannya, tapi ia memang membuat rumit otakku yang lemah. Tak menyangka jika ‘kebencian’ itu berlanjut hingga ke jenjang-jenjang selanjutnya, ketika aku sudah berganti rok biru dan abu-abu. Membuatku demam panas tinggi karena takut tak lulus UAN mapel satu ini. Di SMA lain cerita, karena sudah putus asa tak bisa mengerjakan soal penuh angka-angka, aku mengarang cerpen saja di kertas soalnya. Tak peduli bakal dibaca sama guruku atau tidak. Hahaha.

Aku bukanlah bintang kelas, meski selalu menduduki sepuluh besar dari 52 siswa seangkatanku. Rata-rata dari kami memang anak desa, masih sangat akrab dengan sawah, sungai, pohon-pohon dan tanaman-tanaman aneh (?). Di samping sekolahku tersebutlah area bernama “pabrikan”. Entah siapa yang menamai begitu, kami acuh saja, bermain di sana acap kali waktu istirahat tiba. Mungkin karena di sana ada bekas pabrik gula jaman Belanda dulu, masih ada pula rel-rel lori pengangkut tebu yang sudah tak berfungsi lagi. Banyak pohon-pohon trembesi yang besar dan kokoh. Kami terkadang kere, memunguti biji-biji trembesi yang jatuh, dibawa pulang, dibakar, then... jadilah camilan ala ndeso yang yummy. Di sekitar situ juga masih ada beberapa rumah kosong nan lapuk peninggalan Landa. Anak-anak kecil macam kami sering berseloroh tentang misteri rumah “hantu” tersebut. Mengapa rumah-rumah jelek itu tidak dihancurkan saja, lantas dibangun rumah-rumah baru yang akan meramaikan area itu? Entahlah, hingga aku kepala dua sekarang ini, rumah-rumah Landa itu masih tegak berdiri. Menyimpan sejuta misteri.

Lantaran murid-murid perempuannya tidak berjilbab, kami lantas “seenaknya” pamer hiasan rambut. Pernah ada suatu masa, ketika musim jepitan rambut berbentuk kupu-kupu, yang ketika dipasang akan terlihat laksana seekor kupu-kupu cantik yang sedang hinggap dan menggoyang-goyangkan sayapnya di kepala kita. Aku tak turut seperti itu. Aku sejak kelas 1 sampai akhir masa sekolah di sana masih tetap dikenal sebagai: gadis berkepang. Awalnya berkepang dua macam Ranma ½. Namun, rambutku yang kian panjang memintaku untuk mengepangnya jadi satu saja macam gadis India. Ketika menduduki bangku kelas 4, beberapa teman perempuanku mendadak menyulap penampilan mereka menjadi berjilbab! Ah, itu kan sunnah di sekolah ini. Aku masih enjoy dengan rambut berkepang, benci pakai jilbab, nggak suka busana muslim serba panjang. Norak! Itu semua norak! Meski sempat terpikir jika pakai jilbab akan lebih aman bagiku, aman dari ketularan kutu kepala yang masih “diternakkan” banyak teman-temanku yang notabene orang kampung itu.

Aku dikenal pula sebagai “tukang gambar”. Goresan tanganku selalu “indah”. Tak heran jika guru mapel Kertakes (kerajinan tangan dan kesenian) minimal menorehkan angka 80 di gambar hasil karyaku. Ah, mereka mengenalku sebagai teman yang piawai menggambar, meski sekarang mungkin kemampuan itu perlahan terkikis karena aku sudah tak pernah menggambar lagi. 99% hobiku sekarang adalah membaca dan menulis. Lagipula, bagiku antara menggambar dan menulis substansinya sama. Sama-sama menorehkan “makna” di atas kertas. Lukisan berkata-kata lewat gambar yang tertoreh di kanvasnya, sebaliknya tulisan mencipta sebentuk imaji di benak pembacanya melalui kata-kata yang tertuang di sana.

Awal bersekolah di sana, aku sendirian. Tak ada teman se-TK-ku yang melanjutkan di sekolah yang sama denganku. Pendiam dan malu-malu, aku jarang memulai percakapan terlebih dahulu sebelum orang lain memulainya. Beruntung, di awal mendaftar aku sudah punya kenalan. Gadis berpipi tembam yang kemudian menjadi kawan karibku. Di kelas, kami duduk bertiga sebangku. Aku, Azka, dan satu lagi Ayu—tak menyangka jika kemudian aku menjadi musuh bebuyutan anak ini. =_=’. Sistem pembelajaran konvensional masih utuh melekat ketika itu. Kami duduk di atas bangku dengan sikap sempurna, duduk tegak dan melipat kedua tangan di atas meja. Seisi kelas sunyi sepi ketika guru datang mengajar. Diam laksana kuburan. Mendengarkan ceramahnya dengan seksama adalah harga mati. Kalau tidak, siap-siap saja, minimal akan ada kapur tulis yang melayang, atau penghapus papan mengenai kepala si bocah nakal, lantas membuat rambut rapimu layaknya tesiram bubuk putih. Aku adalah salah satu korban “kebiadaban” itu dalam versi yang lebih kejam. Kelas dua, delapan tahun, masih tergolong kanak-kanak, bukan? Aku lupa membawa buku pelajaran ke sekolah, sebagai hukumannya, tak tanggung-tanggung, sebilah kayu panjang penggaris papan terayun dari tangannya, terlecut mantap di lengan kecilku. Sakit, tentu. Bukan sakit fisik, namun ingatan tentang itu masih ada hingga aku dewasa. Bayangkan saja, anak sekecil itu diperlakukan sedemikian di tempat yang katanya lembaga pendidikan. Opiniku berkembang, bercabang-cabang, hingga sampai pada satu kesimpulan: ah, guru itu bukan manusia, mereka zombie yang bangkit dari kuburan.

Azka pindah sekolah begitu kami naik ke kelas tiga. Aku sedih bukan main. Kutitipkan sebuah kenang-kenangan untuknya. Ia pintar, selalu tiga besar di kelas. Di catur wulan ketiga ini aku ranking 2, sedangkan dia ranking pertamanya. Kuucapkan syukur meski ada kesedihan yang menggelayut. Teman dekatku setelah Azka adalah Ayu, tapi aku tak pernah menganggapnya sahabat. Ia jahat, suka semena-mena terhadapku. Suka nyontek pekerjaanku. Hm, perempuan kecil, ada juga yang jahil...

Selama dua tahun berturut-turut, aku duduk sebangku bersama orang yang ‘salah’. Apa daya, tempat duduk sudah diatur oleh sang guru yang maha kuasa. Di kelas tiga, aku duduk sebangku bertiga lagi. Namun, satu di antara kami anak laki-laki. Jahilnya bukan main. Aku yang selalu menjadi sasaran kejahilannya. Heuh, kerjaannya gangguin mulu, giliran pelajaran gobloknya minta ampun. Aku terbahak begitu tahu jika ia tak naik ke kelas empat. Guru sekaligus wali di kelas tiga juga nggak kalah “garang”-nya dengan tahun sebelumnya. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan malaikat penjaga neraka, ia mengajar dengan sistem seenaknya. Penggaris kayu, benda itu memiliki fungsi sekunder sebagai penunjuk tulisan di papan, sedangkan fungsi primer sebagai senjata guru yang ditodongkan kepada muridnya. Alangkah bodoh sistem yang digunakannya. 52 orang siswa, bukan jumlah yang sedikit ketika ia harus mengoreksi lembar-lembar jawaban ujian, apalagi jika tulisan anak-anak itu tak ada bedanya dengan cakar ayam. Jalan lempeng untuk mengoreksinya adalah menyerahkan kepada anak-anak itu sendiri untuk saling bertukar kertas jawaban. Memang sebuah latihan yang bagus buat anak-anak, tetapi bagaimanapun juga, kami tetaplah anak-anak yang belum bijak mengoreksi. Bisa saja, yang betul disalahkan, yang salah dibetulkan. Menghasilkan penilaian yang penuh kecurangan dan sama sekali tidak valid. Beberapa temanku ada yang menggunakan cara “picik”, berusaha menyelamatkan nilainya dengan menuliskan dua kemungkinan jawaban sekaligus di soal esai. Mereka menjawab: Ya/tidak. Lucu sekali. Kami yang anak kecil, tidak bisa memutuskan perkara itu. Apalagi ketika si pemilik kertas jawaban mendesak untuk tidak mencoretnya. Guru kami juga acuh tak acuh terhadap muridnya yang sakit. Beliau bilang, “Itu bukan urusan saya.”

Kelas empat. Berharap menemukan sesuatu yang lebih baik. Ternyata aku sebangku dengan seorang teman perempuan. Sebut saja namanya Rara. Dugaanku tak seutuhnya benar. Ia baik, namun di sisi yang lain ia juga suka “menganiaya” aku. Jambakan, cubitan, coretan di baju seragam, pernah kuterima darinya. Aku, bukan tak mau melawan, namun tak ingin ia semakin menjadi-jadi ketika aku melawan. Meski di satu sisi, aku bosan menjadi Nobita lemah yang menjadi bulan-bulanan Giant dan Suneo.

Di kelas empat itu, wali kelasku lumayan enak. Aku semakin menyukai pelajaran IPA. Pak guruku mengajari tak hanya dari buku-buku, namun juga membikin bakso dan bakwan yang enak. Kami memasak bersama-sama di kelas. Ketika itu, satu yang membuat kami girang: jatah pelajaran ditiadakan selama masak-memasak yang notabene seharian penuh. Beliau juga menjengukku ketika aku absen lama karena di-gips. Meski begitu, cara mengajar gaya bahuela masih saja ada. Bagi yang tak mengerjakan PR, silakan mengerjakannya di luar kelas, di bawah terik matahari siang yang garang, setelah itu, masuk kelas dengan membawa uang receh secukupnya sebagai denda. Tentu ini menakutkan dan membuat siapa pun memilih untuk menghindarinya. Mending uangnya digunakan beli jajan di kantin belakang. Aku tak ingin menyalahkan guruku atau siapa pun, namun logika berbicara, bahwa hukuman tolol ini mungkin saja menjadi akar peristiwa yang menggemparkan sekolah di hari selanjutnya.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun...

Seisi kelas mendadak histeris. Seorang teman sekelasku, laki-laki, dikabarkan meninggal dunia. Padahal beberapa jam lalu ia masih belajar bersama kami. Irfan, temanku itu, tinggal di pondok seberang madrasah. Hari itu Sabtu, giliran mapel Aqidah Akhlak. Ada PR, Irfan sudah mengerjakan, namun bukunya ketinggalan. Lantas, ia berinisiatif mengambilnya ketika jam ngaso. Madrasah kami berhadapan langsung dengan jalan raya Ponorogo-Madiun. Dengan sepeda pinjaman, ia nekat pulang. Kalau tidak begitu, konsekuensinya nanti ia akan dituduh tidak mengerjakan. Siapa juga yang sudi mengerjakan di bawah terik matahari, padahal sudah susah payah menyelesaikan di rumah.

Tapi Irfan tidak pernah kembali ke kelas lagi. Sebuah truk menabrak bocah malang itu. Sepedanya ringsek. Temanku, si pemilik sepeda, meraung-raung, bukan meratapi Irfan yang sudah tiada, namun sepedanya yang ringsek. Ah, orang dewasa seharusnya lebih bisa memikirkan ini, terlebih guruku yang menciptakan peraturan tolol itu. Semoga itu menjadi hikmah baginya untuk meniadakan acara hukum-menghukum apa pun bentuknya.

Di kelas lima, kami mendapat tempat yang “istimewa”. Tempat eksklusif yang menjadi ruang kelas kami. Terletak di area paling belakang yang tersembunyi. Bangunannya pun tak lazim. Malah mirip rumah daripada sekolah. Bukan rumah yang bagus, melainkan sudah tergolong tua dan jelek. Tiang penyangganya lapuk, lantainya masih dari semen, itu pun pecah-pecah. Lagi-lagi, anak-anak kecil macam kami masih saja usil berbicara tentang “hantu”, meski dilanda kengerian, toh kami kerasan bertahan di sana selama setahun.

Agustusan. Itu yang paling kami nantikan. Gimana enggak, kalau tiap hari dipakai latihan drum band, itu artinya pelajaran ditiadakan. Sekarang, aku menilai, sikapku dulu salah. Namun, kurasa itu pantas selama tersebab oleh jalan pendidikan yang masih primitif. Ya, kami tentu akan bersorak jika pelajaran ditiadakan.

Kelas enam, tahun terakhirku di madrasah itu. Tahun “berat” karena kami disibukkan dengan bermacam les tambahan. Masuk jam setengah tujuh pagi, pulang sore. Full day, begitu istilah kerennya. Sebelum jam pelajaran formal, pukul setengah tujuh itu ada jam tambahan khusus untuk ilmu tajwid dan bahasa Arab. Bapak guru pengajarnya terkenal killer sepanjang masa dari guru-guru sebelumnya. Pintar melucu—kalau lagi baik, namun galaknya melebihi singa lapar. Jika sudah “mengaum”, bisa rontok seluruh bulu kuduk. Semua murid dendam padanya. Peraturan yang ia bikin: bagi yang jumlah salahnya lebih dari sepuluh dalam pengerjaan tajwid, silakan mengitari kelas dengan merangkak. Pembodohan! Ini madrasah, bukan sekolah umum. Tentu para pengajarnya jauh lebih paham mengenai rules agama. Adab belajar dan mengajar. Tapi sikapnya tidak menunjukkan itu, selain menjejali kami dengan hafalan surat, hadis, mufradat, dan lain sebagainya.

Tidak ada Bahasa Inggris di madrasahku. Tentu, kami lebih fasih ber-muhadatsah daripada making conversation. Aku benar-benar asing dengan bahasa Inggris. Meski begitu menjejakkan kaki di SMP, aku benar-benar akrab dengan bahasa internasional itu. Hmm, diam-diam aku menyukai bahasa-bahasa dunia. Namun aku lebih cinta bahasa Indonesia. Jangkauan bacaku di usia sekolah dasar sudah melebar, bukan lagi bacaan anak-anak. Iseng dan penasaran, seringkali membuatku mengobrak-abrik almari orangtua. Biasanya aku akan menemukan majalah, koran, tabloid, atau bahkan komik. Majalah wanita milik ibu, majalah keluarga. Komik-komik cerita epik dan persilatan punya omku. Kubaca, meski terkadang aku tak tahu maksudnya apa. Aku kecanduan membaca. Hingga candu itu menggerakkanku untuk membikin cerita. Kisah anak-anak, tak apa. Meski aku masih setia dengan hobi lamaku, menggambar.

Anak-anak yang semobil denganku di jasa abonemen berteriak kesal begitu aku masuk. Yah, mereka sudah menungguku dari tadi. Aku masih ujian akhir mapel bahasa indonesia: mengarang indah. Sejujurnya, di kelas sudah tak ada siapa-siapa selain aku dan guruku yang bosan menunggu. Namun, aku masih asyik menulis. Harus ada kronologis cerita, contohnya tamasya ke bonbin, ceritakan dari awal mulai dari persiapan dan akhirnya seperti apa. Begitu instruksinya. Teman-temanku tak mau repot, mereka ambil saja ide tamasya ke bonbin itu. Selesai. Aku menggarap ide yang lain, yang sama sekali berbeda. Itu yang membuatku lama, tak kunjung selesai juga.

“Dapat skor tertinggi Bahasa Indonesia, lho. Kamu...” salah seorang teman menunjukku. Terbayarkan juga kan, alhamdulillah.

Teman-teman MI-ku berbondong-bondong melanjutkan ke SMP negeri di kecamatan yang tak jauh dari rumahku. Namun, lagi-lagi aku sendirian di awal mula pertemuan. Tak ada teman MI yang se-SMP denganku. Namun, angin yang mempermainkan anak-anak rambutku berbisik perlahan tentang sejuta pengalaman yang mendebarkan serta manisnya persahabatan. Di kota Reog, di sebuah sekolah yang menjanjikan kehangatan...

Agustus 2011
Pesan baru di facebook. Seseorang menyapaku di alam maya. Aku terkejut. Azka! Kira-kira tiga belas tahun lalu, ketika aku menyerahkan kenang-kenangan untuknya. Zaman masih belum canggih, kami lost contact. Tiga belas tahun lamanya. Ternyata ia masih mengingat nama panjangku. Ah, dunia memang selalu sempit untuk sebuah persahabatan, apatah lagi persaudaraan yang bersandarkan iman. Kugumamkan doa rabithah pelan-pelan.

Tidak ada komentar: