Selasa, 27 Desember 2011

Menulis (Harus) Butuh Alasan

"Woy! Diriku, sebenarnya apa sih alasanmu menulis?"
Pernah suatu ketika, kutatap cermin dan berlagak bertanya galak seperti itu kepada diri sendiri. Ya, sebenarnya apa alasanku menulis? Teringat catatan seorang kawan tentang dalih menulis, dia mendaftar sekian alasan untuk itu. Lantas aku? Memang benar, alasan menulis tak cukup satu.

Hobi. Hobi muncul karena terbiasa, dan ada hal lain yang mendorongnya. Bermula dari kebiasaan membaca, kemudian tergerak untuk membikin hal yang serupa. Mulailah merangkai kata. Imitate what we have read. Meniru apa yang telah dibaca. Aku mulai menulis cerita jaman SD dulu. Kelas 4. Tokoh-tokoh fiktif yang kuciptakan adalah tokoh-tokoh binatang--terinspirasi cerita anak-anak di TV dan buku-buku dongeng. Kemudian perlahan mulai berkembang, dengan variasi bahasa yang bertambah-tambah seiring bertambahnya bacaan yang kulahap. Bukan hanya cerita fiksi, tapi aku yang masih SD mencoba membikin puisi, setelah mendapat pelajaran Bahasa Indonesia tentang puisi. Lambat-laun, puisi-puisi terserak itu menumpuk menjadi banyak. Unexpected aku bisa membikin puisi sebanyak itu. Puisi anak SD. Dunia ABG macam SMP menawarkan atmosfer yang berbeda tentunya. Gejolak. Jatuh cinta. Pencarian jati diri. Kesemuanya mengumpul jadi satu di benak, mendesak-desak, dan mungkin akan meledak, jika aku tak menuliskannya. Tong sampah, begitu istilahnya. Maka, mulailah aku menulis diary. Meniru judul salah satu novel Mira W., diary-ku pun kuberi judul "Dari Jendela SMP". Menjadi arsip rahasiaku yang orang lain tak boleh tahu. SMP mengenalkanku dengan jurnalistik. Menulis bermacam-macam tulisan. Dari puisi hingga membangun fiksi, dari artikel atau opini, feature, hingga resensi. Guruku seorang sastrawan lokal yang 'nyentrik', meski rada-rada killer. Namun, darinya lah aku belajar style bahasa yang lebih nyastra.

Lepas SMP, mantap kutuliskan mimpiku untuk masuk ke fakultas sastra di perguruan tinggi nanti. Ya, aku telah jatuh cinta pada sastra semenjak itu. Kemudian, cerpen-cerpen dan puisiku mengalir. Meski hanya untuk dibaca sendiri, kemudian disimpan dalam laci. Cerpen dan puisi yang notabene luapan perasaan. Masih sebatas tentang dunia ABG galau.

Titik balik. Aku memutuskan menutup aurat di tahun pertama SMA. Mulai aktif di rohis sekolah. Membuatku nyemplung dalam dunia yang sungguh berbeda daripada dulu. Mengenalkanku pada sebuah kebersamaan yang sungguh berbeda, memunculkan ghirah keislamanku yang dulu sempat terkikis. Rupa-rupanya ini mempengaruhi tulisan-tulisanku. Jika dulu masih seputar teenlit yang gaul-gaul, sekarang mulai mengandung muatan religi. Ada nilai islami yang nempel, meskipun tak mendominasi. Kegiatan menulis diary semakin kerap, seiring kegalauan yang semakin bertumpuk. Justru inilah yang mengasahku menulis. Biarpun jelek, toh yang baca diri sendiri. Aku meyakini, menulis diary adalah bagian dari psychotherapy, upaya kita untuk berdialog dengan diri sendiri, menyemangati, memotivasi. Bacaanku, tentu saja semakin luas, dan buku-buku Islami semakin memenuhi lemari bukuku.

Alasan menulisku yang tadinya hanya untuk "nyampah", kemudian perlahan bergeser. Meniatkan segala sesuatu karena Allah. Begitu pun, menulis harus karena Allah. Menulis adalah ibadah. Menyampaikan kebermanfaatan kepada orang lain. Sebagaimana Rasulullah bersabda, manusia yang bermanfaat adalah manusia yang memberi manfaat kepada manusia lain. Memberi menfaat bisa dengan banyak cara. Coretan di kertas buram bisa menjadi suatu yang sangat berharga, karena kata-kata di sana.

Pernahkah meniatkan menulis untuk popularitas? Aku mau nulis novel ah, diterbitkan, kemudian namaku akan dikenal. Bahaya! Tak perlu repot-repot menulis untuk jadi terkenal, pikirku. Bakar saja sekolahmu, pasti kau akan diuber reporter, masuk koran, headline news, dan namamu akan dikenal banyak orang. Mengerikan!

Bagaimana menulis dengan niatan untuk laku dijual? Boleh-boleh saja, namun selama kita masih berproses menjadi penulis, hapus dulu alasan ini dalam benak. Kembalikan saja ke alasan terdahulu, menulis dalam kerangka ibadah kepada Allah. Ikhlas. Kalau pun tulisan kita ditolak media, tak laku, dan semacamnya, niat kita menulis untuk mendapat ridha-Nya akan tetap berbuah pahala.

Maka, jika Pak Taufiq Ismail punya empat alasan kenapa beliau harus menulis puisi, maka aku cukup satu alasan penting yang mendasari segalanya; "lillah!"

Cintailah kata, sebagaimana engkau mencintai kebenaran. Cintalah pada sastra, sebagaimana engkau mencintai dakwah. Sebab sejatinya, sejarah Islam ditulis dengan merah darah para syuhada dan hitamnya tinta para ulama.

Setiap kita adalah penulis (minimal penulis SMS--kata Pak Ahmad Fuadi). Maka, tak ada cara lain untuk memulainya; tuliskan!





Rabbi, jangan biarkan diri ini "futur" menulis (dan mengetik).
Yogyakarta, 16 Desember 2011. Di sela rintik hujan.

Tidak ada komentar: