Minggu, 22 April 2012

Sepotong Episode (Masa Lalu)

Madiun, 28 Februari 2009

Barang-barang sudah kukemasi, tinggal menentengnya saja. Semoga langkahku tidak sempoyongan. Besok pertarungan sengit dimulai. Bersaing dengan orang senusantara memang tidak gampang. Tapi, lihat saja nanti...
Jadwal kereta jam sepuluh pagi. Hari ini Sabtu. Sengaja aku izin tidak masuk beladiri kempo, sibuk prepare untuk keberangkatan ke Surabaya.

Stasiun Madiun, jam 10 pagi.
Kenapa tiba-tiba dipenuhi dengan warga SMA 3 Madiun? Sebagian besar ke timur, Surabaya, tes masuk UI. Sebagian ke barat, Jogja, PBS UGM. Arah yang berlawanan dengan tujuan serupa: berjuang demi memperoleh kursi mahasiswa di PTN ternama. Aku berangkat bersama Hanif dan Nina. Rencananya, nebeng di kos kakaknya Nina, mahasiswi FK UNAIR. Ternyata, kami bukan cuma bertiga. Ada teman Nina yang ikut, anak SMA 2, namanya Yana. Cerewetnya bukan main, lucu nih anak!
Kereta Sancaka datang, dan para orangtua yang mengantar ikut-ikutan masuk ke dalam kereta atau hanya say goodbye di tepi jendela sambil berpesan dengan kelemah-lembutan, “Hati-hati ya, Sayang... Semoga berhasil.” Pun Mommy yang mengantarku. Uh, aku trenyuh. Tidak gampang meluluhkan hati Mommy, namun akhirnya disetujui juga keputusanku untuk masuk Sastra Jepang. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Aku harus bisa masuk sana!
Sepanjang jalan si Yana mengoceh saja. Senang sekali dia mendapat teman baru. Sementara, Nina rajin membaca Bank Soal-nya. Aku melempar pandang ke luar jendela, risih melihat pemandangan di seberang tempat dudukku. Lagi-lagi, orang pacaran. Huft, merusak pemandangan saja!

Hei, ini Surabaya!
Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di kota ini. Terakhir kapan, ya? Waktu aku masih kanak-kanak dulu, mungkin. Tamasya ke Bonbin. Hehehe…

Stasiun Gubeng Surabaya, jam 1 siang.
Makhluk-makhluk SMA 3 berebutan keluar kereta. Terpisah begitu saja, sibuk sendiri-sendiri. Kami berempat mencari kakaknya Nina yang katanya menjemput di sana. Mbak Emi, ternyata seorang akhwat berjilbab rapi.
Rumah kos itu bersembunyi di sebuah gang sempit. Rupanya Gubeng-UNAIR tidaklah jauh. Hmmm, Surabaya begitu metropolis—tak kalah dengan Jakarta. Gedung-gedung berdiri dengan megahnya. Begitu megah untuk orang kampung seperti aku.
Kami berempat ditempatkan di sebuah kamar ber-AC. Wah, layaknya menginap di hotel saja. Kamar mandinya bersih bukan main. Pasti kamar kos di sini mahal. Ini kos-kosan perempuan, tapi pemiliknya adalah seorang bapak, namanya Om Imam.
Mbak Emi tidak pulang-pulang, sejak siang tadi pergi. Hari sudah beranjak malam. Katanya, ada kerja kelompok. Apa nanti kalau sudah jadi mahasiswi juga sibuk begitu ya?
Saatnya cari makan! Saatnya observasi ke tempat ujian!
Mbak Emi bilang, naik angkot warna oranye. Bilang ke supirnya, turun di SMA kompleks. Hm, angkot di Surabaya tak kenal siang atau malam. Tetap saja beroperasi meski malam menjelang. Beda dengan angkot di Madiun, jam 4 sore sudah pulang ke kandang.
Setelah cukup pegal berdiri di depan gang, mencegat angkot, akhirnya kami menemukan juga angkot warna oranye. Ketika ditanya, “Pak, SMA kompleks?” si supir mengiyakan saja.
Wuih, ini dia malam Surabaya! Gemerlap!
Fakultas Kedokteran Gigi UNAIR terlihat sunyi-sepi. Nampaknya baru akan diadakan rekonstruksi. Gedungnya belum jadi.
SMA kompleks. Di situ berjajar SMA-SMA negeri unggul di Surabaya. Aku, Hanif, dan Nina bertempat di SMA 5, sedangkan Yana sendirian di SMA 2.
Aduh, kenapa lama sekali? Sejauh apakah SMA kompleks itu dari sini? Angkotnya saja berjalannya pelan-pelan bak siput di tegalan. Aku mulai bosan, dan... lapar.
Kami saling berpandangan heran begitu menemukan pemandangan yang sama untuk yang kedua kalinya; kenapa lewat FKG lagi? Lantas, untuk yang kedua kalinya, kami berujar, “Pak, SMA kompleks.” Tapi, kali ini jawabannya tidak sama, “SMA kompleks mana ya?”
Uh, dasar sopir angkot sialan. Untung ada ibu-ibu penumpang lain yang menerangkan. Kami bukan orang sini, mana paham…

SMA Negeri 5 Surabaya, Jalan Wijaya Kusuma. Petang hari.
Bagiku, bangunannya tak lebih dari bangunan jaman kolonial. Kuno. Kalah megah dengan bangunan SMA 3 Madiun. Ada sedikit rasa bangga terselip di dada.
Kabarnya, sekolah ini adalah RSBI nomor satu di Indonesia. Gerbang ditutup rapat. Di luar hanya disajikan denah ruangan untuk tes besok. Kami bertiga berpisah. Tak ada yang satu ruangan. Ah, setidaknya kami sudah tahu tempatnya.
Saatnya: MAKAN! Aku sudah lapar sejak tadi. Kami memutuskan jalan kaki. Daripada naik angkot, tersesat lagi. Uhm, jangan bayangkan Surabaya itu mirip dengan Jogja yang sepanjang jalan selalu tersedia makanan.
Kota ini penuh dengan gedung-gedung megahnya yang menjulang. Tapi kalau untuk urusan kuliner atau makanan, benar-benar payah! Sangat tidak mendukung untuk anak kos. Sepanjang jalan, kami sama sekali tidak menemukan warung makan, padahal perut sudah semakin keroncongan. Sampai di sebuah perempatan, kami menemukan sebuah restaurant vegetarian. Ya, silakan saja kalau doyan. Siapa tahu kalau sudah kenyang disodori menu penuh sayur dan buah-buahan, bengong di kasir karena harganya tidak sepadan dengan yang dibayangkan. Hmmft, nasib-nasib... Surabaya, mengapa kau tega membuat kami berempat berjalan malam-malam sambil kelaparan?!
Tapi, lihat itu! Ada rumah makan bertuliskan “Depot Muslim 100% Halal”. Bah, seperti di Bali saja. Tapi, tak apa lah. Demi perut. Setelah ini kami harus belajar buat tes besok.
Akhirnya, kami pesan empat porsi makanan. Berbeda satu sama lainnya. Dua mie goreng, dua nasi goreng. Dua es teh, dua es jeruk. Mantap...
Kuperhatikan sekeliling. Rumah makan ini penuh sesak. Sepertinya pembelinya orang-orang kaya. Memang, kami sempat heran dengan harga di daftar menu. Nasi goreng seporsi Rp. 15.000? Nasi goreng macam apa itu? Aku baru tersadar jika ini rumah makan milik warga Chinese muslim. Wajar lah, jika ada embel-embel “halal”-nya. Yah, tak apalah berkorban duit dikit, uang saku juga masih lumayan banyak.
Sambil menanti makanan datang, aku mengirim SMS ke semua orang. Isinya: “Mohon doanya buat besok. Semoga tes berjalan lancar.” Send to many…
Dan… balasan datang satu-persatu. Hapeku berdenyut berkali-kali. Aku kewalahan.
Guru les privat Math: Iya Dek, pasti aku doakan. Semoga berhasil.
Tante: Memangnya besok mau ke mana, Dek? Kamu sekarang di Surabaya to?
Temen: Sama-sama, Lia…
Mbak: Iya, pasti Mbak doakan. Belajar ya..
Om: Udah belajar, belum? Belajar sana!
A***: Besok mau ujian ya?
Nah! SMS yang terakhir ini yang membuatku tidak berhenti memegang hape.
Sampai makanan datang… dan kami terheran-heran… Gila! Ini porsi manusia apa porsi gajah? Keheranan kami disambut tawa cekikikan waitress yang tadi mengantar makanan. Ternyata, seporsi makanan di sini untuk satu keluarga. Pantas, harganya mahal. Malu bercampur geli. Mau bagaimana lagi? Dua porsi kami makan bersama-sama. Dua porsi dibungkus, dibawa pulang. Lumayan kalau Mbak Emi mau. Jadi tidak terbuang sia-sia. Nasi goreng Hongkong yang kupesan jadi rebutan. Enak, katanya. Di tengah-tengah acara makan, aku masih saja SMSan. Sampai-sampai si Yana menggertak, “Heh, Nduk, makan! Jangan SMSan mulu dong!”
Aku kaget. Dasar nih anak! Cerewet sekali, tomboy pula. Semenjak melihat dia di stasiun kereta tadi pagi, sikapnya cuek-bebek sambil ngemut lollipop-sepanjang perjalanan, dia yang duduk di sampingku mengoceh tentang Surabaya. Asyik, agak nakal, dan humoris…
Kami pulang jalan kaki. Capek, itu pasti. Sambil mentertawakan kejadian seharian yang kami alami tadi. Ah, pengalaman tak terlupakan…
Niat belajar yang sebelumnya sudah disusun jadi berantakan. Aku sudah tidak konsentrasi lagi. Ngantuk. Mataku tinggal 5 watt. Siap-siap redup, dan mati. Tapi kalimatnya yang hadir di inbox-ku ini: “Berusaha semaksimal mungkin ya, aku ikut mendoakanmu.” Membuat bola mataku terang kembali.
Kubuka lagi Bank Soal. Matematika. Aku muak. Lebih baik berhadapan dengan Bahasa Inggris saja.
Mereka bertiga sudah siap menjemput mimpi. Yana tidur di sampingku. Kusetel alarm pukul tiga dini hari. Aku mau shalat tahajjud. Kupejamkan mata sambil bergumam dalam hati: Universitas Indonesia, here I come...
Aih, Sastra Jepang menari-nari dalam benakku.

1 Maret 2009. Hari pertempuran. Serentak di 40 lokasi di Indonesia.
Sekitar jam tujuh pagi kami berempat sudah berdiri di mulut gang. Mencegat taksi. Meski sebenarnya jadwal tesku mulai jam setengah sebelas nanti. Tapi, Nina dan Yana yang mengambil IPC sudah harus duduk manis di ruang ujian tepat pukul delapan. Berangkat satu, berangkat semua dong.
Tinggallah aku bersama Hanif duduk di salah satu bangku teras SMA itu, sambil membuka-buka Bank Soal, sambil ngemil.

Lima menit lagi dimulai. Ruang 08, lantai atas. Aku menghampiri tempat duduk bernomor ujian itu. Belakang sendiri. Aku mencibir. Ini yang katanya SMA RSBI nomor satu di Indonesia? Apa tidak salah? Bangku kayu model jaman bahuela seperti ini masih dipakai? Konvensional sekali... Oh my God, SMA 3 Madiun jauh lebih kaya dan mewah...
Bel berbunyi tanda ujian dimulai.
Bismillahirrahmanirrahiim...

Bel tanda selesai berbunyi tepat pukul tiga sore. Waduh, entahlah. Soal-soal itu cukup membuat kepalaku nyut-nyutan. Entahlah, bagaimana hasilnya nanti. Soal-soal sulit itu ampuh membuatku tidak berpengharapan lagi untuk ke UI. Kucari-cari Hanif, Nina, dan Yana. Mereka sama mengeluhnya. Sulit bukan main.
Sekarang lah saatnya! Ajang pelampiasan!
Buru-buru kami mencari taksi. Tujuannya: Plaza Tunjungan. Plaza itu begitu tenar. Satu yang kuingat dari Plaza ini; tempat di mana Kak Ria Enes bertemu dengan bonekanya, Susan. Kabarnya, dekat plaza itu ada Gramedia Expo. Mataku berbinar, membayangkan satu gedung penuh dengan buku-buku bagus. Dalam sekejap, lupalah aku dengan masalah tes yang membikin kepalaku nyut-nyutan tadi.
Gramedia Expo, Surabaya.
Aku melongo begitu masuk ke dalamnya. Mana buku-bukunya? Tempat ini justru penuh dengan barang-barang elektronika. Laptop dan perlengkapannya, kamera digital, hand phone segala jenis dan merk, dll.
Aku kecewa. Aku tidak tertarik dengan barang-barang seperti itu. Bisa dibilang gaptek, biarkan saja. Di sana kami hanya menguntit Nina yang berniat beli flash disk.
Tidak seperti yang kukira, bahwa Tunjungan Plaza hanya berjarak beberapa langkah dari Gramedia Expo. Nyatanya, kami harus berjalan lama. Tulisan “Tunjungan Plaza” yang terpampang di atas jembatan penyeberangan nun jauh di sana tak jua tercapai. Pegal kakiku...

Tunjungan Plaza Surabaya. Pusat perbelanjaan yang tinggi menjulang di tengah-tengah kota. Memiliki andil dalam membuat keramaian, menambah metropolis, menambah sifat konsumtif, dan... membuat kota semakin sesak. Entahlah terdiri dari berapa lantai. Yang jelas, saat kami mencari-cari Gramedia (inilah yang memang berisi buku) di lantai 3, masih ada lantai di atasnya dan atasnya lagi.
Buku-buku islami itu memang menarik minatku (dan sukses membuatku bingung memutuskan mana yang akan kubeli). Hm, mereka memang tidak hobi baca sepertiku. Percumalah menanyakan mana buku yang bagus pada mereka.
Akhirnya, setelah lama berkutat dengan “bingung”, kuambil satu: “Jalan Cinta Darussalam: 60 Hikmah Menggugah”—Harlis Kurniawan. Kubayar ke kasir, dan kami pulang. Hari sudah beranjak maghrib. Kami buru-buru mencegat angkot.
Namun, ya Allah, kami tersesat lagi!

Mbak Emi sudah memerankan tiket untuk kami pulang besok pagi. Tiga tiket kereta (oh iya, aku lupa bilang kalau si Yana sudah tidak bersama kami lagi. Hengkang ke rumah tantenya—entah di sudut mananya Surabaya). Jadilah besok kami terpaksa bolos sekolah.
Mbak Emi masih setia menemani kami, ngajak ngobrol sambil kami menceritakan betapa kapoknya kami naik angkot. Ingatlah bagaimana tadi sore, sepulang dari Tunjungan, kami naik angkot warna hijau lumut. Tak kunjung sampai ke tempat tujuan. Melalui daerah kumuh dan banjir pula.
Semenjak itu, timbul satu harapan yang kami simpan diam-diam: semoga Surabaya bukan tempat kami kuliah kelak. Mengamininya dalam hati masing-masing. Hening. Saatnya beristirahat. Besok harus tiba di Stasiun Gubeng pukul tujuh tepat.
Mataku terpejam, memikirkan sesuatu yang tiba-tiba melintas perlahan... Pengumuman ujian masih sebulan lagi. Entahlah, aku sudah tak berharap tentang almamater warna kuning itu.
Tunggu sajalah, 4 April 2009!

Tidak ada komentar: