Minggu, 06 Mei 2012

Bangku Cokelat: Unity in Diversity

KMIB's Islamic Books Bazaar @Bangcok FIB, Ramadan di Fakultas 1432 H


Hampir semua tempat di kampus saya, Fakultas Ilmu Budaya memiliki nama-nama yang unik, atau bahkan nyeleneh. Sejatinya nama-nama itu tercipta dari akronim, misalnya Plasa adalah akronim dari Pelataran Sastra, Kansas (Kantin Sastra), Bangjo (Bangku Ijo), Jembud (Jembatan Budaya), hingga Bangcok (Bangku Cokelat). Kesemuanya notabene adalah tempat “nongkrong” favorit mahasiswa FIB. Mengerjakan tugas kelompok dari dosen tercinta, berselancar di dunia maya melalui fasilitas hot-spot, mendiskusikan hal-hal seputar kuliah, baca buku sambil bersantai makan-minum, menggosip, menggeje, main poker, atau hanya sekedar bercengkrama saat jam jeda kuliah. Terlepas dari kultur nyantai masyarakat FIB, bebas ketawa-ketiwi, ngakak-ngikik bersama teman sejurusan, ke kampus berkaos dan bersendal santai, asap rokok bebas mengudara di mana-mana, meski menyesakkan, seperti tak ada yang merasa terusik maupun terganggu akan suasana itu.
Ah, tentulah pemandangan seperti itu jarang dijumpai di kampus-kampus lain. Kampus MIPA, apalagi Kedokteran, mana mungkin membiarkan asap rokok merajalela. Lain ladang lain belalang, mereka menganut teori sains dan medis, sementara kampus saya berteori kultural, bahwa merokok adalah bagian dari budaya, mungkin.
Di sisi kanan Gedung Poerbatjaraka, di situlah berjajar deretan bangku cokelat a.k.a bangcok. Jumlahnya ada banyak, entah berapalah, saya lupa. Di hari-hari aktif kuliah selalu penuh, yang mengisinya tentu para mahasiswa dari berbagai macam jurusan. Ngeblok, di bangku pertama anak-anak Sasindo (Sastra Indonesia), kedua Sastra Asia Barat, ketiga Sastra Jepang, begitu seterusnya, atau bahkan random. Yah, begitulah adanya, kampus multikultural.
Ketika kami—anak-anak Sastra Inggris membahas popular literature, di samping kami sekumpulan mahasiswa Sastra Jepang sedang berlatih benron (pidato bahasa Jepang), di sebelahnya beberapa mahasiswa Sastra Asia Barat sedang listening lagu-lagu Arab, anak-anak Sastra Indonesia sibuk mendiskusikan puisi Bapak Sapardi Djoko Damono.
Terkadang style mahasiswa bisa memberi clue dari jurusan mana ia berasal. Penampilan mahasiswa Sastra Perancis dan Sastra Inggris (menurut asumsi sebagian orang) cenderung modis, yang kental dengan nuansa Islami pastilah Sastra Asia Barat. Yang model-model anak “pencinta alam” biasanya jurusan Antropologi dan Arkeologi, orang-orang Sastra Jepang dan Bahasa Korea cenderung senada—mengikuti tren yang berkembang di kedua negara tersebut.
Warna-warni. Multi-culture, atau kalau saya menyebut, unity in diversity. Meski beda-beda, namun kami tetap bernaung di bawah atap fakultas yang sama: Ilmu Budaya. duduk berderet di bangku yang sama: bangku cokelat.
Seorang gadis berkuncir dan bercelana jeans nyantai membaca komik sambil kupingnya tertutup headset. tanomi mo shinai no ni  asa wa yatte kuru  mado o akete chotto fukaku shinkokyuu”. Bibirnya menyenandungkan Ohayou-nya Keno. “Assalamu’alaykum. Shobahul khair, kaif hal?” dua ikhwan Sastra Asia Barat bertegur sapa untuk kemudian duduk bersama-sama di bangcok. Tak lama kemudian, dua orang mahasiswi Sastra Perancis mengucap salam perpisahan “salut!”
Berada di lingkungan multikultur seperti ini sedikit banyak memberi stimulan untuk saya agar menguasai banyak bahasa. Studi mayor saya sastra Inggris, semester satu dan dua dapat mata kuliah bahasa Perancis. Nah, sekarang saya sedang mempelajari bahasa Italia dan Jepang sekaligus. Pusing? Insya Allah tidak, bagi saya akan jauh lebih pusing berkutat dengan rumus sains dan angka-angka daripada kamus kanji sekalipun.
Sudah hampir tiga tahun saya thalabul ‘ilmy di kampus itu. Kata multikultur yang tersemat itu bukan cuma tentang keragaman bahasa dan budaya. Di kalangan aktivis, saya sering menjumpai istilah dalam bahasa Jawa mentok kiri-kanan pol untuk menyebut kampus kami. Yang garis kiri terlalu kiri, dan yang kanan terlalu kanan. Dari yang tak percaya tuhan, agnostik, hingga teman-teman yang memakai cadar hitam-hitam. Sungguh, pemandangan langka yang jarang ditemui di fakultas-fakultas lain. Terlepas dari itu semua, entah kenapa saya suka. Saya menyukai heterogenitas. Homogen terlalu membosankan. Bayangkan saja jika seisi kampus alim semua, bayangkan jika seisi bumi berwarna putih semua, bahkan pelangi saja disebut indah karena warna-warninya yang beragam. Teringat pendapat seorang kakak ketika kami tengah merumuskan akar permasalah dakwah di kampus, beliau berpendapat bahwa heterogenitas bukanlah sebuah ancaman, justru ia adalah tantangan. Bukankah semakin banyak ditempa oleh masalah, kita akan semakin kuat? Tak akan ada tantangan di sana jika masyarakatnya sudah lurus semua.
 Saya menanggapinya dengan sebuah senyuman. Tiba-tiba terlintas sebuah impian di benak: jika saja orang-orang beda jurusan yang berderet-deret di bangcok tak hanya wifi-an, ngakak-ngikik, mengerjakan tugas, atau bergeje-ria, namun mereka memanfaatkan jam jeda kuliah untuk tilawah di sana, mentoring AAI di sana, kalau nonton film-pun, untuk diambil hikmah ceritanya dan didiskusikan bersama-sama. Aih, kapan ya?
Saya justru teringat ucapan sensei (guru) saya di kelas bahasa Jepang kami sore kemarin. Di Jepang, penyebutan kereta tak cuma satu saja, memangnya Indonesia, paling cuma KA alias kereta api. Di Jepang ada densha (kereta listrik), kisha (kereta api), shinkansen (kereta super cepat), dan chikatetsu (kereta bawah tanah). Indonesia punya, nggak? Kami serentak menjawab, “Tidak...” dengan nada minder. “Ah, jangan bilang tidak, belum. Suatu saat Indonesia punya. Tapi kapannya itu saya juga tidak tahu.” Jawab sensei saya optimis.
Ya, tak ada yang tak mungkin. Seharusnyalah optimis itu hadir di antara kami, optimis akan indahnya perubahan. Optimis akan mimpi yang menjelma nyata, bukan coretan di atas kertas buram belaka.

8 komentar:

melynsalam mengatakan...

saya suka tulisan ini :))

Lia Wibyaninggar mengatakan...

makasih, Melyn... :D

diannasuha mengatakan...

wah, ada pemerhati bangcok fib, haha
blognya aku follow ya mbak.. ^^

Lia Wibyaninggar mengatakan...

with pleasure :D :D

Pengelola mengatakan...

oh, ternyata ada namanya ya?

*dulu kayaknya cuma ada bangku putih... sekarang udah nggak ada ya...

Lia Wibyaninggar mengatakan...

bangku putih, Pak? semenjak saya menginjakkan kaki di FIB, belum pernah tuh menemui yg namanya bangku putih. yang ada sekarang bangcok sama bangjo. eh, Bangku Cokelat itu judul cerpennya seseorang. ups! nanti aja, kejutan! ^___^

Pengelola mengatakan...

Berarti bangku putih telah punah dari FIB :(

Lia Wibyaninggar mengatakan...

Emang bangku putih-nya bentuknya kayak gimana, Pak?
Apa jangan2 bangku putihnya dicat jadi cokelat? haha. :D